• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana sebagai praktik sosial

Dalam dokumen Konstruksi Realitas Teks Guru Dalam Kelas (Halaman 54-59)

2.7 Metode AWK Tiga Dimens

2.7.3 Wacana sebagai praktik sosial

Tujuan tahap ini adalah untuk menjelaskan apa yang mencakup peristiwa komunikatif (praktik sosial) yang akan diuraikan secara berurutan.

2.7.3.1 Hubungan antara Interaksi dan Konteks Sosial

Hubungan antara teks dan struktur sosial bersifat tidak langsung dan dimediasikan oleh proses wacana dan konteks sosiokultural. Teks yang dimediasi oleh proses wacana berhubungan dengan tahap interpretasi. Selanjutnya teks yang dimediasi oleh konteks sosiokultural yang berhubungan dengan tahap eksplanasi. Menurut Fairclough (1989) interpretasi dihasilkan melalui kombinasi apa yang ada dalam teks dengan apa yang ada dalam penafsir.

Ada tiga bagian yang menjadi lahan interpretasi adalah interpretasi teks dan interpretasi konteks yaitu:

Pertama, hubungan konteks situasi dengan tipe wacana. Kajian interpretasi konteks pertama ini mengandung empat pertanyaan sebagai pemandu, di antaranya (1) apa yang sedang berlangsung? (2) siapa yang terlibat dalam komunikasi? (3) dalam hubungan seperti apa antar partisipan yang telibat? dan (4) peran apa saja yang dimainkan bahasa dalam komunikasi itu?

Kedua, hubungan konteks antarteks dengan praanggapan. Dalam interpretasi konteks kedua ini adalah mencari hubungan antara konteks antarteks dengan praanggapan. Praanggapan dalam teks mempunyai fungsi ideologis, ketika praanggapan diperjuangkan sebagai suatu pengetahuan umum atau akal sehat untuk melayani kekuasaan dari subjek yang memiliki kekuasaan. Sebuah praanggapan kadang-kadang tidak diambil dari teks tertentu tetapi pembaca dapat memanfaatkan latar belakang pengetahuannya.

Ketiga, Tindak ujaran. Tindak ujaran berkaitan erat dengan peran sosial penutur, performansi tindak ujaran seperti menyebutkan sesuatu, menamai benda, atau menyatakan orang bersalah menunjukkan bahwa para penutur harus mempunyai peran sosial tertentu menurut kerangka institusi sosial tertentu. Menurut Fairclough konvensi-konvensi tindak ujaran mewujudkan representasi ideologis subjek dan hubungan sosialnya.

Hubungan antara teks dan struktur sosial dimediasikan oleh konteks sosial wacana. Wacana akan menjadi nyata, beroperasi secara sosial, sebagai bagian dari proses-proses perjuangan institusional masyarakat. Oleh karena itu, asumsi- asumsi akal sehat wacana akan memasukkan ideologi sesuai dengan hubungan kekuasaan tertentu. Hubungan wacana dengan proses perjuangan dan hubungan kekuasaan merupakan urusan prosedur AWK yaitu eksplanasi.

Eksplanasi digunakan untuk memberi penjelasan mengenai hubungan fitur tekstual yang heterogen beserta kekompleksan proses wacananya dengan proses perubahan sosiokultural, baik itu perubahan masyarakat, institusional, dan kultural. Menurut Fairclough (1989:163) tujuan tahapan eksplanasi adalah untuk memotret wacana sebagai bagian dari proses sosial dan sebagai praksis sosial

yang menunjukkan bagaimana wacana itu ditentukan oleh struktur sosial. Tugas tahapan eksplanasi ini sesuai dengan tahapan sebelumnya bahwa bentuk bahasa yang digunakan bukanlah sesuatu yang dipilih secara bebas. Pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala politik, sosial, kultural, dan ideologi (Santoso, 2003:67).

Ekspalanasi mempunyai dua dimensi, yaitu (1) Proses perebutan, yang menekankan pada bagaimana kita melihat wacana sebagai bagian dari perebutan sosial, perebutan nonkewacanaan yang lebih luas, dan pengaruh perebutan dalam struktur hubungan kekuasaan. Penekanannya pada pengaruh sosial wacana, pada kreatifitas, dan pada masa depan. (2) Struktur hubungan kekuasaan, dimensi kedua ini menekankan pada cara bagaimana menunjukkan hubungan kekuasaan dalam menentukan wacana. Dimensi ini penekanannya pada determinasi sosial wacana sebagai hasil perjuangan masa lalu. Baik pengaruh sosial wacana maupun determinan sosial cara keduanya harus diteliti pada tiga level organisasi sosial, yakni masyarakat, institusi, dan situasi (Santoso, 2003:67).

