SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA
MANGASI PANJAITAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
MUDIKDJO, RUDOLF S. SINAGA dan ERNA MARIA LOKOLLO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Usaha pembangunan yang sentralistis selama Orde Baru ternyata tidak menghasilkan suatu pembangunan yang merata. Pembangunan lebih didominasi di pusat. Begitu juga halnya di daerah tingkat satu, pembangunan didominasi di kota propinsi dan hanya sebagian kecil yang menyentuh kabupaten dan juga antar kabupaten tidak terlihat adanya suatu pemerataan pembangunan. Disparitas pembangunan ekonomi mendorong meningkatnya tuntutan otonomi daerah. Tuntutan dimaksud diakomodir oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan mengeluarkan UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisa kinerja fiskal sebelum dan sesudah kebijakan desentralisasi fiskal, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan perekonomian daerah kabupaten dan kota, (3) mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah kabupaten dan kota tahun 1990-2003 dan (4) meramalkan dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah kabupaten dan kota tahun 2006-2008.
Model Ekonometrika Desentralisasi Fiskal Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara yang dibangun terdiri dari tiga blok yaitu (1) blok fiskal daerah, (2) blok investasi dan infrastruktur, dan (3) blok kinerja perekonomian. Menggunakan pool data (cross section 17 kabupaten dan kota, serta time series
1990-2003). Model diestimasi dengan metoda 2 SLS (two stage least squares) prosedur SYSLIN dan simulasi (historis dan peramalan) dengan prosedur SIMNLIN.
Kesimpulan penelitian adalah (1) sumber-sumber kebutuhan fiskal daerah baik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, didominasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat, (2), transfer ditentukan oleh tingkat perekonomian dan kondisi sosial dan fisik daerah, sedangkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja dipengaruhi oleh tingkat kepastian berusaha dan upah ( 3), peningkatan Dana Alokasi Umum ke daerah berhasil meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan (khususnya di kota), dan (4) peningkatan Dana Alokasi Umum diwaktu mendatang berhasil meningkatkan penerimaan, pengeluaran, pendapatan masyarakat, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan (khususnya kota).
Implikasi kebijakan adalah (1) pemerintah melakukan efisiensi pada pos pengeluaran rutin dan mengalokasikannya menjadi pengeluarn pembangunan karena memberikan dampak yang baik untuk kinerja fiskal dan perekonomian daerah, (2) mengelola dengan baik kebijakan pengupahan dengan hati-hati, karena penetapan upah yang salah berdampak buruk pada hampir seluruh kinerja fiskal dan perekonomian, dan (3) untuk menekan biaya transaksi dalam menanggulangi defisit fiskal, pemerintah pusat mengalihkan sumber-sumber penerimaan yang lebih besar ke daerah.
An Econometric Approach (BONAR M. SINAGA as Chairman, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, RUDOLF S. SINAGA and ERNA MARIA LOKOLLO as Members of the Advisory Committee).
The history of economic development has shown that New Order built the strong governmental within the political stability as it is a necessary condition to accelerate development in all sectors especially in economic sector. In term of political stability, the government built the centralized political and governmental structure. However, the centralized development couldnot fairly distribute the output of development. The development was dominated by central region. Moreover, in provincial region, development was concentrated in its city, only few in some districts, besides that, there is not a fairly distributed between district. Disparity of economic development already pushed the regional autonomy movement. The movement accomodated by Government and Representatives by issues the Law No.22 Year 1999 and Law No.25 Year 1999.
The research objectives are (1) to describe the fiscal performance before and after fiscal decentralization policy (2) to analyze the factors which influence districts and municipalities fiscal and economy performance (3) to evaluate the impact of fiscal decentralization policy and changes of non fiscal variable on district and municipalities fiscal and economy performance, and (4) to forecast the impact of fiscal decentralization on districts and municipalities fiscal and economy performance in 2006-2008 .
Constructed North Sumatera’s Fiscal decentralization Econometric Model consists of three blocks that is (1) distric fiscal block (2) invesment and infrastructure block, and, (3) economic performance block. Using pool data (cross section 17 districts, and municipalities and time series 1990-2003). Model is estimated by 2SLS (two stage least squares) method, SYSLIN procedure and historical simulation and forecasting by SIMNLIN procedure.
The research concludes that (1) districts and municipalities sources before and after fiscal decentralization policy are dominated by central government equalization transfer fund (2) the central government equalization transfer is determined by level of economy, social and physical condition of the districts and municipalities, on the other hand the income level and job opportunities are influenced by the degree of investment certainty and wage level (3) the increase General Transfer Fund (Dana Alokasi Umum) to the districts and municipalities has raised the level of income, job opportunities and distribution of income (especially in the districts), and (4) the increase of General Transfer Fund (Dana Alokasi Umum) in the future will be expected rise up the government revenue and expenditure, income, job opportunities and distribution of income (especially in districts).
“Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara:Suatu Pendekatan
Ekonometrika
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di peruguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, April 2006
© Hak Cipta milik Mangasi Panjaitan, tahun 2006 Hak Cipta dilindungi
SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA
MANGASI PANJAITAN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama
: Mangasi Panjaitan
NRP
: 995010
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bonar M.Sinaga, MA Prof. Dr. Kooswardhono Mudikdjo, MSc
Ketua Anggota
Prof. Dr. Rudolf S. Sinaga, MSc Dr. Erna M. Lokollo, MS
Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Bonar M.Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan Uluan Panjaitan dan Dina Manurung.
Penulis lulus dari SD Negeri V Kampung Durian, Kisaran pada tahun 1975, lulus Sekolah Menengah Pertama Persiapan Negeri Desagajah - Kisaran pada Tahun 1978, dan lulus Sekolah Menengah Atas Yosua Medan pada Tahun 1981. Pada Tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor, Bogor dan lulus sebagai sarjana Ekonomi Pertanian pada Tahun 1986. Pada Tahun 1992 penulis mendapat kesempatan belajar di Program Pascasarjana (S2) Universitas Indonesia Jakarta pada program studi Ilmu Ekonomi dan lulus pada tahun 1996 sebagai Magister Ekonomi (ME).
Pada Tahun 1999 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi S3 (program doktor) pada Institut Pertanian Bogor dengan dana bantuan pendidikan dari Forum Pusaka pada tahun I dan BPPS (Bea Siswa Pendidikan Pasca Sarjana) dari Dikti Jakarta selama enam semester. Bantuan selama proses penelitian dan penulisan disertasi diperoleh dari Hibah Pasca Sarjana Angkatan I, Tahun ke- 2 , kerjasama DIKTI Jakarta dan IPB Bogor , dalam proyek penelitian “Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi daerah Di Indonesia”.
(ketika mahasiswa S1) pada Fakultas Teknik Sipil dan Planologi Universitas Pakuan Bogor, dosen pada Fakultas Perikanan dan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, Universitas Darmawangsa Medan, peneliti dan pengajar pada LPEM-FEUI Jakarta, pengajar dan peneliti pada STIE IBII Jakarta , pengajar pada UNIKA Atmajaya Jakarta, STIE Trisakti Jakarta, UKI Jakarta, UNISMA 45 Bekasi, dan STIE SUPRA Jakarta.
“Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Kabupaten dan Kota di proinsi Sumatera Utara: Suatu Pendekatan Ekonometrika” dapat diselesaikan.
Penelitian dan Disertasi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dalam Program Doktor (S3) di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini meliputi seluruh 24 kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Utara. Namun kabupaten dan kota yang dimekarkan setelah tahun 1998 “dikembalikan” kepada kabupaten induk demi keperluan data, sehingga menjadi “hanya” 17 kabupaten dan kota. Penelitian menggunakan Pool data yaitu cross section 17 kabupaten dan kota time series
tahun 1990-2003.
pendapatan di daerah kabupaten lebih baik dibanding di daerah kota.
Disertasi ini tidak mungkin rampung tanpa bantuan berbagai pihak. Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu, terutama:
1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang telah memberikan banyak waktu untuk berkonsultasi khususnya dalam pembentukan model dan analisis. Terimakasih atas perhatian, dorongan moril dan materil yang besar sehingga penulis mampu melewati setiap proses penyelesaian studi.
2. Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, MSc sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu konsultasi bagi penulis. Terimakasih atas juga atas bantuan semangat yang diberikan selama proses penulisan.
3. Prof. Dr. Ir. Rudolf S. Sinaga, MSc sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang membuka jalan studi S3 di IPB bagi penulis dengan mencarikan sponsor khususnya pada tahun pertama kuliah. Terimakasih atas perhatian yang dengan kesabaran seorang bapak selalu membimbing dan mengarahkan penulis dari awal hingga akhir studi.
desentralisasi fiskal.
5. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc sebagai Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Terimakasih atas masukan dan kritik yang membantu dalam penyempurnaan disertasi.
6. Dr. B. Raksaka Mahi, Ketua Program Magister dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia Jakarta, yang bertindak sebagai Penguji Luar IPB pada Sidang Terbuka Doktor, telah memberikan masukan dan klarifikasi yang sangat berharga bagi penyempurnaan disertasi ini.
7. Dr.Ir. Sri Hartojo MS, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen , Institut Pertanian Bogor yang menjadi pimpinan Sidang Terbuka. Terimakasih atas masukan-masukan yang bermakna.
8. Dr. Miranda S. Gultom, Deputi Senior Bank Indonesia yang turut merekomendasikan penulis agar diterima menjadi mahasiswa S3 di IPB Bogor. Terimakasih atas dorongan dan kepercayaan yang diberikan.
9. Dr. Sri Mulyani Indrawati, kini Menteri Keuangan, atas rekomendasi beliau agar penulis dapat diterima pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
10. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta atas beasiswa BPPS selama enam semester.
Terimakasih atas bantuan dana penelitian dalam Proyek “Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia” dimana penulis menjadi salah satu anggota tim.
14. Tim Hibah Pascasarjana IPB– Dikti Angkatan II Tahun 2003 s/d 2005. Terimakasih atas kerjasama yang baik selama proses penelitian.
15. Teman-teman, teristimewa (menurut abjad): Ir.Budiman Marpaung, MM ; Ir. Mangatas Siagian; Muhamad Nur ,SE,ME ; dan Ir. Leo Nababan. Terimakasih atas bantuannya, terutama pada saat-saat sulit di masa studi penulis.
16. Saudaraku Ir. Rasidin Karo-Karo, MS yang banyak membantu pengolahan data. Bersama beliau pekerjaan yang berat terasa menjadi lebih ringan. Terimakasih atas kebersamaannya dan kesabarannya.
17. Bapak Dr.Agung Nur Fajar dan Bapak Venny F. Mandang, SE,MM berturut-turut adalah Wakil Ketua Bidang Akademik STEKPI, School of Business and Manajement, dan Ketua Jurusan Manajemen yang telah memberikan keringanan dalam tugas mengajar selama satu semester, khususnya pada tahap akhir penyelesaian disertasi ini.
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kepadanya Tulisan ini didedikasikan.
20. Adik-adik tercinta; Rusman Panjaitan, Rimbun boru Panjaitan, Emmas boru Panjaitan, Rugun boru Panjaitan, Royal Panjaitan, Sopar Panjaitan dan si bungsu David Manarsar Panjaitan ,yang banyak membantu penulis terutama saat-saat paling sulit dalam proses perkuliahan dan penulisan disertasi. 21. Istri dan anak anakku tercinta. Terimakasih atas cinta kasih mereka yang
tidak pernah habis dan selalu menjadi sumber kekuatan baru bagi penulis. 22. Kepada berbagai pihak yang tanpa sengaja tidak disebutkan namanya,
terimakasih atas bantuan moril dan materil yang tidak kalah pentingnya dari pihak-pihak yang disebut sebelumnya, hingga tulisan ini selesai.
Tulisan ini jauh dari sempurna sehingga membutuhkan kritik dan saran untuk penyempurnaan. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi khalayak.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... vi
DAFTAR GAMBAR... xii
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
I. PENDAHULUAN ………...………...………….... 1
1.1. Latar Belakang ………. 1
1.2. Perumusan Masalah... 7
1.3. Tujuan Penelitian... 12
1.4. Ruang Lingkup Penelitian... 13
1.5. Manfaat Penelitian... 15
1.6. Keterbatasan Penelitian... 16
II. TINJAUAN PUSTAKA ………...……... 17
2.1. Desentralisasi . Napak Tilas..…...….... 17
2.2. Desentralisasi Politik... 26
2.3. Desentralisasi Fiskal... 29
2.4. Formulasi Dana Alokasi Umum... 41
2.4.1. Formulasi DAU 2001 ... .. 42
2.4.2. Formulasi DAU 2002... 43
2.5. Transfer Keuangan Pusat dan Daerah ………... 49
2.6. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian... 50
2.7. Studi-Studi Desentralisasi Fiskal ... 57
2.7.2. Mancanegara... 57
2.7.1. Indonesia... 62
2.7.1.1. Metodologi dan Tujuan Penelitian... 62
2.7.1.2. Ruang Lingkup Penelitian... 67
3.1. Lokasi Penelitian... 78
3.2. Kinerja Fiskal Daerah ... 78
3.3. Konstruksi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara... 79
3.4. Kerangka Berfikir dan Spesifikasi Model ... 81
3.5. Identifikasi Model... 97
3.6. Metoda Estimasi... 97
3.7. Validasi Model... 99
3.8. Simulasi Kebijakan... 100
3.9. Peramalan... 101
3.10. Jenis dan Sumber data... 102
IV. SUMATERA UTARA: KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN... 104 4.1. Keadaan Umum... 104
4.2. Perekonomian Daerah Sumatera Utara... 104
4.2.1. Tingkat Perekonomian... 104
4.2.2. Kinerja Perdagangan Luar Negeri... 109
4.2.3. Pembangunan Ekonomi Makro... 111
V. EVALUASI KINERJA FISKAL DAERAH SUMATERA UTARA... 113
5.1. Penerimaan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara... 114
5.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara ... 119
5.3. Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota... 127
5.4. Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota... 133
5.5. Derajat Desentralisasi Kabupaten/Kota... 138 5.6. Ringkasan Kinerja Fiskal ... 141
VI. HASIL ESTIMASI MODEL DESENTRALISASI FISKAL SUMATERA UTARA... 145
6.1. Keragaan Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara... 145
6.2. Kinerja Fiskal Daerah... 147
6.2.5. Pengeluaran Rutin... 159
6.2.6. PengeluaranPembangunan... 162
6.3. Kinerja Pembangunan Infrastruktur dan Investasi... 163
6.3.1. Pembangunan Infrastruktur... 164
6.3.2. Investasi... 167
6.4. KinerjaPerekonomian... 169
6.4.1. Produk Domestik Regional Bruto ... 170
6.4.2. Kesempatan Kerja... 171
6.4.3. Inflasi ... 173
6.5. Ringkasan Hasil Estimasi Model... 174
6.5.1. Kinerja Fiskal... 174 6.5.2. Kinerja Infrastruktur dan Investasi... 176
6.5.3. Kinerja Perekonomian... 176
VII. EVALUASI DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL DAN PERUBAHAN VARIABEL NON FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN 1990-2003... 179 7.1. Hasil Validasi Model... 179
7.2. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal ... 180
7.2.1. Simulasi 1 : Peningkatan BHSDA 15%... 180
7.2.2. Simulasi 2 : Peningkatan BHP 15%... 183
7.2.3. Simulasi 3 : Kenaikan Dana Alokasi Umum 10%... 186
7.2.4. Simulasi 4 : Peningkatan Pajak Daerah 15%... 189
7.2.5. Simulasi 5 : Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60%... 192
7.2.6. Simulasi 6 : Peningkatan Retribusi 15%... 194
7.2.7. Simulasi 7 : Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48%... 197
7.2.8. Simulasi 8 : Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Rutin 1.25%... 198
7.3.1. Simulasi 11: Peningkatan Upah 10%... 204
7.3.2. Simulasi 12: Peningkatan Pembangunan Infrastruktur 20%... 205
7.3.3. Simulasi 13: Peningkatan Upah 10% dan Infrastruktur 20%... 207
7.3.4. Simulasi 14: Peningkatan Investasi 20%... 208
7.3.5. Simulasi 15: Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20%... 210
7.4. Ringkasan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Variabel Non fiskal... win... 212 7.4.1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal... 212
7.4.2. Perubahan Variabel Non Fiskal... 215
VIII. HASIL PERALAMAN DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN 2006-2008... 217
8.1. Hasil Peramalan Tanpa Alternatif Kebijakan... 217
8.1.1. Hasil Peramalan Daerah Kabupaten... 217
8.1.2. Hasil Peramalan Daerah Kota ... 218
8.2. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal ... 219
8.2.1. Skenario 1: Peningkatan BHSDA 15%... 220
8.2.2. Skenario 2: Peningkatan DAU 10%... 222
8.2.3. Skenario 3: Peningkatan Pajak Daerah 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.60%... 223
8.2.4. Skenario 4: Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah 0.48%... 225 8.2.5. Skenario 5: Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Rutin 2.50%... 226
8.2.6. Skenario 6: Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Pembangunan 4.76% ... 227
8.3.1. Skenario 8: Peningkatan Upah 10% dan Infrastruktur
20% ... 230
8.3.2. Skenario 9: Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi 20%... 232
8.4. Ringkasan Peramalan Dampak Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Variabel Non Fiskal... 233
8.4.1. Kebijakan Desentralisasi Fiskal... 233
8.4.2. Perubahan Variabel Non Fiskal... 236
IX. KESIMPULAN DAN SARAN... 236
9.1. Kesimpulan... 236
9.2. Implikasi Kebijakan... 238
9.3. Saran Penelitian Lanjutan... 240
DAFTAR PUSTAKA ………...……… 241
LAMPIRAN ………...………... 247
DAFTAR TABEL
32.anf
win
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Potensi Fiskal Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota
se Sumatera Utara Tahun 1990/91 – 2003...
