REPRESENTASI PENDIDIKAN PESANTREN
DALAM NOVEL “NEGERI 5 MENARA”
(Studi Analisis Wacana Norman Fairclough Tentang Representasi Pendidikan Pesantren dalam Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Diajukan Oleh
FIQI LISTYA FUJIASIH
(060904077)
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAKSI
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi pendidikan pesantren dalam novel “Negeri 5 Menara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ideologi penulis, mengetahui wacana pada makna isi pesan yang terkandung dalam novel dan untuk mengetahui representasi pendidikan pesantren yang dibentuk dalam novel “Negeri 5 Menara” ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana kritis dengan menggunakan analisis Norman Fairclough. Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah pada level teks, discourse practice dan sociocultural practice yang melatarbelakangi dibuatnya novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat wacana pendidikan pesantren dan representasi yang disajikan dengan konsep makna pesan yang tersirat.
Dalam analisis Norman Fairclough, peneliti dapat melihat secara spesifik bagaimana representasi yang disajikan dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya wacana tersebut. Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.
Objek dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi, yang dibagi atas 20 bagian cerita dan terdiri dari 80 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009 yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah sembah syukur ku haturkan kehadirat Allah SWT, Rabb Semesta Alam, Pemilik Diri yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, telah merancang skenario terindah dihidup peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, serta tidak lupa pula shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi kehidupan.
Penelitian skripsi ini berjudul REPRESENTASI PENDIDIKAN PESANTREN DALAM NOVEL “NEGERI 5 MENARA” (Studi Analisis Wacana Norman Fairclough Tentang Representasi Pendidikan Pesantren dalam Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi), merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Peneliti menyadari bahwa belajar adalah sebuah proses berkelanjutan yang tak kenal henti hingga akhir hidup, begitupun dengan skripsi ini adalah bagian dari proses belajar peneliti, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Peneliti berterima kasih kepada orang tua peneliti, Bapak Ir. Fauzi Bramantyo, yang semangat belajarnya menular kepada peneliti. Usia boleh tua, tetapi semangat belajar tetap layaknya masih di usia muda. Mama Sri Asih, yang meskipun tidak merasakan pendidikan perguruan tinggi, namun selalu memotivasi peneliti untuk sekolah tinggi, bahkan sampai menemani peneliti keliling berbagai universitas di Jawa. Dukungan, doa restu dan semangat Bapak dan Emak yang menemani peneliti hingga sampai di titik ini. Teruntuk adikku, Fariqi Iqbal Zulfi, semoga apa yang kakak lakukan ini, dapat memotivasimu untuk terus semangat kuliah.
1. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Amir Purba, MA, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
4. Ibu Dra. Lusiana A. Lubis, MA, selaku dosen wali dan dosen pembimbing yang tak hanya membimbing peneliti selama mengerjakan skripsi, tetapi juga dengan kesabaran yang tulus menunggu skripsi peneliti yang lama selesainya, yang telah berbagi cerita tentang banyak hal dan memotivasi untuk melanjutkan sekolah dan terus menimba ilmu. Terima Kasih Bu, atas pengertian, kesabaran, nasehat dan pemikiran yang telah diberikan kepada saya.
5. Dosen Ilmu Komunikasi yang telah menuangkan ilmu, memberi pengajaran, membuka mata dan wawasan, tidak hanya di bangku kuliah, tetapi juga dalam diskusi sederhana.
6. Ibu Dra. Rosmiani, M.A yang selama ini telah memberi banyak nasehat dan semangat kepada peneliti.
7. Kak Cut, Kak Ros dan Kak Maya serta seluruh staf Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah membantu mengurus administrasi peneliti sejak masa PKL. Mohon maaf telah banyak merepotkan.
8. Pak Ahmad Fuadi dan Ibu Danya “Yayi” Dewanti serta keluarga, seluruh manajemen Negeri 5 Menara dan Komunitas Menara, yang telah banyak membantu peneliti. Terima Kasih, Negeri 5 Menara sungguh membuka mata untuk percaya bahwa impian kan nyata akhirnya jika mau berusaha. Man Jadda Wajada!
