• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi analisis teks

Dalam dokumen Konstruksi Realitas Teks Guru Dalam Kelas (Halaman 40-53)

2.7 Metode AWK Tiga Dimens

2.7.1 Deskripsi analisis teks

Dalam mendeskripsikan dimensi wacana sebuah teks dapat dijelaskan melalui ciri-ciri linguistik sebuah teks yaitu mencakup: kata, grammatika dan struktur tekstual. Elemen yang dinalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga hal yaitu eksperiensial, relasional dan ekspresif. Nilai eksperiensial digunakan untuk melacak bagaimana representasi dunia dalam pandangan produsen teks. Nilai eksperiensial ini berkenaan dengan pengalaman dan kepercayaan produsen teks. Nilai relasional melacak relasi sosial apa yang diangkat melalui teks dalam wacana tersebut. Nilai ekspresif digunakan untuk mencari evaluasi produsen teks dalam realiats yang berkaitan. Analisis teks merupakan analisis penggunaan kosakata, gramatika dan struktur teks dalam 10 pertanyaan. Fairclough (1989) menekankan bahwa tidak harus semua item penyelidikan di bawah ini dijadikan alat untuk menganalisa sebuah teks, melainkan hanya merupakan alternatif yang terbuka untuk didiskusikan dan dikembangkan lebih lanjut. Pokok-pokok yang harus dilihat adalah sebagai berikut:

Kosakata

1. Nilai eksperiensial apa yang muncul dalam kosakata yang digunakan? a. Skema klasifikasi apa yang dibangun?

b. Apakah ada kosakata yang menampakkan ideologi?

b. Apakah kosakata yang digunakan alamiah atau tidak alamiah? c. Apakakah ada penggunaan sinonim, antonim, atau hiponim? 2. Nilai relasional apa yang muncul dalam kosakata yang digunakan?

a. Apakah ada ekspresi euphemisme?

b. Apakah kosakata yang digunakan formal atau informal?

3. Nilai ekspresif apa yang muncul dalam kosakata yang digunakan? 4. Metafora apa yang digunakan?

Gramatika

5. Nilai eksperiensial apa yang muncul dalam pola gramatika yang digunakan? a. Bentuk proses dan partisipan apa yang dominan?

b. Apakah agen atau subjek jelas? c. Apakah nominalisasi digunakan?

d. Apakah kalimat yang digunakan aktif atau pasif? e. Apakah kalimat yang digunakan positif atau negatif?

6. Nilai relasional apa yang muncul dalam pola gramatika yang digunakan? a. Apakah menggunakan kalimat deklaratif, pertanyaan, atau imperative? b. Apakah ada pola tertentu dalam penggunaan modalitas yang bersifat

relasional?

c. Apakah pronoun yang digunakan adalah „we‟atau‟you‟?

7. Nilai ekspresif apa yang muncul dalam pola gramatika yang digunakan? a. Apakah ada pola tertentu dalam penggunaan modalitas yang bersifat

ekspresif?

8. Bagaimana kalimat-kalimatnya dihubungkan?

a. Logical connectors apa yang dipakai?

b. Kalimat kompleksnya menggunakan coordinating atau subordinating conjuction?

Struktur tekstual

9. Bentuk interaksi apa yang digunakan di dalam teks? a. Adakah bentuk kontrol atas partisipan di dalam teks? 10. Struktur yang lebih besar apa yang dimiliki oleh teks?

a. Nilai eksperiensial, relasional, atau ekspresif yang paling mendominasi teks? ( Fairclough,1989).

2.7.1.1 Kosakata

Pengkajian tentang kosakata mencakup tiga nilai yaitu: nilai eksperiensial, nilai relasional, dan nilai ekspresif.

a. Nilai Eksperiensial apa yang terkandung dalam kosakata yang ada dalam teks tersebut.

Lima hal yang berhubungan dengan nilai eksperiensial yaitu: pola klasifikasi kata, kata ideologis, pola leksikal kata, relasi makna kata dan metafora kata.

Pertama, Pola klasifikasi merupakan sebuah cara untuk membagi berapa aspek realitas yang mengandalkan sebuah reprentasi ideologis. Pengelompokan apakah yang tergambar dalam kosakata digunakan untuk dapat merepresentasikan ideologis.

Kedua, terdapat kosakata tertentu yang diperjuangkan melalui suatu ideologis. Dalam teks sering muncul kosakata tertentu yang dominan dan dinaturalisasikan kepada pembaca/pendengar. Kosakata tersebut selalu diulang- ulang dalam berbagai peristiwa tutur. Kosakata seperti ini memperoleh hak dan pengakuan yang istimewa. Kosakata yang diperjuangkan ini umumnya merupakan simbol dari institusi tertentu, kosakata yang secara ideologis tidak pantas atau tidak sesuai. Contoh: Nanti nilaimu dikurangi.

