• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangan metode yang digunakan adalah response surface methodology dengan rancangan Box Behnken. Tahap ini diawali dengan penetapan komponen proses yang digunakan sebagai variabel tetap dan variabel berubah. Komponen proses yang termasuk ke dalam variabel tetap adalah konsentrasi substrat yang akan diperoleh dari pengujian viskositas tepung koro benguk menggunakan Brookfield Viscometer dan jumlah enzim yang ditambahkan dari uji aktivitas enzim α-amilase. Sedangkan komponen proses yang termasuk dalam variabel berubah adalah suhu, pH, dan waktu likuifikasi. Variabel tetap tidak dimasukkan dalam perancangan design, sedangkan variabel berubah akan menjadi input RSM dan akan dianalisis pengaruhnya terhadap respon.

Perancangan design dimulai dengan menentukan batas atas dan batas bawah dari masing-masing variabel. Variabel suhu ditetapkan pada batas atas 100 °C dan batas bawah 90 °C, variabel pH ditetapkan pada batas atas 6 dan batas bawah 5, sedangkan variabel waktu ditetapkan pada batas atas 60 menit dan batas bawah 20 menit. Program Design Expert® kemudian memberikan rancangan berdasarkan komponen yang terdiri dari tiga faktor atau variabel bebas (x1,x2,x3) dan tiga taraf (-1,0,+1) dengan tiga ulangan

pada titik tengah, dan 15 kombinasi perlakuan, dimana masing-masing hasil perlakuan dianalisis kandungan proteinnya. Variabel bebas (xi) pada percobaan ini adalah suhu

proses likuifikasi (x1) dalam taraf 90 °, 95 °, dan 100 °C, pH substrat tepung koro benguk

(x2) dalam taraf 5.0, 5.5, dan 6.0, dan lama likuifikasi (x3) dalam taraf 20, 40, dan 60

menit. Kombinasi variabel bebas dilakukan untuk mengetahui kondisi optimum terhadap responnya yaitu kandungan protein tepung berprotein tinggi dari koro benguk (Y). Tabel 3 menunjukkan perancangan design untuk mengetahui pengaruh variabel yaitu suhu, pH, dan waktu likuifikasi terhadap respon kadar protein. Hasil pengukuran kadar protein dari masing-masing perlakuan kemudian diolah dengan program Design Expert®. Dari hasil pengolahan program, diperoleh model polinomial yang menunjukkan signifikansi hubungan variabel-variabel terhadap respon. Setelah diperoleh model, kemudian program akan memberikan solusi untuk mencapai respon optimum dengan menentukan titik-titik pada variabel yang telah ditentukan. Tahap terakhir dari proses optimasi ini ialah tahap verifikasi yang dilakukan pada setiap model sesuai prediksi kondisi optimum. Hasil dari likuifikasi pada taraf verifikasi ini dibandingkan dengan hasil prediksi untuk menentukan kelayakan model dalam memprediksi respon.

18

Tabel 3. Rancangan penelitian utama menggunakan response surfacemethodology Box Behnken Program Design Expert ®

2. Pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi

Pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi dilakukan dengan cara menghidrolisis komponen karbohidrat pada tepung koro benguk. Proses yang digunakan adalah likuifikasi. Likuifikasi adalah proses pencairan gel pati yang memiliki viskositas tinggi ke viskositas yang lebih rendah dengan menghidrolisis pati menjadi molekul- molekul yang lebih kecil (oligosakarida atau dekstrin) dengan menggunakan enzim α- amilase. Proses pembuatan diawali dengan melarutkan tepung koro benguk dalam air dengan konsentrasi yang ditentukan dari pengujian viskositas. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH suspensi tepung koro benguk, penambahan enzim, pengaturan suhu proses likuifikasi dan waktu likuifikasi. Nilai suhu, pH, dan lama waktu hidrolisis, didapatkan dari program Design Expert®. Suspensi tepung yang sudah mengalami perlakuan kemudian dinaikkan pH-nya untuk inaktivasi enzim dan diturunkan kembali pH-nya untuk menetralkan warna. Suspensi kemudian didinginkan dan disentrifugasi 3000 rpm selama 15 menit. Setelah itu supernatan dibuang dan endapan diambil untuk dikeringkan menggunakan spray dryer. Tepung berprotein tinggi dalam bentuk bubuk tersebut kemudian diukur kandungan proteinnya sebagai respon.