Keluarga Alumni Pondok Modern Gontor Medan yang telah membantu peneliti. Skripsi ini membuat saya ingin menjadi santri di PM Gontor. 10.Bapak Drs. Arief Ridwan Haris, Kepala Sekolah Al Ulum Terpadu
Medan, yang telah membantu peneliti. Terima Kasih atas diskusi menyenangkannya.
11.Heri Gunanti Surbakti dan Ropesta Sitorus, S.Sos yang telah bersedia peneliti wawancarai seputar pesantren dan Negeri 5 Menara.
12.Redaksi Majalah SABILI; Ka Nesa, Mbak Diyah, Mbak Noer, Mbak Wiwit, Pak Herry Nurdi, Pak Rivai, Pak Chairul, Pak Eman, Seto Buje, Pak Rani, Pak Iwan, Mohon maaf selama skripsi jadi tidak pernah meliput dan menulis lagi.
13.Sahabatku di UKMI As-Siyasah FISIP USU; Tiwi, Reine, Nazlia, Aida, Wira, Ira, Ka Siti, Ka Yo, Ka Widi, Ka Ifah, Yayuk, Windy, Qin, Dilla, Ayu, Yasa, Uni, Alim, Sulhan, Ali, Prie, Eka, Irwanto, Tama, Iqbal dan seluruh keluarga UKMI, para penunggu musholla, yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Dari kalian, aku belajar bahwa ilmu bukan sekedar untuk dihapal, tapi juga diamalkan.
14.Sahabatku di KAMMI Merah Putih dan Nusantara USU; Syaiful, Farida, Rico, Ama, Nurul, Sita, maaf jika di akhir-akhir masa kepengurusan, saya kurang berkontribusi.
15.Sahabatku di 99 Percent Magazine; Ka Yo, Ayu, Yasa, Ari, Fadhlan, Rico, Ikhsan, Dilla, Roby, kita buat majalah kita jadi Go International. 16.Sahabatku Happy Yummy Slurpp; Mel, Dika, Wanya, Yuli, Vega,
17.Teman-teman di SUARA USU, Bang Febri Ichwan Butsi, Bang Liston Damanik, Bang Vinsensius Sitepu, Terima Kasih atas diskusinya, telah membantu peneliti memahami teori analisis wacana.
18.Fanny Yulia Chaniago dan Bang Roni Wisuda Rambe, yang telah membantu peneliti wawancara dan memberi semangat.
19.Adik-adik mentoring Ilmu Komunikasi 2008 & 2009, dan Administrasi Bisnis 2009, serta teman-teman Liqo & Ka Alucyana, S.Psi yang telah memberi semangat dan taujih agar peneliti tidak lupa mengaji meskipun sedang sibuk skripsi.
20.Teman-teman Ilmu Komunikasi 2006, para senior dan junior. Terima Kasih atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga ilmu kita benar-benar diaplikasikan di dunia nyata, bukan sekedar penghias ijazah saja. 21.Sahabatku di Smart Generation Community (SGC) USU; Semoga kita
bisa mewujudkan mahasiswa USU yang tidak hanya sekedar penghapal buku, tapi juga pecinta ilmu, tidak hanya tahu demo, tapi juga dekat dengan Allah.
22.Sahabat dan keluarga saya di FORSAI SMAN 12 Medan, terutama kepada Kak Nailul Abror Pohan, Kak Eko Susanto dan Mbak Ulfa, yang banyak memberi semangat kepada peneliti selama mengerjakan skripsi. Terkhusus angkatan 2006, mengisi waktu terbaik di usia SMA bersama kalian, bekal yang sangat berarti untuk lima puluh tahun yang akan datang. Bersama kalian, usia remaja tak selalu harus hura-hura tapi usia untuk mempersiapkan diri agar dapat meraih cita-cita.
