• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis Batu Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis Batu Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Nichi Firani

NIM : 110100065

Judul KTI : Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis Batu Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan Tempat, tanggal lahir : Cianjur, 9 Desember 1992

Alamat : Jl. Abdul Hakim Gg. Susuk III No. 25 Medan

Agama : Katolik

Jenis Kelamin : Perempuan Program Studi : S-1

Jurusan : Pendidikan Dokter

RIWAYAT PENDIDIKAN

Nama Institusi Lama Belajar Kelulusan

SMA Negeri 1 Cianjur 2008 – 2011 2011

SMP Negeri 1 Cianjur 2005 – 2008 2008

SD Negeri Sukamanah 1999 – 2005 2005

(2)

Tahun Prestasi yang Diraih Tingkat

2014 Finalis IMSPQ 2014 Universiti Malaya Internasional 2014 Juara II Mahasiswa Berprestasi FK USU 2014 Fakultas 2013 Finalis IMO Bidang Digestif Nasional 2013 Medali Emas RMO Bidang

Gastroenterohepato-endokrin

Regional

2013 Finalis Lomba KTI-GT Hasanuddin Scientific Scientific Fair 2013

Nasional

2011 Juara I Lomba Debat Sosial “GALAKSI” Provinsi 2010 Silver Medal For ICAS Mathematics from UNSW,

Australia

Nasional

2010 Juara I Lomba Debat Parade Cinta Tanah Air Provinsi 2010 Juara I OSN Biologi SMA 2010 Kabupaten 2010 Juara I English Debate Competition Kabupaten 2008 Juara I Kompetisi Matematika Universitas

Suryakancana

Kabupaten

2007 Juara I OSN Biologi SMP 2007 Kabupaten 2007 Juara Harapan I Lomba Resensi Roman Sastra

Indonesia

Kabupaten

(3)

Tahun Keanggotaan dalam Organisasi

2013 - sekarang Staff Divisi Program SCORE PEMA FK USU

2014 Anggota Sie Acara Scientific Research Fair 2014 FK USU 2013 Sekretaris Pekan Ilmiah Mahasiswa SCORE PEMA FK USU

2013

2013 Sekretaris I Panitia Perayaan Paskah FK USU 2013 2011 Sekretaris IES Project 2011

2008 - 2011 Anggota Institut Karate-Do Indonesia Cab. Cianjur 2007 – 2008 Wakil Ketua OSIS SMP Negeri 1 Cianjur

(4)
(5)
(6)
(7)

(8)

(9)
(10)
(11)

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,06.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Akagashi K., Tanda K., Kato S., et al. 2004. Characteristics of Patients with Staghorn Calculi in Our Experience. International Journal of Urology 11(5):276-281.

Bagga, Herman Singh et al. 2013. New Insights Into the Pathogenesis of Renal Calculi. Urol Clin N Am 40 (2013) 1–12

Bahdarsyam. 2003. Spektrum Bakteriologik pada Berbagai Jenis BSK Bagian Atas. Medan: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara (2003), 1-40.

Bien J, Sokolova O, Bozko P. 2012. Role of Uropathogenic Escherichia Coli Virulency Factors in Development of Urinary Tract Infection and Kidney Damage. International Journal Of Nephrology. 2012:1.

Dawson, Charlotte H. dan Charles R V Tomson. 2012. Kidney Stone Disease: Pathophysiology, Investigation and Medical Treatment. Clinical Medicine 12 (2012) 5: 467–71.

Depkes RI., 2007. Distribusi Penyakit-Penyakit Sistem Kemih Kelamin Pasien Rawat Inap Menurut Golongan Sebab Sakit, Indonesia Tahun 2006.

Tersedia dari www.depkes.go.id [diakses 1 Juni 2014].

Djojodimedjo, T. et al. 2013. Escherichia Coli Infection Induces Mucosal Damage and Expression of Proteins Promoting Urinary Stone Formation.

Medical Sciences--Urology And Nephrology 41 (2013),295-301.

Drake R, Vogl W, Mitchell AWM, Tibbitts R, Richardson P .2008. Gray's Atlas of Anatomy 40th Edition (Susan Standring, PhD, DSc, FKC ed).

Edinburgh: Churchill Livingstone

Fleet, Patrick. 2010. Gambar: Urine crystals. Dalam: Floege, Jürgen et al, ed. Comprehensive Clinical Nephrology 4th Edition. Philadelphia: Elsevier,

691.

(13)

Gómez-Núñez, Joel Gustavo et al. 2011. Infected Urinary Stones, Endotoxins and Urosepsis. Dalam: Nikibakhsh, Ahmad, ed. Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infection.

Heyns, C. F. 2011. Urinary Tract Infection Associated with Conditions Causing Urinary Tract Obstruction and Stasis, Excluding Urolithiasis and Neuropathic Bladder. World J Urol (2012) 30:77–83

Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2010. Guidelines ISK. Tersedia dari www.iaui.or.id [diakses 25 Mei 2014].

Jawetz, Melnick, Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. (H. Hartanto, C. Rachman, A. Dimanti, A. Diani). Jakarta : EGC.

JL, Meyer. 1990. Gambar: Physicochemistry of Stone Formation. Dalam: Wein Alan J. et al, ed. Campbell-Walsh Urology 10th Edition. 2010. Philadelphia: Elsevier.

Knoll, Thomas. 2010. Epidemiology, Pathogenesis, and Pathophysiology of Urolithiasis. European Urology Supplements 9 (2010), 802 –806.

Kumar, Vivek et al. 2005. Urinary Macromolecular Inhibition of Crystal Adhesion to Renal Epithelial Cells is Impaired in Male Stone Formers. Kidney International 68 (2005), 1784–1792.

Liebman, Michael dan Ismail A. Al-Wahsh. 2011. Probiotics and Other Key Determinants of Dietary Oxalate Absorption. American Society for Nutrition. Adv. Nutr. (2011) 2: 254–260.

Lina, Nur. 2008. Faktor-Faktor Risiko Kejadian BSK Pada Laki-Laki [Tesis]. Semarang: Magister Epidemiologi Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Mader, Sylvia S. 2004. Understanding Human Anatomy and Physiologi 5th edition. New York: The McGraw-Hill Companies.

(14)

Mariappan P., Smith G., Bariol S.V., Moussa S.A. & Tolley M.A. 2005a. Stone and Pelvis Urine Culture and Sensitivity are Better than Bladder Urine as Predictors of Urosepsis Following Percutaneous Nephrolithotomy: A Prospective Clinical Study. Journal of Urology 173(5):1610-1614.

Markovic-Denic, Ljiljana et al. 2010. Risk Factors For Hospital-Acquired Urinary Tract Infection:A Case–Control Study. Int Urol Nephrol (2011) 43:303– 308.

Mahesh E, Medha Y, Indumathi VA, Kumar PS, Khan MW, Punith K. Community-Acquired Urinary Tract Infection In The Elderly. BJMP. 2011;4(1):407

Minardi D, d’Anzeo et al. 2011. A Urinary Tract Infection In Women. Dovepress Journal 2011;4:335-37.

Monk, Rebeca D. dan David A. Bushinsky. 2010. Nephrolithiasis and Nephrocalcinosis. Dalam: Floege, Jürgen et al, ed. Comprehensive Clinical Nephrology 4th Edition. Philadelphia: Elsevier, 687-700.

Pearle, Margaret S. dan Yair Lotan. 2012. Urinary Lithiasis And Endourology. Dalam: Wein Alan J. et al, ed. Campbell-Walsh Urology 10th Edition.

Philadelphia: Elsevier.

Samirah, Darwati, Windarwati, Hardjoeno. 2006. Pola dan Sensitivitas Kuman Pada Penderita ISK. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2006;12:110-11.

