• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Batu Saluran Kemih (BSK)

2.2.1. Frekuensi dan Epidemiologi

Penyakit BSK merupakan penyakit umum yang kasusnya sudah tercatat sejak 387 SM dan memiliki tingkat kejadian yang meningkat dari tahun ke tahun (Knoll, 2010). Data di Indonesia sendiri pada tahun 2006 menunjukkan jumlah 16.251 penderita rawat inap akibat penyakit BSK, dengan case fatality ratio (CFR) sebesar 0,94% (Departemen Kesehatan RI, 2007).

Meningkatnya insiden dan prevalensi di seluruh dunia yang bahkan lebih jelas di negara-negara industri, tampaknya menggarisbawahi dampak dari gaya hidup dan pilihan makanan serta akses ke perawatan medis yang lebih baik untuk pembentukan batu kemih. Didapati juga adanya tren perubahan jenis BSK yang terjadi (Knoll, 2010).

Gambar 2.2. Distribusi Jenis BSK Periode 1980 – 2004

Sumber: European Urology Supplement 9. Epidemiology, Pathogenesis, and Pathophysiology of Urolithiasis. Thomas Knoll, p2.

Prevalensi seumur hidup dari penyakit batu ginjal diperkirakan sebesar 1% sampai 15%, dengan kemungkinan memiliki batu bervariasi menurut umur, jenis kelamin, ras, dan lokasi geografis (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.1. Jenis Kelamin

Penyakit batu biasanya mempengaruhi pria dewasa lebih sering daripada wanita dewasa. Hal ini diukur dengan berbagai indikator, termasuk penerimaan rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan gawat darurat, jumlah pria yang terkena dua sampai tiga kali lebih sering daripada perempuan. Namun, ada beberapa bukti bahwa perbedaan jumlah insiden antara pria dan wanita kini mengalami penyempitan (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.2. Ras/Etnis

Perbedaan etnis/ras dalam kejadian penyakit batu telah diamati. Di antara pria Amerika Serikat, Source (1994) menemukan prevalensi tertinggi penyakit

dan 44% dari prevalensi kulit putih. Di antara pasien wanita di Amerika Serikat, prevalensi tertinggi terjadi di ras kulit putih namun terendah di antara wanita Asia (sekitar setengah dari kulit putih). Lainnya menemukan sebuah diferensial lebih tinggi (3-4 kali lipat) antara kulit putih dan Afrika-Amerika. Menariknya, meskipun ada perbedaan dalam prevalensi penyakit batu menurut etnis, penelitian yang dilakukan oleh Maloney mengamati kejadian yang menunjukkan bahwa diet dan faktor lingkungan lainnya dapat berkontribusi lebih besar daripada kontribusi etnis dalam menentukan risiko kejadian BSK (Pearle dan Lotan, 2012)

2.2.1.3. Usia

Insiden penyakit batu relatif jarang terjadi sebelum usia 20, tapi puncak kejadian terjadi di dekade keempat – keenam kehidupan. Telah diamati juga bahwa wanita menunjukkan distribusi bimodal penyakit batu, dengan adanya puncak kedua insiden penyakit batu pada dekade keenam dari kehidupan, sesuai dengan onset menopause. Temuan ini, telah dikaitkan dengan efek perlindungan estrogen terhadap pembentukan batu pada wanita premenopause, karena meningkatkan penyerapan kalsium ginjal dan mengurangi resorpsi tulang, ditambah dengan metabolisme yang sedikit berbeda antarjenis kelamin (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.4. Geografi

Distribusi geografis penyakit batu secara kasar cenderung mengikuti faktor risiko lingkungan; prevalensi penyakit batu yang lebih tinggi ditemukan di tempat yang panas, kering, atau iklim seperti pegunungan, gurun, atau daerah tropis. Namun, faktor genetik dan pengaruh diet mungkin lebih besar daripada efek geografi. Setelah mengendalikan variabel faktor risiko lain, peneliti Soucie dan kawan-kawan menetapkan bahwa suhu lingkungan dan sinar matahari secara independen terkait dengan prevalensi batu (Soucie dalam Pearle dan Lotan, 2012) .

