• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Objek Penelitian

Novel “Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi, yang dibagi atas 20 bagian cerita dan terdiri dari 80 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009 yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Novel ini bercerita tentang seorang pelajar bernama Alif, lulusan terbaik madrasah negeri setingkat SMP, dan sepuluh besar terbaik se-kabupaten Agam, Sumatera Barat, yang melanjutkan sekolah ke pesantren di ujung timur pulau Jawa. Awalnya Alif bercita-cita mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia ingin menjadi seperti orang umumnya, masuk jalur non agama -SMA. Namun, keinginannya ini ditolak orang tuanya terutama Amak –panggilan untuk ibu di sebagian besar daerah di Minang.

Alif dan Amak pun saling berbantah-bantahan. Alif bersikeras dengan keinginannya untuk masuk SMA, sedangkan Amak juga tidak kalah kerasnya menginginkan Alif untuk masuk madrasah aliyah – pendidikan setingkat SMA. Alif merasa dengan nilai ujiannya yang tinggi, merupakan tiket untuk mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi. Amak justru berpendapat dengan masuknya Alif ke jalur agama, akan ada bibit unggul di madrasah aliyah. Akhirnya, atas usulan dari pamannya Pak Etek

Gindo yang sedang belajar di Mesir, Alif mau melanjutkan ke sekolah agama. Namun, ia mengajukan syarat, harus sekolah di pondok yang diajukan oleh Pak Etek Gindo, yaitu Pondok Madani di Jawa Timur. Dengan setengah hati, akhirnya Alif berangkat ke Jawa Timur bersama ayahnya.

Tak disangka, Alif banyak menemui kejutan di Pondok Madani. Dimulai dari ujian lisan dan tertulis yang harus ia lewati bersama dengan ribuan calon santri lainnya untuk dapat masuk ke Pondok Madani. Pondok ini tidak seperti pesantren yang dibayangkan Alif. Di hari pertama ia sekolah, wali kelasnya masuk ke kelas sambil berteriak dan mengajungkan tangan “MAN JADDA WAJADA”, berulang-ulang dan diikuti seluruh santri di kelas itu. Sebuah ‘mantra’ yang ditanamkan dipikiran setiap santri di hari pertama sekolah, yang artinya “Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil!”. Mantra ini pula yang memberi semangat di hampir sebagian besar pengalaman Alif di Pondok Madani.

Salah satunya ketika setiap santri diwajibkan berbahasa Inggris atau Arab dalam setiap aktivitas keseharian mereka. Santri baru hanya diberi waktu empat bulan untuk berbahasa Indonesia atau daerah. Setelah itu, mereka diwajibkan berbahasa asing dimanapun, kapan pun dalam kondisi seperti apapun. Bahkan, jika perlu mengigau dalam tidur pun harus berbahasa Inggris atau Arab. Meski dirasa tidak mungkin, tapi setelah dicoba dengan bersungguh-sungguh dan latihan terus-menerus, hal itu mungkin untuk dilakukan.

Selain itu, setiap santri diharuskan mengikuti qanun -peraturan pondok dan jadwal aktivitas sehari-hari. Uniknya, setiap peraturan dan jadwal tidak dituliskan atau ditempel di dinding pengumuman. Tetapi hanya dibacakan dimalam pertama menjadi santri. Setiap santri diharuskan mengingat, dan membiasakan diri sendiri dengan peraturan yang ada. Setiap pelanggaran yang dilakukan santri dikenai hukuman sesuai dengan jenis pelanggaran. Namun, setelah menjalani masa hukuman, setiap santri diharuskan menjadi jasus -mata-mata- yang mengawasi pelanggaran yang dilakukan santri lain untuk dilaporkan ke Mahkamah Keamanan Pusat. Begitu seterusnya, hingga setiap santri pun terbiasa untuk disiplin dan tidak melakukan pelanggaran.

Alif tidak sendiri. Ia bersama kelima teman-temannya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, juga ikut merasakan atmosfer pendidikan di pondok. Pengalaman suka-duka menjadi santri mereka lewati bersama. Terkadang, jika lelah dengan aktivitas pondok, mereka selalu duduk-duduk di bawah menara mesjid pondok sambil menunggu tibanya waktu sholat, sambil mengulang pelajaran, berlatih bahasa Arab dan Inggris atau sambil tidur-tiduran memikirkan tentang impian masing-masing. Impian tentang negara-negara yang ingin mereka kunjungi, impian tentang apa yang akan mereka lakukan setelah lulus dari pondok. Awan-awan yang berarak di langit bagi mereka merupakan penjelmaan dari bentuk negara yang akan mereka kunjungi.

