• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang

Pada masa sekarang ini, setiap negara semakin tidak bisa mengabaikan interaksi ekonominya dengan luar negeri. Sekalipun proses globalisasi seringkali menimbulkan korban dan memunculkan dampak sampingan yang merugikan, sementara proses liberalisasi perdagangan dunia sering berubah menjadi kancah pertarungan kepentingan negara besar saja, namun kesadaran akan pentingnya perdagangan lintas negara yang bebas terus merebak di segenap penjuru dunia (Basri, 2010:1).

Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam produksi (Basri, 2010:33).

Negara-negara berkembang seringkali menggantungkan perekonomiannya melalui perdagangan lintas negara tersebut. Ketergantungan negara-negara berkembang terutama terhadap negara-negara yang memiliki kondisi perekonomian yang cenderung kuat dan stabil dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah keterbatasan faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh negara tersebut, seperti sumber daya

alam, sumber daya manusia, maupun teknologi yang kurang memadai untuk mengelola sumber daya alam yang ada, seperti yang dialami oleh Indonesia.

Untuk mempermudah transaksi yang dilakukan dalam perdagangan internasional tersebut, penggunaan uang dalam perekonomian terbuka ditetapkan dengan menggunakan mata uang yang telah disepakati. Hal ini dikarenakan setiap negara mempunyai mata uang atau valutanya sendiri yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di dalam batas-batas negara itu sendiri, tetapi belum tentu mau diterima di negara lain. Oleh karena itu, diperlukan valuta asing atau devisa (foreign exchange), yaitu valuta (mata uang) yang mau diterima oleh dunia internasional (Gilarso, 2004:298).

Mata uang yang seringkali digunakan sebagai standar dalam pembayaran internasional adalah Dollar Amerika Serikat (US$ Dollar). Hal ini dikarenakan Amerika merupakan negara yang memiliki kondisi perekonomian yang cenderung kuat dan stabil. Selain itu, selama beratus tahun Amerika Serikat tidak begitu bergantung kepada perdagangan luar negeri karena ia praktis memiliki semua sumber daya, faktor produksi, dan komoditas sehingga perekonomiannya cukup mengandalkan pasar domestik (Basri, 2010:1). Di Indonesia sendiri, Amerika Serikat menjadi partner dagang dominan, sehingga ketika rupiah terhadap dollar AS tidak stabil, maka akan mengganggu perdagangan yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi karena perdagangan dinilai dengan dollar (Ulfia dan Aliasaddin dalam Puspitaningrum, dkk, 2014).

Penetapan mata uang tersebut dapat menyebabkan terjadinya risiko perubahan nilai tukar mata uang yang timbul karena adanya ketidakpastian nilai tukar itu sendiri. Perubahan nilai tukar ini berpengaruh langsung terhadap perkembangan harga barang dan jasa di dalam negeri (Puspitaningrum, Suhadak dan Zahroh, 2014). Ketidakstabilan nilai tukar ini akan mempengaruhi arus modal atau investasi dan perdagangan internasional (Triyono, 2008:156). Selain itu, dampak krisis nilai tukar terhadap perekonomian Indonesia yang terjadi pada tahun 1997/1998 tidak saja telah merusak kegiatan ekonomi, tetapi juga telah merusak kehidupan sosial masyarakat. Depresiasi nilai tukar yang sangat tinggi pada saat terjadi krisis nilai tukar mengakibatkan harga-harga barang impor meningkat tajam. Dengan melemahnya rupiah menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap mata uang dalam negeri (Triyono, 2008).

Pada tahun 1997, Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas. Penerapan sistem nilai tukar mengambang ini membawa dampak yang signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, di mana nilai tukar rupiah terus mengalami kemerosotan. Pada bulan Agustus 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar Rp 3.035/US$ dan pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar Rp 4.650/ US$. Memasuki tahun 1998, nilai tukar rupiah kembali melemah sebesar Rp 10.375/US$ dan bahkan pada bulan Juni 1998, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan, hingga mencapai Rp 14.900/US$. Tahun 1999, nilai tukar

rupiah terhadap US$ melakukan recovery menjadi sebesar Rp 7.810/US$. Akan tetapi, tahun 2000, nilai tukar rupiah kembali melemah menjadi Rp 8.530/US$ dan tahun 2001, nilai tukar rupiah terhadap US$ terus melemah Rp 10.265/US$. Pada tahun 2002, nilai tukar rupiah terhadap US$ menguat sebesar Rp 9.260/US$ dan tahun 2003 kembali menguat menjadi Rp 8.570/ US$. Tahun 2004 nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar Rp 8.985/US$. Pada tahun 2005, melambungnya harga minyak dunia sebesar US$ 70/barel membawa dampak yang cukup signifikan terhadap permintaan valuta asing. Kondisi ini menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap US$ melemah dan berada di kisaran Rp 9.200 sampai Rp 10.200/ US$ (Wibowo dan Amir, 2005).