9
2. Duapuluh empat Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun 2004...
13
3. Historis Undang-Undang Otonomi Daerah Sebelum dan Sesudah Era
Reformasi………... 19
4. Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam Sebelum UU No.25 Tahun
1999 dan UU No.32 Tahun 1956………...
21
5. Sumber Penerimaan Daerah Menurut UU No.32 Tahun 1956 dan UU
No.25 Tahun 1999...
22
6. Porsi Pengeluaran dan Pengeluaran Lokal terhadap Nasional pada
Negara Berkembang dan Negara Lain Tahun 1990-an………
23
7. Pajak dan Retribusi Daerah Menurut UU No.34 Tahun 2000………
24
8. Jenis Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota………
32
9. Pembagian Blok dan Persamaan dalam Model Ekonometrika
Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara...…
82
10. Data Fiskal dan Makroekonomi dan Sumber data……….
102
11. Perbandingan
PDRB
Sumatera
Utara dan Indonesia Tahun
1990-2003………...
105
12. Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Sektoral Sumatera Utara Tahun
13. Struktur
Perekonomian
Sumatera Utara Tahun 1990-2003……...
108
14. Penerimaan
Pemerintah
Daerah
Propinsi Sumatera Utara Tahun
1990/1991-2003……….
15. Penerimaan, PAD dan Dana Perimbangan Pemerintah Daerah
Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003………
117
16. Perkembangan Dana Perimbangan Pemerintah Daerah Propinsi
Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003………...……….
118
17. Pendapatan Asli Daerah, Pajak Daerah, Retribusi, Laba BUMD,
dan PAD Lain Pemerintah Daerah Propinsi Tahun 1990/1991-2003..
120
18. Perkembangan Pengeluaran Total, Rutin dan Pembangunan
Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara 1990/1991-2003……..
122
19. Perkembangan Rasio Pengeluaran Rutin dan Pembangunan
Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara 1990/1991-2003……....
123
20. Belanja Pegawai, Non Belanja Pegawai, Angsuran Hutang,
BantuanKeuangan, dan Belanja Tak Jelas Pemerintah Daerah
Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003…………...
125
21. Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Bidang Ekonomi dan
Sosial Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun
1990/1991-2003……...………...
127
22. Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Utara
Tahun 1990/1991- 2003………
128
23. Penerimaan, PAD, dan Dana Perimbangan Pemerintah
DaerahKabupaten/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/1991- 2003
130
24. Pendapatan Asli Daerah, Pajak Daerah, Retribusi, Laba BUMD,dan
PAD Lain Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Utara
Tahun 1990/1991-2003………..
131
25. Perkembangan Dana Perimbangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota se Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003……..…..
133
26. Perkembangan Pengeluaran Total, Rutin dan Pembangunan
Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003
134
27. Perkembangan Rasio Pengeluaran Rutin dan Pembangunan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Utara Tahun
28. Belanja Pegawai, Non Belanja Pegawai, Angsuran Hutang,
BantuanKeuangan, dan Belanja Tak Jelas Pemda Kab/Kota se
Sumatera Utara Tahun 1990/1991-2003………..
137
29. Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Bidang Ekonomi dan
Sosial Pemerintah Daerah Kab/Kota se Sumatera Utara Tahun
1990/1991-2003……...
139
30. Perkembangan Tingkat desentrallisasi Fiskal Pemda Propinsi dan
Kabupaten/Kota Sumatera Utara 1990/1991-2003...
140
31. Persentase Pengeluaran dan penerimaan Daerah terhadap Pusat di
Berbagai Wilayah 2005...
141
32. Keragaan Umum Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara………
146
33. Hasil Estimasi Perilaku Pajak Daerah……….…..
148
34. Rata-rata Pajak daerah Pemerintah Propinsi dan Kab/Kota se
Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun
1990/1991-2003...
150
35. Peraturan Pajak dan Biaya Pelayanan Yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah di Indonesia Tahun 2000/2001………..
151
36. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Retribusi Daerah (RETRIB)... 151
37. Rata-rata Retribusi Propinsi dan Kabupaten/Kota se Sumatera Utara
sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun 1990/1991-2003...
153
38. Hasil Estimasi Perilaku Dana Alokasi Umum (DAU)... 155
39. Rata-rata Dana Alokasi Umum Propinsi dan Kabupaten/Kota se
Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun
1990/1991-2003...
157
40. Hasil Estimasi Perilaku Bagi Hasil Pajak (BHP)……….. 158
41. Rata-rata Bagi Hasil Pajak Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota se
Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun
1990/1991-2003...
159
43. Rata-rata Pengeluaran Rutin Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota se
Sumatera Utara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal Tahun
1990/1991-2003...
162
44. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Pembangunan (DEVEXP)...
162
45. Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Pemda Propinsi dan
Kabupaten/Kota se Sumatera Utara sebelum dan sesudah
desentralisasi fiskal Tahun 1990/1991-2003...
164
46. Hasil Estimasi Perilaku Pembangunan Infrastruktur di Daerah
(INFRAS) ...
165
47. Hasil Estimasi Perilaku Investasi di Daerah (INVDA)...
168
48. Hasil Estimasi Perilaku Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)...
171
49. Hasil Estimasi Perilaku Kesempatan Kerja...
172
50. Hasil Estimasi Perilaku Inflasi...
174
51. Perkembangan PDRB dan Distribusi Pendapatan Kabupaten dan
Kota di Provinsi Sumatera Utara...
178
52. Dampak Peningkatan BHSDA 15% terhadap Kinerja Fiskal dan
perekonomian daerah...
182
53. Dampak Peningkatan BHP 15% terhadap Kinerja Fiskal dan
perekonomian daerah...
184
54. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum 10% terhadap Kinerja
Fiskal dan perekonomian daerah...
187
55. Dampak Peningkatan Pajak Daerah 15% terhadap Kinerja Fiskal dan
perekonomian daerah...
190
56. Dampak Peningkatan Pajak Daerah 15 % dan Pengeluaran
Pemerintah 0.60% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian
daerah...
193
57. Dampak Peningkatan Retribusi terhadap Kinerja Fiskal dan
perekonomian daerah...
195
58. Dampak Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah
0.48% terhadap Kinerja Fiskal dan perekonomian daerah...
59. Dampak Peningkatan Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Rutin
1.25% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah...
199
60. Dampak Peningkatan PAD 10% dan Pengeluaran Pembangunan
2.38% Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah...
