• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1.2. Deskripsi Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medis pasien BSK yang berobat ke poliklinik Bedah Urologi RSUP. H. Adam Malik Medan selama periode Juli s.d. November 2014.

Jumlah data keseluruhan adalah 71 data rekam medis lengkap sampel yang telah memenuhi kriteria eksklusi, berisi data nomor rekam medik, nama pasien, umur, jenis kelamin, jenis BSK, dan hasil kultur urin.

5.1.2.1. Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Usia

Distribusi data penelitian berdasarkan usia pasien BSK yang disertai gejala ISK pada Juli – November 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.1. Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Usia

Kelompok Usia Jumlah Persentase (%)

< 20 tahun 3 4,2 20-29 tahun 5 7,0 30-39 tahun 8 11,3 40-49 tahun 19 26,8 50-59 tahun 25 35,2 > 60 tahun 11 15,5 Total 71 100,0

Berdasarkan tabel 5.1., didapati jumlah pasien BSK dengan gejala ISK paling banyak terjadi pada kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 25 orang (35,2%) dan kelompok usia 40-49 tahun sebanyak 19 orang (26,8%). Adapun distribusi sampel paling sedikit didapat pada kelompok usia <20 tahun sebanyak 3 orang (4,2%). Usia termuda pasien BSK adalah 11 tahun, dan tertua 78 tahun. Usia rata-rata sampel adalah 50-51 tahun.

5.1.2.2.Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Jenis Kelamin Distribusi data penelitian berdasarkan jenis kelamin pasien BSK yang

disertai gejala ISK pada Juli – November 2014 dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5.1. Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Jenis Kelamin

38 33

Laki-laki Perempuan

Berdasarkan gambar 5.1., didapati bahwa pasien BSK lebih banyak ditemukan pada pasien laki-laki, sebanyak 38 orang (53,5%) dibandingkan pada pasien perempuan, sebanyak 33 orang (46,5%).

5.1.2.3. Distribusi Jenis BSK berdasarkan Lokasi Batu

Distribusi jenis batu pasien BSK yang dtentukan berdasarkan lokasinya pada Juli – November 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.2. Distribusi Jenis BSK berdasarkan Lokasi Batu

Jenis Batu Jumlah Persentase (%)

Batu buli 12 16,9

Batu ginjal 41 57,7

Batu ureter 15 21,1

Batu uretra 3 4,2

Total 71 100,0

Berdasarkan tabel 5.2., didapati bahwa jenis batu yang paling banyak terjadi adalah BSK bagian atas, yaitu batu ginjal sebanyak 41 orang (57,7%) dan batu ureter sebanyak 15 (21,1%).

5.1.2.4. Angka Kejadian ISK pada Pasien BSK

Dari data rekam medik, didapati hasil kultur urin pasien BSK. Terlihat angka kejadian ISK pada pasien BSK adalah sebagai berikut di tabel 5.3.

Tabel 5.3. Angka Kejadian ISK pada Pasien BSK

Diagnosis

Hasil Kultur Urin

Total Infeksi (+) Infeksi (-)

Berdasarkan tabel 5.3., didapati bahwa kebanyakan pasien yang menderita BSK juga mengalami infeksi, dengan angka kejadian 54 orang (76,1%). Sedangkan sampel pasien BSK yang hasil kultur urinnya negatif sebanyak 17 orang (23,9%).

5.1.2.5. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK

Dari data rekam medik, didapati hasil kultur urin pasien BSK. Ditemukan berbagai mikroorganisme penyebab ISK seperti tercantum pada tabel 5.4.