UU No.24 Tahun 1999 tentang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar memperbolehkan Indonesia untuk menggunakan tiga sistem nilai tukar, yang meliputi sistem nilai tukar tetap, sistem nilai tukar mengambang, dan sistem nilai tukar mengambang terkendali. Saat ini, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter memilih untuk menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate system), di mana penetapan kurs ini tidak sepenuhnya terjadi di pasar valuta. Dalam pasar ini, masih ada campur tangan pemerintah yang mempengaruhi permintaan dan penawaran valas melalui berbagai kebijakannya di bidang moneter, fiskal, dan perdagangan luar negeri.

Perbedaan nilai tukar mata uang suatu negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 1996:129). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar, tidak terlepas dari pengaruh ekonomi global, namun dapat juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam negeri, diantaranya cadangan devisa, suku bunga, inflasi, neraca pembayaran, dan rasio ekspor terhadap impor. Berdasarkan sudut pandang teori makro ekonomi, ada empat faktor yang dapat mempengaruhi nilai tukar, yaitu tingkat suku bunga, tingkat inflasi, peredaran uang, dan neraca pembayaran.

Cadangan devisa menunjukkan pada sejumlah valas yang dicadangkan oleh Bank Sentral. Berdasarkan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, posisi cadangan devisa Indonesia (dalam juta USD) pada tahun tahun 2010 sebesar 96.207. Pada tahun 2011, posisi cadangan devisa Indonesia sebesar 110.123. Pada tahun 2012, posisi cadangan devisa Indonesia sebesar 112.781. Pada tahun 2013, posisi cadangan devisa Indonesia sebesar 99.387. Pada tahun 2014, posisi cadangan devisa Indonesia sebesar 111.862. Pada tahun 2015, posisi cadangan devisa Indonesia sebesar 100.240 (Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia. 2015).

Faktor lain yang mempengaruhi nilai tukar rupiah adalah suku bunga (BI rate). Menaikkan atau menurunkan suku bunga (BI rate) merupakan salah satu kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk mengatur jumlah uang beredar dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Perubahan

suku bunga (BI rate) akan mempengaruhi investasi pada surat berharga luar negeri. Investor yang berinteraksi secara global akan mencari negara dengan tingkat suku bunga yang menguntungkan (Situmeang, 2010:51). Menurut Imamudin dalam Oktavia (2013), peningkatan suku bunga domestik, maka akan menyebabkan mata uang domestik mengalami apresiasi. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga domestik turun, maka mata uang domestik atau kurs mengalami depresiasi. Berdasarkan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, BI Rate Indonesia pada tahun 2010 sebesar 6,50%, 2011 sebesar 6,00%, 2012 sebesar 5,75%, 2013 sebesar 7,50%, 2014 sebesar 7,75%, dan 2015 sebesar 7,50% (Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia. 2015).

Faktor berikutnya yang mempengaruhi nilai tukar rupiah adalah inflasi. Inflasi merupakan kondisi meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus sehingga dapat menurunkan nilai mata uang suatu negara (Purnomo dkk, 2013:98). Adapun salah satu penyebab inflasi adalah karena adanya kenaikan permintaan. Kenaikan permintaan ini akan mengakibatkan harga-harga naik karena penawaran tetap, yang mana faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Tingkat inflasi yang tinggi dapat melemahkan nilai tukar mata uang suatu negara. Selain itu, tingkat inflasi yang tinggi dapat memicu bertambahnya nilai impor. Berdasarkan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, tingkat inflasi Indonesia pada tahun 2010 sebesar 6,96%, 2011 sebesar 3,80%, 2012 sebesar 4,30%,

2013 sebesar 8,40%, 2014 sebesar 8,40%, dan 2015 sebesar 6,80% (Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia. 2015).

Faktor selanjutnya yang turut mempengaruhi nilai tukar rupiah adalah neraca pembayaran. Neraca pembayaran aktif meningkatkan mata uang nasional dengan meningkatnya permintaan dari debitur asing. Saldo pembayaran yang pasif menyebabkan kecenderungan penurunan nilai tukar mata uang nasional. Ukuran dampak neraca pembayaran pada nilai tukar ditentukan oleh tingkat keterbukaan ekonomi. Berdasarkan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, neraca pembayaran Indonesia (dalam juta USD) pada tahun 2010 sebesar 31.670. Tahun 2011 sebesar 15.321. Tahun 2012 sebesar 491. Tahun 2013 sebesar 4.356. Tahun 2014 sebesar 3.663. Tahun 2015 sebesar -2.857 (Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia. 2015).

Selain cadangan devisa, suku bunga, inflasi, neraca pembayaran, faktor berikutnya yang turut mempengaruhi nilai tukar rupiah adalah rasio ekspor terhadap impor. Rasio ekspor terhadap impor menunjukkan perbandingan nilai ekspor terhadap impor. Jika nilai ekspor meningkat lebih cepat dibandingkan dengan nilai impor, maka nilai tukar rupiah akan menguat atau apresiasi, sedangkan apabila nilai impor meningkat lebih cepat dibandingkan dengan nilai ekspor, maka nilai tukar rupiah akan melemah atau terdepresiasi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia, rasio ekspor terhadap impor pada tahun 2010 adalah 1,16, tahun 2011 adalah 1,15, tahun 2012 adalah 1,00, tahun 2013 adalah 1,03,

tahun 2014 adalah 1,06, dan tahun 2015 adalah 1,13 (Badan Pusat Statistik. 2014 dan Bank Indonesia. 2015).

