• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:40). Maka teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1991:40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala yang menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2004:6). Fungsi teori dalam suatu riset penelitian adalah membantu peneliti dalam menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya (Kriyantono, 2007:45). Teori yang relevan dengan penelitian ini adalah: Analisis Wacana Kritis, Analisis Wacana menurut Norman Fairclough, Representasi dan Ideologi. Secara lebih rinci dapat dilihat pada uraian-uraian berikut ini.

II.1 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Awal perkembangan analisis wacana kritis dikemukakan oleh van Dijk pada tahun 1970-an. Analisis ini mendapat pengaruh teori linguistik kritis, teori sosial kritis Frankfurt, dan teori pascastrukturalisme yang berkembang di Perancis. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora seperti apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv). Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69) membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa.

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001: 4-6). Pandangan pertama disebut positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.

Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang

bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma

kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis.

Menurut Yoce (2009: 49), analisis wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.

Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat diketahui. Jadi, wacana dapat dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi.

Dalam Eriyanto (2001: 7) analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan

dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi. Habermas dalam Yoce (2009: 53) mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana kritis bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam hubungannya antara ideologi dan kekuasaan. Tujuan analisis wacana kritis adalah untuk mengembangkan asumsi-asumsi yang bersifat ideologis yang terkandung dibalik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam berbagai bentuk kekuasaan. Analisis wacana kritis bermaksud untuk menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik diskursif, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas. Jadi, analisis wacana kritis dibentuk oleh struktur sosial (kelas, status, identitas etnik, zaman dan jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang digunakan). Analisis wacana krtis mencoba mempersatukan dan menentukan hubungan antara (1) teks aktual, (2) latihan diskursif dan (3) konteks sosial yang berhubungan dengan teks dan latihan diskursif.

Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat

memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi yang ditampilkan. Untuk menyempurnakan pandangan di atas, Fairclough mengemukakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan kritis. Menurut Fairclough wacana harus dipandang simultan, yaitu sebagai (1) teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) praksis kewacanaan, yaitu produksi teks dan interpretasi teks, (3) praksis sosiokultural, yaitu perubahan-perubahan masyarakat institusi, budaya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Menganalisis wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana secara integral dan ketiga dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Analisis wacana kritis dipakai untuk mengungkap tentang hubungan suatu ilmu pengetahuan dan kekuasaan, juga digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan mengkritik kehidupan sosial yang tercermin dalam teks atau ucapan.

Dalam Eriyanto (2001: 8-13) mengutip dari pemikiran Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Adapun karakteristik analisis wacana kritis menurut Fairclough dan Wodak adalah:

1. Tindakan

Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang diasosiakan sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, beraksi dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

2. Konteks

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks

dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.

Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu; wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya.

3. Historis

Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.

4. Kekuasaan

Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana.

5. Ideologi

Wacana dipandang sebagai medium kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. Analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi

dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana.

II.2 Analisis Wacana Norman Fairclough

Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk oleh relasi sosial dan konteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001: 285).

Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Memandang bahasa sebagai praktek sosial semacam ini mengandung sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan

khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas. Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh struktur sosial, kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari institusi tertentu seperti pada hukum atau pendidikan, sistem dan klasifikasi.

Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough, teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks, sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktek institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.

Model Tiga Dimensi Analisis Wacana Fairclough PRAKSIS

SOSIOKULTURAL PRAKSIS

WACANA

a. Teks

Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antar objek didefinisikan. Ada tiga elemen dasar dalam model Fairclough, yang digambarkan dalam tabel berikut:

UNSUR YANG INGIN DILIHAT

1. Representasi Bagaimana peristiwa orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apa pun ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

2. Relasi Bagaimana hubungan antara

wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

3. Identitas Bagaimana identitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

Sumber: Eriyanto, 2001: 289 1. Representasi

Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana seseorang, kelompok, dan gagasan ditampilkan dalam anak kalimat dan gabungan atau rangkaian antar anak kalimat.

1.1 Representasi dalam anak kalimat

Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa dan kegiatan ditampilkan dalam teks, dalam hal ini bahasa yang dipakai. Menurut Fairclough, ketika

sesuatu tersebut ditampilkan, pada dasarnya pemakai bahasa dihadapkan pada paling tidak dua pilihan. Pertama, pada tingkat kosakata: kosakata apa yang dipakai untuk menampilkan dan menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori. Menurut Fairclough, pilihan pada kosakata metafora juga merupakan kunci bagaimana realitas ditampilkan dan dibedakan dengan yang lain. Metafora bukan hanya persoalan keindahan bahasa, tetapi juga bisa menentukan apakah realitas itu dimaknai dan dikategorikan sebagai positif dan negatif. Kedua, pilihan yang didasarkan pada tingkat tata bahasa. Pada tingkatan ini, analisis Fairclough terutama dipusatkan pada apakah tata bahasa ditampilkan dalam bentuk proses ataukah dalam bentuk partisipan. Dalam bentuk proses, apakah seseorang, kelompok, kegiatan ditampilkan sebagai tindakan, peristiwa keadaan, ataukah proses mental. Ini terutama didasarkan pada bagaiman suatu tindakan hendak digambarkan. Bentuk tindakan menggambarkan bagaimana aktor melakukan suatu tindakan tertentu kepada seseorang yang menyebabkan sesuatu. Bentuk peristiwa memasukkan hanya satu partisipan saja dalam kalimat, baik subjeknya saja maupun objeknya saja. Bentuk keadaan, menunjuk pada sesuatu yang telah terjadi. Bentuk yang lain adalah proses mental, menampilkan sesuatu sebagai

fenomena, gejala umum, yang membentuk kesadaran khalayak, tanpa menunjuk subjek/pelaku.