23.Kak Ibnu Asqori Pohan yang telah banyak membantu peneliti sejak awal penulisan skripsi hingga akhir. Meskipun nun jauh di Manila sana, namun pemikiran, dukungan dan semangatnya menembus jarak beratus kilometer. Bahkan membuat Negeri 5 Menara sampai ke Filipina. Jazzakumullah Khairan Katsira.
malam hari, dengan diskusi kita dari isu kamar sampai isu global, yang membuat peneliti jadi lebih sering baca dan nonton TV agar diskusi kita gak pernah mati, yang membuat peneliti betah di Ilmu Komunikasi, yang membuat semangat kuliah di luar negeri, yang membuat peneliti mencintai ilmu, teruntuk Kak Ardhi Jayali Lubis, S.Sos (FISIPOL UGM), Kak Afit Fahrudin hampir S.Sn, S.Pd (Seni Rupa UNY), Tegar Hamzah, S.Psi (Psikologi UI), Fikrie El Mujahid, S.Ked (FK UNDIP), Mulya Fitrah Utama hampir SH (FH UI), Bag Kinantan, ST (FT USU), Fathia Rahma (SMAN 3 Bandung), PH (Arsitektur ITB), dan juga seluruh jama’ah fesbuker dan multiply.
25.Sahabat, keluarga, teman, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, tapi yakinlah, setiap kebaikan dan keikhlasan, Allah akan membalasnya dan mengumpulkan kita kembali, insya Allah, di syurgaNya kelak. Amin.
Akhir kata peneliti panjatkan doa dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar pendidikan di Indonesia lebih baik di masa yang akan datang. Insya Allah. Man Jadda Wajada!
Medan, September 2010 Peneliti
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAKSI………. i
KATA PENGANTAR………. ii
DAFTAR ISI………. vii
DAFTAR TABEL……… ix
BAB I PENDAHULUAN……….... 1
I.1 Latar Belakang Masalah……….. 1
I.2 Perumusan Masalah………. 9
I.3 Pembatasan Masalah……….9
I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 9
I.4.1 Tujuan Penelitian………... 9
I.4.2 Manfaat Penelitian.………10
I.5 Kerangka Teori……….10
I.5.1 Analisis Wacana Kritis………...11
I.5.2 Analisis Wacana Norman Fairclough……….14
I.5.3 Representasi………16
I.5.4 Ideologi………...17
I.7 Operasionalisasi Konsep………20
I.8 Metodologi Penelitian………23
BAB II URAIAN TEORITIS………27
II.1 Analisis Wacana Kritis………..28
II.2 Analisis Wacana Norman Fairclough………37
II.3 Representasi………..48
II.4 Ideologi……….54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………...61
III.1 Deskripsi Objek Penelitian………...61
III.2 Tipe Penelitian………..67
III.3 Subjek Penelitian………..68
III.4 Unit dan Level Analisis………68
III.5 Teknik Pengumpulan Data………68
III.6 Teknik Analisa Data………..69
BAB IV HASIL & PEMBAHASAN……….71
IV.1 Analisis Wacana Novel………..73
IV.2 Diskusi dan Pembahasan………..277
BAB V KESIMPULAN & SARAN………...312
V.1 Kesimpulan………....312
V.2 Saran………..315
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel II.1 Struktur Teks………39
Tabel III.1 Struktur Analisis Wacana Norman Fairclough………70
Tabel IV.1.1 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...78
Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...91
Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...103
Tabel IV.1.4 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...118
Tabel IV.1.5 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...132
Tabel IV.1.6 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...145
Tabel IV.1.7 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...157
Tabel IV.1.8 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...164
Tabel IV.1.9 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...177
Tabel IV.1.10 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….186
Tabel IV.1.11 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….194
Tabel IV.1.12 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….200
Tabel IV.1.13 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….206
Tabel IV.1.14 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….212
Tabel IV.1.15 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….222
Tabel IV.1.16 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….230
Tabel IV.1.17 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….238
Tabel IV.1.18 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….249
Tabel IV.1.19 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….259
ABSTRAKSI
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi pendidikan pesantren dalam novel “Negeri 5 Menara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ideologi penulis, mengetahui wacana pada makna isi pesan yang terkandung dalam novel dan untuk mengetahui representasi pendidikan pesantren yang dibentuk dalam novel “Negeri 5 Menara” ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana kritis dengan menggunakan analisis Norman Fairclough. Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah pada level teks, discourse practice dan sociocultural practice yang melatarbelakangi dibuatnya novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat wacana pendidikan pesantren dan representasi yang disajikan dengan konsep makna pesan yang tersirat.
