• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

berdasarkan laporan tahunan dari BPS dan BI dari tahun 1986-2015. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kurs rupiah. Variabel independen dalam penelitian ini adalah cadangan devisa yang dinyatakan dalam juta dollar Amerika Serikat, suku bunga yang dinyatakan dalam persen, inflasi yang dinyatakan dalam persen, neraca pembayaran yang dinyatakan dalam juta dollar Amerika Serikat, dan rasio ekspor terhadap impor.

Tabel IV.1

Deskripsi Data Penelitian Tahun Kurs Rupiah Cadangan Devisa Suku Bunga Inflasi Neraca Pembayaran Rasio Eksor Terhadap Impor 1986 1.641 5.302,0 14,75 8.83 266 1,38 1987 1.650 6.512,3 15,02 8.90 1.383 1,39 1988 1.729 6.191,0 15,25 5.47 820 1,45 1989 1.795 6.561,9 11,33 5.97 1.810 1,35 1990 1.901 8.661,3 22,39 9.53 1.506 1,18 1991 1.992 9.867,7 18,70 9.52 1.437 1,13 1992 2.062 11.610,9 13,17 4.94 3.349 1,25 1993 2.110 12.352,2 9,50 9.77 3.664 1,30 1994 2.200 13.157,9 14,38 9.24 1048 1,25 1995 2.308 14.674 14,75 8.64 3829 1,12 1996 2.383 19.125 12,88 6.47 3188 1,16 1997 4.650 17.427 20,00 11.05 -2459 1,28 1998 8.025 23.762 38,44 77.63 222 1,79 1999 7.100 27.054 12,51 2.01 1213 2,03 2000 9.595 29.394 14,53 9.35 1219 1,85 2001 10.400 28.015,80 17,62 12.55 -2092 1,82

68 Tahun Kurs Rupiah Cadangan Devisa Suku Bunga Inflasi Neraca Pembayaran Rasio Eksor Terhadap Impor 2002 8.940 32.037,04 12,93 10.03 6.720 1,83 2003 8.465 36.295,71 8,31 5.06 7.157 1,88 2004 9.290 36.320,48 5,92 6.40 3.415 1,54 2005 9.830 34.723,69 12,75 17.11 623 1,48 2006 9.020 42.586,00 9,75 6.60 13.885 1,65 2007 9.419 56.920,00 8,00 6.59 14.083 1,53 2008 10.950 51.639,00 9,25 11.06 -1.706 1,06 2009 9.400 66.105,00 6,50 2.78 15.483 1,20 2010 8.991 96.207 6,50 6.96 31.670 1,16 2011 9.068 110.123 6,00 3.80 15.321 1,15 2012 9.670 112.781 5,75 4.30 491 1,00 2013 12.189 99.387 7,50 8.40 4.356 1,03 2014 12.440 111.862 7,75 8.40 3.663 1,06 2015 13.795 100.240 7,50 6.80 -2.857 1,13 Sumber : data sekunder dari BI dan BPS (data diperoleh 2016)

Grafik IV.1

Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Serikat Periode 1986-2015

0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 16,000

Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika (Y)

Tahun

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat periode 1986-2015 cenderung terdepresiasi atau melemah. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dari tahun ke tahun terus melemah.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak awal juli 1997 sampai 1998, menyebabkan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah tahun 1997 berada pada posisi Rp 4.650 dan pada tahun 1998 terus tertekan dan berada pada posisi Rp 8.025. Sejak tahun 1997 tersebut, nilai tukar rupiah cenderung fluktuatif sampai tahun 2015. Bahkan tahun 2015 nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat mengalami kemerosotan yang sangat tajam. Nilai tukar rupiah pada tahun 2015 berada pada posisi Rp 13.795. Kondisi ini diawali dari pemulihan Amerika Serikat pasca krisis 2008 yang menyebabkan The Fed atau Bank Sentral Amerika Serikat merencanakan pemangkasan

quantitative easing atau melakukan stimulus ekonomi. Rencana yang

dikemukakan oleh gubernur The Fed, yaitu Ben Bemanke sejak Mei 2013 tersebut menjadi awal melemahnya mata uang global terhadap dollar AS karena suplai dollar akan berkurang. Hal tersebut berlanjut pada pelemahan mata uang dunia terhadap dollar AS yang pada akhirnya menyebabkan permintaan barang komoditas menurun. Hal ini membawa dampak bagi Indonesia, di mana harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia anjlok dan berdampak pada neraca perdagangan yang pada akhirnya memperburuk pelemahan rupiah.

Nilai tukar rupiah yang terus tertekan pada tahun tersebut menyebabkan terganggunya perekonomian nasional, di mana harga-harga barang meningkat secara tajam, sehingga menyebabkan daya beli masyarakat dan kegiatan industri

ikut melemah. Selain itu, pertumbuhan ekonomi melambat, di mana terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi dari 4,7% pada kuartal I menjadi 4,6% pada kuartal II.