3. Pengujian kandungan gizi, karakteristik fisikokimia, dan sifat fungsional

tepung berprotein tinggi koro benguk

Tepung koro benguk berprotein tinggi dengan proses paling optimum kemudian dianalisis kandungan gizinya (analisis proksimat), karakteristik fisikokimianya (densitas kamba, warna, aktivitas air), sifat fungsionalnya (kapasitas absorbsi air dan minyak, kapasitas dan stabilitas emulsi, kekuatan gel, kapasitas dan stabilitas busa), serta daya cerna protein in vitro.

Std Suhu (°C) pH Waktu (Menit)

1 90 5 40 2 100 5 40 3 90 6 40 4 100 6 40 5 90 5.5 20 6 100 5.5 20 7 90 5.5 60 8 100 5.5 60 9 95 5 20 10 95 6 20 11 95 5 60 12 95 6 60 13 95 5.5 40 14 95 5.5 40 15 95 5.5 40

19

(1)

C.

TAHAP ANALISIS

1.

Analisis HCN secara kualitatif (AOAC 915.03 tahun 2005)

Sampel ditimbang sebanyak 20 gram lalu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 200 ml, lalu ditambahkan 50 ml larutan buffer sitrat. Kertas pikrat sebagai indikator digantungkan pada bibir labu Erlenmeyer. Labu Erlemenyer kemudian ditutup rapat-rapat dengan tutupnya. Sampel dibiarkan pada suhu 25-30 °C selama 3 jam sambil sesekali dikocok putar. Selajutnya ditambahkan 2 gram asam tartarat dan labu Erlenmeyer segera ditutup kembali. Sampel dipanaskan pada suhu 50-60 °C selama 1 jam sambil sewaktu-waktu dikocok. Bila sianida positif, kertas pikrat akan berwarna coklat kemerah-merahan.

2.

Analisis HCN secara kuantitatif (AOAC 915.03 tahun 2005)

Sebanyak 10-20 gram sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 800 ml, ditambah dengan 200 ml akuades dan dibiarkan selama 2-4 jam. Setelah itu, sampel didestilasi uap. Destilasi dihentikan setelah diperoleh destilat sebanyak 150-160 ml di dalam larutan NaOH (0.5 gram NaOH di dalam 20 ml akuades). Kemudian, ke dalam destilat ditambahkan 8 mL NaOH 6 M dan 2 ml 5% larutan KI dan dititrasi menggunakan larutan AgNO3 0.02 M. Titik

akhir titrasi ditunjukkan dengan timbulnya kekeruhan permanen

.

3.

Analisis kadar air (AOAC 925.10 tahun 2005)

Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105 oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Sejumlah sampel (sekitar 1 gram) dimasukkan ke dalam cawan kosong yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isi dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Setelah dikeringkan, cawan dan isinya didinginkan di dalam desikator, ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kadar airnya dengan persamaan (1).

4.

Analisis kadar abu (AOAC 923.03 tahun 2005)

Cawan porselin dikeringan dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 5 menit dan ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya, sampel dipanaskan di atas hot plate sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur pada suhu 400-600

o

C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang dan dihitung kadar abunya sesuai persamaan (1 dan 2).

Keterangan: x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel sesudah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g)

20

(2) (1) (2) (3) (1) (1) (2)

5.