Dalam analisis Norman Fairclough, peneliti dapat melihat secara spesifik bagaimana representasi yang disajikan dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya wacana tersebut. Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.
Objek dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi, yang dibagi atas 20 bagian cerita dan terdiri dari 80 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009 yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sejak masa reformasi media massa di Indonesia mengalami
perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan
majalah hingga munculnya saluran-saluran baru radio dan televisi. Dari
segi isi dan pemberitaan, media juga dapat dikatakan lebih ‘berani’ dalam
mengomentari kebijakan pemerintah atau memberitakan realita di
masyarakat.
Dalam hal pemberitaan realita di masyarakat, media tidak hanya
memberitakan apa yang terjadi, tetapi juga mengkonstruksi realita
tersebut, menyembunyikan sebagian fakta dan menonjolkan fakta lainnya.
Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil
konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Media
menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi
cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada
dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah
cerita atau wacana yang bermakna (Hamad, 2004: 11). Guy Cook
menyebut tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks
“Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak
di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan,
musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan
semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi
pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks
diproduksi. Wacana disini kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks
bersama-sama.” Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa teks
memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana. Hal ini
dapat dilihat misalnya pada wacana mengenai pendidikan di Indonesia,
salah satunya yaitu wacana yang berkembang mengenai lembaga
pendidikan agama, dalam hal ini yaitu pondok pesantren.
Akhir-akhir ini pemberitaan di surat kabar dan televisi cukup
sering memberitakan kasus-kasus kriminal yang terjadi di dalam
pesantren. Kasus pelecehan seksual santri yang dilakukan pimpinan
pesantren atau guru-guru di lingkungan pondok cukup mendeskreditkan
pesantren sebagai pendidikan agama di mata masyarakat, seperti yang
terjadi di sebuah Pondok Pesantren di Banjar Baru, Kalimantan Selatan.
Seorang guru pesantren memperkosa santrinya sendiri yang duduk dikelas
3 madrasah aliyah. Tidak tanggung-tanggung, kejadian itu dilakukan pada
siang hari
Selain itu, pondok pesantren
diberitakan juga menjadi sasaran dalam sebuah konflik pemilihan kepala
Kuajang, Polewali Mandar Sulawesi Barat. Pesantren ini hangus dibakar
dan diduga dilakukan oleh orang yang tidak senang dengan hasil
pemilihan kepala desa yang dimenangkan oleh calon kepala desa yang
juga merupakan ustad di pondok pesantren tersebut (Buser Liputan 6
SCTV, 23/9/2009). Pola pendidikan pesantren pun mendapat sorotan
ketika salah seorang santri di Pondok Pesantren di Kendari, Sulawesi
Tenggara harus dilarikan ke rumah sakit akibat direndam di bak
penampungan air oleh ustadnya hingga mengalami mual, muntah dan
demam tinggi (Buser Liputan 6 SCTV, 10/12/2009). Budaya kekerasan di
pesantren pun menjadi sorotan media ketika Handoyo (17), santri Pondok
Pesantren Alziziah, Jombang Jawa Timur, tewas akibat dianiaya
seniornya (Buser, Liputan 6 SCTV, 21/12/2009). Dan yang cukup
menyita perhatian masyarakat adalah pemberitaan pernikahan kedua
pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah, Semarang, Pujiono Cahyo
Widiyanto atau yang lebih dikenal dengan Syeh Puji menikahi
santriwatinya sendiri yang masih di bawah umur. Beberapa orang tua
santri memulangkan anaknya akibat pemberitaan ini.
