• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik ini digunakan karena sampel yang dibutuhkan membutuhkan pertimbangan tertentu agar hasil penelitian menjadi relevan.

Peneliti menetapkan tempat penelitian di SMKN 1 Yogyakarta karena SMK lebih disiapkan untuk berhadapan untuk berinteraksi dengan masyarakat secara langsung ketika mereka lulus, sehingga diharapkan gerakan penguatan pendidikan karakter sudah dilaksanakan secara maksimal. Peneliti menetapkan sekolah negeri karena diharapkan sekolah negeri sebagai bagian dari institusi pemerintah dapat menjadi contoh bagi sekolah lain.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumen, namun karena terjadi pandemi dan kelas dilakukan secara online, sehingga teknik observasi tidak dapat dilakukan.

Pengambilan data dilaksanakan mulai bulan maret hingga bulan juli 2020. Wawancara pertama dilakukan pada bulan maret bersama dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, guru bk, guru agama, dan wali kelas XI Akuntansi 1, sementara wawancara kedua dilakukan pada bulan

mei bersama orang tua siswa dan siswa, namun karena terjadi pandemi covid 19, wawancara kedua hanya dilakukan melalui google form. Untuk melengkapi data, maka pada bulan juli peneliti kembali melakukan wawancara dengan peserta didik melalui whatsapp.

Setelah mengambil data di lapangan, peneliti melakukan analisis data menggunakan teknik Miles and Hubberman seperti yang dijelaskan pada BAB III. Setelah menganalisis data, peneliti kembali ke lapangan untuk melengkapi data dan menganalisis data kembali hingga data dianggap valid menggunakan berbagai pengujian keabsahan data pada BAB III. Setelah mendapatkan data yang cukup, peneliti kembali melakukan reduksi data untuk memilih data yang sesuai dengan tema, melakukan display data, dan membuat konklusi pada pembahasan. Berikut adalah hasil data yang ditampilkan oleh peneliti:

Sekolah Pendidikan Karakter Masyarakat Keluarga Kelas Budaya Sekolah Masyarakat Kreatif Disiplin

1. Pendekatan Kelas, Budaya Sekolah, dan Masyarakat

Gerakan penguatan pendidikan karakter di SMK Negeri 1 Yogyakarta dilaksanakan menggunakan pendekatan berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat guna mengoptimalkan fungsi kemitraan tripusat sesuai dengan pasal 6 ayat 1.

a. Pendekatan Berbasis Kelas

Proses pembelajaran SMK Negeri 1 Yogyakarta di kelas diawali dengan doa bersama, kemudian diikuti dengan mengecek kebersihan kelas, dan membersihkan kelas terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran guna mendisiplinkan anak untuk selalu menjaga kebersihan dan menanamkan karakter peduli lingkungan. Pada saat inti pembelajaran pun pendidikan karakter disisipkan dalam materi pelajaran, misalnya dalam sebuah tayangan, guru selalu menanyakan karakter apa yang muncul. Saat mengerjakan tugas guru juga menanyakan karakter apa yang lebih ditonjolkan, misalnya gotong royong saat tugas kelompok. Saat ujian juga ditanamkan karakter kejujuran. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara kepala sekolah dan wali kelas dengan penulis sebagai berikut:

“Misalnya menanamkan kebersihan, sebelum memulai pelajaran, dilihat kanan kirinya, dilihat bangkunya, ada tidak yang masih kotor, kalau masih ada jangan dimulai pembelajarannya, kita bersama gotong royong membersihkan kelas. Ketika pulang juga seperti itu, dicek lantainya, kursinya, lacinya, ada tidak yang masih kotor, itu kan pendidikan karakter.”

“Kalau saya lebih kepada kalau kita memulai pelajaran dibuka dengan doa, kemudian ketika saya menstimulasikan anak-anak itu saya kaitkan dengan penerapan karakter, misalnya ada tayangan seperti ini kira-kira karakter apa yang muncul, kemudian yang kedua ketika mengerjakan soal karakter apa yang lebih ditonjolkan, misalnya gotong royong, atau saat ujian berarti harus (karakter) kejujuran yang dimunculkan. Nanti ketika saat refleksi juga sama, hari ini belajar apa, karakter apa yang timbul.”