Stoller, Marshall L. 2008. Urinary Stone Disease. Dalam: Tanagho, Emil A. dan Jack W. McAninch, ed. Smith’s General Urology 17th Edition. USA:

(15)
(16)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dalam BAB I, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 3.1. Variabel dan Definisi Operasional

Operasional Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur

Bakteri dalam

Jenis BSK Jenis batu yang ditentukan

Jenis BSK Jenis bakteri dalam

(17)

3.3 Hipotesis

Hipotesis nol:

Tidak terdapat pengaruh jenis BSK terhadap spektrum bakteri yang ditemukan dalam kultur urin.

Hipotesis alternatif:

(18)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional, dimana pada tahap awal pemeriksaan diagnostik lokasi batu

(menggunakan BNO-IVP dan atau USG), kemudian dilakukan pemeriksaan urin pada pasien BSK untuk mengetahui jenis bakteri. Penelitian ini akan menganalisis hubungan bakteri dalam kultur urin dengan jenis BSK pada pasien batu di RSUP H. Adam Malik Medan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan (Juli 2014 – November 2014) terhadap pasien-pasien BSK di RSUP H. Adam Malik Medan. Rumah sakit dipilih karena merupakan RS Kelas A dan pusat rujukan daerah Sumatera Utara dan Sumatera bagian Tengah, sehingga gambaran pasien di RS ini dapat mewakili populasi pasien BSK yang ada.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua pasien BSK yang datang ke poliklinik Bedah Urologi dan dilakukan pemeriksaan kultur urin di RSUP H. Adam Malik Medan dalam periode Juli 2014 – November 2014.

4.3.2 Sampel

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah total sampling. Subyek penelitian adalah semua pasien BSK yang mendapat

(19)

4.3.2.1 Kriteria eksklusi:

1. Pasien yang mendapat terapi antibiotik/antiseptik minimal dalam 3 hari terakhir

2. Pasien yang terpasang kateter urin minimal dalam 5 hari terakhir 3. Pasien yang terpasang Double J Stent

4. Pasien dengan phimosis terinfeksi

5. Pasien yang mengkonsumsi obat imunosuppresan minimal dalam 3 bulan terakhir

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Dalam penelitian ini data-data diperoleh dengan cara:

1. Data rekam medik tentang spektrum bakteri di saluran kemih diperoleh dari kultur urin pasien BSK dalam Media Cled atau agar lain.

2. Data rekam medik lokasi BSK diperoleh dengan pemeriksaan penunjang BNO-IVP dan atau USG.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

(20)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang terletak di Jalan Bunga Lau. No. 17 kelurahan Kemenangan, kecamatan Medan Tuntungan, Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Pusat ini milik pemerintah pusat yang merupakan rumah sakit pendidikan dan terakreditasi A. Rumah sakit ini didirikan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 335/Menkes/SK/VII/1990 dan merupakan rumah sakit pusat rujukan provinsi Sumatera Utara dan Sumatera bagian tengah. Adapun data penelitian ini diambil dari bagian instalasi rekam medis dan laboratorium mikrobiologi klinik.

5.1.2. Deskripsi Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medis pasien BSK yang berobat ke poliklinik Bedah Urologi RSUP. H. Adam Malik Medan selama periode Juli s.d. November 2014.

Jumlah data keseluruhan adalah 71 data rekam medis lengkap sampel yang telah memenuhi kriteria eksklusi, berisi data nomor rekam medik, nama pasien, umur, jenis kelamin, jenis BSK, dan hasil kultur urin.

5.1.2.1. Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Usia

(21)

Tabel 5.1. Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Usia

Kelompok Usia Jumlah Persentase (%)

< 20 tahun 3 4,2

20-29 tahun 5 7,0

30-39 tahun 8 11,3

40-49 tahun 19 26,8

50-59 tahun 25 35,2

> 60 tahun 11 15,5

Total 71 100,0

Berdasarkan tabel 5.1., didapati jumlah pasien BSK dengan gejala ISK paling banyak terjadi pada kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 25 orang (35,2%) dan kelompok usia 40-49 tahun sebanyak 19 orang (26,8%). Adapun distribusi sampel paling sedikit didapat pada kelompok usia <20 tahun sebanyak 3 orang (4,2%). Usia termuda pasien BSK adalah 11 tahun, dan tertua 78 tahun. Usia rata-rata sampel adalah 50-51 tahun.

5.1.2.2.Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi data penelitian berdasarkan jenis kelamin pasien BSK yang

disertai gejala ISK pada Juli – November 2014 dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5.1. Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Jenis Kelamin

38 33

Laki-laki

(22)

Berdasarkan gambar 5.1., didapati bahwa pasien BSK lebih banyak ditemukan pada pasien laki-laki, sebanyak 38 orang (53,5%) dibandingkan pada pasien perempuan, sebanyak 33 orang (46,5%).

5.1.2.3. Distribusi Jenis BSK berdasarkan Lokasi Batu

Distribusi jenis batu pasien BSK yang dtentukan berdasarkan lokasinya pada Juli – November 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.2. Distribusi Jenis BSK berdasarkan Lokasi Batu

Jenis Batu Jumlah Persentase (%)

Batu buli 12 16,9

Batu ginjal 41 57,7

Batu ureter 15 21,1

Batu uretra 3 4,2

Total 71 100,0

Berdasarkan tabel 5.2., didapati bahwa jenis batu yang paling banyak terjadi adalah BSK bagian atas, yaitu batu ginjal sebanyak 41 orang (57,7%) dan batu ureter sebanyak 15 (21,1%).

5.1.2.4. Angka Kejadian ISK pada Pasien BSK

Dari data rekam medik, didapati hasil kultur urin pasien BSK. Terlihat angka kejadian ISK pada pasien BSK adalah sebagai berikut di tabel 5.3.

Tabel 5.3. Angka Kejadian ISK pada Pasien BSK

Diagnosis

Hasil Kultur Urin

Total Infeksi (+) Infeksi (-)

(23)

Berdasarkan tabel 5.3., didapati bahwa kebanyakan pasien yang menderita BSK juga mengalami infeksi, dengan angka kejadian 54 orang (76,1%). Sedangkan sampel pasien BSK yang hasil kultur urinnya negatif sebanyak 17 orang (23,9%).

5.1.2.5. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK

Dari data rekam medik, didapati hasil kultur urin pasien BSK. Ditemukan berbagai mikroorganisme penyebab ISK seperti tercantum pada tabel 5.4.

Tabel 5.4. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK

Jenis Bakteri Jumlah Persentase (%)

A. baumannii 2 3,7

(24)

Tabel 5.5. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK berdasarkan Urease Activity

Jenis Bakteri Jumlah Urease activity

A. baumannii 2 (-)

Adapun jika bakteri penyebab ISK dikelompokkan berdasarkan kemampuannya memecah urea (urease activity), didapati kebanyakan ISK disebabkan bakteri non urease (39 orang; 72,2%) dibandingkan dengan bakteri urease (15 orang; 27,9%).

5.1.2.6. Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis BSK

(25)

Tabel 5.6. Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis BSK pemecah urea). Sedangkan 11 BSK bagian bawah juga disertai oleh infeksi (3 diinfeksi oleh bakteri pemecah urea dan 9 oleh bakteri non pemecah urea).

Setelah perhitungan statistik dilakukan, ternyata nilai p lebih besar dari 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis batu dengan bakteri penyebab ISK (nilai p:0,642; CI 95%).

5.2. Pembahasan

BSK atau batu urin sudah lama dikenal dan merupakan masalah kesehatan yang besar. Dari sekian banyak kelainan di bidang Urologi, BSK menempati urutan terbesar ke tiga penyebab nyeri saluran kemih. BSK juga merupakan penyakit saluran kemih yang paling tinggi epidemiologinya, karena dapat menyerang pasien dari berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Berdasarkan geografis, BSK ini merupakan penyakit yang penyebarannya merata didunia, namun lebih utama didaerah yang dilalui stone belt dimana Indonesia termasuk dalam sabuk batu tersebut (Stoller, 2008).