Grafik IV.2

Perkembangan Cadangan Devisa Indonesia Periode 1986-2015

0.00 20,000.00 40,000.00 60,000.00 80,000.00 100,000.00 120,000.00 Cadangan Devisa (X1) Tahun Sumber : data sekunder, diolah 2016

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa cadangan devisa Indonesia periode 1986-2015 memiliki trend yang cenderung meningkat. Cadangan devisa Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak memasuki tahun 2010, dari tahun sebelumnya 66.105 juta dollar AS menjadii 96.207 juta dollar AS. Peningkatan cadangan devisa di tahun 2010 tersebut didukung oleh masih kuatnya aliran masuk modal asing khususnya investasi langsung (PMA) dan investasi portofolio. Tahun 2012, cadangan devisa Indonesia juga mengalami peningkatan, dan ini merupakan cadangan devisa tertinggi yang dimiliki Indonesia

periode 1986-2015. Gubernur BI, Darmin Nasution dalam (Kompas.com) mengatakan bahwa transaksi modal dan finansial mencatat kenaikan surplus yang cukup besar, terutama didukung oleh investasi langsung (PMA) dan arus masuk modal portofolio, baik dalam pasar saham maupun pasar obligasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Cadangan devisa sampai akhir tahun 2012 mencapai 112.781 juta dollar AS.

Tahun 2013-2015, cadangan devisa Indonesia berfluktuatif. Hal ini terlihat dari cadangan devisa yang dimiliki oleh Indonesia tahun 2013 mengalami penurunan yang cukup signifikan dan berada pada posisi 99.387 juta dollar AS. Tahun 2014, cadangan devisa Indonesia kembali meningkat dan berada pada posisi 111.862 juta dollar AS. Akan tetapi, tahun 2015, cadangan devisa Indonesia kembali menurun dan berada pada posisi 100.240 juta dollar AS.

Penurunan cadangan devisa tahun 2013 diakibatkan karena adanya pembayaran utang luar negeri pemerintah, pemenuhan kewajiban BUMN dan intervensi BI untuk meredam jatuhnya nilai rupiah. Peningkatan cadangan devisa tahun 2014 dipengaruhi oleh penerimaan devisa hasil ekspor migas, penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, dan penerimaan pemerintah lainnya dalam valuta asing yang melebihi pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Di samping itu, simpanan valuta asing dan swap bank-bank dengan Bank Indonesia juga meningkat menjelang akhir tahun 2014. Sedangkan penurunan cadangan devisa tahun 2015 dikarenakan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri

pemerintah serta penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah untuk mendukung terjaganya stabilisasi makroekonomi dan sistem keuangan.

Grafik IV.3

Perkembangan Suku Bunga Periode 1986-2015

0 10 20 30 40 50 Suku Bunga (X2) Tahun

Sumber : data sekunder, diolah 2016

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa suku bunga Indonesia periode 1986-1988 cenderung stabil dari 14,75% sampai 15,25%. Akan tetapi, memasuki tahun 1989-2015, suku bunga cenderung berfluktuatif. Suku bunga mengalami peningkatan yang sangat tajam memasuki tahun 1998, Peningkatan tersebut didukung oleh kondisi perekonomian pada tahun tersebut yang sangat anjlok, dikarenakan krisis ekonomi yang melanda Indonesia, di mana nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sangat merosot. Hal inilah yang menyebabkan Bank Indonesia menaikkan suku bunga untuk merespon kenaikan inflasi dan merosotnya nilai tukar rupiah.

Tahun 2012, suku bunga Indonesia menyentuh level 5,75% dan merupakan suku bunga terendah sepanjang sejarah perekonomian Indonesia periode 1986-2015. Menurut Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa dalam (ViVAnews.com), kebijakan BI Rate ditempuh karena kemungkinan inflasi akan naik dengan adanya kebijakan subsidi dari pemerintah. Selain itu, langkah tersebut untuk mendorong perbankan yang sulit menurunkan suku bunga kreditnya dan kebijakan tersebut diambil untuk mendorong perekonomian Indonesia di tengah turunnya ekonomi global. BI akan mewaspadai risiko ekonomi global dan dampak kebijakan pemerintah di bidang energi, dengan menerapkan bauran kebijakan moneter dan makro dalam pengelolaan ekonomi makro secara keseluruhan.

Grafik IV. 4

Perkembangan Inflasi Indonesia Periode 1986-2015

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Inflasi (X3) Tahun

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa inflasi Indonesia dari tahun 1986-2015 cenderung berfluktuatif. Peningkatan inflasi yang sangat tajam dan membuat kondisi perekonomian Indonesia sangat mengkhawatirkan terjadi pada tahun 1998. Dampak dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan inflasi mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Inflasi Indonesia pada tahun tersebut berada pada level 77,63% dan ini merupakan inflasi terparah dalam sejarah inflasi Indonesia.

Pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998, inflasi Indonesia kembali mengalami peningkatan yang sangat tajam dan menyentuh level 17,11% pada tahun 2005. Peningkatan tersebut dikarenakan adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan semua kelompok barang dan jasa, seperti kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, air, listrik, gas dan bahan bakar, kelompok sandang, kelompok kesehatan, kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga dan kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan.