Analisis kadar protein (AOAC 960.52 tahun 2005)

Sampel sebanyak 0.1 – 0.2 gram dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 100 ml, lalu ditambahkan 1 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 3.5 ml H2SO4 pekat. Setelah itu, didestruksi

sampai cairan berwarna jernih, kemudian didinginkan. Tahap selanjutnya adalah destilasi. Larutan sampel hasil destruksi dibilas dengan akuades dan ditambahkan 8 ml larutan NaOH- Na2S2O3.5H2O, kemudian didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125

ml yang berisi H2BO3 dan indikator. Hasil destilasi tersebut kemudian dititrasi dengan HCl

0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Larutan blanko juga dianalisis seperti sampel. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan persamaan (1, 2, dan 3).

6.

Analisis kadar lemak (AOAC 963.15 tahun 2005)

Sampel ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu ditambah 30 ml HCl 25% dan 20 ml air. Sampel didihkan selama 15 menit di ruang asam kemudian disaring dengan kertas saring dalam keadaan panas. Selanjutnya, kertas saring dicuci dengan air panas hingga tidak asam lagi. Kertas saring berikut isinya dikeringkan pada suhu 105 oC. Selanjutnya, kertas saring dilipat dan analisis dilanjutkan pada tahap ekstraksi. Labu lemak yang akan digunakan untuk mengekstraksi dikeringkan di dalam oven bersuhu 100-110 oC selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 5 menit, kemudian ditimbang. Kertas saring hasil hidrolisis sebelumnya dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring baru dan disumbat kapas pada sisi atas dan bawahnya, kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstraksi yang telah berisi pelarut hexana. Refluks dilakukan selama 6 jam dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven bersuhu 105 oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Penghitungan kadar lemak berdasarkan persamaan (1 dan 2).

Keterangan: a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan kosong (g)

21

7.

Analisis kadar karbohidrat by difference

Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference.

Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (kadar air (%bb) + kadar protein (%bb) + kadar

lemak (%bb) + kadar abu (%bb))

8.

Densitas kamba (bulk density) (Narayana dan Narasinga 1984 diacu

dalam Adebowale et al. 2005)

Gelas ukur 10 ml ditimbang, kemudian sampel dimasukkan ke dalamnya sampai volumenya mencapai 10 ml. Pengisian diusahakan tepat tanda tera dan tidak dipanaskan. Gelas ukur berisi sampel ditimbang dan selisih berat sampel menyatakan berat sampel per 10 ml. Densitas kamba dinyatakan dalam g/ml atau g/cm3.

10

)

/

(g

cm

3

a

b

kamba

Denstitas

Keterangan : a = berat gelas ukur berisi sampel 10 ml (g) b = berat gelas ukur kosong (g)

9.

Derajat warna dan derajat putih dengan Chromameter CR-310 Minolta

(Mugendi et al. 2010a)

Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah berukuran seragam dan selanjutnya dilakukan pengukuran pada skala nilai L, a, dan b. nilai L menyatakan parameter kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0-100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0-(-80) untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0-70 untuk kuning dan nilai –b (negatif) dari 0-(-70) untuk warna biru. Derajat putih dapat diperoleh dengan cara mengkonversi nilai L, a, dan b yang diperoleh menjadi derajat putih dalam bentuk % dengan rumus berikut.

Derajat putih (%)=100-[(100-L)2+(a2+b2)]0.5

10.Kapasitas absorpsi air dan minyak (Lin et al. 1974 di dalam Mugendi et

al. 2010a)

Sampel sejumlah 0.5 gram dicampur dengan 5 ml akuades pH 7.0 (kapasitas absorpsi air) atau 5 ml minyak jagung (kapasitas absorpsi minyak), lalu diaduk selama 1 menit. Setelah itu didiamkan selama 30 menit pada suhu 25 oC. Campuran kemudian disentrifus pada kecepatan 3000 rpm selama 25 menit. Volume cairan bebas diukur dan cairan yang tertahan dinyatakan sebagai ml air atau minyak per gram sampel.