(26)

keempat-keenam. Hal yang sama juga dikemukakan dalam penelitian Sumolang, et al (2013). Temuan tentu dipengaruhi faktor predisposisi pada pasien tua, seperti

immobilitas, penurunan laju metabolisme, kadar hormon, dan penyakit penyerta pasien.

Pada penelitian ini ternyata laki-laki ± 1,2 kali lebih banyak menderita BSK daripada perempuan. Sedangkan referensi penelitian terdahulu milik Pearle dan Lotan (2012) maupun Heyns (2011) yang menyebutkan bahwa perbandingan kejadian ISK pada pasien BSK laki-laki dan perempuan adalah 2-3:1. Hal ini dikarenakan saluran kemih pria yang lebih panjang dan rentan obstruksi, juga karena pada laki-laki dewasa pembesaran prostat sering terjadi dan menyebabkan obstruksi dan memungkinkan statis aliran kemih hingga terbentuk endapan batu.

Adapun hasil penelitian ini tidak hanya melihat distribusi pasien BSK saja, melainkan pasien BSK yang dicurigai mengalami ISK dalam waktu bersamaan. ISK sendiri lebih lazim ditemui pada perempuan karena uretranya pendek dan letak orificium yang dekat dengan perineum (Jawetz, 2008). Oleh karena itulah, hasil distribusi pasien menjadi seimbang, hampir sama besar.

Hasil penelitian juga menunjukan distribusi jenis batu terbanyak adalah batu ginjal (55,6%), batu ureter (24,1%), batu buli (18,5%), dan batu uretra (1,9%). Maka dapat disimpulkan bahwa perbandingan kejadian BSK pada saluran kemih bagian atas dan saluran kemih bagian bawah adalah ± 4:1. Temuan ini sesuai dengan referensi yang ditulis oleh Pearle dan Lotan (2012). Hal ini dapat terjadi karena saluran kemih bagian atas lebih panjang daripada saluran kemih bagian bawah, sehingga aliran urin lebih lama melewati daerah tersebut dan dapat memicu pembentukan batu. Selain itu, pada saluran kemih bagian atas, terdapat beberapa lokasi penyempitan anatomis, seperti pada pelvic renalis dan ureter pars aorta abdominalis. Penyempitan saluran inilah yang juga menjadi predisposisi kejadian batu (Heyns, 2011). Hal lain yang menyebabkan rendahnya kasus BSK bagian bawah juga dikarenakan sebagian batu buli dan uretra merupakan batu migran dari saluran kemih atas yang terbawa arus urin.

(27)

ISK dalam Stoller (2008) maupun jurnal lain yang khusus membahas ISK karangan Torpy (2012) dan Minardi et al (2011). Hubungan BSK dan ISK sendiri telah dibahas dalam BAB 2, dan diketahui bahwa keduanya dapat menjadi faktor predileksi satu sama lain.

Pada pemeriksaan 54 sampel kultur urin penderita BSK yang positif infeksi, ditemukan bahwa E. coli merupakan mikroorganisme tersering yang menyebabkan ISK yaitu sebanyak 30 kasus (55,6%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Samirah, et al. (2004) dan Mahesh et al. (2011) yang menemukan E. coli sebagai jenis bakteri penyebab ISK tersering. E. coli adalah penyebab utama dari bakteremia nosokomial yang bersumber dari gastrointestinal atau genitourinaria (Markovic-Denic et al, 2010). Saluran kemih merupakan tempat yang paling umum dari infeksi E. coli, dan lebih dari 90% ISK tanpa komplikasi disebabkan infeksi E. coli. Dalam referensi Bien J (2012) dikatakan bahwa Uropathogenic Escherichia coli (UPEC) adalah agen penyebab sebagian besar ISK (ISK), termasuk sistitis dan pielonefritis, dan komplikasi infeksi. Kemampuan infeksi strain UPEC ini begitu tinggi dikarenakan mereka mempunyai faktor adherence yang disebut P fimbriae, atau pili. P fimbriae yang berguna memediasi perlekatan E. coli pada sel-sel uroepitelial.

Berdasarkan lokasi batu, BSK digolongkan menjadi BSK atas dan BSK bawah. Sedangkan hasil kultur urin dikategorikan menjadi bakteri pemecah urea dan bakteri non pemecah urea. Pada cross tab didapati 43 BSK atas (31 sampel terinfeksi bakteri non pemecah urea dan 12 sampel terinfeksi bakteri pemecah urea) dan 11 BSK bawah (8 sampel terinfeksi bakteri non pemecah urea dan 3 sampel terinfeksi bakteri pemecah urea). Terlihat tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis batu dengan mikroorganisme dalam kultur urin (p = 0,624) dengan CI 95% (Tabel 5.5). Nilai Fisher’s Exact Test menunjukkan hipotesis nol diterima, bahwa tidak ada hubungan bermakna antara hasil kultur urin dengan jenis BSK.

(28)

pelvik) adalah batu struvit murni (32,1%) dan batu kalsium campuran fosfat-oksalat (22,2%). Hasil serupa juga dikemukakan peneliti di Indonesia, bahwa 57,7% batu yang ditemukan pada BSK bagian atas adalah campuran struvit (Bahdarsyam, 2003). Data ini menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar BSK bagian atas memiliki komponen struvit, yang dihasilkan oleh metabolisme bakteri pemecah urea, seperti Proteus sp., P. aeruginosa, dan K. pneumoniae (Gómez-Núñez et al, 2011). Sehingga dicetuskanlah hipotesis hubungan jenis BSK berdasarkan lokasinya dengan temuan bakteri dalam hasil kultur urin dalam penelitian ini.

(29)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kejadian BSK terbanyak terjadi pada sampel kelompok usia 50-59 tahun (35,2%) dan 40-49 tahun (26,8%). Usia rata-rata sampel adalah 50-51 tahun.

2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin, ditemukan proporsi laki-laki (53,5%) sedikit lebih tinggi daripada perempuan (46,5%).

3. Jenis batu yang paling banyak terjadi adalah BSK bagian atas, yaitu batu ginjal sebanyak 41 orang (57,7%) dan batu ureter sebanyak 15 (21,1%). 4. Angka kejadian ISK konkomitan pada sampel adalah 76,1% (54 dari 71

sampel). Sedangkan sampel pasien BSK yang hasil kultur urinnya negatif sebanyak 23,9% (17 dari 71 sampel).

5. Bakteri yang paling sering menyebabkan ISK adalah E. coli, yaitu sebanyak 30 kasus (55,6%). Jika bakteri penyebab ISK dikelompokkan berdasarkan kemampuannya memecah urea (urease activity), didapati kebanyakan ISK disebabkan bakteri non urease (39 orang; 72,2%).

6. Fisher’s Exact Test 1-tail menunjukkan nilai p 0,642. Hipotesis nol diterima; tidak ada hubungan bermakna antara jenis BSK dengan spektrum bakteri dalam kultur urin.

6.2. Saran

1. Tempat penelitian sebaiknya dilakukan di berbagai rumah sakit (multicenter), jumlah sampel penelitian diperbanyak dan dibuat selengkap mungkin, sehingga data yang didapat lebih banyak dan keadaan demografi yang diperoleh semakin akurat.