Ketiga, proses leksikal berkenaan dengan tersedianya kosakata dalam wacana kelompok sosial tertentu yang merefleksikan dan mengekspresikan kepentingan kelompok itu. Terdapat tiga proses leksikal, yaitu (1) leksikalisasi, (2) kelebihan leksikal, dan (3) kekurangan leksikal. Leksikalisasi terjadi jika kosakata yang dipilih merefleksikan satu konsep secara tepat, kelebihan leksikal terjadi jika terlalu banyak kata untuk merefleksikan suatu konsep. Ada pun kekurangan leksikal terjadi jika terdapat halangan memilih kosakata yang tepat dapat mewakili suatu konsep. Adakah penyusunan kosakata kembali (Rewording) atau kelebihan penyusunan kosakata (Overwording). Contoh : Saya adalah ibu dari Tina.

Keempat, ada tiga relasi makna, yaitu sinonimi, antonimi dan hiponomi, yang dipercaya memiliki dimensi ideologi tertentu. Sinonimi adalah kosakata yang memiliki makna yang sama atau hampir sama. Antonimi adalah kosakata yang memiliki makna yang berlawanan. Hiponomi adalah makna kosakata tertentu yang tercakup dalam makna kosakata lain. Dari kacamata AWK, pilihan terhadap relasi makna tertentu yang menonjol mengandung makna ideologis

tertentu. Hubungan makna yang signifikan secara ideologis, apakah ada sinonim, hiponim, antonim kosakata dalam teks.

Kelima, pilihan terhadap metafora tertentu mengandung signifikansi ideologis tertentu. Terdapat tiga macam metafora, yakni (1) metafora nominatif, (2) metafora predikatif, dan (3) metafora kalimat. Pada metafora nominatif, lambang kiasnya hanya terdapat pada nomina kalimat, baik nomina subjektif maupun nomina objektif. Pada metafora predikatif, lambang kiasnya hanya terdapat dalam predikat kalimat. Pada metafora kalimat, lambang kiasnya terdapat dalam kalimat metaforis. Contoh: Bangsa ini sudah muak dengan tipu muslihat seperti itu.

b. Nilai Relasional apa yang terkandung dalam kosakata yang ada dalam teks tersebut.

Aspek kedua yang dimiliki kosakata adalah nilai relasional. Tiga hal yang berhubungan dengan hal ini adalah: ekspresi atau ungkapan eufemisme, pilihan kosakata formal dan pilihan kosakata informal.

Pertama, ekspresi eufemisme adalah ekspresi kebahasaan yang berusaha memperhalus realitas yang sebenarnya. Ekspresi eufemisme digunakan untuk menghindari nilai edukatif. Ekspresi eufemisme ini sering disalah gunakan dalam berbagai wacana tertentu. Contoh : Saya mau buang air besar.

Kedua, pilihan kosakata formal ditunjukkan melalui pilihan kosakata asing dan kosakata ilmiah yang dapat mendatangkan kesan formal. Pilihan kosakata seperti ini akan menciptakan kesan kekuasaan, posisi, dan status. Contoh : Ada silabus yang baru kau simpan?

Ketiga, pilahan kosakata informal ditunjukkan melalui pilihan kosakata sehari-hari yang mudah dipahami oleh pendengarnya. Kata informal sering dipilih untuk menciptakan aspek-aspek solidaritas, kesantunan, dan ekspresi penghormatan. Atau adakah kosakata formal atau informal yang menonjol (markedly) di dalam teks. Contoh: Pulang dulu bapak ya !

c. Nilai Ekspresif apa yang terkandung dalam kosakata yang ada dalam teks

tersebut.

Aspek ketiga yang dimiliki kosakata adalah nilai ekspresif. Ada dua hal yang berhubungan dengan nilai ini, yaitu: Evaluasi positif dan Evaluasi penutur yang sering memunculkan evaluasinya terhadap realitas secara implisit melalui kosakata. Perbedaan antar tipe wacana dalam nilai ekspresif dari berbagai kosakata memiliki signifikansi/kepentingan secara ideologis. Seorang penutur mengekspresikan evaluasi melalui penggambaran atau penarikan pola klasifikasi. Dalam hal ini terdapat fakta bahwa nilai ekspresif tertentu dapat diacuhkan pada pola klasifikasi yang memperlihatkan perbedaan secara ideologis. Atau dengan kata lain adakah pandangan negatif atau positif tampak jelas dalam kosakata yang digunakan? Adakah kosakata yang digunakan signifikan secara ideologis?