201
61. Dampak Realokasi Anggaran Rutin 20% menjadi Anggaran
Pembangunan 38.1 % Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian
Daerah...
203
62. Dampak Peningkatan Upah 10% terhadap Kinerja Fiskal dan
perekonomian daerah...
205
63. Dampak Peningkatan Infrastruktur 20% terhadap Kinerja Fiskal dan
perekonomian daerah...
206
64. Dampak Peningkatan Upah 10 % dan Infrastruktur 20% Terhadap
Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah……….…………..
208
65. Dampak Peningkatan Investasi 20 % Terhadap Kinerja Fiskal dan
Perekonomian Daerah………..
210
66. Dampak Peningkatan Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi
20% Terhadap Kinera Fiskal dan Perekonomian Daerah...
211
67. Hasil Peramalan Peubah endogen tanpa kebijakan di Kabupaten...
217
68. Hasil Peramalan Peubah Endogen tanpa kebijakan di Kota...
219
69. Peramalan Dampak Peningkatan BHSDA 15% terhadap Kinerja
Fiskal dan Perekonomian Daerah...
221
70. Peramalan Dampak Peningkatan DAU 10% terhadap Kinerja Fiskal
dan Perekonomian Daerah...
223
71. Peramalan Dampak Peningkatan Peningkatan Pajak Daerah 15% dan
Pengeluaran Pemerintah 0.60% terhadap Kinerja Fiskal dan
Perekonomian Daerah...
224
72. Dampak Peningkatan Retribusi 15% dan Pengeluaran Pemerintah
0.48% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah...
225
73. Peramalan Dampak Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran Rutin
2.50% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah...
74. Peramalan Dampak Peningkatan PAD 20% dan Pengeluaran
Pembangunan 4.76% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian
Daerah...
228
75. Peramalan Dampak Realokasi Anggaran Rutin20%menjadiAnggaran
Pembangunan 38.1.% terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian
Daerah...
230
76. Dampak Peningkatan Upah 20% dan Infrastruktur 20% terhadap
Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah...
231
77. Peramalan Dampak Peningkatan Infrastruktur 20 % dan Investasi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Prosedur Penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum) 2001...
42
2.
Prosedur Penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum) 2002...
44
3.
Desentralisasi Fiskal, Peranan Negara dan Kinerja Perekonomian...
51
4.
Tahapan Membangun Model Desenralisasi Fiskal...
80
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Prosedur Penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum) 2001...
42
2.
Prosedur Penyusunan DAU (Dana Alokasi Umum) 2002...
44
3.
Desentralisasi Fiskal, Peranan Negara dan Kinerja Perekonomian...
51
4.
Tahapan Membangun Model Desenralisasi Fiskal...
80
Nomor Halaman
1. Keterangan Variabel dalam Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara... 247 2. Data Fiskal dan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera
Utara Tahun 1990-2003... 249 3. Program Komputer Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera
Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metoda
2SLS………...… 309
4. Hasil Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metoda 2SLS………... 311
5. Program Komputer Validasi Model (Kabupaten) Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton...……….. 320 6. Contoh Hasil Validasi (Kabupaten) , Model Desentralisasi Fiskal
Sumatera Utara Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton……….…………. 321 7. Program Komputer Simulasi Model (Kabupaten), Skenario
Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebesar 10% Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton………...
323
8. Contoh Hasil Simulasi Model (Kabupaten), Skenario Peningkatan Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebesar 10% Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metoda Newton…..…. 325 9 Simulasi, Uraian-Penjelasan dan Justifikasinya... 327
11. Kinerja Fiskal Total dan Rata-Rata Kabupaten dan Kota Tahun 1990- 2003... 331 12. Hasil Validasi Model Desentralisasi Fiskal Kabupaten dan Kota... 332
13. Hasil Estimasi Kinerja Fiskal dan Perekonomian Nasional dan Beberapa Daerah di Indonesia……… 333
14. Ringkasan Hasil Estimasi Model Desentralisasi Fiskal Sumatera Utara... 339
15. Ringkasan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Fiskal dan Ekonomi Daerah Sumatera Utara Tahun 1990-2003... 341
16. Skenario Peramalan dan justifikasi pilihan skenario... 345
17. Ringkasan Peramalan Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara Tahun 2006-2008…. 347
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Sejarah pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pemerintahan Orde
Baru telah membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan
menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat proses
pembangunan di berbagai bidang, terutama dalam bidang ekonomi. Dalam
kerangka stabilitas tersebut pemerintah membangun struktur terpusat atau struktur
yang sentralistis.
Usaha pembangunan yang sentralistis ternyata tidak menghasilkan suatu
pembangunan yang merata. Pembangunan lebih didominasi oleh pusat dan
begitu juga halnya di daerah tingkat satu, pembangunan didominasi di kota
provinsi dan hanya sebagian kecil yang menyentuh kabupaten dan juga antar
kabupaten tidak terlihat adanya suatu pemerataan pembangunan. Terjadinya
kepincangan dalam perolehan pembangunan antar wilayah dan terpusatnya sarana
dan prasarana ekonomi di pusat dan di provinsi merupakan faktor utama yang
mendorong meningkatnya tuntutan otonomi dalam mengelola daerahnya sendiri
dan hal ini yang menyebabkan baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II
ingin membentuk pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota yang baru.
Perkembangan beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa
masyarakat menuntut hasil pembangunan yang lebih merata dan mengharapkan
agar potensi yang dimiliki daerah dimanfaatkan secara maksimal untuk
kemaslahatan daerah. Untuk merespon keinginan tersebut pemerintah
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah1. Melalui
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, berdasarkan prinsip otonomi, daerah diberikan
wewenang yang luas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penyerahan
kewenangan dari pusat ke daerah diikuti juga dengan penyerahan kewenangan
pembiayaan bagi penyelenggaraan pemerintahan kepada daerah. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah, menuntut kemandirian daerah dalam
menggerakkan roda pembangunan wilayahnya masing-masing, baik dari segi
perencanaan, pembiayaan maupun pelaksanaannya. Partisipasi aktif masyarakat
dalam pembangunan tersebut secara langsung berpotensi untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dengan
demikian prioritas pembangunan di setiap daerah lebih dititikberatkan pada
konsep bottom-up planning yang berpedoman pada kebutuhan daerah dengan mengacu pada potensi dan kemampuan daerah yang bersangkutan.
Desentralisasi fiskal memberikan kebebasan kepada daerah untuk
menyusun sendiri program-program kerja dan merealokasikan anggaran sesuai
dengan kebutuhan dan kapasitas daerah. Esensi dari perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah ini sesungguhnya adalah distribusi sumber
daya keuangan (financial sharing) yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah, mengurangi kesenjangan antar
daerah dalam kemampuan membiayai otonominya dan untuk menciptakan sistem
1 . Kedua Undang-Undang diatas telah direvisi masing-masing menjadi Undang-Undang No.32
pembiayaan yang adil, proporsional, rasional serta kepastian sumber keuangan
yang berasal dari wilayah yang bersangkutan. Dengan adanya desentralisasi fiskal
diharapkan nantinya pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk
memenuhi pelayanan publik yang dibutuhkan, membangun sarana perekonomian
serta dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya sehingga pada
akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat
meresponnya dalam dua hal yang berbeda yaitu (1) lebih memusatkan perhatian
pada usaha memperbesar penerimaan (revenue side) melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang belum
optimal melalui bagi hasil, atau (2) lebih berorientasi pada peningkatan
efektifitas sisi pengeluaran (expenditure side) untuk menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik bagi daerahnya.
Dari sudut pemerintahan daerah, pendekatan yang didasarkan pada
penerimaan (revenue side) akan menguntungkan bagi daerah yang relatif kaya dengan sumber daya alam dan daerah dengan basis pajak yang besar, tetapi akan
menjadi suatu beban pada daerah yang miskin. Dengan demikian desentralisasi
fiskal yang didasarkan pada bagi hasil akan menyebabkan disparitas kapasitas
diantara daerah-daerah.