(30)

3. Kultur urin lebih baik jika didapat dari aspirasi suprapubik atau stone culture agar benar-benar mewakili hubungan infeksi mikroorganisme

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih

Sistem saluran kemih adalah suatu sistem dimana terjadinya proses filtrasi darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (Mader, 2004). Sistem saluran kemih terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih (vesika urinaria) dan uretra. Sistem saluran kemih pada manusia dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 2.1. Anatomi Makroskopis Saluran Kemih Manusia

(32)

2.1.1. Ginjal

Masing-masing ginjal mempunyai panjang kira-kira 12 cm dan lebar 2,5 cm pada bagian paling tebal dan berbentuk seperti kacang merah. Terletak pada posterior abdomen. Ginjal kanan terletak lebih rendah daripada ginjal kiri karena ada hepar di sisi kanan. Ginjal memiliki tiga bagian penting yaitu korteks, medulla dan pelvis renal. Bagian paling superfisial adalah korteks

renal, yang tampak bergranula. Di sebelah dalamnya terdapat bagian lebih

gelap, yaitu medulla renal, yang berbentuk seperti kerucut disebut piramid renal, dengan puncaknya disebut apeks atau papilla renal dan dasarnya

menghadap korteks. Di antara piramid terdapat jaringan korteks, disebut kolum renal (Gray, 2008)

2.1.2. Ureter

Ureter terdiri dari dua tuba yang masing-masing menyambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya sekitar 25-30 cm, dengan diameter ± 0,5 cm. Ureter berdasarkan lokasinya terbagi menjadi pars abdominal dan pars pelvik.

Ureter mempunyai membran mukosa yang dilapisi dengan sel epitel kuboid dan dinding muskular yang tebal. Urin dipompa ke arah distal ureter oleh gelombang peristaltik, yang terjadi sekitar 1-4 kali per menit dan urin memasuki kandung kemih dalam bentuk pancaran (Gray, 2008)

2.1.3. Kandung Kemih

(33)

2.1.4. Uretra

Bagian akhir saluran keluar yang menghubungkan kandung kemih dengan luar tubuh ialah uretra. Uretra pria sangat berbeda dari uretra wanita. Uretra pada laki-laki merupakan tuba dengan panjang kira-kira 20 cm dan memanjang dari kandung kemih ke ujung penis. Uretra pada laki-laki mempunyai tiga bagian yaitu: uretra prostatika, uretra membranosa, dan uretra spongiosa.

Uretra wanita jauh lebih pendek daripada pria, karena hanya 4 cm panjangnya dan memanjang dari kandung kemih ke arah ostium diantara labia minora kira-kira 2,5 cm di sebelah belakang klitoris. Uretra ini menjalar tepat di sebelah depan vagina. Lapisan uretra wanita terdiri dari tunika muskularis, lapisan spongiosa, dan lapisan mukosa (Gray, 2008)

2.2. Batu Saluran Kemih (BSK)

2.2.1. Frekuensi dan Epidemiologi

Penyakit BSK merupakan penyakit umum yang kasusnya sudah tercatat sejak 387 SM dan memiliki tingkat kejadian yang meningkat dari tahun ke tahun (Knoll, 2010). Data di Indonesia sendiri pada tahun 2006 menunjukkan jumlah 16.251 penderita rawat inap akibat penyakit BSK, dengan case fatality ratio (CFR) sebesar 0,94% (Departemen Kesehatan RI, 2007).

(34)

Gambar 2.2. Distribusi Jenis BSK Periode 1980 – 2004

Sumber: European Urology Supplement 9. Epidemiology, Pathogenesis, and Pathophysiology of Urolithiasis. Thomas Knoll, p2.

Prevalensi seumur hidup dari penyakit batu ginjal diperkirakan sebesar 1% sampai 15%, dengan kemungkinan memiliki batu bervariasi menurut umur, jenis kelamin, ras, dan lokasi geografis (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.1. Jenis Kelamin

Penyakit batu biasanya mempengaruhi pria dewasa lebih sering daripada wanita dewasa. Hal ini diukur dengan berbagai indikator, termasuk penerimaan rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan gawat darurat, jumlah pria yang terkena dua sampai tiga kali lebih sering daripada perempuan. Namun, ada beberapa bukti bahwa perbedaan jumlah insiden antara pria dan wanita kini mengalami penyempitan (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.2. Ras/Etnis

(35)

dan 44% dari prevalensi kulit putih. Di antara pasien wanita di Amerika Serikat, prevalensi tertinggi terjadi di ras kulit putih namun terendah di antara wanita Asia (sekitar setengah dari kulit putih). Lainnya menemukan sebuah diferensial lebih tinggi (3-4 kali lipat) antara kulit putih dan Afrika-Amerika. Menariknya, meskipun ada perbedaan dalam prevalensi penyakit batu menurut etnis, penelitian yang dilakukan oleh Maloney mengamati kejadian yang menunjukkan bahwa diet dan faktor lingkungan lainnya dapat berkontribusi lebih besar daripada kontribusi etnis dalam menentukan risiko kejadian BSK (Pearle dan Lotan, 2012)

2.2.1.3. Usia

Insiden penyakit batu relatif jarang terjadi sebelum usia 20, tapi puncak kejadian terjadi di dekade keempat – keenam kehidupan. Telah diamati juga bahwa wanita menunjukkan distribusi bimodal penyakit batu, dengan adanya puncak kedua insiden penyakit batu pada dekade keenam dari kehidupan, sesuai dengan onset menopause. Temuan ini, telah dikaitkan dengan efek perlindungan estrogen terhadap pembentukan batu pada wanita premenopause, karena meningkatkan penyerapan kalsium ginjal dan mengurangi resorpsi tulang, ditambah dengan metabolisme yang sedikit berbeda antarjenis kelamin (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.4. Geografi

Distribusi geografis penyakit batu secara kasar cenderung mengikuti faktor risiko lingkungan; prevalensi penyakit batu yang lebih tinggi ditemukan di tempat yang panas, kering, atau iklim seperti pegunungan, gurun, atau daerah tropis. Namun, faktor genetik dan pengaruh diet mungkin lebih besar daripada efek geografi. Setelah mengendalikan variabel faktor risiko lain, peneliti Soucie dan kawan-kawan menetapkan bahwa suhu lingkungan dan sinar matahari secara independen terkait dengan prevalensi batu (Soucie dalam Pearle dan Lotan, 2012) .

(36)

2.2.1.5. Iklim

Variasi musiman pada penyakit batu kemungkinan terkait dengan temperatur lingkungan dan cara kehilangan cairan, yaitu melalui keringat dan mungkin dengan peningkatan paparan sinar matahari yang disebabkan oleh kerja vitamin D. Prince dan Scardino (1960) mencatat insiden tertinggi penyakit batu di musim panas, Juli sampai September, dengan puncak terjadi dalam 1 sampai 2 bulan suhu rata-rata maksimal (Prince et al dalam Pearle et al, 2012).

2.2.1.6. Pekerjaan

Paparan panas dan dehidrasi merupakan faktor risiko untuk penyakit kerja batu juga. Atan dkk (2005) menemukan kejadian penyakit batu secara signifikan lebih tinggi pada pekerja baja yang terpapar suhu tinggi (8%) dibandingkan dengan mereka yang bekerja pada suhu normal (0,9%). Evaluasi metabolik dari dua kelompok pekerja menunjukkan insiden yang lebih tinggi dari volume urin yang rendah dan Hipositraturia di antara para pekerja di daerah panas (Pearle dan Lotan, 2012).

Pada pekerjaan lain dengan mobilitas yang rendah, seperti posisi manajerial, ditemukan juga peningkatan insidensi penyakit batu. Alasan belum jelas, tapi diduga berkaitan dengan faktor diet dan statis urin yang berkepanjangan (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.7. Indeks Massa Tubuh dan Berat Badan

(37)

et al, 2004a, 2004b) serta hubungan antara hiperinsulinemia dan

hiperkalsiuria (Kerstetter et al; Shimamoto et al; Nowicki et al dalam Pearle et al, 2012).

