• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasio Ekspor Terhadap Impor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah

5. Rasio Ekspor Terhadap Impor

6. Kurs rupiah (Y) adalah nilai mata uang negara Indonesia yaitu Rupiah yang dibandingkan dengan mata uang negara Amerika Serikat yaitu Dollar AS atau US$ Dollar.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh cadangan devisa terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

2. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh suku bunga terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

3. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh inflasi terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

4. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh neraca pembayaran terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

5. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh rasio ekspor terhadap impor terhadap kurs rupiah periode 1986-2015.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Output atau hasil dari penelitian ini diharapkan mampu mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi kurs rupiah. Penelitian ini diharapkan juga dapat digunakan sebagai bahan kajian ilmiah sehingga dapat menambah pengetahuan dan referensi peneliti selanjutnya.

2. Bagi Lembaga BI dan Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi tambahan dalam pengambilan kebijakan ekonomi yang tepat guna mempertahankan kestabilan nilai tukar.

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkembangkan sikap kritis peneliti terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kurs rupiah dan dapat dijadikan sebagai wadah untuk mengaplikasikan teori tentang nilai tukar valuta asing yang telah dipelajari selama perkuliahan.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kurs (Foreign Exchange Rate) 1. Pengertian Kurs

Menurut Salvatore (1994:140), kurs adalah jumlah atau harga mata uang domestik dari mata uang luar negeri (asing). Menurut Samuelson dan Nordhaus (1994:450), kurs atau nilai tukar valuta asing adalah harga mata uang negara asing dalam satuan mata uang domestik. Menurut Krugman dan Obstfeld (2005), kurs atau nilai tukar (exchange rate) adalah harga sebuah mata uang dari suatu negara, yang diukur atau dinyatakan dalam mata uang lainnya.

Mata uang suatu negara dapat ditukarkan atau diperjualbelikan dengan mata uang negara lainnya sesuai dengan nilai tukar mata uang yang berlaku di pasar mata uang atau yang sering disebut dengan pasar valuta asing. Pasar valuta asing adalah suatu jaringan organisasional yang di dalamnya terdapat individu-individu, perusahaan-perusahaan dan bank-bank yang melakukan pembelian dan penjualan valuta asing atau devisa (Salvatore, 1994:140).

Nilai tukar biasanya berubah-ubah, dapat berupa apresiasi maupun depresiasi. Suatu kenaikan dalam kurs disebut depresiasi atau penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. Suatu penurunan dalam kurs disebut apresiasi atau kenaikan nilai mata uang dalam negeri.

2. Penentuan Nilai Tukar

Menurut Madura (1993), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu:

a) Faktor Fundamental

Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi, suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar negara, ekspektasi pasar dan intervensi Bank Sentral.

b) Faktor Teknis

Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa pada saat-saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap, maka harga valas akan naik dan sebaliknya.

c) Sentimen Pasar

Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita politik yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik atau turun secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal.

3. Sistem Nilai Tukar Mata Uang

Sistem nilai tukar dapat diklasifikasikan menurut seberapa jauh nilai tukar dikendalikan oleh pemerintah. Menurut Madura (1997:156-160), sistem nilai tukar dibagi menjadi empat, yaitu:

a) Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate System)

Dalam sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate system), nilai tukar dibuat konstan atau hanya dibiarkan berfluktuasi dalam batas-batas yang sangat sempit. Jika nilai tukar bergerak terlalu tajam, pemerintah dapat melakukan intervensi untuk mempertahankannya dalam batas-batas yang dimaksud.

b) Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate System)

Sistem nilai tukar sejumlah valuta yang ada sekarang berada di antara sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar mengambang bebas. Sistem tersebut menyerupai sistem mengambang bebas, karena nilai tukar dibiarkan berfluktuasi setiap hari dan tidak ada batasan resmi. Tetapi, menyerupai sistem nilai tukar tetap dalam hal pemerintah dapat dan kadang-kadang melakukan intervensi untuk mencegah valuta mereka berfluktuasi terlalu tajam ke satu arah.

c) Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (Free Floating Exchange Rate System)

Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar valuta akan ditentukan oleh kekuatan pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Dalam sistem ini, perusahaan-perusahaan multinasional perlu mencurahkan sumber daya yang substansial untuk mengukur dan mengelola valuta asing.

d) Sistem Nilai Tukar Terpatok

Sistem nilai tukar terpatok adalah sistem nilai tukar di mana valuta suatu negara dipatokkan (dikaitkan) ke suatu valuta lain, atau ke suatu unit perhitungan. Walaupun nilai valuta lokal tetap dalam hubungannya dengan valuta asing yang menjadi patokan, valuta tersebut bergerak relatif mengikuti valuta-valuta lain.

Dalam hal pemilihan sistem nilai tukar mata uang yang sesuai dengan perekonomian suatu negara, Goeltom dan Zulferdi (1998) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan sistem nilai tukar mata uang suatu negara, antara lain:

a) Preferensi suatu negara terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatu negara lebih cenderung menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Apabila suatu negara lebih cenderung menerapkan sistem ekonomi yang tertutup dan mengisolasikan gejala keuangan dari negara lain, maka sistem nilai tukar mata uang tetap dapat menjadi pilihan utama. Sebaliknya, apabila suatu negara lebih cenderung menerapkan sistem ekonomi yang terbuka, maka sistem nilai tukar mata uang yang lebih fleksibel menjadi pilihan utama. b) Tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijakan

ekonomi. Misalnya, dalam pelaksanaan kebijakan moneter yang independen, suatu negara lebih baik memilih sistem nilai tukar yang fleksibel sebagai pilihan utama.

c) Kegiatan perekonomian suatu negara. Jika kegiatan perekonomian suatu negara semakin besar maka volume transaksi ekonomi meningkat sehingga permintaan uang akan bertambah. Dalam hal ini, sistem yang tepat digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel, karena jika negara tersebut memiliki sistem nilai tukar tetap akan dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk menjaga kredibilitas sistem nilai tukar.

4. Perkembangan Sistem Nilai Tukar Mata Uang di Indonesia

Sejak tahun 1966 hingga sekarang, Indonesia telah menerapkan empat sistem nilai tukar mata uang yang berbeda. Sistem nilai tukar mata uang yang berlaku di Indonesia, diantaranya:

a) Sistem Nilai Tukar Mata Uang Berganda (Multiple Exchange Rate System)

Sistem nilai tukar mata uang ini diterapkan sejak Oktober 1966 sampai dengan Juli 1971. Penggunaan sistem nilai tukar ini dilakukan dalam rangka untuk menghadapi fluktuasi nilai rupiah serta untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing yang hilang karena adanya inflasi dua digit selama periode tersebut.

b) Sistem Nilai Tukar Mata Uang Tetap (Fixed Exchange Rate System) Sistem nilai tukar mata uang ini berlaku sejak Agustus 1971 sampai dengan Oktober 1978. Dengan sistem ini, nilai rupiah ditetapkan dalam suatu nilai tetap terhadap dollar Amerika serikat, yaitu US$1 = Rp.415,00. Pemberlakuan sistem ini dilandasi oleh

kuatnya posisi neraca pembayaran dalam kurun waktu tersebut. Neraca pembayaran tersebut kuat karena sektor migas mempunyai peran besar dalam penerimaan devisa ekspor yang didukung oleh peningkatan harga minyak mentah.

c) Sistem Nilai Tukar Mata Uang Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate System)

Sistem nilai tukar mata uang ini diterapkan sejak November 1978 sampai dengan Agustus 1997. Pada periode ini nilai rupiah tidak hanya dikaitkan dengan dollar Amerika Serikat, tetapi juga beberapa mata uang asing lainnya. Pada masa ini telah terjadi tiga kali devaluasi, yaitu pada bulan November 1978, Maret 1983 dan September 1986. Setelah devaluasi tahun 1986, nilai rupiah diperbolehkan terdepresiasi sebesar 3-5% per tahun untuk mempertahankan nilai tukar riil yang lebih baik. Sistem nilai tukar mata uang mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan kebijakan devaluasi rupiah pada tahun 1978 sebesar 33%.