Menurut CESS (2001), pada saat ini sebagian besar kota dan kabupaten di
Indonesia merespon desentralisasi fiskal secara tidak tepat dengan menggenjot
kenaikan PAD melalui pajak dan retribusi tanpa diimbangi dengan peningkatan
perdagangan dan investasi tingkat daerah, yang pada gilirannya akan menurunkan
pendapatan daerah, dan kesempatan kerja. Padahal pada masa pemulihan
ekonomi daerah yang saat ini sedang berlangsung, aktivitas perdagangan dan
investasi lokal merupakan mesin penggerak pertumbuhan. Menurut Brojonegoro,
et al (2001), modal merupakan komponen penting dalam pembangunan daerah di
Indonesia dan berdasarkan hasil estimasi model pertumbuhan antar daerah yang
dilakukannya, modal memberikan sumbangan sekitar 80 persen. Daerah dengan
modal yang lebih besar akan diuntungkan dalam proses produksi. Dengan
demikian disparitas kapasitas fiskal antar daerah akan mengakibatkan disparitas
kepemilikan modal, dan pada gilirannya ketidakmerataan kepemilikan modal baik
antar individu maupun antar daerah merupakan salah satu penentu kesenjangan
produksi dan distribusi pendapatan antar daerah.
Sebagai implementasi dari Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah maka melalui
Keputusan Presiden nomor 181 tahun 2000 tentang Dana Alokasi Umum daerah
provinsi dan kabupaten/kota tahun anggaran 2001 telah ditetapkan besarnya DAU
untuk masing-masing kota/kabupaten. Salah satu tujuan keberadaan DAU dalam
sistem perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah adalah sebagai
equalization grant, terutama untuk menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh transfer lain, yaitu Bagi Hasil Sumber Daya Alam dan Bagi Hasil Pajak. Salah
satu tolak ukur keberhasilan DAU adalah tercapainya pemerataan total
penerimaan daerah per kapita yang sebaik-baiknya. Selanjutnya sebagai dana
Alam) pemerintah pusat juga memberikan transfer kepada Pemerintah daerah
berupa DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus Dana Alokasi
Umum. Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tersebut disebut
juga bahwa DAU merupakan bantuan yang bersifat block (block grant), yaitu penggunaannya bebas ditentukan oleh daerah sendiri, sedangkan penggunaan
Dana Alokasi Khusus digunakan sesuai prioritas nasional. Pengalokasian Dana
Alokasi Umum adalah untuk belanja rutin dan belanja pembangunan, sedangkan
Dana Alokasi Khusus adalah untuk prioritas nasional harus dimanfaatkan dan
dikelola secara optimal, sehingga desentralisasi fiskal bisa efektif dan efisien di
setiap daerah.
Tuntutan reformasi, khususnya tentang desentralisasi fiskal di Indonesia,
dulu maupun sekarang sebenarnya lebih bermuatan politis dibanding ekonomis.
Sehingga justifikasi politik, lebih kuat daripada justifikasi ekonomi (
Simajuntak,20012). Oleh sebab itu keraguan berbagai pihak termasuk Bank Dunia
akan kesuksesan desentralisasi itu sangat beralasan. Bank Dunia (20033),
melansir empat faktor penyebab ketidaksuksesan implemetasi desentralisasi
fiskal di daerah di Indonesia, yaitu (1) bentuk pendelegasian yang belum jelas, (2)
akuntabilitas pemerintah daerah, (3) ketidaksiapan sumber daya manusia, dan (4)
sistem politik . Di berbagai belahan daerah di Indonesia fenomena yang
dikemukakan oleh Bank Dunia tadi memang jamak ditemukan. Menurut
Prud’homme (1995), program desentralisasi fiskal mirip dengan resep dan
2 Harian Kompas ,10 Desember 2001
obatan. Bila resep sesuai dengan penyakit, diberikan pada waktu yang tepat dan
takaran dosis yang sesuai akan menghasilkan efek yang baik. Namun bila situasi
dan kondisi tidak tepat, maka resep bisa berbahaya , bahkan fatal. Bahayanya
adalah (1) meningkatnya disparitas (kesenjangan) antar daerah ; karena adanya
penyerahan wewenang dari pusat ke daerah , maka redistribusi secara nasional ,
yang adalah tugas pemerintah pusat, menjadi lebih sulit tercapai, (2) goyahnya
sendi-sendi stabilitas ekonomi makro; karena program desentralisasi fiskal ini
menyebabkan kebijakan ekonomi makro, yang adalah juga tugas pemerintah pusat
(by sentral government) lebih sulit dilaksanakan ditataran pemerintah daerah (by
local government).
Untuk menghindari bahaya-bahaya tersebut Prud’homme (1995)
mengingatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam program desentralisasi
fiskal. Antara lain (1) menentukan secara benar suatu bentuk pelayanan yang
disediakan oleh pemerintah pusat atau daerah dan (2) juga menentukan cara-cara
mengorganisir produksi jasa bersama (joint product) pada berbagai tingkatan pemerintahan. Cara-cara seperti itu jika didesain secara benar dan
diimplementasikan secara baik, secara signifikan akan meningkatkan efisiensi
disektor publik.
Selain daripada itu, Bird dan Vaillacourt (2000) juga mengingatkan bahwa
program desentralisasi fiskal itu lebih bersifat normatif. Artinya desain
desentralisasi fiskal yang serupa untuk negara yang berbeda dapat menghasilkan
efek yang tidak saja beda tapi berlawanan. Sebaliknya desain desentralisasi yang
sama (kasus: Tunisia dan Marokko) memberikan hasil yang berbeda-beda.
Perbedaan output desentralisasi tersebut, ternyata tergantung pada perbedaan
kondisi kelembagaan diantara negara-negara tersebut. Kondisi kelembagaan
(norma, adat, law inforcement, organisasi) yang relatif berbeda-beda dan beragam antar daerah akan menyebabkan efektivitas desentralisasi akan berbeda pula antar
daerah.
Desain desentralisasi fiskal Indonesia, yang menurut Bank Dunia (2005)
adalah salah satu yang terbaik di dunia, namun dibuat berlaku umum untuk
seluruh wilayah Indonesia. Sebagaimana diketahui kondisi objektif setiap daaerah
berbeda satu sama lain. Motivasi politik dan aturan-aturan serta syarat-syarat yang
harus dipenuhi, serta kesiapan antar daerah juga berbeda-beda. Oleh sebab itu
pula maka respon antar daerahpun akan berbeda terhadap desentralisasi fiskal.
Sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Prud’ Homme (1995), jika setiap daerah
mendapat ”dosis” desentralisasi dan waktu implementasi yang tidak tepat, maka
tujuan desentralisasi fiskal dikhawatirkan tidak terpenuhi.
1.2. Perumusan Masalah
Dengan berlakunya otonomi daerah, pemerintah daerah memperoleh
kesempatan untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan kebutuhan
daerah. Pemerintah daerah juga dituntut tidak hanya kebebasannya namun juga
kemampuannya untuk mengalokasikan penerimaan daerah secara efektif dan
efisien untuk membiayai kegiatan rutin dan pembangunan yang memberikan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu pemerintah daerah juga dituntut
asli daerah. Pemahaman tentang hal tersebut menjadi penting karena secara
faktual kemampuan daerah untuk membiayai pembangunannya memang relatif
kecil.
Menurut Simanjuntak (2003)4, hanya sebagian kecil saja provinsi dan
(apalagi) kabupaten /kota yang mampu membiayai secara signifikan APBD-nya
dengan PAD. Akan halnya SDA kondisi objektif yang sangat menentukan adalah
tidak meratanya sebaran SDA di wilayah Republik Indonesia. Konsekuensinya
hanya daerah tertentu (Aceh, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua) yang bisa
menikmati bagian signifikan dari bagi hasil ini, sementara mayoritas daerah
lainnya hanya kebagian sedikit. Sebanyak 75% BHSDA hanya dinikmati oleh 35
kabupaten/kota di Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Papua. Sementara untuk
bagi hasil pajak , yang dibagikan adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) , Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh)
perseorangan.
