• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

1.2. Perumusan Masalah

Dengan berlakunya otonomi daerah, pemerintah daerah memperoleh kesempatan untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerah. Pemerintah daerah juga dituntut tidak hanya kebebasannya namun juga kemampuannya untuk mengalokasikan penerimaan daerah secara efektif dan efisien untuk membiayai kegiatan rutin dan pembangunan yang memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu pemerintah daerah juga dituntut mampu mengeksploitasi potensi sumberdayanya untuk meningkatkan penerimaan

asli daerah. Pemahaman tentang hal tersebut menjadi penting karena secara faktual kemampuan daerah untuk membiayai pembangunannya memang relatif kecil.

Menurut Simanjuntak (2003)4, hanya sebagian kecil saja provinsi dan (apalagi) kabupaten /kota yang mampu membiayai secara signifikan APBD-nya dengan PAD. Akan halnya SDA kondisi objektif yang sangat menentukan adalah tidak meratanya sebaran SDA di wilayah Republik Indonesia. Konsekuensinya hanya daerah tertentu (Aceh, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua) yang bisa menikmati bagian signifikan dari bagi hasil ini, sementara mayoritas daerah lainnya hanya kebagian sedikit. Sebanyak 75% BHSDA hanya dinikmati oleh 35 kabupaten/kota di Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Papua. Sementara untuk bagi hasil pajak , yang dibagikan adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) , Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) perseorangan.

Sebagaimana halnya PAD, pajak pusat yang dibagihasilkan juga cenderung lebih potensial di perkotaan . Yang agak ekstrim adalah bagi hasil PPh perorangan secara nasional sebesar Rp.2.8 triliun tahun 2003, separuhnya (Rp.1.45 triliun) adalah untuk DKI Jakarta. Akibat pengaturan yang demikian, persoalan ketimpangan antar daerah menjadi persoalan yang serius.

Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten dan Kota se Provinsi Sumatera Utara masing-masing memiliki Pendapatan Asli Daerah yang kecil relatif terhadap pengeluarannya. Kemampuan itu berkisar antara 20% hingga

60% pada pemerintah provinsi dan berkisar antara 10% hingga 20% pada pemerintah daerah kabupaten dan kota. Bahkan pada tingkat kabupaten dan kota kemampuan menghimpun PAD tersebut semakin mengecil pada beberapa tahun terakhir. Tabel 1 menunjukkan perkembangan kemampuan atau potensi fiskal daerah provinsi dan kabupaten/kota di Sumatera Utara selama periode 1990-2003.

Tabel 1. Perkembangan Potensi Fiskal Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota se SUMUT Tahun 1990/91-2003

Tahun Provinsi Kabupaten Pengeluaran (Ribu Rp) PAD (Ribu Rp) Rasio (%) Pengeluaran (Ribu Rp) PAD (Ribu Rp) Rasio (%)

Sebelum Desentralisasi Fiskal

1990/1991 313923761 64659592 0.2 261786352 40525313 0.2 1991/1992 336880196 65384258 0.2 322574296 45264409 0.1 1992/1993 383137767 70204556 0.2 345895248 54446459 0.2 1993/1994 458581800 84768176 0.2 416747673 59438835 0.1 1994/1995 515626870 124141384 0.2 432262722 73970659 0.2 1995/1996 584008535 156859078 0.3 549695391 90181552 0.2 1996/1997 660854180 171953970 0.3 649881045 106263739 0.2 1997/1998 771030141 212842681 0.3 827943837 115822466 0.1 1998/1999 342560028 122888667 0.4 1305036167 102897500 0.1 1999/2000 449051978 187597434 0.4 1670089793 125367792 0.1 2000 416772647 255078480 0.6 1624004134 124223357 0.1

Sesudah Desentralisasi Fiskal

2001 916215529 423075216 0.5 3851466675 221182644 0.1

2002 972236346 440591435 0.5 4922340686 296923216 0.1

2003 1034321804 621017539 0.6 6128275604 456574133 0.1

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Memang berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan kemampuan fiskalnya (mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat). Pemerintah Kotamadya Medan misalnya pada tahun 2001 berhasil meningkatkan Pajak dan Retribusi daerah melalui peningkatan perolehan

bagian dari parkir, reklame dan airport tax dari P.T. Angkasa Pura II. Sedangkan pemerintah daerah Dairi melalui upaya perolehan sumbangan pihak ketiga, penyertaan modal dan penerimaan sewa air dari PLTA. Tindakan tersebut berhasil meningkatkan pajak dan retribusi daerah sebesar 57% (CESS 2001).