Tabel 5.4. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK

Jenis Bakteri Jumlah Persentase (%)

A. baumannii 2 3,7 A. freundri 1 1,9 B. capacia 1 1,9 E. coli 30 55,6 K. pneumoniae 7 13,0 P. aeruginosa 6 11,1 P. fluorescens 1 1,9 P. putida 1 1,9 Pr. Stuartii 1 1,9 Staph. caprae 2 3,7 Staph. haemolyticus 1 1,9 Strep. pneumoniae 1 1,9 Total 54 100,0

Berdasarkan tabel 5.4., didapati ada dua belas mikroorganisme penyebab ISK yang ditemukan dalam kultur urin sampel. Bakteri yang paling sering menyebabkan ISK adalah E. coli, yaitu sebanyak 30 kasus (55,6%), K. pneumoniae sebanyak 7 kasus (13,0%) dan P. aeruginosa sebanyak 6 kasus (11,0%).

Tabel 5.5. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK berdasarkan Urease Activity

Jenis Bakteri Jumlah Urease activity

A. baumannii 2 (-) A. freundri 1 (-) B. capacia 1 (-) E. coli 30 (-) K. pneumonia 7 (+) P. aeruginosa 6 (+) P. fluorescens 1 (+) P. putida 1 (+) Pr. stuartii 1 (-) Staph. caprae 2 (-) Staph. haemolyticus 1 (-) Strep. pneumoniae 1 (-) Total 54

Adapun jika bakteri penyebab ISK dikelompokkan berdasarkan kemampuannya memecah urea (urease activity), didapati kebanyakan ISK disebabkan bakteri non urease (39 orang; 72,2%) dibandingkan dengan bakteri urease (15 orang; 27,9%).

5.1.2.6. Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis BSK

Dari rekam medik, jenis batu dikelompokkan menjadi BSK bagian atas (batu ginjal hingga ureter distal) dan BSK bagian bawah (batu buli hingga uretra). Adapun bakteri penyebab ISK yang ditemukan dalam kultur urin, dikelompokkan menjadi dua berdasarkan kemampuannya memecah urea (bakteri pemecah urea dan non pemecah urea). Hubungan kedua variabel dapat dilihat dalam tabulasi silang 5.6. di bawah ini.

Tabel 5.6. Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis BSK Jenis Batu Kelompok Bakteri TOTAL P Bakteri pemecah urea Bakteri non pemecah urea BSK atas 12 31 43 0,642 BSK bawah 3 8 11 Total 15 39 54

Pada tabel 5.6. di atas tampak 43 BSK bagian atas disertai oleh infeksi (12 diinfeksi oleh bakteri pemecah urea dan 31 oleh bakteri non pemecah urea). Sedangkan 11 BSK bagian bawah juga disertai oleh infeksi (3 diinfeksi oleh bakteri pemecah urea dan 9 oleh bakteri non pemecah urea).

Setelah perhitungan statistik dilakukan, ternyata nilai p lebih besar dari 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis batu dengan bakteri penyebab ISK (nilai p:0,642; CI 95%).

5.2. Pembahasan

BSK atau batu urin sudah lama dikenal dan merupakan masalah kesehatan yang besar. Dari sekian banyak kelainan di bidang Urologi, BSK menempati urutan terbesar ke tiga penyebab nyeri saluran kemih. BSK juga merupakan penyakit saluran kemih yang paling tinggi epidemiologinya, karena dapat menyerang pasien dari berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Berdasarkan geografis, BSK ini merupakan penyakit yang penyebarannya merata didunia, namun lebih utama didaerah yang dilalui stone belt dimana Indonesia termasuk dalam sabuk batu tersebut (Stoller, 2008).

Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan 71 sampel pasien BSK, penelitian ini menunjukkan puncak distribusi sampel BSK pada kelompok usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun. Hal ini sesuai dengan referensi karya Pearle dan Lotan (2012) yang menyatakan bahwa puncak kejadian BSK terjadi pada dekade

keempat-keenam. Hal yang sama juga dikemukakan dalam penelitian Sumolang, et al (2013). Temuan tentu dipengaruhi faktor predisposisi pada pasien tua, seperti immobilitas, penurunan laju metabolisme, kadar hormon, dan penyakit penyerta pasien.