Menurut beberapa peserta didik, pendidikan karakter yang diselipkan dalam pelajaran masih belum cukup dirasakan oleh peserta didik. Sebagian besar pendidik masih fokus menerangkan materi pokok. Namun ada juga peserta didik yang merasa pendidik sudah sering menyelipkan pendidikan karakter dalam materi pembelajaran. Hal tersebut disampaikan oleh peserta didik seperti sebagai berikut:

“enggak sih kak, cuma ngajar materi aja”

“jarang banget kak guru-guru lebih fokus sama materi yang dibahas” “sering banget kalau ini, terus nanti juga cerita-cerita sampai 1 jam pelajaran”

Berdasarkan pertanyaan yang pernah diajukan oleh wali kelas kepada peserta didik, mereka mengaku lebih senang menggunakan media dalam bentuk video daripada power point, terutama jika pembelajaran yang dilakukan berkaitan dengan kehidupan peserta didik. Melalui komunikasi dengan peserta didik, pendidik dapat menciptakan lingkungan belajar yang nyaman sehingga siswa dapat menemukan kegembiraan serta mampu mengembangkan kreativitas dan ilmunya dalam proses belajar. Hal tersebut sesuai dengan wawancara peneliti kepada wali kelas sebagai berikut:

“waktu itu memang tanggapannya anak lebih suka diberikan medianya seperti video dibandingkan power point karena mungkin sudah terbiasa semua guru sekarang sudah menggunakan power

point. Tapi kalau anak diberikan dalam bentuk video, apalagi dalam

bentuk video itu memang terjadi di keseharian anak, nah anak-anak akan lebih semangat belajarnya. Kadang-kadang saya menggunakan koran, seperti mencari kalimat, jadi waktu 2 jam itu tidak terasa.”

Beberapa guru juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kreativitas melalui penugasan. Hal ini diungkapkan oleh guru mata pelajaran agama sebagai berikut:

“Caranya misalnya saat membuat presentasi itu kan saya suruh membuat power point terlebih dahulu, nah kreasinya disitu, kemudian kalau ada pelajaran tentang akhlak misalnya kejujuran, atau muamalah seperti itu mereka saya minta untuk praktik, kemudian dividio atau mungkin nanti membuat drama di kelas, simulasi di kelas, kemudian kalau muamalah itu saya minta anak untuk wawancara misalnya tentang perbankan saya minta wawancara salah satu pegawai bank, atau kalau jual beli ya saya minta mereka untuk ke pasar tradisional melakukan jual beli, tawar menawar dengan pedagang di pasar tradisional. Ya intinya masuk ke dalam tugas-tugas mereka.”

Sementara peserta didik mengaku lebih senang dengan pembelajaran yang menggunakan game. Mereka mengaku bosan dengan pembelajaran yang menggunakan power point. Peserta didik lain juga lebih senang dengan penugasan maupun kuis karena apabila guru hanya menerangkan membuat peserta didik mengantuk.

“menurut aku sendiri pembelajarannya diselingi sama game gitu

biar nggak terlalu tegang tapi serius juga gurunya nggak cuma

sekedar tempat untuk menyampaikan materi tapi juga bisa jadi teman gitu kak”

“perkenalan dulu sama materi yg mau dibahas, terus nanti ada kuis atau kalau enggak latihan-latihan tapi yang bikin nggak spaneng

soalnya kalau dijelasin terus suka ngantuk, apalagi kalau siang. Kalau ngerjain tugas kan nanti bisa tanya teman terus bisa ngobrol juga”

“kalau menurut saya sendiri lebih suka yang ada game nya kalau disuruh diskusi sendiri atau bikin power point gitu nggak bisa masuk ke otak terus bikin bosen sama ngantuk”