Gejolak nilai tukar yang berlebihan tidak sesuai dengan sasaran kepentingan jangka panjang karena kestabilan nilai tukar dapat mendistorsi tingkat daya saing ekonomi, mengurangi efisiensi alokasi sumber daya dan meningkatkan ketidakpastian bagi para pelaku ekonomi.

Penelitian ini perlu dilakukan karena melihat kondisi nilai tukar rupiah terhadap US dollar yang cenderung tidak stabil dari tahun ke tahun yang pada akhirnya turut mengganggu kestabilan perekonomian dalam negeri.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis memilih judul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kurs Rupiah Periode 1986-2015”.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Stabilitas mata uang merupakan persoalan yang penting untuk mendorong kegiatan ekonomi dan menciptakan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kurs dapat dijadikan alat untuk mengukur kondisi perekonomian suatu negara. Peranan kurs baik bagi negara maju maupun negara berkembang mendorong untuk menjaga posisi kurs mata uang dalam keadaan yang relatif stabil. Menurut Salvator dalam Triyono (2008:156), nilai mata uang yang stabil menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki kondisi ekonomi yang relatif baik atau stabil. Semakin tinggi nilai tukar mata uang suatu negara

terhadap negara lain menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki perekonomian yang lebih baik daripada negara lain.

Permasalahan timbul ketika nilai tukar mata uang suatu negara cenderung tidak stabil sehingga menyebabkan stabilitas ekonomi nasional akan terganggu, di mana ketidakstabilan nilai tukar ini mempengaruhi arus modal atau investasi dan perdagangan internasional (Triyono, 2008:156).

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah seperti yang sudah dijelaskan di atas, maka peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah cadangan devisa berpengaruh terhadap kurs rupiah periode 1986-2015?

2. Apakah suku bunga berpengaruh terhadap kurs rupiah periode 1986-2015? 3. Apakah inflasi berpengaruh terhadap kurs rupiah periode 1986-2015? 4. Apakah neraca pembayaran berpengaruh terhadap kurs rupiah periode

1986-2015?

5. Apakah rasio ekspor terhadap impor berpengaruh terhadap kurs rupiah periode 1986-2015?

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012:38). Variabel-variabel dan definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Cadangan Devisa (X1) adalah total aktiva luar negeri yang dimiliki dan disimpan oleh Bank Indonesia yang digunakan untuk stabilitas moneter maupun transaksi internasional dalam kurun waktu satu tahun yang dinyatakan dalam juta dollar Amerika Serikat.

2. Suku Bunga (X2) adalah tingkat suku bunga jangka pendek yang ditetapkan dan diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik guna menjaga stabilitas nilai mata uang rupiah yang dinyatakan dalam persen dalam kurun waktu satu tahun.

3. Inflasi (X3) adalah proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah jumlah uang beredar (JUB), demand pull inflation atau adanya kenaikan permintaan masyarakat dan cost pull inflation atau adanya kenaikan biaya produksi. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara

continuedalam kurun waktu satu tahun yang dinyatakan dalam persen. 4. Neraca Pembayaran (X4) adalah nilai keseluruhan dari transaksi berjalan,

transaksi modal dan finansial, dan selisih perhitungan bersih dalam kurun waktu satu tahun yang dinyatakan dalam juta dollar Amerika Serikat.

5. Rasio Ekspor Terhadap Impor (X5) adalah perbandingan antara nilai ekspor dan impor Indonesia dalam kurun waktu satu tahun.

6. Kurs rupiah (Y) adalah nilai mata uang negara Indonesia yaitu Rupiah yang dibandingkan dengan mata uang negara Amerika Serikat yaitu Dollar AS atau US$ Dollar.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh cadangan devisa terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

2. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh suku bunga terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

3. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh inflasi terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

4. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh neraca pembayaran terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

5. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh rasio ekspor terhadap impor terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Output atau hasil dari penelitian ini diharapkan mampu mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi kurs rupiah. Penelitian ini diharapkan juga dapat digunakan sebagai bahan kajian ilmiah sehingga dapat menambah pengetahuan dan referensi peneliti selanjutnya.

2. Bagi Lembaga BI dan Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi tambahan dalam pengambilan kebijakan ekonomi yang tepat guna mempertahankan kestabilan nilai tukar.

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkembangkan sikap kritis peneliti terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kurs rupiah dan dapat dijadikan sebagai wadah untuk mengaplikasikan teori tentang nilai tukar valuta asing yang telah dipelajari selama perkuliahan.

13

Dokumen terkait