Pada penelitian ini ternyata laki-laki ± 1,2 kali lebih banyak menderita BSK daripada perempuan. Sedangkan referensi penelitian terdahulu milik Pearle dan Lotan (2012) maupun Heyns (2011) yang menyebutkan bahwa perbandingan kejadian ISK pada pasien BSK laki-laki dan perempuan adalah 2-3:1. Hal ini dikarenakan saluran kemih pria yang lebih panjang dan rentan obstruksi, juga karena pada laki-laki dewasa pembesaran prostat sering terjadi dan menyebabkan obstruksi dan memungkinkan statis aliran kemih hingga terbentuk endapan batu.

Adapun hasil penelitian ini tidak hanya melihat distribusi pasien BSK saja, melainkan pasien BSK yang dicurigai mengalami ISK dalam waktu bersamaan. ISK sendiri lebih lazim ditemui pada perempuan karena uretranya pendek dan letak orificium yang dekat dengan perineum (Jawetz, 2008). Oleh karena itulah, hasil distribusi pasien menjadi seimbang, hampir sama besar.

Hasil penelitian juga menunjukan distribusi jenis batu terbanyak adalah batu ginjal (55,6%), batu ureter (24,1%), batu buli (18,5%), dan batu uretra (1,9%). Maka dapat disimpulkan bahwa perbandingan kejadian BSK pada saluran kemih bagian atas dan saluran kemih bagian bawah adalah ± 4:1. Temuan ini sesuai dengan referensi yang ditulis oleh Pearle dan Lotan (2012). Hal ini dapat terjadi karena saluran kemih bagian atas lebih panjang daripada saluran kemih bagian bawah, sehingga aliran urin lebih lama melewati daerah tersebut dan dapat memicu pembentukan batu. Selain itu, pada saluran kemih bagian atas, terdapat beberapa lokasi penyempitan anatomis, seperti pada pelvic renalis dan ureter pars aorta abdominalis. Penyempitan saluran inilah yang juga menjadi predisposisi kejadian batu (Heyns, 2011). Hal lain yang menyebabkan rendahnya kasus BSK bagian bawah juga dikarenakan sebagian batu buli dan uretra merupakan batu migran dari saluran kemih atas yang terbawa arus urin.

ISK dalam Stoller (2008) maupun jurnal lain yang khusus membahas ISK karangan Torpy (2012) dan Minardi et al (2011). Hubungan BSK dan ISK sendiri telah dibahas dalam BAB 2, dan diketahui bahwa keduanya dapat menjadi faktor predileksi satu sama lain.

Pada pemeriksaan 54 sampel kultur urin penderita BSK yang positif infeksi, ditemukan bahwa E. coli merupakan mikroorganisme tersering yang menyebabkan ISK yaitu sebanyak 30 kasus (55,6%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Samirah, et al. (2004) dan Mahesh et al. (2011) yang menemukan E. coli sebagai jenis bakteri penyebab ISK tersering. E. coli adalah penyebab utama dari bakteremia nosokomial yang bersumber dari gastrointestinal atau genitourinaria (Markovic-Denic et al, 2010). Saluran kemih merupakan tempat yang paling umum dari infeksi E. coli, dan lebih dari 90% ISK tanpa komplikasi disebabkan infeksi E. coli. Dalam referensi Bien J (2012) dikatakan bahwa Uropathogenic Escherichia coli (UPEC) adalah agen penyebab sebagian besar ISK (ISK), termasuk sistitis dan pielonefritis, dan komplikasi infeksi. Kemampuan infeksi strain UPEC ini begitu tinggi dikarenakan mereka mempunyai faktor adherence yang disebut P fimbriae, atau pili. P fimbriae yang berguna memediasi perlekatan E. coli pada sel-sel uroepitelial.