Sejak maraknya pemberitaan kasus teroris di Indonesia, pesantren
juga cukup mendapat sorotan media massa. Pemimpin Pondok Pesantren
Al Mu’min, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Abu Bakar Ba’asyir,
sosoknya lekat dengan kasus terorisme Beliau bahkan sempat mendekam
di balik jeruji besi selama 2,5 tahun akibat dakwaan terlibat dalam
dari segala tuduhan kasus terorisme. Menjelang bulan Ramadhan 1431 H,
atau pada pertengahan Agustus kemarin, Abu Bakar Ba’asyir kembali
ditangkap dengan dugaan terlibat dalam aksi latihan senjata di Nangroe
Aceh Darussalam. Akibat pemberitaan ini, pesantren asuhannya menjadi
sorotan media dan masyarakat, karena memasukkan tema jihad dalam
kurikulum pendidikan pesantren. Bahkan semakin dicurigai karena
sebagian alumni pondok pesantren tersebut diduga terlibat dalam
beberapa aksi terorisme di Indonesia. Beberapa hari sebelum Amrozi
ditangkap, diberitakan santri dan pengasuh Pondok Pesantren Al Islam,
Lamongan Jawa Timur, merasa dirugikan akibat seringnya orang-orang
tak dikenal mengawasi lingkungan Pesantren. Hal ini dikarenakan
pemberitaan media yang mengkait-kaitkan Pesantren Al Islam dengan
Amrozi. Padahal menurut pengasuh pondok pesantren Amrozi bukanlah
alumni pondok mereka (Gatra, 8/11/2002). Pondok Pesantren Al Mutaqin
di Sowan Kidul juga mendapat sorotan karena salah satu buron kasus
terorisme bom Marriot dan Ritz Carlton, Bagus Budi Pranoto alias Urwah
pernah menjadi santri di pondok pesantren tersebut (Harian SIB,
31/8/2009). Wacana yang berkembang mengenai pendidikan pesantren di
atas, cukup mendeskreditkan pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan agama.
Dalam pembentukan suatu wacana, media massa dapat
menempatkan peranan sangat penting. Pembentukan wacana di
kabar saja. Novel dianggap sebagai salah satu media massa hasil
manifestasi jurnalistik baru dan jurnalistik sastra yang dapat
mewacanakan sesuatu atas interpretasi penulis dalam melihat fenomena
yang terjadi di masyarakat. Dalam sebuah novel, cerita yang disampaikan
mengandung suatu pesan yang diharapkan dapat menjadi acuan atau
pengetahuan baru bagi masyarakat.
Di tengah pemberitaan mengenai kasus teroris bom Marriot dan
Ritz Carlton, yang mengkaitkan pelakunya dengan latar belakang
pendidikan mereka di pesantren, Juli 2009 lalu, Ahmad Fuadi, mantan
wartawan Tempo dan VOA menerbitkan sebuah novel berlatar belakang
cerita pesantren yaitu Negeri 5 Menara. Novel ini mengangkat cerita
pesantren yang berbeda dengan penggambaran media lainnya saat itu.
Novel dengan cerita latar belakang pendidikan pesantren memang
tidak cukup banyak. Tema-tema yang diangkat juga tidak jauh dengan
model pemberitaan yang dapat kita lihat di televisi atau kita baca di surat
kabar saat ini. Sebut saja misalnya Pesantren Impian karya Asma Nadia,
menceritakan mengenai pesantren di ujung propinsi Nangroe Aceh
Darussalam tempat mantan kriminal, anak-anak korban kekerasan rumah
tangga atau korban pelecehan seksual yang ingin bertaubat, merupakan
penggambaran pesantren sebagai sebuah tempat rehabilitasi. Novel yang
diangkat ke layar lebar berjudul Perempuan Berkalung Sorban, sebuah
novel karya Abidah El Khalieqy mengangkat cerita santri yang
mendeskreditkan dirinya sebagai perempuan, merupakan penggambaran
pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak cukup mumpuni dalam
menyikapi kehidupan yang lebih modern, bahkan dapat dikatakan tidak
mampu bersaing dengan lembaga pendidikan non agama. Beberapa novel
angkatan Pujangga Lama meskipun tidak secara langsung berlatar
belakang pesantren, namun mencerminkan dunia pesantren, ada dalam
karya AA. Navis berjudul Robohnya Surau Kami. Karya mendalam
mengenai kehidupan dan jiwa pesantren pernah diterbitkan pada tahun
1979 dalam bentuk otobiografi Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari
Pesantren. Namun karya-karya ini tidak cukup dikenal lagi saat sekarang
ini, sehingga wacana yang diangkat pun tidak terlalu berpengaruh di
kalangan masyarakat.