Saat penulis melakukan wawancara kepada kepala sekolah dan wakasek kurikulum, belum ada pelatihan khusus untuk guru berkaitan dengan penguatan pendidikan karakter. Pelatihan yang ada saat ini masih secara umum dan pendidikan karakter hanya diselipkan di pelatihan tersebut. Guru telah memiliki sedikit pengetahuan untuk melaksanakan gerakan penguatan pendidikan karakter, namun alangkah lebih baik apabila ada pelatihan khusus yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Berikut hasil wawancara yang dilakukan kepada kepala sekolah:

“Biasanya kita ada IHT (in house training) setiap semester sekali itu (pendidikan karakter) kita selipkan disitu, di dalam RPP itu kan juga memuat itu kan, ada nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jiwa sosial, dan sebagainya, itu sudah include di dalamnya. Jadi masing-masing guru sudah mempunyai kewajiban untuk mendidik karakter anak yang diajarnya.”

SMK Negeri 1 Yogyakarta tidak memiliki mata pelajaran khusus mengenai pendidikan karakter, semua karakter yang ditanamkan terintegrasi dengan semua mata pelajaran, sehingga peserta didik tidak hanya mengenal karakter yang baik, tetapi juga mencintai dan menerapkan karakter yang diajarkan di sekolah. Karakter yang dikembangkan sesuai dengan karakter yang ditetapkan oleh permendikbud nomor 20 tahun 2018 dan diterjemahkan oleh wakasek

kurikulum. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara wakil kepala sekolah bidang kurikulum, dengan penulis sebagai berikut:

“Tidak, kami (pendidikan karakter) terintegrasi dengan semua mata pelajaran, jadi tidak berdiri sendiri tetapi pendidikan akhlak, moral, etika, pendidikan karakter itu terintegrasi dengan semua mapel (mata pelajaran), semua guru harus menanamkan itu (pendidikan karakter), semua mapel harus mengintegrasikan di setiap pertemuannya. Jadi kan di kegiatan itu ada pendahuluan, inti, penutupan, penanaman bisa di kegiatan pendahuluan kalau kita mau memberikan motivasi, kalau pas pembelajaran bisa dikaitkan ya kita masukkan disitu, kemudian di dalam proses-proses pun sebenarnya kita tidak bisa terlepas kalau secara tidak langsung kita di dalam proses pembelajaran, di kegiatan inti pun juga menanamkan banyak karakter disitu, misalnya kerja kelompok kalau kita benar-benar mengarahkan ke anak itu sudah menanamkan karakter gotong royong, menghargai pendapat orang, jadi terintegrasi dengan semua mapel.”

“Karakter yang dikembangkan kami atur, misalnya kelas X kami aturnya elekurikulum, misalnya aspek sikap yang dikembangkan dari 5 karakter penilaian kami bagi yang kelas X integritas, religious, nasionalis, mandiri, gotong royong, jadi apapun mapelnya, diintegritas nanti kita coba masukan seperti anti korupsi, tidak boleh menyontek, dan sebagainya, jadi semua guru mapel yang ngajar kelas X harus mencakup ini semua. Kemudian yang di kelas XI dan 12 itu jujur, disiplin, tanggung jawab, toleransi, gotong royong, santun dan sopan, percaya diri, jadi nanti saat kelas X naik ke kelas XI akan mendapatkan karakter kelas XI dan 12, apapun bentuknya akan masih dalam koridor itu. “

Hal ini sesuai dengan ketentuan permendikbud nomor 20 tahun 2018 pasal 6 ayat 2, yaitu mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam proses pembelajaran secara tematik atau terintegrasi dalam mata pelajaran sesuai dengan isi kurikulum. Menurut Mochtar Buchori, 2007 dalam (Fathurrohman, 2013: 87-88) pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai

secara nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di sekolah perlu segera dikaji, dan dicari alternatif, alternatif solusinya, serta perlu dikembangkan secara lebih operasional sehingga mudah dioperasikan di sekolah. Pendidikan karakter pada dasarnya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Di dalam kelas, pendidik memiliki hubungan yang dekat dengan peserta didik, namun juga dapat bertindak tegas apabila diperlukan. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada pendidik, beliau mengaku memiliki hubungan yang baik dengan peserta didik, namun beliau juga berperilaku tegas di dalam kelas agar peserta didik mau mengikuti instruksi pendidik, seperti wawancara yang dilakukan kepada guru agama sebagai berikut:

“Dekat tapi tidak terlalu dekat, jauh juga tidak terlalu jauh, dalam artian saya bisa memposisikan diri seperti mereka, tapi saya juga memposisikan diri yang kadang lebih tegas, karena kalau kita terlalu dekat dengan anak, mereka tidak mau mengikuti aturan kita, tapi kalau kita terlalu mengekang ke anak, mereka juga semakin membantah, jadi ya ada waktunya kita bisa sharing gabung dengan mereka, ada waktunya dimana kita harus tegas dari mereka. Jadi misalnya saat bertemu di luar, tidak jam pelajaran begitu ya saling

sapa, saling bercanda, tapi nanti ketika di dalam kelas saya sudah mulai menjelaskan ya sudah anak-anak harus mendengarkan kecuali kalau ada yang rame, perlu digertak, ya kita gertak aja, jadi biar anaknya bisa memilah dimana posisinya dia. Tidak terlalu dekat tidak terlalu jauh.”

Menurut peserta didik, pendidik yang memiliki relasi dekat dengan peserta didik adalah pendidik yang suka bercerita dan tidak galak. Sebagian peserta didik merasa relasi pendidik dengan peserta didik relatif belum dekat, sementara sebagian merasa relatif dekat.

“beda-beda sih kak, di sekolah pastikan ada guru killer ada juga yang asik banget malah kayak kakak kelas sendiri tapi kebanyakan ya takut guru sih”

“kalau di kelasku kita dekat sama guru yang suka cerita dan bercanda kak, tapi sebagian besar jauh sama guru. Bukan karena galak, malah kalau yang galak biasanya sering cerita"

“tergantung gurunya kak, kalau gurunya judes ya takut tapi kebanyakan gurunya asik”

Setiap guru di SMK Negeri 1 Yogyakarta memiliki cara tersendiri dalam memberikan jeda waktu istirahat untuk meningkatkan konsentrasi peserta didik. Misalnya guru agama menerapkannya dengan selalu mendorong anak-anak untuk terus bergerak melalui praktik kegiatan keagamaan, dan juga memberikan waktu sharing apabila peserta didik dirasa sudah bosan seperti hasil wawancara kepada guru agama sebagai berikut:

“Saya kebetulan mengajar tidak ada yang diletakkan di jam 1, 2, 3, saya selalu mengajar di jam ke 4-10. Di jam 5, 6, 7 kan nanti 5,6 pelajaran, kemudian jeda istirahat baru jam ke 7, nah saya biasanya di jam ke 6 kan sudah mepet waktunya dhuhur, jadi saya beri kesempatan ke anak mungkin 10 menit sebelum adzan mereka sudah

bersiap-siap untuk wudhu, jadi ketika adzan mereka sudah di mushola, atau kalau yang di jam agak pagi misanya 4,5,6, di jam ke 4 saya beri waktu untuk shalat dhuha terlebih dahulu, jadi di awal mereka sudah saya kondisikan untuk shalat terlebih dahulu, jadi sebelum mereka fokus ke pelajaran, mereka refresh dulu karena di jam 1-3 sudah pelajaran, suntuk, nah di jam ke 4 refreshing, keluar kelas, ke mushola, nanti istirahat disana sebentar, sharing baru masuk kelas. Jadi saya mempersiapkannya kalau tidak di awal ya di akhir pelajaran. Kalau sore di jam 8-10 pasti ada jeda shalat azar, jadi di jam ke 10 full digunakan untuk shalat. Jadi sebelum shalat bila masih ada waktu ya hafalan dulu, atau sharing di luar pelajaran misalnya mereka punya keluhan apa seperti itu nanti dibahas sama-sama. Apalagi kalau sudah jam ke 10 sekitar jam 3, setengah 4 mereka sudah lelah dan ngantuk, lebih enak kalau digunakan untuk seperti itu, kalau untuk diberikan materi pasti tidak akan masuk.”