Sebagaimana halnya PAD, pajak pusat yang dibagihasilkan juga
cenderung lebih potensial di perkotaan . Yang agak ekstrim adalah bagi hasil PPh
perorangan secara nasional sebesar Rp.2.8 triliun tahun 2003, separuhnya
(Rp.1.45 triliun) adalah untuk DKI Jakarta. Akibat pengaturan yang demikian,
persoalan ketimpangan antar daerah menjadi persoalan yang serius.
Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten dan Kota se Provinsi
Sumatera Utara masing-masing memiliki Pendapatan Asli Daerah yang kecil
relatif terhadap pengeluarannya. Kemampuan itu berkisar antara 20% hingga
60% pada pemerintah provinsi dan berkisar antara 10% hingga 20% pada
pemerintah daerah kabupaten dan kota. Bahkan pada tingkat kabupaten dan kota
kemampuan menghimpun PAD tersebut semakin mengecil pada beberapa tahun
terakhir. Tabel 1 menunjukkan perkembangan kemampuan atau potensi fiskal
daerah provinsi dan kabupaten/kota di Sumatera Utara selama periode 1990-2003.
Tabel 1. Perkembangan Potensi Fiskal Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota se SUMUT Tahun 1990/91-2003
Tahun Provinsi Kabupaten Pengeluaran (Ribu Rp) PAD (Ribu Rp) Rasio (%) Pengeluaran (Ribu Rp) PAD (Ribu Rp) Rasio (%)
Sebelum Desentralisasi Fiskal
1990/1991 313923761 64659592 0.2 261786352 40525313 0.2 1991/1992 336880196 65384258 0.2 322574296 45264409 0.1 1992/1993 383137767 70204556 0.2 345895248 54446459 0.2 1993/1994 458581800 84768176 0.2 416747673 59438835 0.1 1994/1995 515626870 124141384 0.2 432262722 73970659 0.2 1995/1996 584008535 156859078 0.3 549695391 90181552 0.2 1996/1997 660854180 171953970 0.3 649881045 106263739 0.2 1997/1998 771030141 212842681 0.3 827943837 115822466 0.1 1998/1999 342560028 122888667 0.4 1305036167 102897500 0.1 1999/2000 449051978 187597434 0.4 1670089793 125367792 0.1
2000 416772647 255078480 0.6 1624004134 124223357 0.1
Sesudah Desentralisasi Fiskal
2001 916215529 423075216 0.5 3851466675 221182644 0.1
2002 972236346 440591435 0.5 4922340686 296923216 0.1
2003 1034321804 621017539 0.6 6128275604 456574133 0.1
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Memang berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
meningkatkan kemampuan fiskalnya (mengurangi ketergantungan terhadap
pemerintah pusat). Pemerintah Kotamadya Medan misalnya pada tahun 2001
bagian dari parkir, reklame dan airport tax dari P.T. Angkasa Pura II. Sedangkan pemerintah daerah Dairi melalui upaya perolehan sumbangan pihak ketiga,
penyertaan modal dan penerimaan sewa air dari PLTA. Tindakan tersebut berhasil
meningkatkan pajak dan retribusi daerah sebesar 57% (CESS 2001).
Dalam hal usaha–usaha peningkatan PAD dengan cara seperti diatas bukan
tanpa masalah. Pemerintah daerah sering dihadapkan pada suatu dilema antara
meningkatkan PAD atau merecovery perekonomian yang lesu . Dalam usaha –
usaha pemungutan pajak (tax effort) untuk meningkatkan PAD tersebut
pemerintah daerah sering mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA), sebagai
dasar hukum untuk memungut berbagai pajak dan retribusi, justru bersifat
kontraktif terhadap perekonomian, apalagi dalam kondisi perekonomian yang
lesu. Disatu sisi pemerintah daerah ingin menunjukkan ’keotonomiannya” dengan
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Padahal menurut buku teks
makroekonomi, kondisi perekonomian yang lesu justru tidak layak dipajakin
karena akan menyebabkan ekonomi semakin kontraktif (lesu). Pada gilirannya
kontraksi perekonomian akan menyebabkan menurunnya pendapatan daerah,
pengangguran dan meningkatkan tingkat harga-harga umum. Namun jika
pungutan tadi (Pendapatan Asli Daerah) dikembalikan kepada perekonomian
dalam bentuk belanja pembangunan dan belanja rutin dengan benar, secara
keseluruhan akan terjadi pertumbuhan ekonomi, karena secara makro ekonomi
efek ganda (multiplier effect) dari pengeluaran pemerintah lebih besar dari efek ganda pajak (Branson 1981; Blancard 1997; Hall and Taylor 1993 ; Dornbush
dituntut syarat kehati-hatian dan selektifitas yang tinggi. Syarat utama
penggunaan anggaran adalah menuruti preferensi dan kebutuhan masyarakat,
bukan menurut preferensi dan kebutuhan pejabat daerah sebagai mana yang
banyak terjadi. Istilah ”korupsi berjamaah” (suatu istilah yang tidak tepat,karena
berjamaah biasanya untuk berbuat kebaikan) adalah suatu ungkapan ironis tentang
kerjasama eksekutif dan legislatif daerah dalam penggunaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara tidak benar. Penyimpangan
penggunaan anggaran pemerintah sebagaimana diketahui banyak pihak telah
berdampak buruk pada kualitas kesehatan, pendidikan dan pemerataan pendapatan
antara daerah.
Menurut Yudoyono (2001), ketika Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat menetapkan kebijakan otonomi daerah secara luas dalam Undang-undang
No.22 tahun 1999, beberapa daerah tampak terkejut dan meragukan
kemampuannya sendiri untuk dapat melaksanakan amanat tersebut. Dua aspek
yang melatarbelakangi keraguan tersebut adalah (1 ) kemampuan menghimpun
PAD dan (2 ) kualitas sumber daya manusia. Keraguan akan keterbatasan
(sumber daya manusia dan sumber daya alam ) juga menjadi persoalan utama
dihadapi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur
(NTT) di era otonomi 5.
Dalam otonomi, daerah dituntut kreatifivitas dan inovasi dalam mengelola
urusan rumah tangganya. Dalam hubungan ini ketersediaan sumberdaya manusia
yang berkualitas menjadi syarat perlu, khususnya ketersediaan sumberdaya
manusia pada Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPRD). Aparatur Pemerintah Daerah adalah pelaksana kebijakan publik,
sedangkan anggota DPRD adalah aktor politik yang mewakili rakyat di lembaga
legislatif daerah yang mampu membawa aspirasi rakyat (bukan ”aspirin” ).
Ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam hal
kemampuan fiskal dan keterbatasan ketersediaan sumberdaya manusia yang
umumnya terdapat di berbagai belahan daerah di Indonesia juga ditemui di
Sumatera Utara. Pemerintah Daerah Sumatera Utara menyadari keterbatasan
kemampuan keuangannya dan mutu sumberdaya manusianya. Kesadaran
tersebut terbukti dan tertuang pada program pembangunan daerah, (PROPEDA)
Sumatera Utara 2001-2005. Beberapa tujuan pembangunan utama dalam
PROPEDA tersebut adalah (1) memberdayakan usaha kecil dan menengah
koperasi dan juga BUMD agar lebih produktif dan efisien sehingga mampu
memberi kontribusi yang semakin tinggi kepada pendapatan daerah, (2)
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia guna mewujudkan good governance.
Tujuan Penelitian.
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan diatas, maka tujuan
penelitian ini akan lebih difokuskan untuk menjawab pertanyaan berikut;
1. Mengevaluasi kinerja fiskal Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara
sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal
2. Mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Fiskal dan
3. Mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal
dan Perekonomian Daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara tahun
1990-2003.
4. Meramalkan dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian
kabupaten dan kota di Sumatera Utara tahun 2006-2008 .
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Data yang digunakan adalah Panel Data (pooled data) 1990-2003 dengan wilayah penelitian adalah seluruh kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara.
Saat ini ada 24 Kabupaten /kota di Sumatera Utara (Tabel 2).
