• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian

Deskripsi hasil penelitian ini merupakan suatu data dan fakta yang peneliti dapatkan langsung dari lapangan serta disesuaikan dengan teori yang peneliti gunakan yaitu menggunakan teori manajemen strategi menurut Hadari Nawawi

(2005: 151), proses manajemen strategi ini merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak kearah yang sama pula.

Dalam penelitian kali ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian dengan didasari data yang peneliti peroleh melalui hasil observasi, wawancara, dokumentasi, serta studi kepustakaan mengenai manajemen strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar suku asli Lampung dan suku pendatang Bali tahun 2012) yang meliputi beberapa komponen variabel menurut Nawawi, diantaranya sebagai berikut:

1. Perencanaan Strategi yang meliputi:

 Visi

 Misi, dan

 Tujuan organisasi,

2. Perencanaan Operasional yang meliputi:

 Sasaran Operasional

 Pelaksanaan fungsi manajeman berupa (fungsi pengorganisasian, pelaksanaan, dan fungsi penganggaran)

 Kebijakan situasional

 Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal

 Fungsi kontrol dan evaluasi

4.3.1 Perencanaan Strategi

Manajemena strategi dapat dilihat keberhasilannya jika perencanaan strategi dari pemerintah memang disesuaikan dengan sosio-kultur yang ada di masyarakat. Ketika perencanaan strategi yang dibuat oleh pemerintah terlalu Ideal (Utopis) untuk dilaksanakan di masyarakat, maka akan sulit untuk menjalankan perencanaan strategi itu dengan baik.

Dari dimensi perencanaan strategi peneliti menilai aspek yang terkandung didalamnya, yaitu: bagaimana visi itu dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan, kemudian bagaimana merealisasikan visi yang dibuat dengan misi, serta apakah tujuan organisasi sudah tercapai dari penyelesaian konflik tersebut. Maksud dari penyelesaian konflik yang ada di Kabupaten Lampung Selatan ini sendiri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terancana dalam situasi dan peristiwabaik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian, dan pemulihan pasca konflik.

Mengenai aspek visi strategi dalam penyelesaian konflik tersebut, peneliti memberikan pertanyaan kepada Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancarnya:

“Visinya kan ada aturannya tuh yang diatur dalam Undang-Undang no 7 tahun 2012”. (wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)

Berdasarkan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi visi dalam penyelesaian konflik tersebut telah tertuang didalam peraturan Undang-Undang No 7 Tahun 2012. Pertanyaan serupa peneliti ajukan kepada Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan yang mengungkapkan:

“Ya yang pengaruhin visi kita, gimana caranya biar masalah itu cepet selesai aja tapi kalo secara tertulis gak ada tapi kalo ikutin visi dari kepolisian ya yang melindungi, mengayomi dan melayani aja”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)

Berdasarkan wawancara tersebut, visi dalam penyelesaian konflik tersebut tidak ada secara tertulis namun disesuaikan dengan TUPOKSI dari kepolisian. Kemudian penelitipun mengajukan kepada Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, yang menjawab:

“Kalo visi kita itu pengaruh dari peraturan yang UU no 7 tahun 2012 itu tentang penanganan konflik sosial, kita juga dari program Kesbangpol sendiri, kemudian dari konflik yang ada dimasyarakat, maka jadilah FKDM ini”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)

Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa forum yang dibentuk juga visi yang dibuat masih dipengaruhi oleh Peraturan Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan disesuaikan dengan TUPOKSI dari Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan. Selanjutnya peneliti pun mengajukan pertanyaan tersebut kepada Ibu Ernayati (I3.2) Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya, berikut kutipan wawancaranya:

“Iya kita ada secara tertulis yang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 ada juga tujuannya untuk mempersatukan umat yang beragama yang ada dilampung selatan biarpun kita beda keyakinan tapi tetap satu”.(wawancara dengan Ibu Ernayati, Kamis 1 Oktober 2015, 14.30 WIB, Sekertariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)/Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)

Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa forum tersebut memiliki landasan hukum sendiri yang dijadikan sebagai visi tertulis mereka. Sementara Bapak Marwan Abdulah (I3.3) sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL) yang menyatakan bahwa MPAL memiliki visi untuk menjunjung tinggi adat dan budaya Lampung, berikut kutipan wawancaranya: “Itu visinya terwujudnya majelis penyeimbang adat Lampung yang bermatabat untuk membangun masyarakat yang menjunjung tingga adat dan budaya lampung”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)

Berdasarkan wawancara tersebut dapat kita ketahui bahwa MPAL yang merupakan salah satu lembaga penanganan konflik memiliki visi yang harus

menjunjung tinggi adat Lampung dan budaya Lampung, hal ini dikarenakan adat dan budaya Lampung itu sendiri semakin jarang dilestarikan oleh orang Lampungnya itu sendiri.

Berdasarkan wawancara mengenai visi strategi dalam penyelesaian konflik di Kabupaten Lampung Selatan bahwa visi yang mereka buat dalam penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan masih di berpegang oleh peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan belum tersusun secara sistematis. Sementara aspek misi untuk menjalankan visi dalam penyelesaian konflik kependudukan, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya:

“Iya disesuaikan juga dengan undang-undang itu, apa yang dilakukan oleh kita itu kayak diadakannya forum kita kumpulin masyarakatnya untuk pertemuan, ada juga sosialisasi ke kecamatan-kecamatan yang disesuaikan dengan anggaran setahun itu hanya 3 kecamatan, tahun ini baru 3 kecamatan”. (wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).

Wawancara diatas menjelaskan bahwa misi yang dibuat disesuaikan dengan undang-undang yang digunakan dan untuk itu diadakan kegiatan seperti pertemuan untuk membahas tentang sosialaisasi setelah terjadi konflik tersebut. Hal berbeda diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, kutipannya sebagai berikut:

“Ya itu tadi kita mikirnya gimana caranya supaya masalah itu bisa cepet selesai, oh iya ada juga program Rembuk Pekon yang lagi kita jalanin”.(wawancara

dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)

Berdasarkan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa pihak aparat tidak memiliki misi secara spesifik dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi namun mereka miliki tujuan dalam penyelesaian konflik tersebut. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat menjelaskan bahwa FKDM tidak memliki misi secara spesifik dalam penyelesaian konflik, namun mereka memiliki tujuan yang jelas bahwa infomasi sekecil apapun harus dilaporkan jika itu berhubungan dengan konflik di masyarakat, berikut kutipan wawancaranya:

“Iya misi dibuat sesuai sama visi, kalo kita mungkin lebih ke tujuan ya, kita sering komunikasi ke pengurus FKDM, pengurus FKDM yang ada di kabupaten itu ada 18 orang, dikecamatan juga ada tapi ya itu mati suri, banyak faktor yang menyebabkan susah untuk diaktifkan”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).

Hal berbeda diungkapkan oleh Bapak Marwan Abdulah (I3.3) sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya:

“Tertuang misi pembinaan dan pemberdayaan masyarkat lampung, pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, pelestarian dan pembinaan budaya adat lampung, ini kerjaan kita kerjaan MPAL, meningkatkan hubungan silahturami antar masyarakat, antar suku, antar tokoh”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)

Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan ini MPAL

memiliki misi secara terstruktur untuk mengurangi konflik kependudukan yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan.

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan mengenai aspek misi dalam strategi penyelesaian konflik kependudukan secara garis besar pemerintah belum memiliki misi secara spesifik yang digunakan dalam strategi penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi, hal ini dikarenakan pemerintah yang bertanggung jawab dalam penanganan konflik tersebut belum siap dalam penyelesaian konflik yang terjadi.

Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan mengenai aspek tentang tujuan organisasi yang disesuaikan dengan visi, misi organisasi dan realisasinya,Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, menyatakan bahwa tujuan organisasi telah disesuaikan dengan visi dan misi yang ada di landasan hukum yang dipakai, berikut kutipan wawancaranya:

“Iya sudah berjalan, karena masyarakat sudah mulai mengerti pentingnya damai itu tadi”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan organisasi sudah tercapai seiring dengan kesadaran masyarakat yang semakin mengerti arti pentingnya hidup damai. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, berikut kutipan wawancarnya:

“Iya tentu ajalah itu berjalan kan diliat dari tugas kita yang 3 itu tadi”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan).

