BAB IV PEMBAHASAN
4.2 Deskripsi Data
Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan mempergunakan teknik analisis data yang relevan, yaitu analisis data kualitatif.
4.3 Pembahasan
Melakukan pembahasan lebih lanjut terhadap hasil analisis data. BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat, jelas, sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta hipotesis penelitian.
5.2 Saran
Berisi rekomendasi dari peneliti terhadap tindak lanjut dari sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara teoritis maupun praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Memuat daftar referensi (literatur lainnya) yang digunakan dalam penyusunan skripsi, daftar pustaka hendaknya menggunakan literatur yang mutakhir.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Memuat tentang hal-hal yang perlu dilampirkan untuk menunjang penyusunan skripsi, seperti lampiran tabel-tabel, lampiran grafik, instrumen penelitian, riwayat hidup peneliti, dll.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
2.1. Tinjauan Pustaka
Sugiyono (2012: 43) mendefinisikan bahwa teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi informal. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikemukakan ada empat kegunaan teori di dalam penelitian yaitu:
1. Teori berkenaan dengan konsep, asumsi dan generalisasi yang logis. 2. Teori berfungsi untuk mengungkapkan, menjelaskan dan memprediksi
perilaku yang memiliki keteraturan.
3. Teori sebagai stimulant dan panduan untuk mengembangkan pengetahuan.
4. Teori sebagai pisau bedah untuk suatu penelitian.
Dalam penelitian mengenai implementasi program listrik gratis di Kecamatan Curug Kota Serang, peneliti menggunakan beberapa istilah yang berkaitan dengan masalah penelitian dengan mengklasifikasikan kedalam teori. Adapun penjelasan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan masalah penelitian, yaitu sebagai berikut:
2.1.1. Konsep Kebijakan Publik
Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” menurut Anderson dalam Winarno (2014: 19) digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Menurut Charles O. Jones dalam Winarno (2014: 19) istilah kebijakan (Policy term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda.
Definisi kebijakan publik menurut Thomas R. Dye dalam Winarno (2014: 20) mengemukakan “Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan” Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn dalam Winarno (2014: 35-37) adalah sebagai berikut:
1. Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kabijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
2. Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-masing actor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
3. Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.
4. Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan- badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
5. Tahap evaluasi kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yamh menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum.
Secara singkat, tahap-tahap kebijakan adalah seperti gambar dibawah ini Bagan 2.1. Tahap-Tahap Kebijakan: Penyusunan kebijakan Formulasi kebijakan Adopsi kebijakan Implementasi kebijakan Evaluasi kebijakan
Sumber: William Dunn sebagaimana dikutip Budi Winarno (2014: 35-37)
Setelah peneliti memaparkan beberapa konsep kebijakan publik dari berbagai ahli, sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah suatu proses keputusan yang dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan suatu permasalahan di masyarakat baik itu berdampak yang diinginkan ataupun tidak diinginkan.
2.1.2. Implementasi Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi sia-sia jika program tersebut tidak diimplementasikan dan dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah ditingkat daerah maupun nasional. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusisal dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan (dalam Winarno 2014: 146). Beberapa pengertian implementasi menurut para ahli politik mendeskripsikan implementasi sebagai berikut:
Lester dan stewart dalam Winarno (2014: 147) yaitu:
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan Undang- Undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan Undang-Undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan tehnik bekerja sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.
Selain itu Ripley dan Franklin juga berpendapat sebagaimana dikutip dalam winarno (2014: 148) sebagai berikut:
Implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit) atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang dinginkan oleh para pejabat pemerintah. Implememntasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan) oleh beberapa aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan.
Sementara itu menurut Grindle dalam Winarno (2014: 149) sebagai berikut:
Tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery system,” dimana sarana – sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan – tujuan yang diinginkan.
Selanjutnya Van Metter dan Van Horn yang dikutip dalam Winarno (2014: 149-150) memaparkan pendapatnya tentang implementasi:
“Implementasi kebijakan adalah sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan”. Sementara itu menurut Grindle dalam Agustino (2008: 139), yaitu:
“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.”
Dalam perkembangannya, studi implementasi kebijakan memiliki dua pendekatan dalam memahaminya yaitu:
1. Pendekatan top down. Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan mulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannyapun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada level bawahnya. Jadi inti pendekatan top down adalah sejauhmana tindakan para pelaksana (administrator dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.