Memasuki tahun 2006, Inflasi mengalami penurunan sebesar 10,51% dari sebelumnya 17,11% menjadi 6,60% dan terus menurun sampai tahun 2007. Tahun 2009, inflasi terus menunjukkan trend yang positif dan berada pada level terendah 2,78%. Penurunan laju inflasi tersebut disebabkan oleh terjadinya deflasi pada barang-barang yang harganya ditetapkan oleh pemerintah, seperti bahan bakar minyak dan listrik. Akan tetapi, tahun 2010, inflasi kembali meningkat sebesar 4,18% dan berada pada level 6,96% dari sebelumnya berada pada level 2,78%. Peningkatan tersebut sejalan dengan perkembangan

perekonomian dunia yang mendorong kenaikan harga-harga barang dan jasa di Indonesia. Selain itu, perubahan iklim juga telah berdampak pada menurunnya produksi barang dan jasa. Memasuki tahun 2013, laju inflasi Indonesia menembus angka 8,40% dan merupakan inflasi tertinggi sejak 2009. Inflasi ini timbul sebagai dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.

Grafik IV. 5

Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia Periode 1986-2015

-5000 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 Neraca Pembayaran (X4) Tahun Sumber : data sekunder, diolah 2016

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa trend neraca pembayaran Indonesia dari tahun 1986-2015 cenderung berfluktuatif. Tahun 1997, neraca pembayaran Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat, dikarenakan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dimulai pada awal juli 1997. Defisitnya neraca pembayaran Indonesia pada tahun tersebut sebagai akibat dari menurunnya ekspor migas secara tajam dikarenakan melemahnya permintaan dunia dan menurunnya harga minyak bumi di pasar internasional.

Pada tahun 2010, kondisi neraca pembayaran mengalami surplus dan merupakan neraca pembayaran tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia periode 1986-2015. Surplusnya neraca pembayaran Indonesia pada tahun tersebut didukung oleh surplusnya transaksi berjalan, di mana tingginya pertumbuhan ekspor nonmigas, khususnya yang berbasis sumber daya alam. Hal tersebut sejalan dengan permintaan dunia yang menguat dan harga yang tinggi di pasar dunia.

Memasuki tahun 2011, neraca pembayaran cenderung menurun dan bahkan pada tahun 2015 mengalami defisit. Secara keseluruhan, neraca pembayaran Indonesia mengalamai tekanan yang cukup besar. Defisitnya neraca pembayaran Indonesia pada tahun tersebut bersumber dari penurunan surplus transaksi modal dan finansial yang tidak dapat sepenuhnya membiayai defisit transaksi berjalan. Selain itu, penurunan aliran masuk modal portofolio asing yang cukup signifikan sebagi akibat dari tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global memicu neraca pembayaran Indonesia pada tahun tersebut mengalami tekanan yang sangat signifikan.

Grafik IV.6

Rasio Ekspor Terhadap Impor

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Rasio Ekspor Terhadap Impor (X5)

Tahun Sumber : data sekunder, diolah 2016

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa rasio ekspor terhadap impor tahun 1986-1988 menunjukkan trend yang positif, di mana rasio ekspor terhadap impor tahun 1986 berada pada level 1,38 ke level 1,45. Tahun 1989-2015, rasio ekspor terhadap impor cenderung berfluktuatif. Rasio ekspor terhadap impor mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 1999, di mana rasio ekspor terhadap impor berada pada level 2,03. Tahun 2012, rasio ekspor terhadap impor Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,15 dari tahun sebelumnya 1,15 menjadi 1,00. Menurut Kepala Badan Pusat statistik (BPS), Suryamin dalam ( Antaranews.com), secara keseluruhan, selama tahun 2012, baik sektor migas maupun nonmigas merosot yang mengakibatkan terjadi akumulasi penurunan total ekspor. Penurunan pada sektor migas disebabkan oleh merosotnya ekspor minyak mentah sebesar 11% dan diikuti penurunan ekspor gas yang merosot 10,28%. Selama tahun 2012, dari 10 komoditas nonmigas, tujuh diantaranya mengalami

penurunan ekspor, seperti bahan bakar mineral, lemak dan minyak lemak nabati, mesin/peralatan listrik, karet dan barang dari karet, komoditi bijih, kerak dan abu logam, kertas/karton, dan pakaian jadi bukan rajutan. Sedangkan pada tahun 2012, penurunan ekspor diikuti oleh peningkatan impor. Peningkatan impor didorong oleh melonjaknya impor migas. Terdapat 10 barang nonmigas yang mengalami kenaikan impor tertinggi sepanjang 2012, yaitu barang dari besi dan baja sebesar 36,82%, kapal terbang dan bagiannya sebesar 31,39%, kendaraan bermotor dan bagiannya sebesar 28,29%. Secara keseluruhan, peningkatan impor disebabkan oleh tingginya permintaan pasar dalam negeri dan meningkatnya barang modal.

Periode 2013-2015, rasio ekspor terhadap impor kembali meningkat jika pada tahun sebelumnya mengalami penurunan, di mana rasio ekspor terhadap impor berada pada level 1.03 (2013), 1,06 (2014), dan 1,13 (2015).

B. Analisis Data

Dokumen terkait