Tabel 2. Dua puluh empat Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara Tahun 2004
Kabupaten Induk
Kabupaten
Baru Kota
1 Nias 1 Nias 1 Sibolga
2 Nias Selatan 2 T. Balai
2 Tap. Selatan 3 Tap. Selatan 3 P. Siantar
4 Mand. Natal 4 T. Tinggi
3 Tap. Tengah 5 Tap.Tengah 5 Medan
4 Tap. Utara 6 Tap. Utara 6 Binjai
7 Toba Samosir 7 P. Sidimpuan
8 Humbang. H
5 Asahan 9 Asahan
6 Labuhan Batu 10 Labuhan Batu
7 Deli Serdang 11 Deli Serdang
12 Serdang Bed
8 Simalungun 13 Simalungun
9 Karo 14 Karo
10 Dairi 15 Dairi
16 Pakpak Bharat
11 Langkat 17 Langkat
Dua diantaranya adalah kabupaten hasil pemekaran tahun 1998 yang lalu,
yakni Kabupaten Mandailing Natal sebagai pemekaran dari Kabupaten Tapanuli
Selatan, dan Kabupaten Toba Samosir sebagai pemekaran dari Tapanuli Utara.
Tiga kabupaten adalah hasil pemekaran pada tahun 2003, yaitu Kabupaten Nias
Selatan sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Nias, Kabupaten Humbang
Hasundutan sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir, dan
Kabupaten Pakpak Bharat adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi. Tahun
2004 Kabupaten Deli Serdang dimekarkan menjadi Kabupaten Deli Serdang dan
kabupaten Serdang Bedagei. Padang Sidempuan menjadi kota otonomi sejak
tahun 2004.
Namun dalam penelitian ini kabupaten/kota dikelompokkan menjadi
”hanya” 17 kabupaten/kota, untuk menyesuaikan kondisi objektif hingga pada
tahun 1990. Oleh sebab itu, seluruh kabupaten/kota yang dimekarkan sesudah
tahun 1990 akan ”digabung” dengan kabupaten ”induknya”. Kabupaten
Mandailing Natal digabung kedalam Kabupaten Tapanuli Selatan . Kabupaten
Toba Samosir dan Humbang Hasundutan digabung kedalam Tapanuli Utara.
Kabupaten Nias Selatan digabung dengan Kabupaten Nias, dan Kabupaten
Pakpak Bharat digabung dengan Kabupaten Dairi, Serdang Bedagei digabung
dengan Deli Serdang, Kota Padang Sidempuan digabung dengan Kabupaten
Tapanuli Selatan.
Penelitian lebih pada menganalisis implikasi ekonomi dari kebijakan
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi dan
mungkin muncul , serta perubahan perilaku pemerintah daerah dan masyarakat
berada di luar jangkauan penelitian ini.
Kinerja fiskal dilihat dari fluktuasi penerimaan dan pengeluaran
pemerintah daerah, perubahan alokasi anggaran pembangunan maupun rutin
ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.
PDRB selama periode penelitian digunakan sebagai indikator untuk
kinerja perekonomian. Stabilitas ekonomi dilihat dari fluktuasi tingkat harga dan
kesempatan kerja. Laju perubahan tingkat harga merupakan indikator laju inflasi.
Jumlah orang yang bekerja digunakan sebagai indikator kesempatan kerja.
Distribusi pendapatan dilihat dari perbedaan relatif PDRB per kapita antar
kabupaten dan kota selama periode penelitian. Koefisien variasi (coeficient
variation) digunakan sebagai indikator tingkat distribusi pendapatan antara kabupaten dan kota.
Diduga dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian akan berbeda
antar daerah karena respon dan kesiapan antar daerah berbeda (kemampuan
menghimpun PAD dan ketersediaan sumberdaya manusia). Analisis juga akan
melihat perbedaan dampak kebijakan desentralisiasi fiskal (terhadap kinerja
fiskal, PDRB, stabilitas ekonomi, dan distribusi pendapatan) antar Daerah
Kabupaten dan Daerah kota,
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut;
1. Dapat melihat dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal terhadap
ini dan masa mendatang
2. Masukan bagi Pemda Sumatera Utara , dan pemerintah pusat dalam Kebijakan
Makroekonominya, khususnya mengenai implemetasi otonomi daerah
3. Sumbangan akademis dalam penelitian khususnya bidang desentralisasi fiskal
Di Indonesia
1.6. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan terutama karena ketersediaan data
untuk masing-masing kabupaten dan kota. Hal tersebut berakibat pada formulasi
model yang dibangun memiliki keterbatasan sebagai berikut:
1. Model yang dibangun adalah model ekonomi tertutup karena ketiadaan data
ekspor-impor kabupaten dan kota.
2. Model yang dibangun tidak memasukkan data alokasi dana dekonsentrasi
karena keterbatasan data dana dekonsentrasi untuk kabupaten dan kota.
3. Penelitian ini terbatas pada studi regional kabupaten dan kota se Sumatera
Utara, sehingga tidak dapat melihat dampak perekonomian daerah terhadap
perekonomian nasional.
4. Dalam penelitian ini Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah yang menjadi rujukan adalah UU No.25 Tahun 1999.
Walau UU tersebut sudah direvisi menjadi UU No.33 Tahun 2004 namun
baru akan diemplementasikan dan mengikat secara nasional mulai 1 Januari
2006. Sehingga perubahan-perubahan yang ada pada UU yang baru itu tidak
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Desentralisasi: Napak Tilas
Desentralisasi, yang bergema kembali sejak reformasi tahun 1998, yang
terkenal dengan otonomi daerah sesungguhnya secara konstitusional sudah ada
sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945. Pasal 18 UUD 1945 berbunyi ; “
pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”, adalah salah satu
bukti dan landasan penting otonomi daerah.
Untuk mengakomodir amanat konsitutusi tentang desentralisasi tersebut,
pemerintah Orde Lama, dan Orde Baru, hingga kini telah mengeluarkan berbagai
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah antara lain :
1. Undang-undang No.32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah
2. Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok –Pokok Pemerintah di
Daerah
3. Berbagai Peraturan Pemerintah, yang mengatur INPRES, seperti; (a).
INPRES Desa mulai tahun 1969, (b). INRES Dati I, II (1974), (c). INPRES
SD (1973), (d). INPRES Kesehatan (1974), (e). INPRES Penghijauan (1976),
(f). INPRES Pasar (1976), (g). INPRES Peningkatan Jalan Provinsi (1979),
(h). INPRES Desa Tertinggal (1994/95). Tiga faktor penting dalam alokasi
INPRES adalah (1) Jumlah penduduk, (2) Panjang Jalan, (3) Luas Daerah.
Selain itu dalam periode 1965 – 1974 itu ada juga berbagai jenis transfer
pemberian Subsidi Perimbangan Keuangan, yang diberikan murni berdasarkan
beban gaji pegawai negeri daerah, dikenal dengan SDO ( Mahi dan Adriansyah
(2002).
Sejak tahun anggaran 1972/73 sistem SDO (subsidi daerah otonom) kembali
diberlakukan . Besaran SDO dialokasikan 2/3 untuk provinsi, sisanya 1/3 untuk
dati II. Besarnya SDO ke provinsi karena pembayaran sebagian gaji pegawai
(pegawai daerah otonom, pegawai diperbantukan, pegawai dipekerjakan, dan
honor) dibayarkan di provinsi.
Bantuan INPRES mulai diberlakukan tahun 1969. INPRES dimaksudkan
untuk membiayai pembangunan di daerah. Dasar pemberiannya adalah adanya
penyerahan sebagian urusan kepada daerah, dan untuk membiayai urusan-urusan
tersebut. Beberapa tujuan program INPRES adalah; (a) mencapai pemerataan
kesempatan kerja, (b) pemerataan berusaha, (c) pemerataan hasil pembangunan
dan (d) pemerataan partisipasi dalam pembangunan.
Berdasarkan uraian diatas, isu desentralisasi di Indonesia bukanlah masalah
baru, namun sebagai isu lama dengan pendekatan baru ( Lewis 2001: ;Tambunan
dan Seldayo 1999 ; Smoke and Lewis 1996).
Menurut Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 , penyelenggaraan
otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas , nyata
dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang
berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi daerah
pemerintahan. Implikasi langsung dari pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah adalah desentralisasi fiskal. Artinya pelimpahan
wewenang (otonomi daerah) diikuti dengan pelimpahan pembiayaan (otonomi
[image:49.612.131.509.230.691.2]keuangan), atau yang dikenal dengan istilah “money follows function”.