Keterangan: a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g)

22

11.Analisis Kapasitas dan Stabilitas Emulsi (Modifikasi Franzen dan

Kinsella, 1976)

Sampel sebanyak 2 gram ditambah 100 ml air, diatur pH 8. Penentuan pH penting dilakukan karena untuk membentuk emulsi yang stabil maka molekul protein lebih awal harus menjangkau permukaan air, lemak, kemudian membentang sehingga kelompok hidrofobik dapat berhubungan dengan fase lemak. Sisi protein penstabil yang disajikan ke fase air harus bersifat hidrofilik dan memiliki asam amino polar yang bermuatan dimana pada pH 8 memiliki nilai yang stabil (Bian et al. 2003). Sampel diaduk dengan magnetic stirrer selama 5 menit. Sebanyak 25 ml sampel ditambah 25 ml minyak jagung. Campuran didispersikan dengan blender selama 1 menit, kemudian disentrifus 3000 rpm selama 10 menit. Volume emulsi diukur.

% 100 campuran total volume eremulsi campuran t (%) Emulsi Aktivitas Volume x

Untuk mengamati stabilitas emulsi selama waktu tertentu, emulsi yang sudah terbentuk disimpan beberapa lama pada suhu ruang. Volume emulsi diamati pada jam ke-0.5, 1, 2, 4, 6 kemudian dicatat dan dibuat kurva kestabilan emulsinya (Okezie dan Bello 1988). Percobaan kapasitas dan stabilitas emulsi ini dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

12.Penentuan kapasitas dan stabilitas busa (Widowati et al. 1998)

Kapasitas busa merupakan perbandingan antara volume busa setelah 30 detik dengan volume awal. Sedangkan stabilitas busa merupakan perbandingan antara volume busa setelah satu jam dengan volume busa setelah 30 detik. Sampel sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 100 ml akuades dan diaduk dengan magnetic stirrer. Larutan diatur pH-nya menjadi 8 dengan NaOH 2 N. volume awal dicacat, kemudian diblender selama 2 menit. Volume busa setelah 30 detik dan setelah 1 jam diukur.

% 100 detik 30 setelah busa volume jam 1 setelah busa volume (%) % 100 awal volume detik 30 setelah (%) busa Kapasitas x busa stabilitas x busa volume  

13.Kekuatan gel ( Schmidt 1981 di dalam Widowati et al. 1998)

Sampel sebanyak 0.75, 1.00, 1.25, dan 1.50 gram dilarutkan dalam 10 ml akuades sehingga diperoleh konsentrasi larutan 7.5, 10, 12.5 dan 15%. Larutan ditepatkan hingga pH 8 menggunakan NaOH 2 N. larutan tersebut dipipet sebanyak 3.0 ml ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi dimasukkan ke dalam penangas air bersuhu 100 oC selama 15 menit. Tabung dikeluarkan dan disimpan pada suhu 4 oC selama 2 jam. Kekuatan gel diukur secara kualitatif.

Skala yang digunakan untuk pengukuran gel adalah 0 = tidak berbentuk gel

1 = gel sangat lemah, yaitu bila dimiringkan gel jatuh 2 = bila tabung dibalik vertikal gel tidak jatuh

3 = bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali, gel tidak jatuh 4 = bila tabung dihentak berkali–kali, gel tidak jatuh

23

14.Analisis daya cerna protein in vitro (Hsu et al. 1977 di dalam Mugendi et

al. 2010)

Sebelumnya, larutan multienzim dibuat dalam air destilata. Larutan multienzim terdiri dari campuran 1.6 mg tripsin, 3.1 mg kimotripsin, dan 1.3 mg peptidase per ml akuades. Larutan multienzim ini ditepatkan pH-nya menjadi pH 8.00 menggunakan NaOH 0.1 N atau HCl 0.1 N. Larutan multienzim selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin. Sejumlah sampel disuspensikan dalam akuades sampai konsentrasi 6.25 mg protein/ml. Sebanyak 25 ml suspensi sampel ditaruh dalam gelas piala kecil, kemudian diatur pH-nya menjadi pH 8.00 dengan menambahkan NaOH 0.1 N atau HCl 0.1 N. Selanjutnya sampel dimasukkan dalam penangas air 37 oC selama 5 menit sambil diaduk. Sebanyak 2.5 ml larutan multienzim ditambahkan (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke nol) ke dalam suspensi sampel sambil tetap diaduk dalam penangas air 37 oC. Nilai pH suspensi sampel dicatat pada tepat menit ke-10. Daya cerna protein dinyatakan dengan persamaan berikut.