2.7.1.2 Gramatika

Kajian gramatika juga mencakup tiga aspek yaitu: nilai eksperiensial, nilai relasional, dan nilai ekspresif.

a. Nilai eksperiensial, dalam hal ini terdapat empat aspek yang dikaji dalam kepemilikan nilai eksperiensial gramatika yakni: ketransitifan, nominalisasi,

kalimat aktif-pasif, dan kalimat positif-negatif. Nilai-nilai eksperiensial yang terkandung pada aspek-aspek gramatika teks tersebut.

Pertama, teori ketransitifan bersumber dari fungsi representasi bahasa. Halliday (1985: 101) memandang bahwa kepemilikan fundamental bahasa memungkinkan manusia membangun gambaran mental realitas, membuat makna dari pengalaman apa yang terjadi di sekitarnya dan di dalamnya. Halliday menekankan pada pentingnya klausa karena klausalah yang sangat berperan dalam perwujudan berbagai macam proses itu. Terdapat tiga jenis proses utama dalam sistem ketransitifan, yakni (1) proses material, (2) proses mental atau proyeksi, dan (3) proses rasional.

(1) Proses-proses material adalah „proses-proses melakukan‟ (Halliday, 1985:103) proses-proses ini megekspresikan nosi bahwa beberapa wujud melakukan sesuatu yang mungkin saja dilakukan kepada beberapa wujud lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan kepada proses ini adalah “what did X do?” atau “what did happened to X”. Proses material melibatkan proses perilaku (behavioral). Partisipan yang terlibat dalam proses perilaku adalah pemerilaku (behavier).

(2) Proses mental atau proses proyeksi adalah proses yang melibatkan proses perasaan (sensing), pemikiran (thinking), dan penglihatan (perceiving)

(Halliday, 1985: 107). Halliday juga menambahkan tiga subtipe proses mental yakni (1) persepsi (melihat, mendengar, dan sebagainya), (2) afeksi (menyukai, takut dan sebagainya), dan (3) kognisi (berpikir, mengetahui, memahami dan sebagainya) (Halliday, 1985). Partisipan dalam proses ini

terdiri atas pengindera dan fenomena. Selain itu, partisipan dalam proses ini dapat berupa pelapor atau pengucap dan yang dilaporkan.

(3) Proses-proses rasional dicirikan dengan keterkaitan antara partisipan dengan identitas dan perannya. Partisipan dalam proses ini dapat berupa penyandang (carrier) dan „atribut‟, teridentifikasi dan pengidentifikasi, serta eksisten. Terdapat sebuah catatan penting yang dikemukakan Halliday (1985) bahwa setiap bahasa mengakomodasikan sejumlah cara-cara menjadi (ways of being) yang berbeda dengan yang diekspresikan ke dalam jenis- jenis proses rasional yang berbeda dalam klausa. Setiap bahasa memiliki kekhasan dalam proses relasional ini.

Fairclough (1989:120) juga mengemukakan bahwa ketika seseorang memberikan representasi secara tekstual, yaitu tindakan, peristiwa, dan keadaan sering terdapat pilihan antara tipe-tipe proses, partisipan yang berbeda serta seleksi yang dibuat dapat memiliki signifikansi secara ideologis. Seseorang yang menonjolkan proses tindakan memiliki signifikansi ideologis berbeda dengan yang menonjolkan proses mental dan proses relasional.

Kedua, nominalisasi adalah proses gramatikal dalam pembentukan nomina dari jenis kata lain, biasanya verba atau adjektif (Richards, Platt & Platt, 1992). Dalam gramatika tranformasi klasik, nominalisasi adalah derivasi dari sebuah frase nomina dari sebuah klausa yang mendasari. Istilah nominalisasi juga digunakan dalam klasifikasi klausa-klausa relatif (Crystal, 1991:233). Satu catatan penting dikemukakan oleh Fairclough (1989) bahwa pilihan terhadap nominasi tertentu mengandung signifikansi ideologis tertentu.