Dalam hal usaha–usaha peningkatan PAD dengan cara seperti diatas bukan tanpa masalah. Pemerintah daerah sering dihadapkan pada suatu dilema antara meningkatkan PAD atau merecovery perekonomian yang lesu . Dalam usaha –

usaha pemungutan pajak (tax effort) untuk meningkatkan PAD tersebut

pemerintah daerah sering mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA), sebagai dasar hukum untuk memungut berbagai pajak dan retribusi, justru bersifat kontraktif terhadap perekonomian, apalagi dalam kondisi perekonomian yang lesu. Disatu sisi pemerintah daerah ingin menunjukkan ’keotonomiannya” dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Padahal menurut buku teks makroekonomi, kondisi perekonomian yang lesu justru tidak layak dipajakin karena akan menyebabkan ekonomi semakin kontraktif (lesu). Pada gilirannya kontraksi perekonomian akan menyebabkan menurunnya pendapatan daerah, pengangguran dan meningkatkan tingkat harga-harga umum. Namun jika pungutan tadi (Pendapatan Asli Daerah) dikembalikan kepada perekonomian dalam bentuk belanja pembangunan dan belanja rutin dengan benar, secara keseluruhan akan terjadi pertumbuhan ekonomi, karena secara makro ekonomi efek ganda (multiplier effect) dari pengeluaran pemerintah lebih besar dari efek ganda pajak (Branson 1981; Blancard 1997; Hall and Taylor 1993 ; Dornbush dan Fisher 1990). Dalam kebebasan menggunakan anggaran, pemerintah juga

dituntut syarat kehati-hatian dan selektifitas yang tinggi. Syarat utama penggunaan anggaran adalah menuruti preferensi dan kebutuhan masyarakat, bukan menurut preferensi dan kebutuhan pejabat daerah sebagai mana yang banyak terjadi. Istilah ”korupsi berjamaah” (suatu istilah yang tidak tepat,karena berjamaah biasanya untuk berbuat kebaikan) adalah suatu ungkapan ironis tentang kerjasama eksekutif dan legislatif daerah dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara tidak benar. Penyimpangan penggunaan anggaran pemerintah sebagaimana diketahui banyak pihak telah berdampak buruk pada kualitas kesehatan, pendidikan dan pemerataan pendapatan antara daerah.

Menurut Yudoyono (2001), ketika Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan kebijakan otonomi daerah secara luas dalam Undang-undang No.22 tahun 1999, beberapa daerah tampak terkejut dan meragukan kemampuannya sendiri untuk dapat melaksanakan amanat tersebut. Dua aspek yang melatarbelakangi keraguan tersebut adalah (1 ) kemampuan menghimpun PAD dan (2 ) kualitas sumber daya manusia. Keraguan akan keterbatasan (sumber daya manusia dan sumber daya alam ) juga menjadi persoalan utama dihadapi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di era otonomi 5.

Dalam otonomi, daerah dituntut kreatifivitas dan inovasi dalam mengelola urusan rumah tangganya. Dalam hubungan ini ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas menjadi syarat perlu, khususnya ketersediaan sumberdaya

manusia pada Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD). Aparatur Pemerintah Daerah adalah pelaksana kebijakan publik, sedangkan anggota DPRD adalah aktor politik yang mewakili rakyat di lembaga legislatif daerah yang mampu membawa aspirasi rakyat (bukan ”aspirin” ).

Ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam hal kemampuan fiskal dan keterbatasan ketersediaan sumberdaya manusia yang umumnya terdapat di berbagai belahan daerah di Indonesia juga ditemui di Sumatera Utara. Pemerintah Daerah Sumatera Utara menyadari keterbatasan kemampuan keuangannya dan mutu sumberdaya manusianya. Kesadaran tersebut terbukti dan tertuang pada program pembangunan daerah, (PROPEDA) Sumatera Utara 2001-2005. Beberapa tujuan pembangunan utama dalam PROPEDA tersebut adalah (1) memberdayakan usaha kecil dan menengah koperasi dan juga BUMD agar lebih produktif dan efisien sehingga mampu memberi kontribusi yang semakin tinggi kepada pendapatan daerah, (2) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia guna mewujudkan good governance.

Tujuan Penelitian.

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan diatas, maka tujuan penelitian ini akan lebih difokuskan untuk menjawab pertanyaan berikut;

1. Mengevaluasi kinerja fiskal Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal

2. Mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Fiskal dan

3. Mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan Perekonomian Daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara tahun 1990-2003.

4. Meramalkan dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian kabupaten dan kota di Sumatera Utara tahun 2006-2008 .

Dokumen terkait