Y = 210.464 - 18.103x

D.

ANALISIS STATISTIKA

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan One-Way-ANOVA (Analysis of Variance) dengan taraf kepercayaan 99% (α = 0.01) untuk mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap parameter yang ditetapkan. Jika ada pengaruh sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan(α = 0.01) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata antarperlakuan. Uji independent sample t-test dengan taraf kepercayaan 99% digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antarvarietas pada perlakuan yang sama. Analisis data dilakukan dengan mengaplikasikan perangkat lunak SPSS versi 20 dan Ms.Office Excel 2010.

Data hasil penelitian utama yang diperoleh menggunakan response surface methodology dianalisis menggunakan program Design Expert®. Program ini dilengkapi dengan ANOVA untuk mengetahui signifikansi pengaruh variabel terhadap respon yang telah ditentukan pada model polinomial. Taraf signifikansi untuk model ditetapkan pada mode 1% dan untuk pembabatan variabel ditetapkan pada mode default 10% sedangkan pada tahap verifikasi selang kepercayaan ditetapkan sebesar 99%.

Keterangan: Y = daya cerna protein x = nilai pH pada menit ke-10

24

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENELITIAN PENDAHULUAN

A.

Tepung Koro Benguk

Kacang koro benguk adalah tanaman musiman. Pada masa panen, keberadaannya sangat melimpah sehingga harganya jatuh dan pada saat masa tanam keberadaannya sangat langka sehingga harganya melambung tinggi. Pada penelitian ini, dilakukan proses penepungan untuk menjamin ketersediaan dan keamanan bahan baku untuk pembuatan tepung berprotein tinggi. Menurut Fellows (2000) proses penepungan juga berfungsi memperluas bidang permukaan sehingga akan mempermudah pengolahan lebih lanjut.

Kulit biji koro benguk lebih tebal dari jenis kacang lainnya sehingga penghilangan lapisan kulit pada koro benguk tidak semudah pada kedelai atau pada kacang-kacangan lain. Pada penelitian ini dilakukan perebusan selama 30 menit untuk memudahkan penghilangan kulit. Sudiyono (2010) melaporkan bahwa perebusan selama 30 menit memudahkan penghilangan kulit koro benguk yang tebal dan keras. Perebusan menyebabkan disintegrasi jaringan dan kerusakan dinding sel sehingga kulit menjadi lunak dan pengulitan mudah dilakukan.

Koro benguk memiliki bagian yang dapat dimakan (edible portion) sebesar 95% dari kacang segar utuh (Depkes RI 2004). Jika efisiensi penggilingan sempurna maka akan dihasilkan tepung dengan bobot yang tidak berbeda dengan bobot edibleportion. Secara umum, rendemen tepung koro benguk tanpa kulit yang dihasilkan dari perlakuan pendahuluan sebesar 54–69% dari berat total biji koro benguk mentah. Besar kecilnya rendemen tepung bergantung pada efisiensi proses penggilingan yang ditentukan dari kemampuan mesin penggiling. Persentase rendemen dalam pembuatan tepung ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase rendemen pembuatan tepung koro benguk berdasarkan koro benguk mentah utuh