2. Pendekatan bottom up. Dalam pendekatan buttom up, memandang bahwa implementasi kebijakan tidak dirumuskan oleh lembaga yang tersentralisir dari pusat, akan tetapi berpangkal dari keputusan- keputusan yang ditetapkan pada level warga atau masyarakat tersebut. Jadi intinya pendekatan bottom up adalah implementasi kebijakan dimana formulasi kebijakan berada ditingkat warga, sehingga mereka dapat lebih memahami dan mampu menganalisis kebijakan-kebjakan apa yang cocok dengan sumber daya yang tersedia di daerahnya, sistem sosio-kultur yang mengada agar kebijakan tersebut tidak kontroproduktif, yang dapat menunjang keberhasilan kebijakan itu sendiri.
Dari beberapa pengertian diatas yang telah dipaparkan oleh para ahli teori tersebut. Masing-masing memliki beberapa model proses implementasi kebijakan. Salah satu dari ahli teori Van Metter dan Van Horn, menggunakan model pendekatan Top Down
1) Implementasi kebijakan publik model Donald Van Metter dan Carl Van Horn (1975) disebut juga dengan A model of the policy. Model pendekatan ini menjelaskan bahwa proses implementasi merupakan abstraki suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik/kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik tersebut, yaitu:
1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumberdaya
3. Karakteristik agen pelaksana
4. Komunikasi antara organisasi dan aktivitas pelaksana 5. Sikap atau kecenderungan (disposition) para pelaksana 6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
2) Implementasi kebijakan publik model Mazmanian dan Sabatier (1983: 5-8) dalam Agustino (2008: 144) disebut juga dengan A frame for policy implementation. Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuan dalam mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi, variabel- variabel tersebut adalah:
1. Mudah atau Tidaknya Masalah yang Akan Digarap a. Kesukaran-kesukaran teknis
b. Kebergaman perilaku yang diatur c. Presentase totalitas penduduk yang d. Tercakup dalam kelompok sasaran
e. Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki 2. Kemampuan Kebijakan Menstruktur Proses Implementasi Secara
Tepat. Para pembuat kebijakan mendayagunakan wewenang yang dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat melalui beberapa cara:
a. Kecermatan dan kejelasan perjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai
b. Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan c. Ketetapan alokasi sumberdana
d. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan di antara lembaga- lembaga atau instansi-instansi pelaksana
e. Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana f. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam
undang-undang
g. Akses formal pada pihak luar
3. Variabel-variabel diluar Undang-Undang yang mempengaruhi Implementasi
a. Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi b. Dukungan publik
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat d. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana. 3) Implementasi kebijakan publik model George C. Edward III (1980)
dalam Subarsono (2005: 90) disebut juga dengan Direct dan Impact on Implementation. Dalam pendekatan yang diterbitkan oleh Edward III,
terdapat empat variabel yang menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu:
1. Komunikasi, terdapat tiga indikator yang dipakai yaitu tranmisi, kejelasan dan konsistensi.
2. Sumberdaya, terdapat empat indikator yang dipakai, yaitu: staf, informasi, wewenang dan fasilitas
3. Disposisi, terdapat dua indikator yang dipakai, yaitu: pengangkatan birokrat.
4. Struktur birokrasi, terdapat dua indikator yang dipakai, yaitu:
standar operating prosedurs (SOP) dan fragmentasi.
4) Implementasi kebijakan model Merille S Grindle dalam Subarsono (2005: 167). Pendekatan dikenal dengan Implementation as a politocal and administrative proces. Menurut Grindle, ada dua variable yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcome) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin dicapai dengan melihat pada proses serta pencapaian tujuan kebijakan yaitu pada dampak atau efek pada masyarakat secara individu dan kelompok serta tingkat perubahan yang terjadi dan penerima kelompok sasaran. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan juga di tentukan oleh variabel besar, yakni terdiri atas isi kebijakan (Content of Policy) dan lingkungan implementasinya (Context of Implementation).