d) Sistem Nilai Tukar Mata Uang Mengambang Bebas (Free Floating Exchange Rate System)

Sistem ini diberlakukan sejak 14 Agustus 1997 hingga sekarang. Pada periode ini, Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing karena semata-mata untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Pada awal penerapannya, sistem nilai tukar mata uang ini menimbulkan

gejolak yang berlebihan, di mana nilai tukar rupiah berfluktuasi amat cepat. Banyak faktor yang akhirnya menyebabkan nilai tukar rupiah merosot tajam, mulai dari aksi ambil untung oleh para pelaku pasar uang serta tingginya permintaan dollar Amerika Serikat oleh perusahaan domestik untuk membayar hutang-hutang luar negeri mereka yang telah jatuh tempo.

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah 1. Cadangan Devisa

Posisi cadangan devisa suatu negara biasanya dinyatakan aman apabila mencukupi kebutuhan impor untuk jangka waktu setidak-tidaknya tiga bulan. Jika cadangan devisa yang dimiliki tidak mencukupi kebutuhan untuk tiga bulan impor, maka hal itu dianggap rawan. Tipisnya persediaan valuta asing suatu negara dapat menimbulkan kesulitan ekonomi bagi negara yang bersangkutan. Bukan saja negara tersebut akan kesulitan mengimpor barang-barang yang dibutuhkan dari luar negeri, tetapi juga memerosotkan kredibilitas mata uangnya. Kurs mata uangnya di pasar valuta asing akan melemah. Apabila posisi cadangan devisa itu terus menipis dan semakin menipis, maka dapat terjadi “rush” terhadap valuta asing di dalam negeri. Menghadapi keadaan demikian, sering terjadi pemerintah negara yang bersangkutan akhirnya terpaksa melakukan devaluasi (Dumairy, 1996:107). Makin menipisnya cadangan devisa juga

merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kerentanan ekonomi Indonesia, yaitu makin memperburuk kondisi perekonomian nasional. 2. Suku Bunga

Menurut Krugman (2000:73) dalam Oktavia, dkk (2013:154), kenaikan suku bunga domestik akan menyebabkan apresiasi kurs suatu negara, sedangkan kenaikan suku bunga luar negeri akan menyebabkan kurs domestik mengalami depresiasi terhadap kurs negara lain. Hal ini sesuai dengan Imamudin dalam Oktavia, dkk (2013:154) yang mengemukakan bahwa peningkatan suku bunga domestik, maka akan menyebabkan mata uang domestik akan menguat. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga domestik turun, maka mata uang domestik atau kurs akan melemah.

Perubahan pada suku bunga relatif mempengaruhi investasi pada sekuritas asing, yang akan mempengaruhi permintaan dan penawaran mata uang, sehingga akan mempengaruhi kurs/nilai tukar (Perdana, dkk, 2014:3). Menurut Arifin (1998:4) dalam Triyono (2008:159), pengetatan moneter yang mendorong peningkatan suku bunga akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar karena adanya pemasukan modal dari luar negeri.

Hubungan antara suku bunga relatif dan nilai tukar antara dua negara dijelaskan oleh teori dampak fisher internasional (international fisher effect-IFE). Menurut Berlianta (2005:20) dalam Puspitaningrum, dkk (2014:4), teori international fisher effect menunjukkan pergerakan nilai mata uang satu negara dibanding negara lain disebabkan oleh

perbedaan suku bunga nominal yang ada di kedua negara tersebut. Implikasi international fisher effect adalah orang tidak bisa menikmati keuntungan yang lebih tinggi hanya dengan menanamkan dana ke negara yang mempunyai suku bunga nominal tinggi, karena nilai mata uang negara yang suku bunganya tinggi akan terdepresiasi sebesar selisih bunga nominal dengan negara yang memiki suku bunga nominal lebih rendah.