Ketiga, aktif dan pasif merupakan persoalan voice, yakni bagaimana cara- cara sebuah bahasa mengekspresikan hubungan antara frase verba dan frase nomina, serta berbagai hal yang diasosiasikan dengan hubungan itu. Dua buah kalimat mungkin saja berbeda dalam voice-nya meskipun memiliki makna dasar yang sama. Hal ini berkaitan dengan perubahan dalam penekanan sesuai pertimbangan tertentu. Dalam praktiknya, sebuah kalimat mungkin lebih sesuai atau lebih pantas dibandingkan dengan kalimat yang lain untuk situasi tertentu. Penutur mungkin saja menggunakan kalimat pasif tanpa agen misalnya dalam kalimat The fence has been damaged. Kalimat seperti ini umumnya digunakan ketika penutur tidak mengetahui atau tidak mengharapkan keadaan penyebabnya ketika hal itu terlalu jelas untuk dikemukakan. Kalimat pasif tanpa agen membiarkan klausalitas dan ketidakjelasan agen (Fairclough, 1989:125). Dalam beberapa kasus hal ini terjadi mungkin untuk menghindari pengulangan yang tidak perlu.

Keempat, pada umumnya, nilai pengalaman diekspresikan dalam kalimat positif pada kasus tertentu, nilai pengalaman dikemukakan dalam kalimat negatif. Pendayagunaan kalimat negasi merupakan fenomena yang cukup menarik. Dalam suatu bahasa, negasi mendukung fungsi yang amat penting fungsi utama negasi ialah menyangkal atau mengingkari pernyataan lawan bicara atau pembicara yang dianggap keliru oleh pembicara itu sendiri. Fairclough (1989:125) berpendapat bahwa negasi secara jelas memiliki nilai pengalaman sebagai cara dasar yang kita miliki dalam membedakan apa yang bukan kasus dari apa yang memang benar- benar merupakan kasus dalam realitas. Negasi adalah cara yang sangat bermakna dalam memperebutkan elemen-elemen konteks antarteks (Fairclough, 1989:154).

Pertanyaan penting yang dimunculkan adalah, apa motifasi penutur menggunakan asersi negatif jika ia dapat mengungkapkan persoalan yang sama bermakna dalam asersi positif? Menurut Fairclough, penutur secara jelas menggunakan asersi negatif sebagai sebuah cara untuk mengambil isu secara implisit yang sesuai dengan asersi-asersi positif. Negasi yang digunakan untuk mengungkapkan realitas dapat menjalankan tiga fungsi, yakni (1) negasi yang sesungguhnya, (2) negasi yang menipulatif, dan (3) negasi yang ideologis.

b. Nilai Relasional. Nilai ini berhubungan dengan cara bagaimana gramatika mengodekan isyarat relasi hubungan sosial timbal balik yang diperankan penghasil teks. Terdapat tiga aspek yang dikaji, yakni (1) modus-modus kalimat, (2) modalitas, dan (3) pronomina persona.

(1) Modus-modus kalimat, berkaitan dengan cara bagaimana kalimat itu diekspresikan. Terdapat tiga cara, yakni deklaratif, interogatif, dan imperative. Tiga modus kalimat itu menempatkan subjek secara berbeda. Dalam ekspresi deklaratif, posisi subjek penutur sebagai pemberi informasi, sebaliknya posisi petutur sebagai penerima informasi. Dalam interogatif, penutur dalam posisi menayangkan sesuatu kepada petutur, sabaliknya petutur berpotensi sebagai penyedia informasi. Dalam informasi posisi petutur sebagai peminta atau memerintahkan sesuatu kapada petutur sebaliknya petutur secara ideal berposisi sebagai pelaku yang tunduk. Menurut Fairclough (1989:126) ketidaksimetrisan sistematis dalam pembagian modus antarpartisipan menjadi penunjuk dalam hubungan partisipan itu. Pada umumnya berkaitan dengan posisi kekuasaan, fungsinya dapat menjadi tindakan atau informasi, dan dapat juga sebagai

pemberian informasi. Deklaratif selain memberi informasi, dapat berarti perintah. Fungsinya selain meminta informasi, dapat juga bernilai perintah. Catatan penting dikemukakan oleh Fairclough (1989) bahwa modus kalimat dalam penggunaan yang sebenarnya jauh lebih rumit dari yang digambarkan di atas. Dua alasan dikemukakan, yakni (1) tidak ada hubungan satu-satu antara modus kalimat dan penempatan posisi subjek serta (2) terdapat posisi subjek yang lebih banyak dan beragam dari pada yang sudah diidentifikasikan selama ini.

(2) Modalitas, adalah persoalan otoritas satu partisipan dalam hubungan dengan partisipan lainnya. Modalitas menggunakan otoritas penutur. Alwi (1991) mengemukakan bahwa ada empat golongan besar modalitas dalam bahasa Indonesia, yaitu intensional, epistemik, deontik, dan dinamik.