Berdasarkan lokasi batu, BSK digolongkan menjadi BSK atas dan BSK bawah. Sedangkan hasil kultur urin dikategorikan menjadi bakteri pemecah urea dan bakteri non pemecah urea. Pada cross tab didapati 43 BSK atas (31 sampel terinfeksi bakteri non pemecah urea dan 12 sampel terinfeksi bakteri pemecah urea) dan 11 BSK bawah (8 sampel terinfeksi bakteri non pemecah urea dan 3 sampel terinfeksi bakteri pemecah urea). Terlihat tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis batu dengan mikroorganisme dalam kultur urin (p = 0,624) dengan CI 95% (Tabel 5.5). Nilai Fisher’s Exact Test menunjukkan hipotesis nol diterima, bahwa tidak ada hubungan bermakna antara hasil kultur urin dengan jenis BSK.

Lokasi anatomis saluran kemih sebenarnya berhubungan erat dengan komposisi batu. Salah satu contohnya adalah penelitian Akagashi et al (2004) yang mengatakan bahwa komposisi terbanyak dari batu ginjal (pielum, kaliks,

pelvik) adalah batu struvit murni (32,1%) dan batu kalsium campuran fosfat-oksalat (22,2%). Hasil serupa juga dikemukakan peneliti di Indonesia, bahwa 57,7% batu yang ditemukan pada BSK bagian atas adalah campuran struvit (Bahdarsyam, 2003). Data ini menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar BSK bagian atas memiliki komponen struvit, yang dihasilkan oleh metabolisme bakteri pemecah urea, seperti Proteus sp., P. aeruginosa, dan K. pneumoniae (Gómez-Núñez et al, 2011). Sehingga dicetuskanlah hipotesis hubungan jenis BSK berdasarkan lokasinya dengan temuan bakteri dalam hasil kultur urin dalam penelitian ini.

Hasil penelitian ini yang menolak hipotesis alternatif, bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jumlah sampel yang kurang besar. Hal lain yang bisa mempengaruhi penelitian adalah data kultur urin dari porsi urin tengah kurang mewakili infeksi pada saluran kemih bagian atas dan sering bias, sehingga untuk mengetahui organisme penyebab infeksi yang terdapat dalam inti BSK bagian atas, lebih baik jika menggunakan aspirasi urin dari suprapubic atau stone culture (Mariappan et al, 2004 dan 2005).

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kejadian BSK terbanyak terjadi pada sampel kelompok usia 50-59 tahun (35,2%) dan 40-49 tahun (26,8%). Usia rata-rata sampel adalah 50-51 tahun.

2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin, ditemukan proporsi laki-laki (53,5%) sedikit lebih tinggi daripada perempuan (46,5%).

3. Jenis batu yang paling banyak terjadi adalah BSK bagian atas, yaitu batu ginjal sebanyak 41 orang (57,7%) dan batu ureter sebanyak 15 (21,1%). 4. Angka kejadian ISK konkomitan pada sampel adalah 76,1% (54 dari 71

sampel). Sedangkan sampel pasien BSK yang hasil kultur urinnya negatif sebanyak 23,9% (17 dari 71 sampel).

5. Bakteri yang paling sering menyebabkan ISK adalah E. coli, yaitu sebanyak 30 kasus (55,6%). Jika bakteri penyebab ISK dikelompokkan berdasarkan kemampuannya memecah urea (urease activity), didapati kebanyakan ISK disebabkan bakteri non urease (39 orang; 72,2%).

6. Fisher’s Exact Test 1-tail menunjukkan nilai p 0,642. Hipotesis nol diterima; tidak ada hubungan bermakna antara jenis BSK dengan spektrum bakteri dalam kultur urin.

6.2. Saran

1. Tempat penelitian sebaiknya dilakukan di berbagai rumah sakit (multicenter), jumlah sampel penelitian diperbanyak dan dibuat selengkap mungkin, sehingga data yang didapat lebih banyak dan keadaan demografi yang diperoleh semakin akurat.

2. Dilakukan analisis komposisi batu, sehingga dapat memastikan jenis batu apa yang terdapat dalam saluran kemih atas maupun bawah.