1.2 Representasi dalam kombinasi anak kalimat

Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabung sehingga membentuk suatu pengertian yang dapat dimaknai. Pada dasarnya, realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain. Gabungan antara anak kalimat ini akan membentuk koherensi lokal, yakni pengertian yang didapat dari gabungan anak kalimat satu dengan yang lain, sehingga kalimat itu mempunyai arti. Koherensi antara anak kalimat ini mempunyai beberapa bentuk. Pertama, elaborasi, anak kalimat yang satu menjadi penjelas dari anak kalimat yang lain. Anak kalimat yang kedua ini fungsinya adalah memperinci atau menguraikan anak kalimat yang telah ditampilkan pertama. Kedua, perpanjangan, di mana anak kalimat satu merupakan perpanjangan anak kalimat yang lain. Fungsinya adalah kelanjutan dari anak kalimat pertama. Ketiga, mempertinggi, dimana anak kalimat yang satu posisinya lebih besar dari anak kalimat yang lain. Misalnya, anak kalimat satu menjadi penyebab dari anak kalimat lain. Koherensi ini merupakan pilihan. Artinya dua buah anak kalimat dapat dipandang hanya sebagai penjelas, tambahan atau saling bertentangan, tergantung

pada bagaimana fakta satu dipandang saling berhubungan dengan fakta lain.

1.3 Representasi dalam rangkaian antarkalimat

Aspek ini berhubungan dengan bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan dirangkai. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjol dibandingkan dengan bagian yang lain. Salah satu aspek penting adalah apakah partisipan dianggap mandiri ataukah ditampilkan memberikan reaksi dalam teks. Menurut Fairclough, ada tiga bentuk bagaimana pernyataan ditampilkan dalam teks. (1) dengan mengutip secara langsung apa yang dikatakan oleh aktor, (2) dengan meringkas apa inti yang disampaikan oleh aktor, dan (3) lewat evaluasi, dimana pernyataan aktor dievaluasi kemudian ditulis dalam teks.

2. Relasi

Relasi berhubungan dengan pertanyaan bagaimana partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media disini dipandang sebagai suatu arena sosial, dimana semua kelompok, golongan dan khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan versi pendapat dan gagasannya. Fairclough berpendapat ada tiga kategori partisipan utama dalam media (dalam hal ini novel yang sedang diteliti);

penulis, pembaca atau khalayak media dan partisipan publik seperti politisi, pengusaha, tokoh masyarakat, artis, ulama, dan sebagainya. Titik perhatian dari analisis hubungan, bukan pada bagaimana partisipan publik tadi ditambahkan dalam media (representasi), tetapi bagaimana pola hubungan di antara ketiga aktor tadi ditampilkan dalam teks.

Analisis tentang konstruksi hubungan ini dalam media sangat penting dan signifikan terutama kalau dihubungkan dengan konteks sosial, karena pengaruh unik dari posisi-posisi mereka yang ditampilkan dalam media menunjukkan konteks masyarakat. pengertian tentang bagaimana relasi itu dikonstruksikan dalam media di antara khalayak dan kekuatan sosial yang mendominasi kehidupan ekonomi, politik dan budaya adalah bagian yang penting dalam memahami pengertian umum relasi antara kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat yang berkembang. Analisis hubungan ini penting dalam dua hal. Pertama kalau dikatakan bahwa media adalah ruang sosial di mana masing-masing kelompok yang ada dalam masyarakat saling mengajukan gagasan dan pendapat, dan berebut mencari pengaruh agar diterima oleh publik, maka analisis hubungan akan memberi informasi yang berharga bagaimana kekuatan-kekuatan sosial ini ditampilkan dalam teks. Kelompok yang mempunyai posisi tinggi,

umumnya ditempatkan lebih tinggi dalam relasi hubungan dengan penulis dibandingkan dengan kelompok minoritas.

Kedua, analisis hubungan juga penting untuk melihat bagaimana khalayak hendak ditempatkan dalam pemberitaan. Bagaimana pola hubungan antara penulis dengan partisipan lain itu ingin dikomunikasikan kepada khalayak. Atau dengan kata lain, bagaimana teks itu membangun relasi antara khalayak dengan partisipan sosial yang dibangun.

3. Identitas

Aspek identitas melihat bagaimana identitas penulis ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks. Yang menarik, menurut Fairclough, bagaimana wartawan menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan masalah atau kelompok sosial yang terlibat; ia mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok mana? Apakah penulis ingin mengidentifikasi dirinya sebagai bagaian dari khalayak ataukah menampilkan dan mengidentifikasi dirinya secara mandiri?

b. Discourse Practice

Analisis discourse practice memusatkan pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik

Dokumen terkait