Beberapa guru juga menggunakan ice breaking untuk memberikan jeda waktu istirahat kepada peserta didik, sementara guru bahasa indonesia memberikan waktu istirahat dengan cara bercerita mengenai pengalaman pribadi. Hal tersebut terungkap dalam wawancara yang dilakukan kepada guru wali kelas sebagai berikut:

“Kalau saya mengamati beberapa guru di sini ada yang menggunakan ice breaking, atau kalau saya, kalau anak-anak sudah terlihat capek justru saya ajak ngobrol misalnya tentang pengalaman pribadi anak, atau misalnya ketika ada karakter yang timbul di sebuah bacaan, biasanya biar mereka tidak berpikir terlalu berat, saya ajak cerita pengalaman saya, biasanya kadang 5 menit, bahkan lebih dari 5 menit, kadang anak lebih suka merespon itu daripada pelajaran.”

b. Pendekatan Berbasis Budaya Sekolah

Selain pendekatan karakter berbasis kelas, SMK Negeri 1 Yogyakarta juga menggunakan pendekatan berbasis budaya sekolah. Wren dalam (Koesoema, 2012:125) menjelaskan, dalam konteks

pendidikan, kultur sekolah merupakan sebuah pola perilaku dan cara bertindak yang terbentuk secara otomatis menjadi bagian yang hidup dalam sebuah komunitas pendidikan. Dasar pola perilaku dan cara bertindak itu adalah norma sosial, peraturan sekolah, dan kebijakan pendidikan di tingkat lokal. Ketiga hal itu tidak sekadar terbentuk karena ada ekspresi legal formal berupa peraturan, melainkan terlihat dari spontanitas para anggotanya dalam bertindak, berpikir dan mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Kultur sekolah dapat dikatakan seperti kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yang sesungguhnya lebih efektif mempengaruhi pola perilaku dan cara berpikir seluruh anggota komunitas sekolah.

Sekolah membuat berbagai program yang dapat mendukung tercapainya visi sekolah, yaitu melalui gerakan membawa tanaman sendiri (gerbatani), gerakan mengurangi sampah plastik (gerkusa), dan gerakan membawa tanaman anggrek (gerbatana). SMK Negeri 1 Yogyakarta juga menerapkan program sapa pagi, setiap siswa yang datang ke sekolah wajib melaksanakan 3S (Senyum, Sapa, dan Salam) kepada guru dan karyawan, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan literasi dan doa bersama. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada kepala sekolah sebagai berikut:

“Kita kan punya visi yang bagus ya Meningkatkan kemampuan pelaku pendidikan agar lebih berkualitas, berkarakter, berakhlak dan berbudaya, jadi salah satunya misalnya yang kreativitas kita membuat gerakan yang namanya gerbatari, gerakan membawa tanaman sendiri. Jadi di sekolah itu baik guru dan karyawan maupun

siswa, bahkan bagi yang melakukan sudah selesai melakukan penelitian disini saya berharap bawa tanaman untuk kenang-kenangan, jadi siapa saja menggunakan jasa sekolah kita itu paling tidak membawa tanaman untuk kenang-kenangan, itu salah satu bentuk kreativitas, sekaligus bentuk menanamkan rasa cinta untuk sekolahnya, itu salah satunya, gerbatana, gerakan membawa tanaman anggrek, gerkusa (gerakan kurangi sampah plastik) kita selalu membuat istilah-istilah supaya lebih mudah, anda bisa melihat sendiri paling tidak semua bersih lah, anak-anak kalau jajan tidak boleh pakai plastik, harus membawa tempat sendiri untuk ke kantin, salah satunya untuk gerkusa itu, kalau di kewirausahaan itu ada yang namanya produk kreatif, misalnya di luar ada bunga dari kertas itu dari kreativitas anak-anak, kadang-kadang membuat taplak meja dan sebagainya, membuat pot dari barang bekas itu kan termasuk bentuk kreativitas, kemudian ada karya-karya di depan itu juga kreativitas anak, misalnya tugas kelompok kemudian yang hasilnya bagus kita tempatkan di tempat-tempat strategis.”