Hal berbeda mengenai dunia pesantren ditampilkan Ahmad Fuadi,
penulis trilogi novel Negeri 5 Menara. Novel yang terinspirasi oleh kisah
yang dialami penulis selama mengenyam pendidikan pesantren di Pondok
Modern Gontor ini, membawa wacana baru mengenai dunia pesantren.
Wacana dan realita yang berbeda dengan pemberitaan mengenai pesantren
di media massa maupun novel bergenre pesantren sebelumnya.
Ahmad Fuadi dalam novelnya menceritakan pesantren sebagai
sebuah lembaga pendidikan yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan
non agama baik negeri maupun swasta. Pesantren tidak hanya tempat
buangan anak-anak nakal atau korban kekerasan dalam rumah tangga atau
negeri atau tidak memiliki cukup dana untuk masuk ke lembaga
pendidikan swasta. A. Fuadi menggambarkan bahwa pesantren
seharusnya menjadi tempat untuk mendidik bibit-bibit unggu l calon-calon
da’i dan menjadi tempat untuk mendalami pendidikan agama. Selain itu
juga penulis novel ini juga memberikan gambaran mengenai pola
pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang berbeda dari
wacana mengenai pesantren yang berkembang selama ini dan jarang
diceritakan atau diberitakan di media manapun. Salah satu metode
pengajaran yang digambarkan A. Fuadi adalah bagaimana para santri
dapat berkomunikasi secara fasih dengan dua bahasa asing selama 24 jam
dalam waktu 4 bulan saja. Metode pendidikan yang dalam pesantren tidak
hanya berkutat masalah agama, tetapi ada kesinambungan antara ilmu
agama dan ilmu umum. Selain itu juga, pesantren merupakan tempat para
santri berkreasi mengembangkan bakatnya, mulai dari seni, musik,
fotografi, dan olahraga.
Novel ini pun mendapat sambutan yang cukup luas dari khalayak
masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya apresiasi dan testimoni
yang diberikan oleh tokoh-tokoh pakar pendidikan maupun public figure
lainnya. Beberapa surat kabar nasional seperti Kompas dan Republika pun
memuat resensi novel ini dan memberikan apresiasinya. Dalam kurun
waktu tiga bulan sejak cetakan pertama, novel ini kemudian menjadi Best
dari enam bulan. Sebuah prestasi tersendiri untuk novel bergenre
pendidikan pesantren dengan tokoh utama para santri.
Hal-hal seperti ini tidak biasanya dipublikasikan secara luas dalam
media. Oleh karena itu, masalah ini menjadi menarik untuk diteliti.
Apakah tata bahasa yang dipergunakan dalam novel Negeri 5 Menara
dapat merepresentasikan bagaimana pola pendidikan dan komunikasi
pengajaran di lingkungan pesantren. Selain itu juga perlu untuk
mengetahui apakah yang mendasari penulis novel mengangkat tema
pesantren yang berbeda dari yang ditampilkan media massa pada
umumnya. Apakah hal ini juga berhubungan dengan apa yang terjadi di
masyarakat, opini apa yang berkembang di masyarakat mengenai
pendidikan pesantren. Atas dasar inilah peneliti ingin melakukan
penelitian mengenai representasi pendidikan pesantren dalam novel
Negeri 5 Menara.