2.2.1.8. Air

Efek menguntungkan dari asupan cairan yang tinggi pada pencegahan batu telah lama diakui. Dalam dua studi observasional besar, asupan cairan ditemukan berbanding terbalik dengan risiko kejadian pembentukan batu ginjal. Selanjutnya, dalam penelitian prospektif, dilakukan uji coba secara acak untuk menilai efek dari asupan cairan pada kekambuhan batu. Hasilnya, volume urin secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang ditugaskan untuk asupan cairan yang tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol tidak menerima rekomendasi, dan, oleh karena itu, tingkat kekambuhan batu secara signifikan lebih rendah (12% vs 27%, masing-masing) (Borghi et al dalam Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.9. Diet dan Metabolik

BSK telah dibuktikan dipengaruhi faktor pemilihan makanan. Makanan yang tinggi kadar garam (mereduksi volume urin) dan tinggi kalsium, akan memudahkan proses supersaturasi batu. Sebaliknya, buah-buahan dan sayur dapat menjadi booster eksresi sitrat, yang dapat menginhibisi terbentuknya batu (Dawson dan Tomson, 2012).

(38)

2.2.2. Patogenesis Pembentukan BSK

Batu urin terdiri dari dua komponen, yaitu komponen kristal dan komponen matrik

A. Komponen kristal :

Batu terutama terdiri dari komponen kristal. Tahapan pembentukan batu yaitu: nukleasi, perkembangan, dan aggregasi yang melibatkan komponen kristal. Pembentukan initi (nukleasi) mengawali proses pembentukan batu dan mungkin dirangsang oleh berbagai zat termasuk matrik protein, kristal, benda asing, dan partikel jaringan lainnya. Kristal dari satu tipe dapat sebagai nidus untuk nukleasi dari tipe lain. Ini sering terlihat pada kristal asam urat yang mengawali pembentukan batu kalsium oksalat.

B. Komponen matrik :

Komponen matrik dari batu urin adalah bahan non kristal, bervariasi sesuai tipe batu, secara umum dengan kisaran 2-10% dari berat batu. Komposisinya terutama terdiri protein, dengan sejumlah kecil hexose dan hexosamine. Bagaimana peranan matrik dalam mengawali pembentukan batu tidak diketahui. Mungkin matrik bertindak sebagai nidus untuk aggregasi kristal atau sebagai lem untuk perekat komponen kristal kecil dan dengan demikian menghalangi sedikit turunnya melalui saluran kemih.

Penyakit BSK telah menjadi keluhan medis yang didokumentasikan sejak peradaban Mesir kuno setidaknya, dan terus bertanggung jawab untuk peningkatan jumlah kunjungan praktisi di seluruh dunia. Selain itu, tingkat kekambuhan batu yang tinggi, yaitu lebih dari 50% dalam 5 tahun sejak episode pertama, menunjukkan kemungkinan adanya common pathway dalam patogenesis pembentukan batu yang dapat ditargetkan untuk upaya pencegahan. Common pathway itu adalah proses supersaturasi, yang secara fisik-kimiawi,

memungkinkan terbentuknya batu (Bagga et al, 2013).

(39)

kristal meningkatkan aktivitas ion bebas mereka, faktor lain menghambat itu. Ketika kalsium dan oksalat dilarutkan dalam air murni, misalnya, larutannya menjadi jenuh ketika penambahan setiap kalsium oksalat tidak mengakibatkan pembubaran lanjut. Namun, urin, seperti air murni, mengandung banyak ion dan molekul yang dapat membentuk kompleks larut dengan komponen ionik dari batu. Interaksi dengan zat terlarut lainnya (misalnya, sitrat) dapat mengakibatkan pengurangan aktivitas ion bebas, yang memungkinkan ambang batas kejenuhan urin meningkat. pH urin juga mempengaruhi aktivitas ion bebas. Tingkat aktivitas ion bebas kimia di mana batu-batu akan tidak tumbuh atau membubarkan disebut sebagai kelarutan keseimbangan, atau batas atas Metastabilitas. Di atas tingkat ini, urin akan jenuh, dan batu pun akan terbentuk dalam berbagai ukuran (Bushinsky dan Monk, 2010).

Ketika larutan menjadi jenuh sehubungan dengan fase padat, ion dapat bergabung bersama untuk membentuk lebih stabil, proses ini disebut nukleasi. Nukleasi homogen mengacu pada bergabungnya ion yang sama menjadi kristal. Sedangkan termodinamika nukleasi heterogen digunakan kristal tersusun dari zat-zat berbeda, seperti sel-sel epitel yang terkelupas. Kristal kalsium oksalat, misalnya, dapat bernukleasi dengan kristal asam urat. Selanjutnya beberapa kristal kecil akan beragregasi membentuk batu yang lebih besar, hingga sampai pada ukuran yang cukup besar untuk menimbulkan keluhan klinis (Bushinsky dan Monk, 2010).

(40)

faktor-faktor promoter dan inhibitor akan mengakibatkan kristal batu dapat bertumbuh >10kD dan beradhesi di lumen.

Gambar 2.3 Teori Supersaturasi: Patogenesis BSK

Sumber: Meyer JL: Physicochemistry of stone formation. In Resnick MI, dalam Campbell-Walsh Urology 10th Edition. 2012

Ada beberapa kondisi yang diyakini dapat berujung pada common pathway, proses supersaturasi. Kondisi-kondisi tersebut contohnya adalah statis

urin, penyakit vaskular, penyakit metabolik, faktor pemilihan diet, serta kecenderungan genetika bawaan (Bagga et al, 2013).

2.2.3. Jenis-jenis BSK

Jenis BSK ada beberapa macam, tergantung berdasarkan apa dikategorikan. Berdasarkan lokasi anatomis, batu dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu:

a. Batu ginjal

b. Batu ureter

c. Batu buli

(41)

BSK dapat terjadi di semua bagian saluran kemih. Sebanyak 97% BSK dapat berada di paremkim, papilla, kalik, pelvis renalis, dan kaliks serta ureter. Hanya 3% yang ditemukan di buli dan uretra. Anatomi sistem pengumpulan sangat menentukan bentuk batu yang merupakan hasil adaptasi struktur sekitar (Nur Lina, 2008).

2.3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah yang diterapkan pada berbagai kondisi klinis, mulai dari tanpa gejala kehadiran bakteri dalam urin hingga infeksi parah ginjal beserta sepsis yang dihasilkan (Stoller, 2008). ISK merupakan infeksi tersering kedua setelah infeksi saluran nafas atas yang terjadi pada populasi dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65 tahun dan 2.5-11% pada pria di atas 65 tahun. ISK merupakan infeksi nosokomial tersering yang mencapai kira-kira 40-60% (Guidelines Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2010). Diperkirakan bahwa terdapat 150 juta pasien yang didiagnosis dengan ISK tahunan (Stamm dan Norrby dalam Stoller, 2008).

ISK memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda dalam proses diagnosis; beberapa kasus dapat dikultur singkat dengan antibiotik tertentu, sementara yang lainnya memerlukan kultur yang lebih lama dengan uji antibiotik spektrum luas. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat untuk ISK membatasi morbiditas dan mortalitas yang terkait, dan menghindari penggunaan antibiotik jangka panjang. Kemajuan dalam pemahaman kita tentang patogenesis ISK, pengembangan tes diagnostik baru, dan pengenalan agen antimikroba baru telah memungkinkan dokter untuk tepat menyesuaikan pengobatan khusus untuk setiap pasien (Stoller, 2008).

(42)

faecalis dan Staphylococcus epidermidis) yang juga merupakan uropatogen

potensial (Jawetz, 2008).

Kuman patogen dari ekstraintestinal juga dapat menimbulkan ISK. Ini termasuk parasit seperti protozoa, misalnya Trichomonas, terutama dalam saluran kemih; jamur, biasanya pada penderita yang lemah dan diobati dengan antibiotika; Mycobacterium tuberculosis. Candida albican dan candida yang lain mungkin

ditemukan pada wanita dengan DM dan pemakaian kateter (Jawetz, 2008).