Melalui gerkusa, gerbatani, dan gerbatana, peserta didik mengaku merasa terpaksa saat melaksanakannya, namun setelah terbiasa, terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Peserta didik menjadi lebih peduli lingkungan dengan mengurangi sampah plastik, dan merasa lingkungannya menjadi lebih baik.

“ya sedikit terpaksa sih kak karena kalau pakai gelas sendiri juga

jadi ribet jadinya karena kita nggak mau ribet jadi milih pakai

plastik, ada efeknya sih kak sekarang jadi ngurangin penggunaan plastik”

“ada perubahan kak, awalnya sih merasa keberatan karena ribet tapi setelah tau hasilnya ya jadi ikut seneng, sekolah udah kayak flora fauna, penuh bunga-bunga jadi adem terus bersih bikin nyaman” c. Pendekatan berbasis masyarakat

Koesoema (2010:187) menyatakan bahwa pendidikan karakter di dalam sekolah akan semakin efektif dan menjadi gerakan bersama

bila yang terlibat bukan hanya lembaga sekolah dan keluarga, melainkan melibatkan sebanyak mungkin pihak yang dapat membantu meningkatkan dan mendukung dilaksanakannya pendidikan karakter di sekolah.

Koesoema juga (2010:187) menyatakan bahwa apa yang dipelajari di balik dinding sekolah di dalam ruangan kelas bukanlah sebuah pembelajaran yang berguna semata-mata di dalam kelas itu sendiri, melainkan menjadi sarana persiapan untuk memasuki dunia luas yang tanpa batas. Untuk inilah, pendidikan karakter di sekolah mesti melibatkan masyarakat sekitar, atau masyarakat lokal sehingga pendidikan karakter bertumbuh di sebuah lahan tanah yang realistis. Pendidikan karakter akan menemukan verifikasi nilainya secara konkret justru ketika pembelajaran akan norma dan pola perilaku yang membentuk individu itu lama-kelamaan menjadi sistem nilai bersama yang mampu menyangga stabilitas dalam masyarakat.

SMK N1 Yogyakarta menerapkan penguatan pendidikan karakter melalui PKL (Praktik Kerja Lapangan) dan berbagai kegiatan lain yang melibatkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara oleh peneliti kepada kepala sekolah sebagai berikut:

“kalau di tingkat masyarakat itu kan biasanya namanya ada forum pimpinan kecamatan, itu biasanya setiap pekan sekali itu ada kita

ketemu, setiap hari jumat itu ketemu. Kita biasanya diwakilkan oleh

wakil humas, nah biasanya disana membahas masalah persoalan keamanan dan sebagainya biasanya di dalamnya termasuk karakter. Jadi itu untuk di lingkungan gedung tengen itu paling tidak sebulan sekali ada pertemuan dari kecamatan, dari polsek, dari koramil, dan

lembaga-lembaga pimpinan yang ada itu salah satu tema yang diangkat adalah masalah karakter anak.”

Kepala Sekolah SMK Negeri 1 juga menyayangkan pendidikan karakter sering kali hanya dilimpahkan pihak sekolah saja tanpa adanya kerja sama dengan pihak keluarga dan masyarakat seolah pendidikan menjadi tanggung jawab sekolah 100%. Beliau mengungkapkan, gerakan apapun tidak akan berhasil apabila kelurga dan masyarakat tidak mendukung seperti yang diungkapkan dalam hasil wawancara sebagai berikut:

“Sebenarnya kan kalau gerakan penguatan pendidikan karakter itu tanggungjawab kita bersama, yang lebih utama itu di keluarga sebenarnya, kalau keluarganya beres, pendidikannya beres di keluarga, otomatis di tempat yang lain itu beres, karena waktu yang paling banyak itu kan di keluarga dan masyarakat, kalau orang tua

Dokumen terkait