3. Kultur urin lebih baik jika didapat dari aspirasi suprapubik atau stone culture agar benar-benar mewakili hubungan infeksi mikroorganisme dengan jenis batu.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih

Sistem saluran kemih adalah suatu sistem dimana terjadinya proses filtrasi darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (Mader, 2004). Sistem saluran kemih terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih (vesika urinaria) dan uretra. Sistem saluran kemih pada manusia dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 2.1. Anatomi Makroskopis Saluran Kemih Manusia

Sumber: Mader, Sylvia S. 2004. Understanding Human Anatomy and Physiology 5th edition. New York: McGraw-Hill Companies

2.1.1. Ginjal

Masing-masing ginjal mempunyai panjang kira-kira 12 cm dan lebar 2,5 cm pada bagian paling tebal dan berbentuk seperti kacang merah. Terletak pada posterior abdomen. Ginjal kanan terletak lebih rendah daripada ginjal kiri karena ada hepar di sisi kanan. Ginjal memiliki tiga bagian penting yaitu korteks, medulla dan pelvis renal. Bagian paling superfisial adalah korteks renal, yang tampak bergranula. Di sebelah dalamnya terdapat bagian lebih gelap, yaitu medulla renal, yang berbentuk seperti kerucut disebut piramid renal, dengan puncaknya disebut apeks atau papilla renal dan dasarnya menghadap korteks. Di antara piramid terdapat jaringan korteks, disebut kolum renal (Gray, 2008)

2.1.2. Ureter

Ureter terdiri dari dua tuba yang masing-masing menyambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya sekitar 25-30 cm, dengan diameter ± 0,5 cm. Ureter berdasarkan lokasinya terbagi menjadi pars abdominal dan pars pelvik.

Ureter mempunyai membran mukosa yang dilapisi dengan sel epitel kuboid dan dinding muskular yang tebal. Urin dipompa ke arah distal ureter oleh gelombang peristaltik, yang terjadi sekitar 1-4 kali per menit dan urin memasuki kandung kemih dalam bentuk pancaran (Gray, 2008)

2.1.3. Kandung Kemih

Kandung kemih adalah kantong yang terbentuk dari otot, dan merupakan tempat urin mengalir dari ureter. Ketika kandung kemih kosong atau terisi setengahnya kandung kemih tersebut terletak di dalam pelvis, ketika kandung kemih terisi lebih dari setengahnya maka kandung kemih tersebut menekan dan timbul ke arah abdomen di atas pubis, peregangan inilah yang merangsang refleks miksi. Adapun dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium), tunika muskularis, tunika sabmukosa, dan lapisan

2.1.4. Uretra

Bagian akhir saluran keluar yang menghubungkan kandung kemih dengan luar tubuh ialah uretra. Uretra pria sangat berbeda dari uretra wanita. Uretra pada laki-laki merupakan tuba dengan panjang kira-kira 20 cm dan memanjang dari kandung kemih ke ujung penis. Uretra pada laki-laki mempunyai tiga bagian yaitu: uretra prostatika, uretra membranosa, dan uretra spongiosa.

Uretra wanita jauh lebih pendek daripada pria, karena hanya 4 cm panjangnya dan memanjang dari kandung kemih ke arah ostium diantara labia minora kira-kira 2,5 cm di sebelah belakang klitoris. Uretra ini menjalar tepat di sebelah depan vagina. Lapisan uretra wanita terdiri dari tunika muskularis, lapisan spongiosa, dan lapisan mukosa (Gray, 2008)

2.2. Batu Saluran Kemih (BSK)

2.2.1. Frekuensi dan Epidemiologi

Penyakit BSK merupakan penyakit umum yang kasusnya sudah tercatat sejak 387 SM dan memiliki tingkat kejadian yang meningkat dari tahun ke tahun (Knoll, 2010). Data di Indonesia sendiri pada tahun 2006 menunjukkan jumlah 16.251 penderita rawat inap akibat penyakit BSK, dengan case fatality ratio (CFR) sebesar 0,94% (Departemen Kesehatan RI, 2007).