Perbedaan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan jumlah investasi di suatu negara, baik yang berasal dari investor domestik maupun dari investor asing, khususnya pada jenis investasi portofolio yang umumnya berjangka pendek. Perubahan tingkat suku bunga ini akan berpengaruh pada perubahan jumlah permintaan dan penawaran di pasar uang domestik. Apabila dalam suatu negara terjadi peningkatan aliran modal masuk (capital inflows) dari luar negeri, hal ini meyebabkan terjadinya perubahan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang asing di pasar valuta asing (Madura, 2000) dalam Murdayanti (2012:120).

3. Inflasi

Salah satu penyebab inflasi adalah karena jumlah uang yang beredar meningkat. Jumlah uang beredar mengakibatkan meningkatnya inflasi domestik dan selanjutnya nilai tukar rupiah menurun, jika kebijakan moneter bersifat ekspansif.

Inflasi yang terjadi di suatu negara dapat menurunkan nilai mata uangnya. Kenaikan harga-harga (inflasi) menyebabkan penduduk negara tersebut semakin banyak mengimpor dari negara lain, sehingga permintaan akan valuta asing bertambah. Di lain pihak, ekspor negara tersebut bertambah mahal dan ini akan mengurangi permintaannya, sehingga akan menurunkan penawaran valuta asing (Sukirno, 1981:295).

Tingkat inflasi yang tinggi dapat melemahkan nilai tukar mata uang suatu negara. Selain itu, tingkat inflasi yang tinggi dapat memicu bertambahnya nilai impor. Menurut Madura (2006:299) dalam Puspitaningrum (2014:3), perubahan dalam laju inflasi dapat mempengaruhi aktivitas perdagangan internasional. Jika inflasi suatu negara meningkat, permintaan atas mata uang negara tersebut menurun, dikarenakan ekspornya juga turun (disebabkan harga yang lebih tinggi).

Menurut Charles, et al dalam Oktavia, dkk (2013:154), hubungan inflasi dengan nilai tukar adalah positif. Berdasarkan pendekatan

purchasing power parity, bila terjadi peningkatan inflasi, maka untuk mempertahankan keseimbangan law of one price, nilai tukar harus terdepresiasi. Teori purchasing power parity juga mengatakan bahwa negara yang mata uangnya mengalami tingkat inflasi yang tinggi seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap mata uang dengan tingkat inflasi yang lebih rendah.

4. Neraca Pembayaran

Posisi Balance of Payment (BOP) atau neraca pembayaran sangat berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing. Balance of Payment dan Balance of Trading

mencerminkan arus uang masuk dan keluar dari suatu negara. Neraca pembayaran yang surplus mencerminkan adanya aliran valuta asing yang masuk dalam perekonomian negara tersebut, baik melalui transaksi barang dan jasa maupun aset, sehingga menyebabkan bertambahnya valuta asing di negara tersebut dan mengakibatkan terjadinya apresiasi mata uang domestik terhadap mata uang asing.

Neraca pembayaran yang defisit menandakan telah terjadinya aliran dana keluar neto ke luar negeri sehingga terjadi exess demand

terhadap valuta asing dan ini mengakibatkan melemahnya mata uang domestik. Neraca pembayaran yang surplus menggambarkan keadaan ekspor yang lebih besar dibandingkan dengan impor. Ketika ekspor meningkat, maka arus uang yang masuk dalam bentuk valuta asing ke dalam negeri semakin besar (Muchlas, 2015:78).