Berdasarkan kutipan wawancara diatas dapat diketahui bahwa selama kegaiatan yang dilakukan itu sesuai dengan tugas mereka sebagai penegak hukum maka tujuan organisasi itu secara otomatis berjalan sesuai dengan visi dan misi mereka. Kemudian tujuan organisasi yang ada di FKDM itu juga sudah berjalan sampai sekarang hal ini diungkapkan oleh Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, berikut kutipannya:

“Iya sudah berjalan sampai sekarang”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).

Namun berbeda dengan yang diungkapkan oleh Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya:

“Tujuan kami belum tercapai karena masyarakat lampung selatan sampai sekarang banyak yang belum mengerti kami yang orang pribumi”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)

Berdasarkan kutipan wawancara diatas dapat diketahui bahwa tujuan dari MPAL belum tercapai sesuai dengan apa yang menjadi visinya, ini dikarenakan

masyarakat yang berada khususnya di Kabupaten Lampung Selatan yang sebagian besar merupakan masyarakat pendatang masih menganggap bahwa kebudayaan Lampung itu asing bagi mereka.

Berangkat dari hasil wawancara di atas, peneliti menganalisis bahwa dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi, visi dan misinya masih belum tersusun secara sistematis. Penyebabnya karena belum adanya SOP yang dibentuk secara tersendiri oleh pihak instansi yang bertanggung jawab langsung dengan konflik tersebut.

Selanjutnya aspek tujuan organisasi yang disesuaikan dengan visi, misi organisasi dan realisasinya telah berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tugasnya masing-masing, dan sampai sekarang masih berjalan guna meminimalkan terjadinya konflik kembali bahkan dari tujuan tersebut di adakan program Rembuk Pekon yang bertujuan untuk memediasi masyarakat yang sedang berkonflik.

4.3.2 Perencanaan Operasional

Perencanaan operasioanal umumnya merupakan terjemahan dari tujuan umum organisasi yang ada di perencanaan strategi dalam rentang waktu tertentu, semakin baik perencanan operasional yang digunakan semakin baik pula hasil yang didapat dan begitu pula sebaliknya. Dimensi ini terdapat beberapa aspek yaitu sasaran operasional, pelaksanaan fungsi manajeman (fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaraan), kebijakan

situasioanal, jaringan kerja internal, dan jaringan kerja eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi, umpan balik.

Pertama aspek sasaran operasional, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan menjelaskan bahwa sasaran operasioanl mereka hanya disesuaikan dengan anggaran yang masuk dalam setahun, berikut kutipan wawancaranya:

“Iya tadi kita sesuaikan anggaran yang 3 kecamatan setahun itu, ditentukan dari kecamatan yang rawan konfik dulu, prioritas banyak yang tinggi skala konfliknya”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)

Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diketahui kegiatan yang dilakukan oleh Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan dan pemerintah sebanyak 3 kali dalam setahun, dan diprioritaskan untuk kecamatan yang sering terjadi konflik. Penyebabnya adalah dana anggaran APBD yang didapat untuk kegiatan tersebut terbatas hanya untuk 3 kecamatan saja. Pertanyaan serupa peneliti ajukan kepada Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, berikut kutipan wawancarnya:

“Kita berlandaskan hukum, jadi kita sesuaikan dengan pasal-pasal pidana maupun perdata aja”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan).

Berdasarkan wawancara diatas dapat diketahui bahwa sasaran operasional dari pihak aparatur hukum mengenai penanganan konflik dan penyelesaian konflik ditentukan berdasarkan landasan hukum yang digunakan dan itu tidak bisa diubah dan itu bersifat mutlak dan bersifat tidak memihak pihak manapun. Berbeda dengan apa yang sampaikan oleh Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), bahwa FKDM tidak memiliki sasaran secara tertentu, berikut kutipan wawancaranya:

“Kita gak ada sasaran tertentu, jadi kalo ada konflik ya langsung kita laporkan ke Kesbangpol, nanti dari sini ditindak lanjutkan dengan koordinasikan sama pihak aparat keamanan”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).

Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa untuk sasaran operasional yang ada dalam FKDM itu tidak ditentukan karena melihat dari tugasnya yatu hanya sebagai pencegah dari konflik yang ada dimasyarakat melalui informasi yang didapat dari pengurus yang ada disetiap kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan.

Hampir sama halnya yang dijelaskan oleh Ibu Ernayati (I3.2) Anggota Forum Kerukunan Umat beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya bahwa FKUB tidak memilik sasaran operasional tertentu, berikut kutipan wawancaranya: “Gak ada sasaran tertentu buat FKUB ini”.(wawancara dengan Ibu Ernayati, Kamis 1 Oktober 2015, 14.30 WIB, Sekertariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)/Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).

Sementara Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL) menyatakan bahwa sasaran dari MPAL sudah ada namun belum secara tertulis ada di peraturan daerah, berikut kutipan wawancaranya:

“Sasaran majelis ini buat masyarakat Lampung Selatan biar orang-orang lain yang bukan suku Lampung juga mengerti adat dan budaya Lampung, kan mereka juga tinggal di wilayah kita, maunya kita ya meskipun bukan orang Lampung tapi ya mereka harus mengerti dan memahami orang Lampung yang dalam artian orang pribumi”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)

Berdasarkan kutipan wawancara dapat diketahui bahwa sasaran operasional dari MPAL itu ditujukan untuk masyarakat Kabupaten Lampung Selatan khususnya masyarakat pendatang, sebagai masyarakat pendatang harus lebih menghargai adat dan budaya Lampung karena masyarakat tersebut tinggal dan menetap di Lampung.

Selanjutnya yang kedua untuk aspek fungsi manajeman (Fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, dan fungsi pelaksanaan penganggaran) peneliti memberikan pertanyaan kepada narasumber dengan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan fungsi manajeman ini. Peneliti mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan fungsi pengorganisasian yaitu tentang bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi kepada Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan waancaranya:

“pemerintah berperan aktiflah dalam penyelesaian konflik itu, kalo gak berperan ya gimana mau selesai ricuhnya, kalo MPAL sendiri gak berperan secara langsung namun hanya tokoh-tokoh MPAL saja, MPAL itu kan dibangun oleh dewan perwatin, dewan perwatin ini tokoh-tokoh adat yang ada di 6 marga di Lampung selatan ini, ada marga dantaran

yang pusatnya dipenegahan kepala marganya pangeran naga beringsang, kemusian ada marga ratu dibagi lagi jadi 2 yang pertama marga keratuan menangsih diketuai oleh pangeran cahya marga berpusat di tamanbaru , keratuan darah putih diketuai oleh dalem kusuma ratu berpusat dikuripan, yang ketiga marga legun berpusat dipesugihan diketuai pangeran tiang marga, marga rajabasa berpusat di raja basa diketuai oleh pangeran penyeimbang agung, ada marga ketibung diketuai oleh sutan unjungan, marga bukujadi di natar diketuai sutan bandar, mereka jadi penasehat waktu kerusuhan itu”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)

Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik kependudukan pada saat itu pengurus MPAL tidak secara langsung berperan aktif, ini dikarenakan MPAL hanya mengirim dewan perwatin yang mendirikan MPAL merupakan tokoh masyarakat Lampung yang mewakili 6 marga di Kabupaten Lampung Selatan. Kemudian hampir sama seperti yang diungkapkan Bapak Muksin Syukur (I4.1) Kepala Desa Agom bahwa kontribusi yang diberikan oleh pemerintah pada saat kejadian sangat besar namun sekarang kontribusinya berkurang, berikut kutipan wawancara:

“Kontribusi pemerintah pada saat kejadian memang luar biasa, mereka mengamankan apapun bentuk kelompok masyarakat yang datang, karena pada saat itu pihak keamanan yang dateng gak tau wilayah, merkea kan dari banyak daerah, ada juga bantuan dari polisi Banten dateng, pada saat itu sudah maksimal bantuan pemerintah. Sekarang kontribusi pemerintah ya ada tapi memang gak intensif kayak dulu kurang sering ngawasin lagi, maunya kita kan jangan karna sudah damai ini kalau kami masing-masing desa agom atau desa balinuraga mau ketemu mau ngobrol itu susah sampai sekarang harusnya ada pihak ketiga yaitu pemerintah yang menjadi mediasinya, karena kenapa kita gak mau dibawa ke balinuraga disamping kita pernah punya masalah bahwa kita gak bisa, kita ini maafnya ngomong orang lampung kebanyakan orang islam ya gak bisalah kalau lagi ngobrol ada babi lewat mana ada yang tahan, terus terang aja waktu kita juga bertamu dibuatin teh mau gak kita minum kita gak enak mau kita minum kita was-was, terus terang saya kades

ngomongnya pedes tapi memang fakta. Jadi kalau kita suruh silahturami kesana gak bisa”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur) Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui kontribusi yang pemerintah berikan pada saat terjadi konflik tahun 2012 besar, perhatian yang diberikan tidak hanya diberikan oleh pemerintah pusat namun juga oleh pemerintah daerah dan juga aparat kepolisian dari berbagai wilayah. Namun perhatian berkurang seiring dengan meredanya permasalahan itu.

Sementara Hassanudin (nama samaran) (I4.3) masyarakat Desa Agom mengungkapkan bahwa pemerintah memberikan bantuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi pada tahun 2012, berikut kutipan wawancaranya:

“pemerintah tidak bisa apa-apa dek waktu kita protes atas perjanjian pertama itu, karena kita masih belum terima, tapi memang benar mereka memberi bantuan fasilitas demi biar cepet selesai itu permasalahnnya”.(wawancara dengan Hassanudin (nama samaran), Minggu 6 September 2015, 11.00 WIB)

Kutipan wawancara di atas dapat menjelaskan bahwa pemerintah memberikan bantuan untuk menfasilitasi penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Lampung khususnya warga Desa Agom yang merasa penyelesaian yang dilakukan pertama kalo tidak mewakili warganya yang menjadi korban, dan warganya yang terlibat dalam konflik tersebut ini. Peneliti juga mengajukan pertanyaan kepada Bapak Made Santre (I5.1) Kepala Desa Balinuraga, dan berikut kutipan wawancaranya:

“Pemerintah Daerah bantu di bidang kesehatan, listrik dan juga dapur umum, tapi masyarakat juga dibantu sama pemerintah pusat yang rumahnya kebakar sama ganti rugi uang 11jt, kalau pemerintah Provinsi Bali kasih bantuan paling banyak,mereka kasih uang subangan yang dikumpulin setiap kabupaten, Kota Denpasar juga kasih sumbangan banyak, pokoknya bantuan paling banyak dari Pemerintah Provinsi Balinya”.(wawancara dengan Bapak Made Santre, Jumat 4 September 2015, 15.30 WIB, Kediaman rumah Bapak Made Santre)

Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa yang paling banyak memberikan bantuan adalah dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Bali. Bantuan tersebut berupa uang ganti rugi untuk masyarakat Desa Balinuraga, bantuan juga diberikan dalam bidang kesehatan, listrik dan dapur umum untuk masyarakat Desa Balinuraga.

Selanjutnya Bapak Kadek Sirye (I5.2) Kadus (Kepala Dusun) Pande Arga Desa Balinuraga membenarkan bahwa bantuan yang diberikan pemerintah terbagi menjadi dua yaitu untuk Desa Agom dan Desa Balinuraga, berikut kutipan wawancaranya:

“Gimana ya, memang tanggap tapi kondisinya itu sampai dibagi-bagi perhatiannya di Desa Agom juga, jadi kalo ada isu sama kabar mau ada kiriman bangunan dapet jatah dibagi sama Desa Agom, dua desa diurus biar pulih lagi bupati kita juga kesini tapi ya itu lagi ngambil simpati aja, dia itu kayaknya benci banget sama kita, jarang kesini jadi baru kejadian itu dia dateng kesini, lain loh sama zulkifli yang sering kesini”.(wawancara dengan Bapak Kadek Sirye, Sabtu 5 September 2015, 10.00 WIB, Kediaman rumah bapak Kade Sirye)

Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa kontribusi yang

Dokumen terkait