Dari semua perlakuan pendahuluan, rendemen tepung paling rendah ditemukan pada perlakuan germinasi, yaitu 40%. Rendahnya rendemen tepung disebabkan oleh rendahnya viabilitas perkecambahan koro benguk. Menurut Vidal-Valverde (1998) viabilitas kacang famili Fabaceae sebesar 90%. Namun pada penelitian ini, viabilitas koro benguk tidak lebih dari 50%. Diduga rendahnya viabilitas koro benguk karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Suatu

Perlakuan Rendemen (%)

koro benguk putih koro benguk belang

Mentah (utuh) 76.10 79.60

Tanpa kulit 66.35 67.71

Tanpa kulit + rebus 30 menit 61.79 54.05

Tanpa kulit + kukus 30 menit 63.80 65.84

Tanpa kulit + rendam 6 jam 62.30 63.68

Tanpa kulit + rendam 12 jam 62.04 69.89

Tanpa kulit + rendam 24 jam 54.04 61.25

25

perkecambahan dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, oksigen, cahaya, air, dan dormansi agar memiliki tingkat keberhasilan viabilitas yang tinggi (Urbano et al. 2004). Di samping itu, faktor internal pun menentukan keberhasilan germinasi. Sebagai contoh, terdapat kacang yang mudah dan sulit berkecambah.

Selain itu, tingkat keberhasilan germinasi juga dipengaruhi oleh fertilitas dan kualitas kacang setelah pemanenan seperti tingkat kemasakan dan dormansi (Smith 2011). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kecambah koro benguk sebagai tepung akan menghasilkan rendemen yang bervariasi, bergantung pada keberhasilan proses germinasi tersebut. Oleh karena itu rendemen tepung koro benguk yang dikecambahkan tidak dapat diprediksi karena sangat bergantung dari viabilitas kacang koronya.

B.

Kandungan Asam Sianida sebagai Pembatas Faktor Keamanan

Koro benguk secara alami mengandung senyawa toksik glukosida sianogenik yang dapat terurai menjadi asam sianida. Asam sianida dalam dosis tertentu dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Oleh karena itu, keberadaannya dalam bahan pangan diusahakan seminimal mungkin. Pada penelitian ini dilakukan beberapa perlakuan untuk menurunkan kadar senyawa sianida. Data penelitian kadar sianida tepung koro benguk varietas putih (Lampiran 1a), varietas belang (Lampiran 1c), dan hasil analisis ragamnya (Lampiran 1b dan 1d) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap kadar HCN. Tabel 5 menunjukkan kadar sianida pada tepung koro benguk yang dinyatakan sebagai HCN.

Tabel 5. Kadar HCN Tepung Koro Benguk

Perlakuan Kadar HCN (mg/kg basis kering) koro benguk putih koro benguk belang

Mentah (utuh) 19.88d 20.10c

Tanpa kulit 19.02d 2.95b

Tanpa kulit + rebus 30 menit 13.83c 2.32a,b

Tanpa kulit + kukus 30 menit 8.40b 1.83a,b

Tanpa kulit + rendam 6 jam 2.92a 1.50a

Tanpa kulit + rendam 12 jam 2.76a 1.66a,b

Tanpa kulit + rendam 24 jam 2.85a 1.64a,b

Germinasi 2.87a 1.62a,b

Nilai yang diikuti dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0.01)

Bila dibandingkan dengan penelitian tentang kadar sianida pada koro benguk sebelumnya yang dilakukan oleh Kala dan Mohan (2010), kadar sianida koro benguk pada penelitian ini jauh lebih besar. Namun apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuleun et al. (2009) nilai kadar sianida pada penelitian ini jauh lebih kecil. Bervariasinya kadar sianida pada koro benguk diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti lokasi, musim, dan jenis tanah (JECFA 1993 diacu dalam WHO 2004). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Handajani et al. (2008) yang mengambil sampel dari daerah Wonogiri, Jawa Tengah. Sampel koro benguk segar tersebut mengandung HCN sebesar 17.72 mg/kg, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tepung kedua koro benguk mentah utuh pada penelitian ini.