Meningkatnya insiden dan prevalensi di seluruh dunia yang bahkan lebih jelas di negara-negara industri, tampaknya menggarisbawahi dampak dari gaya hidup dan pilihan makanan serta akses ke perawatan medis yang lebih baik untuk pembentukan batu kemih. Didapati juga adanya tren perubahan jenis BSK yang terjadi (Knoll, 2010).

Gambar 2.2. Distribusi Jenis BSK Periode 1980 – 2004

Sumber: European Urology Supplement 9. Epidemiology, Pathogenesis, and Pathophysiology of Urolithiasis. Thomas Knoll, p2.

Prevalensi seumur hidup dari penyakit batu ginjal diperkirakan sebesar 1% sampai 15%, dengan kemungkinan memiliki batu bervariasi menurut umur, jenis kelamin, ras, dan lokasi geografis (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.1. Jenis Kelamin

Penyakit batu biasanya mempengaruhi pria dewasa lebih sering daripada wanita dewasa. Hal ini diukur dengan berbagai indikator, termasuk penerimaan rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan gawat darurat, jumlah pria yang terkena dua sampai tiga kali lebih sering daripada perempuan. Namun, ada beberapa bukti bahwa perbedaan jumlah insiden antara pria dan wanita kini mengalami penyempitan (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.2. Ras/Etnis

Perbedaan etnis/ras dalam kejadian penyakit batu telah diamati. Di antara pria Amerika Serikat, Source (1994) menemukan prevalensi tertinggi penyakit

dan 44% dari prevalensi kulit putih. Di antara pasien wanita di Amerika Serikat, prevalensi tertinggi terjadi di ras kulit putih namun terendah di antara wanita Asia (sekitar setengah dari kulit putih). Lainnya menemukan sebuah diferensial lebih tinggi (3-4 kali lipat) antara kulit putih dan Afrika-Amerika. Menariknya, meskipun ada perbedaan dalam prevalensi penyakit batu menurut etnis, penelitian yang dilakukan oleh Maloney mengamati kejadian yang menunjukkan bahwa diet dan faktor lingkungan lainnya dapat berkontribusi lebih besar daripada kontribusi etnis dalam menentukan risiko kejadian BSK (Pearle dan Lotan, 2012)

2.2.1.3. Usia

Insiden penyakit batu relatif jarang terjadi sebelum usia 20, tapi puncak kejadian terjadi di dekade keempat – keenam kehidupan. Telah diamati juga bahwa wanita menunjukkan distribusi bimodal penyakit batu, dengan adanya puncak kedua insiden penyakit batu pada dekade keenam dari kehidupan, sesuai dengan onset menopause. Temuan ini, telah dikaitkan dengan efek perlindungan estrogen terhadap pembentukan batu pada wanita premenopause, karena meningkatkan penyerapan kalsium ginjal dan mengurangi resorpsi tulang, ditambah dengan metabolisme yang sedikit berbeda antarjenis kelamin (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.4. Geografi

Distribusi geografis penyakit batu secara kasar cenderung mengikuti faktor risiko lingkungan; prevalensi penyakit batu yang lebih tinggi ditemukan di tempat yang panas, kering, atau iklim seperti pegunungan, gurun, atau daerah tropis. Namun, faktor genetik dan pengaruh diet mungkin lebih besar daripada efek geografi. Setelah mengendalikan variabel faktor risiko lain, peneliti Soucie dan kawan-kawan menetapkan bahwa suhu lingkungan dan sinar matahari secara independen terkait dengan prevalensi batu (Soucie dalam Pearle dan Lotan, 2012) .

2.2.1.5. Iklim

Variasi musiman pada penyakit batu kemungkinan terkait dengan temperatur lingkungan dan cara kehilangan cairan, yaitu melalui keringat dan mungkin dengan peningkatan paparan sinar matahari yang disebabkan oleh kerja vitamin D. Prince dan Scardino (1960) mencatat insiden tertinggi penyakit batu di musim panas, Juli sampai September, dengan puncak terjadi dalam 1 sampai 2 bulan suhu rata-rata maksimal (Prince et al dalam Pearle et al, 2012).