Tahapan eksplanasi ini melibatkan perspektif khusus tentang sumber bahan partisipan, tempat wacana dilihat secara khusus sebagai ideologi. Dengan demikian, asumsi-asumsi tentang kebudayaan, hubungan sosial, dan identitas sosial yang bergabung dalam sumber partisipan ditentukan oleh hubungan kekuasaan tertentu dalam masyarakat atau institusi.

Bahasa sebagai satu sumber daya untuk pembuat makna atau seperti yang dikatakan Eggins (1994:1) sebagai strategi, pembuat sumber daya yang bermakna

(“a strategic, meaningmaking resource”). Pendapat ini memandang semua

bahasa disusun dalam tiga jenis makna atau (fungsi) bahasa yang utama yaitu

makna ideational, interpersonal dan textual yang disebut dengan metafunction, (Halliday, 1994).

Pengertian ketiga pendekatan fungsional ini adalah bahwa setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar. Hal ini juga berfokus pada kajian teks atau wacana dalam konteks sosial, yang didalamnya teks dibatasi sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial. Hubungan teks dengan konteks sosial adalah hubungan konstrual, yang artinya bahwa konteks sosial menentukan dan ditentukan oleh teks.

2.7.3.2 Konteks Situasi/Register

Konteks sosial bersifat eksternal atau (external or nonlinguistic context) berhubungan dengan segala sesuatu yang ada diluar bahasa itu sendiri, yakni objek atau benda disekeliling manusia (Martin 1992) membaginya dalam kategori Konteks Situasi / Register yang terdiri dari:

Field : Isi teks

Tenor : Siapa siapa yang terlibat

Mode : Cara-cara menyampaikan teks tersebut

Batasan dari Field, Tenor dan Mode adalah batasan dari apa isi, siapa dan bagaimana caranya sebuah teks bekerja dalam budaya tertentu.

2.7.3.3 Konteks Ideologi

Ideologi merupakan konsep atau gambaran ideal yang diinginkan atau diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas dan menetapkan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan seseorang dalam berinteraksi

kepada orang lain. Ideologi seringkali tersamar dalam penggunaan bahasa, Fairclough, Muldering & Wodak (2011:358) menyatakan bahwa cara-cara penggunaan bahasa yang membawa ideologi dan relasi kekuasaan yang mendasarinya sering kali tidak jelas nampak, “the ideological loading of particular ways of using language and the relations of power which underlie them

are often unclear to people.”

Mengungkap ideologi juga mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan ketimpangan sosial terutama di wilayah publik seperti kelas dan tempat-tempat lainnya dapat dilakukan dengan menyelidiki penggunaan bahasa yang mengandung ideologi. Ideologi dapat terkandung dalam penggunaan kosakata formal atau informal termasuk dalam penggunaan metafora, penggunaan nominalisasi, penggunaan kalimat deklaratif, imperatif, dan kalimat tanya, penggunaan kalimat aktif atau pasif, penggunaan kalimat positif atau negatif, penggunaan modalitas, dan menyelidiki skema apa yang ingin dibangun oleh teks (Fairclough, 1989:114).

Mills (1995: 63), yang fokus kepada wacana feminisme berpendapat bahwa fitur lingual yang harus dilihat dalam analisis wacana kritis adalah analisis pada level kosakata dan frasa atau kalimat. Pada level kosakata diteliti penggunaan „pronoun‟ dan „noun‟. Pada level frasa atau kalimat dicari pengguna „metafora‟ dan „transitivitas‟. Dalam penggunanaan bahasa di level tersebut akan memperlihatkan ideologi yang digunakan untuk membawa citra negatif dan diskriminasi terhadap wanita. Van Dijk (1993) berpendapat bahwa ideologi dalam wacana dapat diungkap dengan menyelidiki pengunaan „modalitas‟, „penggunaan kata‟, „urutan kosakata‟, „kalimat aktif dan kalimat pasif‟, dan „nominalisasi‟.

Ideologi menjadi pembahasan atau domain utama dalam AWK (Renkema, 2004: Blomaert, 2005; Woofftt, 2005; Wodak, 2007). Ideologi sering tersamar dalam berbagai cara penggunaan bahasa (Fairclough, Muldering dan Wodak 2011). Muatan ideologi dalam penggunaan bahasa pada hubungannya dengan kekuasaan sering tidak nampak jelas. Bahasa kadangkala disampaikan dengan lugas, namun di lain kesempatan disampaikan dengan secara tersamar, meskipun kedua-duanya mempunyai muatan ideologi.

Dalam dokumen Konstruksi Realitas Teks Guru Dalam Kelas (Halaman 54-59)

Dokumen terkait