Tabel 3. Historis Undang-Undang Otonomi Daerah sebelun dan sesudah Orde Reformasi di Indonesia
No Undang-Undang Tekanan Pada
1 UU No.22 Tahun 1948
Daerah dibagi menjadi;
a. Daerah Otonom dan daerah Istimewa
Pemerintah terdiri dari;
b. Provinsi, Kabupaten, Kota dan Desa
Otonom Yang Dapat Mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
2 UU No.44 Tahun 1950
Daerah dibagi menjadi;
• Daerah, Daerah Bagian dan Daerah
Anak Bagian
UU Pemda Indonesia Timu dan Daerah Otonom
3 UU No.1 Tahun 1957
Daerah dibagi menjadi;
• Daerah Tingkat I, Provinsi Kotapraja
Jakarta Raya
• Daerah Tingkat II/Kabupaten
• Daerah Tingkta III
Otonomi Riil
4 UU No.18 Tahun 1965
Pemerintah Daerah terdiri;
• Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan
Otonomi riil dan seluas-luasnya
5 UU No.5 Tahun 1974
Pemerintah Daerah terdiri dari:
• DPRD dan Kepala Daerah
• Kepala Daerah Penguasa Tunggal
• Kepala Daerah bertanggung jawab
kepada Presiden bukan DPRD
Otonomi Nyata dan Bertanggung jawab
6. UU No.22 Tahun 1999
Pemerintah Daerah terdiri dari:
• Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah
beserta Perangkat Daerah otonom
• Pemerintah Daerah Otonom dan DPRD
adalah peyelenggara pemerintah menurut azas desentralisasi
Otonomi nyata, luas dan bertanggungjawab
7 UU No.32 Tahun 2004 (Revisi dari UU no.22
/1999
Pemerintah Daerah terdiri dari:
• Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah
beserta Perangkat Daerah otonom
• Pemerintah Daerah Otonom dan DPRD
adalah peyelenggara pemerintah menurut azas desentralisasi
Otonomi nyata, luas dan bertanggungjawab
Desentralisasi Fiskal dititikberatkan kepada daerah kabupaten dan kota,
atau daerah tingkat dua (Dati II), menurut istilah UU No.14 tahun 1974.
Desentralisasi fiskal ini memberi kabupaten dan kota kewenangan dan
keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan
aspirasi masyarakat. Landasan operasional Desentralisasi Fiskal adalah:
1. Undang-Undang No.22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, yang
mengatur desentralisasi politik dan
2. Undang-Undang No. 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPPD), yang mengatur desentralisasi fiskal .
Dengan diundangkannya kedua Undang-undang ini, maka bertambah
panjanglah deretan undang-undang ataupun aturan-aturan yang pernah mengatur
tentang otonomi di Indonesia (Tabel 3).
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memberikan dampak yang relatif
besar terhadap keuangan daerah, khususnya dari sisi penerimaan dan wewenang
alokasi penggunaannya. Penerimaan yang dikelola langsung oleh pemerintah
daerah baik jenis dan jumlah maupun wewenang penggunaannya semakin besar.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) misalnya, sekarang pembagiannya menjadi 90%
dialokasikan untuk daerah dan sisanya 10% untuk pusat. Jenis penerimaan lain
seperti Minyak Bumi dan Gas dialokasikan lebih banyak kepada daerah (Tabel 4).
Sejak diberlakukannya UU No.25 Tahun 1999 terjadi perubahan dan
pembagian yang signifikan pada penerimaan daerah jika dibandingkan dengan
undang-undang perimbangan keuangan sebelumya. (UU No.32 Tahun 1956)
sebelumnya seluruh penerimaan dari sektor tersebut tidak dibagikan, artinya
100% masuk kedalam penerimaan pemerintah pusat, dengan UU No.25 Tahun
1999 telah dibagihasilkan ke daerah.
Selain jumlah penerimaaan daerah yang bertambah besar, sumber-sumber
penerimaan daerah telah mengalami perubahan kearah yang lebih baik, dalam arti
basis penerimaan yang semakin luas sebagaimana diterangkan pada Tabel 5.
Tabel 4. Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 (UU-PKPD) dan UU No.32 Tahun 1956
(%)
Jenis Penerimaan
Sesudah Desentralisasi Fiskal Sebelum Desentralisasi
Fiskal
Pusat Prov Kab/
Kota
Saldo Pusat Dati I Dati II
1. Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) 2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 3. Iuran Hasil dan Pemeliharan Hutan (IHPH)
4. Provisi
Sumberdaya Hutan 5. Iuran Tetap Pertambangan Umum (Landrent) 6. Iuran Eksploitasi dan eksplorasi 7. Perikanan 8. Minyak 9. Gas Alam
10.Pajak Penghasilan Perorangan(PPH) 10* 10 20 20 20 20 20 85 70 80 16.2 16 16 16 16 16 - 3 6 8 64.8 64 64 32 64 32 - 6 12 12 ** 10 - 32 - 32 80 6 12 - 10 10 55 55 20 20 100 100 100 100 16.2 16 30 30 16 16 - - - - 64.8 64 15 15 64 32 - - - -
Sumber: UU No.25 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 1956
Keterangan; * , dibagi ratakan kepada kabupaten seluruh Indonesia **, biaya pemungutan PBB
Catatan: Untuk Otonomi Khusus Papua dan NAD Bagi Hasil Minyak dan Gas Alam 70% Daerah, 30% Pusat
Porsi penerimaan dan pengeluaran daerah pun menjadi meningkat
dan pengeluaran masing-masing 24.69% dan 16.62% dari penerimaan dan
pengeluaran nasional. Pada tahun 1994/1995 penerimaan daerah turun menjadi
“hanya” 6.11% dari penerimaan nasional sedangkan pengeluaran naik menjadi
22.97% dari pengeluaran nasional.
Tabel 5. Sumber penerimaan daerah menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 1956 dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999
Keterangan Undang-undang Nomor 32 tahun
1956
Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 Sumber Pendapatan
Daerah
Pasal 3;
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari
− Hasil Pajak Daerah
− Hasil Retribusi Daerah
− Hasil Laba Perusahaan
Daerah
− Lain-lain Hasil Usaha
Daerah yang syah
Pasal 55;
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari
− Hasil Pajak Daerah
− Hasil Retribusi Daerah
− Hasil Laba Perusahaan
Daerah
− Lain-lain Hasil Usaha
Daerah yang syah
Pendapatan Berasal dari Pemerintah
− Sumbangan dari pemerintah
− Sumbangan lain yang diatur
dengan Peraturan PerUndang-undangan
Dana Perimbangan terdiri:
− Bagian dari Pajak Bumi
dan Bangunan
− Bagian dari Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan
− Bagi Hasil Sumber Daya
Alam
− Dana Alokasi Umum
− Dana Alokasi Khusus
Pinjaman Daerah Diberi hak daerah untuk
meminjam
Daerah diberi hak untuk meminjam
Lain-lain
Penerimaan yang syah
Lain-lain Penerimaan yang syah Lain-lain Penerimaan yang
syah
Sumber: 1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
Sedangkan pada tahun 2001, saat awal kebijakan fiskal, persentase
penerimaan daerah menjadi 3.30 % dari penerimaan total nasional, sedangkan
pengeluaran daerah sebesar 27.78 % dari pengeluaran total nasional. Artinya
Porsi penerimaan pajak dan retribusi daerah pun mengalami perubahan,
sebagaimana diatur dengan Undang-undang No.34 tahun 2000 (Tabel 7). Dengan
perubahan sumber-sumber penerimaan daerah serta adanya keleluasaan
penggunaan uang oleh pemerintah daerah, maka daerah dapat melakukan fungsi
pelayanan dengan baik
Tabel 6. Porsi Penerimaan dan Pengeluaran Lokal Terhadap Nasional pada negara berkembang dan Negara lain tahun 1990-an.
(%)
No Negara Penerimaan Pengeluaran
1 2 3 4 5 6 7 Berkembang Transisi OECD (1990-an) Indonesia (1989/1990-an) Indonesia (1994/1995)