Di Indonesia sendiri, belum pernah dilakukan penilaian nasional mengenai pola kuman dan resistensi untuk ISK. Berikut data pola kuman dan resistensi dari isolat urin pada 3 senter, yaitu: Jakarta (Bagian Mikrobiologi & Bagian Patologi Klinik); Bandung (Bagian Patologi Klinik Sub Bagian Mikrobiologi); dan Surabaya (Bagian Mikrobiologi). Jumlah kuman yang didapat dari periode 2002-2004 sebanyak 3331 kuman (Guidelines Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2010).

Tabel 2.1. Pola Kuman Isolat urin Terbanyak

Kuman Jumlah

Sumber: Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Guidelines Infeksi Saluran Kemih 2010.

2.4. Hubungan Antara ISK dengan BSK

(43)

1. Setiap unsur bisa sebagai pencetus awal (reservoir) dan unsur yang lain sebagai pengikut

2. Unsur-unsur saling memelihara bahkan memperkembangkan hubungan, dan manambah patogenitas dari penyakit BSK

2.4.1. Pengaruh ISK terhadap Kejadian Batu

Infeksi menyebabkan nekrosis jaringan, ulserasi, dan terbentuknya pus di lumen saluran kemih. Lesi pada lumen bisa sembuh menjadi jaringan parut (scar), maka hal ini akan menimbulkan penyempitan saluran kemih dan akibatnya akan mengganggu aliran urin atau statis urin. Statis urin ini bisa menimbulkan residu. Obstruksi urin ini akan memberi kesempatan pada kristaloid untuk berpresipitasi sehingga terbentuk batu di bagian proksimal obstruktor (Bahdarsyam, 2003).

Peneltian eksperimental yang dilakukan di Heidelberg, membuktikan teori di atas. Djojodimedjo et al melakukan penelitian pada kelinci jantan dewasa yang dibagi menjadi tiga kelompok (kontrol, ligasi, dan ligasi+injeksi 105/ml E.coli). Pada akhir penelitian, disimpulkan bahwa kelompok hewan coba yang diinfeksi E.coli menunjukkan kerusakan mukosal yang lebih tinggi, jumlah antibodi spesifik monoklonal yang lebih banyak (OPN, OPN mRNA, TLR-4, JNK, TNFR-1,iNOS, HMGB-1), dan kejadian apoptosis yang lebih banyak. Hal-hal inilah yang mengakibatkan retensi urin dan memudahkan nukleasi kristal batu (Djojodimedjo et al, 2013).

(44)

Magnesium amonium fosfat (struvite) batu yang identik dengan batu infeksi. Mereka umumnya terkait dengan Proteus, Pseudomonas, Providencia, Klebsiella, dan infeksi Staphylococcus. Mereka jarang jika

dihubungkan dengan infeksi Escherichia coli. Adapun batu kalsium fosfat adalah variasi kedua dari batu yang sering dihubungkan dengan infeksi. Batu kalsium fosfat dengan pH urine<6,6 sering disebut sebagai batu brushite, sedangkan batu apatit memiliki pH urin>6.6 (Stoller, 2008). Penelitian Stoller dan Abraham pada tahun 2003 juga mengemukakan adanya beberapa agen bernama nanobacteria yang bisa memiliki peran dalam patogenesis batu berbasis kalsium. Namun, teori ini belum mapan. Dilaporkan prevalensi nanobacteria sebesar 0,5% dari 1.000 kasus batu; tapi masih sulit untuk

mengidentifikasi nanobacteria ini (Abrahams dan Stoller dalam Gómez-Núñez et al, 2011). Semua batu, bagaimanapun juga, dapat berhubungan dengan infeksi sekunder akibat obstruksi dan stasis proksimal

Infeksi juga dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap persepsi nyeri. Bakteri uropatogenik dapat mengubah peristaltik reteral oleh karena produksi eksotoksin dan endotoksin. Peradangan lokal dari infeksi dapat menyebabkan aktivasi kemoreseptor dan persepsi nyeri lokal dengan pola rujukan yang sesuai (Stoller, 2008).

2.4.2. Pengaruh BSK terhadap Kejadian Infeksi

Batu merupakan benda asing dalam saluran kemih. Ketika suatu batu terbawa aliran urin, batu dapat tersangkut pada lumen saluran kemih, terutama pada diameter lumen yang relatif sempit. Hal ini mengakibatkan terjadinya obstruksi urin. Kejadian ini menyebabkan daya ketahanan saluran menjadi berkurang, yang merupakan kesempatan bagi bakteri untuk bermukim pada saluran tersebut (Bahdarsyam, 2003).

(45)

pasien dengan kultur positif. Hasil perhitungan dengan model regresi logistik untuk leukositosis (OR 2.1), piuria (OR 2,8), dan suhu (OR 3.1) menunjukkan peningkatan risiko yang signifikan dari kelompok uji yang memiliki kultur urin positif (kelas yang benar 87,9%) (Yilmaz et al, 2011).

(46)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit batu saluran kemih (BSK) merupakan kejadian terbentuknya batu di sepanjang saluran kemih, seperti di tubulus ginjal, ureter dan kandung kemih (Monk dan David, 2010). Penyakit ini adalah penyebab nyeri tersering ketiga pada saluran kemih, dan umum dijumpai pada hewan maupun manusia (Stoller, 2008).

BSK merupakan agregat polycrystalline yang terbentuk dari beragam kristaloid dan matriks. Terdapat beberapa jenis BSK yang utama berdasarkan lokasi terbentuknya batu, yaitu BSK bagian atas yang meliputi batu ginjal hingga ureter distal, dan BSK bagian bawah yang meliputi batu buli hingga uretra (Stoller, 2008).

BSK hingga kini menjadi penyakit umum dengan prevalensi dan insidensi yang meningkat di seluruh dunia, terutama negara-negara industri. Hal ini diduga disebabkan dampak gaya hidup, pilihan makanan, dan akses ke layanan kesehatan (Knoll, 2010). Contohnya, di Amerika Serikat, terjadi peningkatan kasus BSK sebanyak 37% dalam 20 tahun terakhir (Straub & Hautmann dalam Gómez-Núñez et al, 2011). Dalam laporan sebelumnya prevalensi BSK bervariasi antarlokasi

geografis, secara umum terjadi peningkatan jumlah kasus dari 8% menjadi 19% pada laki-laki dan dari 3% menjadi 5% pada wanita di negara-negara Barat (Trinchieri, 2008).

Di Indonesia sendiri, menurut Departemen Kesehatan RI (2004), jumlah pasien rawat inap penderita BSK di rumah sakit seluruh Indonesia yaitu 17.059 penderita, dengan Case Fatality Rate (CFR) 0,97%. Jumlah ini menurun pada tahun 2006 menjadi 16.251 penderita rawat inap, dengan CFR 0,94% (Departemen Kesehatan RI, 2007).

(47)

mineralisasi dalam konsep biologis memiliki kesamaan, yaitu adanya komponen kristal dan matriks. Penelitian terbaru menunjukkan batu asam urat dan sistin terbentuk melalui proses supersaturasi, dan batu struvit terbentuk dari metabolisme bakteri. Adapun proses pembentukan batu kalsium lebih kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti (Knoll, 2010).

Terkait penyakit batu, ada satu kondisi medis yang sering dihubungkan, yaitu kejadian infeksi saluran kemih (ISK). ISK ditandai dengan kehadiran bakteri dalam urin, hingga infeksi parah ginjal beserta sepsis yang dihasilkan. Kebanyakan ISK disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari flora tinja usus bawah, seperti E.coli, Enterococcus faecalis, Klebsiella sp., Proteus sp, dan Pseudomonas sp. (Jawetz, 2008).