1. Variabel Isi kebijakan (Content of Policy) mencakup: sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak sebuah program sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci dan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
2. Variabel Lingkungan Kebijakan (Context of Policy) mencakup: kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan, karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa, tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
5) Implementasi kebijakan publik model Hoogwood dan Gun (1978: 20). Menurut kedua pakar ini, untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat:
1. Jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/ badan tidak akan menimbulkan masalah yang besar.
2. Apakah untuk melaksanakannya tersedia sumberdaya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu.
3. Apakah keterpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada.
4. Apakah kebijakan yang diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal.
5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi 6. Apakah hubungan saling ketergantungan kecil.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. 8. Bahwa tugas-tugas telah dirinci dan diurutkan dalam urutan yang
benar.
6) Model pendekatan bottom up ini disusun oleh Elmore (1979), Lipsky (1971), Hjren dan O’Porter (1981). Model ini dimulai dari identifikasi jaringan aktor yang terlibat di dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak- kontak yang mereka miliki. Model implementasi kebijakan ini di dasarkan kepada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya tataran bawah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keiingian publik yang menjadi target atau kliennya dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan
model ini diprakarsai oleh masyarakat baik secara langsung ataupun melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Berdasarkan beberapa teori dan model pendekatan implementasi kebijakan publik yang telah dipaparkan oleh beberapa tokoh di atas, maka peneliti menggunakan teori dan model pendekatan kebijakan publik yang diungkapkan oleh Van Metter dan Van Horn. Peneliti memilih model Van Metter dan Van Horn berdasarkan variable yang terdapat dalam model pendekatan ini yang mampu menjawab permasalahan yang terjadi dalam Implementasi Program Listrik Gratis di Kecamatan Curug Kota Serang.
Selain itu Model variabel teori Van Metter dan Van Horn juga tidak terlalu sulit untuk mencocokan dengan identifikasi masalah yang peneliti paparkan pada bab sebelumnya. Teori dari Van Metter dan Van Horn memiliki enam variabel, sehingga dari variabel yang sedikit ini memudahkan peneliti untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam tentang program listrik gratis di Kecamatan Curug.
2.1.3. Konsep Program
Program dapat diartikan sebagai wujud aksi untuk mencapai tujuan khusus. Tujuan tersebut telah ditentukan sebelumnya secara spesifik dan kebijakan tersebut dicapai melalui program. Program dapat dijelaskan sebagai kebijakan dalam hal tujuan yang ingin dicapai. Program tersebut merupakan langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kebijakan dan program merupakan suatu tindakan atau kegiatan yang disengaja dengan variasi
intensitas yang berbeda-beda dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan pada lokasi tertentu. Hubungan antara kebijakan dengan program saling berkaitan satu sama lain karena kebijakan mencakup sejumlah program.
Kebijakan selalu berhubungan dengan dorongan dan regulasi. Program membutuhkan baik itu dorongan, aturan maupun implementasi. Kebijakan memiliki cakupan yang luas daripada Program. Program merupakan cara untuk mencapai suatu kebijakan yang dikeluarkan. Salah satu bentuk Pogram yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Banten adalah Program Listrik Gratis.
2.1.4. Konsep Program Listrik Gratis
Listrik adalah kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat dan sebagai penunjang masyarakat dalam menjalankan seluruh kegiatan sehari-hari serta membantu dalam perekenomian di era digital saat ini. Listriklah energi yang sangat dibutuhkan oleh seluruh masyarakat untuk bertahan hidup. Selain untuk penerangan pada malam hari, dengan adanya listrik manusia dapat menjalankan segala aktivitasnya dan mendapatkan banyak informasi melalui energi listrik. Tanpa listrik kehidupan masyarakat akan lumpuh, roda perekonomian di tingkat nasional maupun daerah tidak akan berjalan. Masyarakat di daerah terpencil tidak akan bisa mengakses segala informasi dari luar daerah.
Program Listrik Gratis menurut Naskah Perjanjian Hibah Daerah adalah program bantuan hibah berupa barang/jasa dari pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) untuk dialokasikan bagi rumah tangga miskin yang berada di daerah pedesaan dan belum memiliki aliran
listrik dirumahnya atau keluarga prasejatera yang belum pernah menikmati pelayanan listrik Negara (PLN). Kriteria kemiskinan yang ditentukan oleh Distamben sendiri menggunakan dan mempadupadankan kriteria kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Serang atau Provinsi Banten dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Pembayaran biaya serta penyambungan instalasi listrik sambungan rumah tangga bekerjasama antara Distamben Provinsi Banten dengan PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten Area Banten Selatan.