26

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1b) menunjukkan bahwa kandungan HCN pada tepung koro benguk putih tidak berbeda sangat nyata (p>0.01) antara koro benguk mentah utuh dan perlakuan tanpa kulit. Akan tetapi, perbedaan kadar HCN yang sangat nyata terlihat pada kacang yang telah dikupas kulitnya lalu dilanjutkan dengan perlakuan perebusan, pengukusan, atau perendaman. Data menunjukkan bahwa senyawa sianogenik glukosida pada koro benguk varietas putih diduga terkonsentrasi pada kotiledon, bukan pada lapisan kulitnya. Meskipun ada penurunan kadar sianida pada kacang tanpa kulit, namun besarnya penurunan tersebut tidak signifikan.

Hasil berbeda ditemukan pada koro benguk varietas belang, hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1d) menunjukkan bahwa kadar HCN mengalami penurunan yang sangat nyata pada semua perlakuan jika dibandingkan terhadap kacang mentah. Berbeda dengan koro benguk varietas putih, senyawa sianogenik varietas belang diduga terkonsentrasi pada lapisan kulitnya. Perlakuan tanpa kulit menurunkan kadar HCN hingga 85.32% dibandingkan dengan kacang mentah utuh. Hal tersebut sama seperti pada ubi kayu, di mana menurut Heyne (1987) diacu dalam Yuningsih (2009) kandungan sianida pada kulit ubi kayu lebih tinggi dibandingkan dengan daging umbi. Konsentrasi sianogenik glukosida pada tanaman dapat bervariasi, salah satunya disebabkan oleh faktor genetik (JECFA 1993 diacu dalam WHO 2004). Perbedaan genetik diduga menjadi alasan perbedaan letak konsentrasi senyawa sianogenik pada koro benguk dengan varietas berbeda.

Penurunan kadar sianida relatif sederhana. Handajani et al. (2008) melaporkan bahwa perendaman koro benguk selama 24 jam dapat menurunkan kadar HCN sebesar 29%, sedangkan perendaman selama 48 dan 72 jam dapat menurunkan kadar asam sianida berturut-turut sebesar 62% dan 77%. Handajani et al. (2008) juga melaporkan bahwa perlakuan perebusan, pengukusan, dan presto dapat menurunkan kadar sianida. Perebusan dapat menurunkan kadar HCN sebesar 85%, sedangkan pengukusan dan presto berturut-turut sebesar 84% dan 91%. Hal ini menunjukkan bahwa hidrogen sianida tergolong faktor antinutrisi yang tidak tahan panas (Iorgyer et al. 2009). Iorgyer et al. (2009) melaporkan penurunan kadar HCN pada kacang gude yang direbus selama 30 menit mencapai 53.43%. Akan tetapi, Akinmutimi dan Ukpabi (2008) melaporkan bahwa perebusan selama 30 menit pada koro benguk hanya dapat menurunkan 1.93% kadar HCN dibandingkan dengan kacang mentah, meskipun penurunannya signifikan. Perebusan yang semakin lama dapat menurunkan kadar HCN hingga 66.45% pada waktu 60 menit dan 69.62% pada waktu 90 menit.

Koro benguk varietas putih dan belang memiliki pola penurunan kadar sianida yang hampir sama akibat adanya perlakuan. Pola penurunan dan perbandingan kadar HCN antara tepung koro benguk varietas putih dan belang dapat dilihat pada Gambar 5

.

Gambar 5. Perbandingan kadar HCN tepung koro benguk pada perlakuan yang sama. Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (α=0.01)

27

Hasil uji t pada α 1% menunjukkan bahwa kadar HCN koro benguk varietas putih dan belang mentah tidak berbeda, sedangkan pada perlakuan lainnya terdapat perbedaan kadar HCN yang sangat nyata antara koro benguk putih dan belang. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1b) menunjukkan bahwa pada koro benguk varietas putih, perlakuan perebusan 30 menit, pengukusan

Dokumen terkait