Di dalam proses pembentukan BSK ini, sebenarnya ada saling keterkaitan antara batu dan infeksi, masing-masing dapat sebagai reservoir dan yang lainnya sebagai penyerta. Kemungkinan pertama adalah infeksi ascending bacteria ke lokasi sumbatan batu. Ascending bacteria ini lalu mencapai permukaan batu, menyisip di celahnya, dan menjadi bagian dari batu itu. Kemungkinan kedua adalah bahwa bakteri urease penyebab ISK kronis mengubah pH urin, meningkatkan presipitasi, sehingga terbentuklah batu (Gómez-Núñez et al, 2011). Hal ini dibuktikan dengan hasil kultur urin pada pasien batu ginjal yang golongan struvit (MgNH4P04) ditemukan bakteri seperti Proteus, Pseudomonas,

Providencia, Klebsiella, Staphylococci, dan Mycoplasma (Stoller, 2008).

Penelitian lain di daerah Asia, seperti Jepang, menemukan bahwa sebagian besar BSK bagian atas memiliki komponen struvit, baik itu murni ataupun campuran, yang sering dikaitkan dengan keberadaan bakteri pemecah urea (Akagashi, 2004). Hal ini menimbulkan dugaan bahwa lokasi terbentuknya batu akan berhubungan dengan komposisi batu dan jenis bakteri. Namun, ternyata hubungan jenis batu berdasarkan lokasi, seperti batu ginjal dan batu ureter, dengan bakteri dalam kultur urin masih jarang diteliti.

(48)

berjudul “Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis Batu Saluran Kemih di

RSUP H. Adam Malik Medan”

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah hubungan antara hasil kultur urin dengan berbagai jenis BSK di RSUP H. Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara hasil kultur urin dengan berbagai jenis BSK di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui distribusi pasien BSK di RSUP H. Adam Malik Medan berdasarkan kelompok usia.

2. Untuk mengetahui distribusi pasien BSK di RSUP H. Adam Malik Medan berdasarkan jenis kelamin.

3. Untuk mengetahui distribusi jenis BSK berdasarkan lokasi terbentuknya batu pada pasien BSK di RSUP H. Adam Malik Medan

4. Untuk mengetahui angka kejadian ISK yang terjadi bersamaan dengan penyakit batu pada pasien BSK di RSUP H. Adam Malik Medan 5. Untuk mengetahui distribusi jenis bakteri yang didapat dalam kultur

urin pasien BSK di RSUP H. Adam Malik Medan

6. Untuk mengetahui hubungan bakteri yang tumbuh pada kultur dengan jenis BSK di RSUP H. Adam Malik Medan

1.4. Manfaat Penelitian

(49)

2. Sebagai informasi dan bahan pertimbangan tatalaksana penyakit BSK dan infeksi yang menyertainya.

3. Sebagai bahan referensi tentang penelitian BSK selanjutnya.

(50)

ABSTRAK

Penyakit batu saluran kemih (BSK) merupakan kejadian terbentuknya batu di sepanjang saluran kemih. BSK dapat terjadi pada pria dan wanita dengan berbagai usia, dan terdistribusi merata di seluruh dunia. Satu kondisi medis yang sering dihubungkan dengan BSK, yaitu kejadian infeksi saluran kemih (ISK). BSK dan ISK memiliki hubungan dua arah, masing-masing dapat menjadi reservoir dan penyerta. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa lokasi batu

berhubungan dengan komposisi kimia batu, adapun penelitian terdahulu juga sudah menemukan bahwa komposisi batu berhubungan dengan jenis bakteri penyebab ISK. Oleh karena itu, timbulah dugaan ada hubungan antara jenis lokasi batu dengan hasil kultur urin.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara jenis batu berdasarkan lokasinya dengan bakteri hasil kultur urin.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional. Penelitian dilakukan selama 5 bulan (Juli 2014 – November 2014) di Poliklinik Bedah Urologi RSUP H. Adam Malik Medan. Kriteria eksklusi meliputi pemberian antibiotik, pemasangan kateter, pemasangan DJ stent, konsumsi obat imunosupresi, dan kondisi phimosis terinfeksi.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa insidensi BSK disertai infeksi sedikit lebih tinggi pada laki-laki (53,5%), kelompok umur 50-59 tahun (35,2%). Dari penelitian ini, jenis batu tersering adalah batu ginjal (57,7%). Angka kejadian ISK bersamaan dengan BSK adalah 76,1% (54 kultur positif dari 71 sampel). Escherichia coli merupakan mikroorganisme tersering yang menyebabkan ISK (55,6%). Adapun uji Fisher 1 arah menunjukkan tidak ada pengaruh jenis batu terhadap spektrum bakteri yang ditemukan dalam kultur urin (p 0,642; CI 95%).

Kata kunci: batu saluran kemih (BSK), infeksi saluran kemih (ISK), pola

(51)

ABSTRACT

Urolithiasis is the incidence of stone formation in the urinary tract. It

may affect male and female in every age, with worldwide increasing incidence

and prevalence. The relationship between stone formation and urinary tract

infections (UTI) has been recognized since a long time ago. Urolithiasis and UTI

have a bidirectional relationship, each of which can be a reservoir and

accompany. Previous studies revealed that the location of the stone was related to

the chemical composition of the stones, while other previous studies have also

found that the composition of the stones was associated with the type of bacteria

causing UTI. Therefore, arise hypothesis that there is a relationship between the

type of stone, based on its location, with the result of urine culture.

The purpose of this study is to find out the relationship of stone’s

location with bacterial spectrum that found in the urine culture. This study is an

analytical study with cross-sectional design. Study carried out for 5 months (July

2014 - November 2014) at the Urology Polyclinic RSUP H. Adam Malik.

Exclusion criteria that given were: antibiotics medications, catheterization, DJ

stents installations, immunosuppression medications, and patients with infected

phimosis.

The results of this study shows that the incidence of urolithiasis with the

urinary tract symptoms was happened slightly more often among male (53.5 %),

with the mean age: group 50-59 years (35.2 %). Most of the stones were kidney

stones (57.7 %). The incidence of UTI as concommitant of urolithiasis is 76.1 %

(54 positive cultures out of 71 samples). E.coli was the most common

microorganisms that caused UTI (55.6 %). The Fisher exact test 1-tail showed no

significant correlation between type of stone and the result of urine culture

(p:0.642; CI 95%).

Keywords : urolithiasis, urinary tract infection (UTI), bacterial spectrum, stone’s

(52)

HUBUNGAN HASIL KULTUR URIN DENGAN JENIS BATU

SALURAN KEMIH DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

NICHI FIRANI

110100065

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(53)

HUBUNGAN HASIL KULTUR URIN DENGAN JENIS BATU

SALURAN KEMIH DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

NICHI FIRANI

110100065

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(54)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis Batu Saluran Kemih di

RSUP H. Adam Malik Medan

Nama : Nichi Firani

NIM : 110100065

Pembimbing

dr. Syah Mirsya Warli, Sp.U NIP. 19650505 199503 1 001

Penguji I

dr. Melvin N.G. Barus, M.Ked (OG), Sp.OG NIP. 19741107 200502 1 001

Penguji II

dr. Nurchaliza H. Siregar, Sp. M NIP. 19700908 200003 2 001

Medan, Januari 2015 Dekan,

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(55)

ABSTRAK

Penyakit batu saluran kemih (BSK) merupakan kejadian terbentuknya batu di sepanjang saluran kemih. BSK dapat terjadi pada pria dan wanita dengan berbagai usia, dan terdistribusi merata di seluruh dunia. Satu kondisi medis yang sering dihubungkan dengan BSK, yaitu kejadian infeksi saluran kemih (ISK). BSK dan ISK memiliki hubungan dua arah, masing-masing dapat menjadi reservoir dan penyerta. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa lokasi batu

berhubungan dengan komposisi kimia batu, adapun penelitian terdahulu juga sudah menemukan bahwa komposisi batu berhubungan dengan jenis bakteri penyebab ISK. Oleh karena itu, timbulah dugaan ada hubungan antara jenis lokasi batu dengan hasil kultur urin.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara jenis batu berdasarkan lokasinya dengan bakteri hasil kultur urin.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional. Penelitian dilakukan selama 5 bulan (Juli 2014 – November 2014) di Poliklinik Bedah Urologi RSUP H. Adam Malik Medan. Kriteria eksklusi meliputi pemberian antibiotik, pemasangan kateter, pemasangan DJ stent, konsumsi obat imunosupresi, dan kondisi phimosis terinfeksi.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa insidensi BSK disertai infeksi sedikit lebih tinggi pada laki-laki (53,5%), kelompok umur 50-59 tahun (35,2%). Dari penelitian ini, jenis batu tersering adalah batu ginjal (57,7%). Angka kejadian ISK bersamaan dengan BSK adalah 76,1% (54 kultur positif dari 71 sampel). Escherichia coli merupakan mikroorganisme tersering yang menyebabkan ISK (55,6%). Adapun uji Fisher 1 arah menunjukkan tidak ada pengaruh jenis batu terhadap spektrum bakteri yang ditemukan dalam kultur urin (p 0,642; CI 95%).