5. Rasio Ekspor terhadap Impor

Rasio ekspor terhadap impor menunjukkan perbandingan nilai ekspor terhadap impor. Jika ekspor meningkat lebih cepat dibandingkan impor, maka nilai tukar mata uang suatu negara cenderung menguat atau apresiasi. Hal ini dikarenakan, semakin tinggi nilai ekspor akan berdampak pada tingginya permintaan terhadap rupiah sehingga nilai tukar rupiah

akan menguat atau apresiasi. Sebaliknya, jika impor meningkat lebih cepat dibandingkan ekspor, maka nilai tukar mata uang suatu negara akan melemah atau terdepresiasi. Hal ini dikarenakan, semakin tinggi nilai impor mengakibatkan permintaan terhadap mata uang asing meningkat, yang pada akhirnya berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah.

Menurut Sukirno (2013:402), perubahan dalam permintaan dan penawaran suatu valuta, yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam kurs valuta, disebabkan oleh banyak faktor, yaitu:

1. Perubahan Dalam Citarasa Masyarakat

Perubahan citarasa masyarakat akan mengubah corak konsumsi atas barang-barang yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor. Perbaikan kualitas barang-barang dalam negeri menyebabkan keinginan mengimpor berkurang dan dapat meningkatkan ekspor. Perbaikan kualitas barang-barang impor menyebabkan keinginan masyarakat untuk mengimpor bertambah besar. Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing.

2. Perubahan Harga Barang Ekspor dan Impor

Barang-barang dalam negeri yang dijual dengan harga yang relatif murah akan meningkatkan ekspor dan apabila harganya naik maka ekspornya akan berkurang. Pengurangan harga barang impor akan menambah jumlah impor, dan sebaliknya kenaikan harga barang impor akan mengurangi impor. Dengan demikian, perubahan harga barang ekspor dan impor akan

menyebabkan perubahan dalam penawaran dan permintaan mata uang negara tersebut.

3. Kenaikan Harga Umum (Inflasi)

Inflasi sangat besar pengaruhnya terhadap kurs pertukaran valuta asing. Inflasi cenderung menurunkan nilai suatu valuta asing. Inflasi menyebabkan harga-harga di dalam negeri lebih mahal dari harga-harga di luar negeri, sehingga inflasi akan menambah impor dan meningkatkan permintaan valuta asing. Selain itu, inflasi menyebabkan harga barang-barang ekspor menjadi lebih mahal, sehingga inflasi akan mengurangi ekspor dan penawaran valuta asing akan berkurang.

4. Perubahan Suku Bunga dan Tingkat Pengembalian Investasi

Suku bunga dan tingkat pengembalian investasi sangat penting peranannya dalam mempengaruhi aliran modal. Suku bunga dan tingkat pengembalian investasi yang rendah menyebabkan modal dalam negeri mengalir ke luar negeri. Sedangkan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi yang tinggi menyebabkan modal luar negeri masuk ke negara tersebut. Apabila lebih banyak modal mengalir ke suatu negara maka permintaan atas mata uangnya bertambah dan nilai mata uang tersebut bertambah. Sebaliknya, nilai mata suatu negara akan merosot apabila lebih banyak modal negara dialirkan ke luar negeri karena suku bunga dan tingkat pengembalian investasi yang lebih tinggi di negara-negara lain.

5. Pertumbuhan Ekonomi

Efek yang akan diakibatkan oleh suatu kemajuan ekonomi kepada nilai mata uangnya tergantung kepada corak pertumbuhan ekonomi yang berlaku. Apabila kemajuan ekonomi tersebut diakibatkan oleh perkembangan ekspor, maka permintaan atas mata uang negara tersebut bertambah lebih cepat dari penawarannya dan nilai mata uang negara tersebut akan naik. Sebaliknya, apabila kemajuan tersebut menyebabkan impor berkembang lebih cepat dari ekspor, maka penawaran mata uang negara tersebut lebih cepat bertambah dari permintaannya dan nilai mata uang negara tersebut akan merosot.