Bentuk bantuan hibah yang diterima oleh rumah tangga yaitu berupa satu set instalasi listrik dalam rumah yang terdiri dari 4 titik dengan rincian 3 untuk mangkuk lampu dan 1 stop kontak, sertifikat layak operasi, biaya penyambungan ke PLN, serta voucher listrik sebesar Rp. 20.000,- . Menurut Pasal 7 Ayat 1 Peraturan Gubernur Banten Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Hibah dam Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Provinsi Banten, persyaratan pengajuan permohonan hibah baik secara tertulis maupun melaului situs web Pemerintah Daerah. Dalam hal ini Kelurahan melengkapi dan menyerahkan dokumen proposal yang ditujukan kepada Distamben Provinsi Banten yang diketahui dan ditandatangi oleh Lurah dan Pihak Kecamatan. Kemudian di dalam proposal yang diajukan tersebut melampirkan foto copy KTP dan KK rumah tangga sasaran. Setelah semua berkas dokumen lengkap, Distamben Provinsi Banten akan mendata untuk penentuan calon penerima listrik gratis dan memberikan Berita Acara Pelaksanaan pendataan rumah tangga belum berlistrik calon penerima listrik perdesaan.
2.2. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, dicantumkan hasil penelitian terdahulu yang pernah peneliti baca sebelumnya yang tentunya sejenis dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu ini bermanfaat dalam mengolah atau memecahkan masalah yang timbul dalam Implementasi Program Listrik Gratis di Kecamatan Curug Kota Serang. Walaupun lokusnya dan masalahnya tidak sama persis tapi sangat membantu peneliti menemukan sumber-sumber pemecahan masalah penelitian ini. Berikut ini adalah hasil penelitian yang peneliti baca:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ilhami Dyah Puspitoningrum yang berjudul Implementasi Kebijakan Pendidikan Gratis di SMP Negeri 1 Polokarto Tahun Ajaran 2008/2009 dari Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Implementasi Kebijakan Pendidikan Gratis di SMP Negeri 1 Polokarto. Kekurangan dari penelitian ini adalah antara hasil yang dipaparkan dengan temuan sangat berbanding terbalik. Kelebihan penelitian ini data-data yang disajikan cukup detail dalam membahas kebijakan pendidikan gratis. Hasil dari penelitian ini adalah implementasi Kebijakan yang dilaksanakan sudah berjalan dengan baik, Ini terlihat dari warga sekolah terutama siswa dan orangtua siswa yang sudah bisa mendapatkan manfaat dari kebijakan pendidikan gratis ini karena dari kebijakan ini dapat meringankan beban orangtua dalam membiayai pendidikan anaknya. Tetapi masih terdapat beberapa masalah yang ditemukan. Persamaan penelitian Ilhami Dyah Puspitoningrum dengan penelitian yang peneliti teliti adalah menggunakan Metodelogi yang sama yaitu Metodelogi
Kualitatif deskriptif. Perbedaannya lokus penelitian Ilhami Dyah di Polokarto, Surakarta. Sedangkan fokus penelitiannya adalah Program Kebijakan Pendidikan Gratis yang dilakukan oleh peneliti. Kemudian teori yang digunakan meskipun sama-sama berjudul Implementasi namun tidak sama dengan teori Implementasi kebijakan yang dipergunakan oleh peneliti, Ilhami Dyah menggunakan teori pendidikan.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Jusdin Puluhulawa, M.Si. Jurnal berjudul Implementasi Kebijakan Pendidikan (Studi Kasus di Provinsi Gorontalo) dari Universitas Negeri Gorontalo Tahun 2013. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis implementasi Kebijakan Pendidikan Gratis di Provinsi Gorontalo. Hasil dari penelitian ini adalah implementasi yang dilaksanakan dalam Kebijakan Pendidikan Gratis belum berjalan optimal adanya hambatan dan gesekan dari sisi koordinasi pemerintah antara Pemerintah Provinsi dengan para bupati/walikota, baik secara teknis maupun secara administratif oleh