Kata kunci: batu saluran kemih (BSK), infeksi saluran kemih (ISK), pola

(56)

ABSTRACT

Urolithiasis is the incidence of stone formation in the urinary tract. It

may affect male and female in every age, with worldwide increasing incidence

and prevalence. The relationship between stone formation and urinary tract

infections (UTI) has been recognized since a long time ago. Urolithiasis and UTI

have a bidirectional relationship, each of which can be a reservoir and

accompany. Previous studies revealed that the location of the stone was related to

the chemical composition of the stones, while other previous studies have also

found that the composition of the stones was associated with the type of bacteria

causing UTI. Therefore, arise hypothesis that there is a relationship between the

type of stone, based on its location, with the result of urine culture.

The purpose of this study is to find out the relationship of stone’s

location with bacterial spectrum that found in the urine culture. This study is an

analytical study with cross-sectional design. Study carried out for 5 months (July

2014 - November 2014) at the Urology Polyclinic RSUP H. Adam Malik.

Exclusion criteria that given were: antibiotics medications, catheterization, DJ

stents installations, immunosuppression medications, and patients with infected

phimosis.

The results of this study shows that the incidence of urolithiasis with the

urinary tract symptoms was happened slightly more often among male (53.5 %),

with the mean age: group 50-59 years (35.2 %). Most of the stones were kidney

stones (57.7 %). The incidence of UTI as concommitant of urolithiasis is 76.1 %

(54 positive cultures out of 71 samples). E.coli was the most common

microorganisms that caused UTI (55.6 %). The Fisher exact test 1-tail showed no

significant correlation between type of stone and the result of urine culture

(p:0.642; CI 95%).

Keywords : urolithiasis, urinary tract infection (UTI), bacterial spectrum, stone’s

(57)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan hasil penelitian ini. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, laporan hasil penelitian ini yang berjudul “Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis Batu Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan” disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Dalam proses penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis mendapatkan kesulitan dan hambatan namun penulis memperoleh bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dosen Pembimbing, dr. Syah Mirsya Warli, SpU yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya di tengah kesibukan beliau untuk memberikan arahan, dukungan, dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan karya tulis ilmiah ini.

3. Para dosen Penguji, dr.Melvin Ng Barus, M.Ked (OG), Sp.OG dan dr.Nurchaliza H. Siregar, Sp.M; yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberi masukan-masukan bermanfaat untuk menyempurnakan karya tulis ini.

4. dr. Ariyati Yosi, M. Kes, Sp.KK, yang telah menjadi dosen penasehat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(58)

pengajaran, pengarahan, dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

6. Keluarga tercinta, Ayahanda Yohanes Sugandi dan Ibunda Erliana Purba yang telah membesarkan, mengasihi, mendoakan, dan senantiasa memberikan semangat kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat selesai. Serta kepada kedua kakak Nicholas Afiandi dan Niche Evandani yang terus memberi nasihat, menghibur, dan mendoakan penulis dari awal hingga akhir proses penulisan karya tulis ilmiah.

7. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2011 yang selalu mendukung penulis selama penyusunan karya tulis ilmiah ini.

8. Standing Committee on Research Exchange Pemerintahan Mahasiswa

(SCORE-PEMA) FK USU, atas ilmu dan pengalaman yang berharga dalam bidang penelitian yang telah diperoleh penulis selama ini.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang ikut membantu penulis dalam proses penulisan karya tulis ilmiah ini.

Usaha dan kerja keras telah dilakukan penulis, namun penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, penulis meminta maaf dan mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak.

Akhir kata, semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan dapat menjadi rujukan bagi penulisan penelitian ilmiah berikutnya di masa yang akan datang.

Medan, Desember 2014

(59)

DAFTAR ISI

2.2.1. Frekuensi dan Epidemiologi ... 7

2.2.1.1. Jenis Kelamin ... 8

2.2.1.2. Ras/Etnis... 8

(60)

2.2.1.4. Geografi... 9

2.4. Hubungan Antara ISK dengan BatuSaluran Kemih ... 16

2.4.1. Pengaruh ISK terhadap Kejadian Batu ... 17

2.4.2. Pengaruh BSK terhadap Kejadian Infeksi ... 18

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep... 20

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 24

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 24

5.1.2. Deskripsi Data Penelitian ... 24

(61)

5.1.2.3. Distribusi Jenis BSK berdasarkan Lokasi Batu ... 26 5.1.2.4. Angka Kejadian ISK pada Pasien BSK ... 26 5.1.2.5. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK ... 27 5.1.2.6. Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis BSK 28 5.2. Pembahasan ... 29

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 33 6.2. Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA... 35

(62)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Pola Kuman Isolat Terbanyak... 16

Tabel 3.1. Variabel dan Definisi Operasional ... 20

Tabel 5.1. Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Usia ... 25

Tabel 5.2. Distribusi Jenis BSK berdasarkan Lokasi Batu ... 26

Tabel 5.3. Angka Kejadian ISK pada Pasien BSK ... 26

Tabel 5.4. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK ... 27

Tabel 5.5. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK berdasarkan Urease Activity ... 28

(63)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Anatomi Saluran Kemih Manusia ... 5

Gambar 2.2. Distribusi Jenis BSK Periode 1980 – 2004 ... 8

Gambar 2.3. Teori Supersaturasi: Patogenesis BSK ... 14

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 20

(64)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN 2 Lembar Ethical Clearence

LAMPIRAN 3 Surat Izin Penelitian

LAMPIRAN 4 Data Induk

Gambar

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 5.1. Distribusi Pasien BSK disertai Gejala ISK berdasarkan Usia
Tabel 5.2. Distribusi Jenis BSK berdasarkan Lokasi Batu
Tabel 5.4. Jenis Bakteri Hasil Kultur Urin Pasien BSK
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang diisolasi dari urin pasien suspek infeksi saluran kemih serta mengetahui bagaimana pola kepekaan bakteri tersebut

Penggunaan kateter urin dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang signifikan pada terjadinya Infeksi Saluran Kemih (ISK) dengan nilai P = 0,001, dengan kultur urin positif

Judul Tesis : Perbandingan pemeriksaan urin secara pewarnaan Gram dan kultur urin dalam menegakkan diagnosis Infeksi saluran kemih pada anak.. Nama : Amalia

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan CRP dengan kultur urin pada pasien infeksi saluran kemih pada anak di RSUP Haji Adam Malik

Distribusi Bakteri Aerob Penyebab Infeksi Saluran Kemih pada Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap di RSUP H... Juliana,

Hasilnya, volume urin secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang ditugaskan untuk asupan cairan yang tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol tidak

12 AAL Perempuan 58 50-59 tahun Infeksi Batu ureter BSK atas Staph.. caprae Bakteri

Penggunaan kateter urin dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang signifikan pada terjadinya Infeksi Saluran Kemih (ISK) dengan nilai P = 0,001, dengan kultur urin positif