2.2.1.5. Iklim

Variasi musiman pada penyakit batu kemungkinan terkait dengan temperatur lingkungan dan cara kehilangan cairan, yaitu melalui keringat dan mungkin dengan peningkatan paparan sinar matahari yang disebabkan oleh kerja vitamin D. Prince dan Scardino (1960) mencatat insiden tertinggi penyakit batu di musim panas, Juli sampai September, dengan puncak terjadi dalam 1 sampai 2 bulan suhu rata-rata maksimal (Prince et al dalam Pearle et al, 2012).

2.2.1.6. Pekerjaan

Paparan panas dan dehidrasi merupakan faktor risiko untuk penyakit kerja batu juga. Atan dkk (2005) menemukan kejadian penyakit batu secara signifikan lebih tinggi pada pekerja baja yang terpapar suhu tinggi (8%) dibandingkan dengan mereka yang bekerja pada suhu normal (0,9%). Evaluasi metabolik dari dua kelompok pekerja menunjukkan insiden yang lebih tinggi dari volume urin yang rendah dan Hipositraturia di antara para pekerja di daerah panas (Pearle dan Lotan, 2012).

Pada pekerjaan lain dengan mobilitas yang rendah, seperti posisi manajerial, ditemukan juga peningkatan insidensi penyakit batu. Alasan belum jelas, tapi diduga berkaitan dengan faktor diet dan statis urin yang berkepanjangan (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.7. Indeks Massa Tubuh dan Berat Badan

Hubungan ukuran tubuh dan kejadian penyakit batu telah diteliti. Dalam dua studi kohort prospektif besar dengan sampel pria dan wanita, risiko prevalensi dan insiden penyakit batu secara langsung berkorelasi dengan berat badan dan indeks massa tubuh pada kedua jenis kelamin, meskipun besarnya asosiasi lebih besar pada wanita dibandingkan pria (Curhan et al; Taylor et al, dalam Pearle dan Lotan, 2012). Bukti terbaru menghubungkan obesitas dan

et al, 2004a, 2004b) serta hubungan antara hiperinsulinemia dan hiperkalsiuria (Kerstetter et al; Shimamoto et al; Nowicki et al dalam Pearle et al, 2012).

2.2.1.8. Air

Efek menguntungkan dari asupan cairan yang tinggi pada pencegahan batu telah lama diakui. Dalam dua studi observasional besar, asupan cairan ditemukan berbanding terbalik dengan risiko kejadian pembentukan batu ginjal. Selanjutnya, dalam penelitian prospektif, dilakukan uji coba secara acak untuk menilai efek dari asupan cairan pada kekambuhan batu. Hasilnya, volume urin secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang ditugaskan untuk asupan cairan yang tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol tidak menerima rekomendasi, dan, oleh karena itu, tingkat kekambuhan batu secara signifikan lebih rendah (12% vs 27%, masing-masing) (Borghi et al dalam Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.9. Diet dan Metabolik

BSK telah dibuktikan dipengaruhi faktor pemilihan makanan. Makanan yang tinggi kadar garam (mereduksi volume urin) dan tinggi kalsium, akan memudahkan proses supersaturasi batu. Sebaliknya, buah-buahan dan sayur dapat menjadi booster eksresi sitrat, yang dapat menginhibisi terbentuknya batu (Dawson dan Tomson, 2012).

Pengaturan metabolik (horrmonal) juga dapat mempengaruhi terbentuknya batu, baik secara direk maupun indirek. Contohnya adalah pasien batu kalsium oksalat (prevalensi terbanyak), pada pasien batu jenis ini detemui keadaan hyperoxalouric. Adapun kadar oksalat dalam urin ditentukan oleh tingkat absorbsi oksalat di saluran cerna, tingkat resorbsi oksalat dari tulang, dan reabsorbsi oksalat dari urin. Ketiga hal tersebut sangat dipengaruhi kadar hormon paratiroid (PTH), 1,25 dihydroxyvitamin D, kadar oksalat dalam diet, dan probiotik (Liebman dan Al Wahsh, 2011).

Dokumen terkait