Menurut Murdayanti (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar mata uang adalah:

1. Perbedaan Tingkat Inflasi

Kenaikan tingkat inflasi yang mendadak dan besar di suatu negara akan menyebabkan meningkatnya impor oleh negara tersebut terhadap berbagai barang dan jasa dari luar negeri, sehingga diperlukan banyak valuta asing untuk membayar transaksi impor tersebut. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya permintaan valuta asing di pasar valuta asing (Madura, 2000:210).

2. Perbedaan Tingkat Suku Bunga

Perubahan tingkat suku bunga akan berdampak pada jumlah investasi di suatu negara, baik yang berasl dari investor domestik maupun investor asing, khususnya pada jenis-jenis investasi portofolio yang

umumnya berjangka pendek. Perubahan tingkat suku bunga ini akan berpengaruh pada perubahan jumlah permintaan dan penawaran di pasar uang domestik. Apabila negara tersebut menganut rezim devisa bebas, maka dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan aliran modal masuk (capital flow) dari luar negeri. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang asing di pasar valuta asing (Madura, 2000:222).

3. Perbedaan Tingkat Pendapatan Nasional

Dalam pendekatan moneter, perbedaan tingkat pendapatan nasional di dua negara akan dapat mempengaruhi transaksi ekspor dan impor barang maupun transaksi aset lintas negara yang bersangkutan. Hal tersebut dapat mempengaruhi perubahan jumlah permintaan dan penawaran valuta asing di negara-negara tersebut, yang juga akan berpengaruh terhadap nilai kurs yang berlaku pada sistem kurs mengambang bebas. Dengan kata lain, jumlah pertumbuhan output riil di suatu negara sangat mempengaruhi jumlah permintaan uang domestik dari luar negeri yang mengakibatkan jumlah penawaran uang semakin berharga dan menyebabkan apresiasi mata uang domestik. 4. Perbedaan Jumlah Uang Beredar

Jumlah uang beredar yang berlebihan dalam suatu negara akan menyebabkan nilai tukar mata uangnya terdepresiasi karena tidak diimbangi dengan permintaan yang sesuai. Sebaliknya, jika permintaan akan mata uang lebih besar daripada jumlah kenaikan penawaran uang,

maka nilai tukar mata uangnya akan menguat (apresiasi) (Salvatore, 1997:323).

5. Posisi Neraca Pembayaran

Surplus neraca pembayaran menunjukkan adanya aliran valuta asing yang masuk netto di dalam perekonomian negara tersebut melalui transaksi financial dan assets, sehingga nilai tukar rupiah akan menguat. Sebaliknya, neraca pembayaran yang defisit menunjukkan telah terjadinya aliran dana keluar netto ke luar negeri (Krugman, 2000:23).

Menurut Martin (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar mata uang adalah:

1. Perbedaan Tingkat Inflasi Antara Dua Negara

Suatu negara yang tingkat inflasinya konsisten rendah akan lebih kuat nilai tukar mata uangnya dibandingkan negara yang inflasinya lebih tinggi. Daya beli (purchasing power) mata uang tersebut relatif lebih besar dari negara lain. Pada akhir abad 20 lalu, negara-negara dengan tingkat inflasi rendah adalah Jepang, Jerman dan Swiss, sementara Amerika Serikat dan Canada menyusul kemudian. Nilai tukar mata uang negara-negara yang inflasinya lebih tinggi akan mengalami depresiasi dibandingkan negara partnerdagangnya.

2. Perbedaan Tingkat Suku Bunga Antara Dua Negara

Suku bunga, inflasi, dan nilai tukar sangat berhubungan erat. Dengan merubah tingkat suku bunga, Bank Sentral suatu negara bisa mempengaruhi inflasi dan nilai tukar mata uang. Suku bunga yang lebih tinggi akan menyebabkan permintaan mata uang negara tersebut meningkat. Investor domestik dan luar negeri akan tertarik dengan

return yang lebih besar. Akan tetapi, jika inflasi kembali tinggi, investor akan keluar hingga Bank Sentral menaikkan suku bunganya lagi. Sebaliknya, jika Bank Sentral menurunkan suku bunga maka akan

Dokumen terkait