2.2.1.6. Pekerjaan

Paparan panas dan dehidrasi merupakan faktor risiko untuk penyakit kerja batu juga. Atan dkk (2005) menemukan kejadian penyakit batu secara signifikan lebih tinggi pada pekerja baja yang terpapar suhu tinggi (8%) dibandingkan dengan mereka yang bekerja pada suhu normal (0,9%). Evaluasi metabolik dari dua kelompok pekerja menunjukkan insiden yang lebih tinggi dari volume urin yang rendah dan Hipositraturia di antara para pekerja di daerah panas (Pearle dan Lotan, 2012).

Pada pekerjaan lain dengan mobilitas yang rendah, seperti posisi manajerial, ditemukan juga peningkatan insidensi penyakit batu. Alasan belum jelas, tapi diduga berkaitan dengan faktor diet dan statis urin yang berkepanjangan (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.7. Indeks Massa Tubuh dan Berat Badan

Hubungan ukuran tubuh dan kejadian penyakit batu telah diteliti. Dalam dua studi kohort prospektif besar dengan sampel pria dan wanita, risiko prevalensi dan insiden penyakit batu secara langsung berkorelasi dengan berat badan dan indeks massa tubuh pada kedua jenis kelamin, meskipun besarnya asosiasi lebih besar pada wanita dibandingkan pria (Curhan et al; Taylor et al, dalam Pearle dan Lotan, 2012). Bukti terbaru menghubungkan obesitas dan

et al, 2004a, 2004b) serta hubungan antara hiperinsulinemia dan hiperkalsiuria (Kerstetter et al; Shimamoto et al; Nowicki et al dalam Pearle et al, 2012).

2.2.1.8. Air

Efek menguntungkan dari asupan cairan yang tinggi pada pencegahan batu telah lama diakui. Dalam dua studi observasional besar, asupan cairan ditemukan berbanding terbalik dengan risiko kejadian pembentukan batu ginjal. Selanjutnya, dalam penelitian prospektif, dilakukan uji coba secara acak untuk menilai efek dari asupan cairan pada kekambuhan batu. Hasilnya, volume urin secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang ditugaskan untuk asupan cairan yang tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol tidak menerima rekomendasi, dan, oleh karena itu, tingkat kekambuhan batu secara signifikan lebih rendah (12% vs 27%, masing-masing) (Borghi et al dalam Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.9. Diet dan Metabolik

BSK telah dibuktikan dipengaruhi faktor pemilihan makanan. Makanan yang tinggi kadar garam (mereduksi volume urin) dan tinggi kalsium, akan memudahkan proses supersaturasi batu. Sebaliknya, buah-buahan dan sayur dapat menjadi booster eksresi sitrat, yang dapat menginhibisi terbentuknya batu (Dawson dan Tomson, 2012).

Pengaturan metabolik (horrmonal) juga dapat mempengaruhi terbentuknya batu, baik secara direk maupun indirek. Contohnya adalah pasien batu kalsium oksalat (prevalensi terbanyak), pada pasien batu jenis ini detemui keadaan hyperoxalouric. Adapun kadar oksalat dalam urin ditentukan oleh tingkat absorbsi oksalat di saluran cerna, tingkat resorbsi oksalat dari tulang, dan reabsorbsi oksalat dari urin. Ketiga hal tersebut sangat dipengaruhi kadar hormon paratiroid (PTH), 1,25 dihydroxyvitamin D, kadar oksalat dalam diet, dan probiotik (Liebman dan Al Wahsh, 2011).

2.2.2. Patogenesis Pembentukan BSK

Batu urin terdiri dari dua komponen, yaitu komponen kristal dan komponen matrik

A. Komponen kristal :

Batu terutama terdiri dari komponen kristal. Tahapan pembentukan batu yaitu: nukleasi, perkembangan, dan aggregasi yang melibatkan komponen kristal.

Dokumen terkait