Pertama, modalitas intensional adalah modalitas yang berhubungan dengan fungsi instrumental. Bahasa digunakan untuk menyatakan sikap pembicara sehubungan dengan peristiwa nonaktual yang diungkapkannya. Bagi mitra bicara, apa yang diutarakan pembicara itu merupakan dorongan untuk mengaktualisasikan peristiwa nonaktual yang diungkapkannya itu. Atas dasar itu seseorang dapat menyatakan keinginan, harapan, ajakan, pembicaraan, dan permintaan melalui tuturan yang dikemukakannya.

Kedua, modalitas epistemik mengandung makna epistemik (Alwi, 1991:90). Modalitas ini merupakan penilaian penutur terhadap sesuatu itu demikian atau tidak. Makna epistemik muncul bila ungkapan pembicara menyatakan pengetahuan, kepercayaan, atau pendapat. Sikap pembicara yang didasari kekurangtahuan atau kekurangyakinan terhadap proposisi yang diungkapkannya dapat digambarkan sebagai kemungkinan, keharusan atau kepastian.

Ketiga, modalitas deontik berhubungan dengan kewajiban. Dalam hal ini sikap pembicara terhadap peristiwa didasarkan pada kaidah sosial (Alwi, 1991:163). Makna yang terkandung dalam modalitas deontik mengungkapkan bahwa pembicara sebagai sumber deontik mengharuskan, mengizinkan, dan melarang terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan. Modalitas ini mengandung makna perintah, izin dan larangan.

Keempat, modalitas dinamik mempersoalkan sikap pembicara terhadap aktualisasi peristiwa yang ditentukan oleh keadaan yang bersifat empiris. Yang menjadi ukuran pembicara dalam modalitas ini adalah hukum alam (Alwi, 1991:233). Modalitas dinamis berciri objektif, makna yang terkandung di dalamnya adalah makna mampu dan sanggup.

(3) Pronomina persona, yaitu yang berkenaan dengan kehadiran diri, dalam hal ini penutur menghadirkan dirinya di hadapan mitra bicara. Strategi kehadiran diri berhubungan dengan pronomina persona pertama. Penggunaan pronomina persona berkaitan dengan hubungan antara kekuasaan dan solidaritas. Biasanya untuk menunjukkan kekuasaannya pembicaara menggunakan kata tertentu.

c. Nilai Ekspresif. Nilai gramatika ini ditunjukkan oleh modalitas ekspresif. Modalitas menjadi ekspresif apabila modalitas itu merupakan otoritas penutur atau penulis yang berhubungan dengan kebenaran atau kemungkinan representasi realitas. Dalam modalitas ini terkandung makna kemungkinan, izin, kepastian, kewajiban, dan ketidakmungkinan.

2.7.1.3 Struktur Tekstual

Struktur teks adalah pengurutan teks. Sebuah teks memiliki struktur yang mungkin dibentuk dari elemen-elemen yang dapat diprediksi dalam urutan yang diprediksi pula (Fairclough, 1989:137). Misalnya teks kampanye politik. Teks ini seharusnya dibentuk oleh elemen-elemen, seperti latar belakang berdirinya partai itu, personal-personal yang menjadi jaminan partai itu, program-program partai, keunggulan-keunggulan partai, dan harapan pada pemilihan untuk memilih partai tersebut. Laporan berita pemerkosaan akan melibatkan elemen-elemen, seperti latar balakang terjadinya pemerkosaan, apa penyebabnya, apa yang sudah terjadi, apa pengaruh langsung dari pemerkosaan itu, dan apakah konsekuensi jangka panjang dari pemerkosaan. Akan tetapi elemen-elemen yang sangat diharapkan oleh pembaca belum tentu muncul. Urutan elemen-elemen yang muncul tidak selalu logis. Harapan partisipan tentang struktur interaksi sosial tempat pertisipan terlibat, yaitu struktur teks yang dibacanya adalah faktor penting dalam interpretasi.

a. Kaidah-kaidah Interaksional apa yang digunakan.

1)Sistem apa yang digunakan seorang partisipan mengendalikan pergantian bicara (turn taking) dengan partisipan lainnya.

2)Cara-cara apa yang digunakan seorang partisipan mengontrol pembicaraan partisipan lain.

b. Struktur berskala besar apa yang dimiliki teks tersebut.

1)Bagaimana seluruh teks mempunyai tatanan yang dapat diprediksi. 2)Elemen-elemen apa yang terjadi dalam teks tersebut.

Dalam dokumen Konstruksi Realitas Teks Guru Dalam Kelas (Halaman 40-53)

Dokumen terkait