Bila ingin mendapat pelatihan hebat untuk menjadi orator ulung dan singa podium, maka Pondok Madani menjadi salah satu tempatnya. Bagaimana tidak, tiga kali seminggu, selama 2 jam, setiap santri diwajibkan mengikuti muhadharah, atau latihan berpidato di depan umum. Setiap santri mempunyai kelompok pidato berisi sekitar 40 orang. Setiap orang mendapat giliran untuk berbicara 5 menit di depan umum. Tidak hanya harus berpidato tanpa teks, bahkan tingkat kesulitannya ditingkatkan dengan kewajiban harus berpidato dalam 3 bahasa, Indonesia, Inggris dan Arab.

Arus informasi dan media mendapat pengawalan ketat di Pondok Madani. Setiap surat kabar yang terbit, ditempel di panel kaca bolak-balik di setiap sudut pondok, setelah sebelumnya pada bagian-bagian khusus disensor dengan di tutup potongan kertas putih. Walau media lokal disensor ketat, pondok membebaskan santrinya untuk menerima majalah dari luar negeri, karena ini bagian dari proyek mendalami bahasa Arab dan Inggris. Hingga tidak heran, hampir setiap hari bertumpuk-tumpuk paket-paket dan amplop berisi barang cetakan datang dari berbagai negara. Jika ada santri yang belum pernah mendapatkan kiriman barang atau surat balasan dari luar negeri, maka ia akan mencoba lagi terus-menerus hingga mendapatkannya.

Pondok Madani membiasakan setiap santrinya untuk mencintai ilmu. Dalam pelajaran bahasa misalnya, setiap santri tidak diharuskan untuk menghapal kata per kata atau menerjemahkan kata-kata asing, tetapi

dengan metode ‘dengar, ikuti, teriakkan dan ulangi lagi’, percakapan, kalimat atau kata-kata baru tadi secara refleks menjadi kebiasaan dan bertahan lama untuk diingat, meskipun ada beberapa yang tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ustad yang mengajar mengajak santrinya untuk mencintai apa yang mereka pelajari, bukan sekedar, dihapal untuk ujian, kemudian setelah itu hilang. Jika telah mencintai apa-apa yang dipelajari, maka ia akan mudah untuk terus diingat dalam waktu lama, dan mudah juga untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa minggu sebelum ujian, pondok akan menyambutnya dengan meriah, seolah-olah musim ujian adalah hari besar ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Spanduk menyambut musim ujian dipasang diberbagai sudut pondok. Menu makan yang biasanya tahu, tempe menjadi daging, ikan dengan tambahan susu dan buah. Waktu di Mesjid dipersingkat, waktu khusus mengaji dikurangi, jam malam diperpanjang, jam makan dibuat fleksibel, pramuka dan muhadharah ditiadakan. Lisrik tenaga diesel yang biasanya mati jam 10 malam, dibuat bersinar terus sampai tengah malam. Ruangan kelas dan dibuka 24 jam untuk dipakai sebagai tempat diskusi, belajar bersama atau sendiri-sendiri. Jika semakin dekat hari ujian, para guru –yang hampir semua tinggal di PM- setiap malam akan berkeliling asrama, kelas, aula, lapangan dan mesjid untuk misi: pertama, menjawab pertanyaan apa saja tentang mata pelajaran apa saja. Kedua, membangunkan yang tertidur di jam belajar. Kondisi ini

membuat setiap santri tergerak untuk belajar dan belajar. Bahkan yang kurang antusias pun, mau tidak mau harus mengikuti ritme penyambutan musim ujian ini dengan belajar.

Selain harus belajar di kelas, setiap santri juga diwajibkan mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Mulai dari Pramuka, seni, bahasa, olahraga, beladiri dan musik. Tinggal dipilih sesuai dengan minat dan bakat masing-masing santri. Santri yang tamat juga tidak diberi ijazah, ijazah Pondok Madani bukanlah selembar kertas, tetapi ilmu yang tertanam dalam hati dan pemikiran setiap santrinya. Guru-guru yang mengajar juga tidak diberi gaji. Namun, mereka diberi tempat tinggal dalam lingkungan pondok. Kebutuhan sehari-hari juga menjadi tanggung jawab pondok. Sehingga para guru pun total dalam mengajar para santri.

Ritme kehidupan dan aktivitas yang dirasakan Alif di Pondok Madani, membuatnya berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Ia bersyukur dapat masuk ke Pondok Madani. Pendidikan dan pengajaran yang ia terima di pondok dari ustad dan kyai merubah pandangan matanya tentang sekolah agama. Nasehat dan ilmu yang ia dapatkan menjadi bekalnya dalam menjalani kehidupan selanjutnya setelah lulus dari Pondok Madani.

Alif dan teman-temannya pun berhasil menjemput impian mereka masing-masing. Mengunjungi negara impian mereka. Tidak hanya sekedar berkunjung, tetapi melanjutkan sekolah di sana. Impian ketika

mereka masih menjadi santri, impian yang mereka ukir di bawah menara mesjid.

Dokumen terkait