Representasi ini dianalisis menggunakan teori analisis wacana
Norman Fairclough karena teori ini memusatkan perhatian bahasa sebagai
praktik kekuasaan, untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa
nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa
secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan dalam hubungan
dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis dipusatkan pada
bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan
konteks sosial tertentu. Dalam hal ini bagaimana pendidikan pesantren
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah pendidikan pesantren
direpresentasikan dalam novel Negeri 5 Menara?”
I.3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat
lebih jelas, terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun
pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:
1. Penelitian pada level teks untuk mencari makna yang ada dibalik
penyajian tata bahasa tersebut.
2. Penelitian ini membahas ke masalah discourse practice (kognisi
sosial) dan sociocultural practice (konteks sosial) pendidikan
pesantren di balik teks secara tersirat.
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai ideologi
penulis dalam menyajikan ceritanya.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wacana pada makna isi
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi
pendidikan pesantren yang dibentuk dalam Novel Negeri 5
Menara.
I.4.2 Manfaat Penelitian:
1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya
khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian
media yang diteliti dengan analisis wacana.
2. Secara praktis hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi
pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan
media.
3. Secara akademis penelitian ini dapat disumbangsihkan kepada
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya
bahan penelitian dan sumber bacaan terutama kajian analisis
wacana.
I.5. Kerangka Teori
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu
unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori
(Singarimbun, 1995:37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau
landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu
menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti
(Nawawi, 1995:40).
Teori menurut Kerlinger diartikan sebagai suatu himpunan
konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan
sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel,
untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena atau gejala tertentu
(Rakhmat, 2004: 6).
Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:
I.5.1 Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa
disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap
pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi
mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif
lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih
melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat
analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga
bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora
seperti apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana
bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat
makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).
Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana
positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan
objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat
secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada
kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai
pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan
pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan
antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana,
konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu
mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari
pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu
dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.
Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini
menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek
bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat
sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan
dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru
menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta
hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S
Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap
maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam
paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang
bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan
sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai
suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini
ingin mengoreksi pandangan konstruktivimsme yang kurang sensitif pada
proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis
maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan
konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya
berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut
perilaku-perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran
seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada
konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi
makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di
luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu,
maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana
dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa;
batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang
mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu
terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma
kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana
Dalam analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahami
sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan
menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga
menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan
dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam
melihat ketimpangan yang terjadi.
I.5.2 Analisis Wacana Norman Fairclough
Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar,
bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat
yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis
wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya,
sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks
masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah
melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana
pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis
yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk
tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena
itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan
dibentuk oleh relasi sosial dan konteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001:
285).
Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough
sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu.
Memandang bahasa sebagai praktek sosial semacam ini mengandung
sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan,
seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan
khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas.
Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara
wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh struktur sosial,
kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari
institusi tertentu seperti pada hukum atau pendidikan, sistem dan
klasifikasi.
Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks,
discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough,
teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik
dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas,
bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk
pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan
dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan sociocultural
practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks.
Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih
luas adalah konteks dari praktek institusi dari media sendiri dalam
I.5.3 Representasi
Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang
akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to
present”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara
dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan.
Konsep awal mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa
ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makan
yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya
digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang
digambarkan.
Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall
beragumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan
kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which
meaning is somehow given to the things which are depicted through the
images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands
for what we’re talking about.”
Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna
yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau
bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan
“Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai
setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah
Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif
darinya.
Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan,
kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh
wartawan, dalam penelitian ini berarti penulis novel itu sendiri. Pada level
pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada
level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga,
bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi yang diterima
secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak
bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.
I.5.4 Ideologi
Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi
berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal
dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate
Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the
formulation on an opinion, plan or like” (sesuatu yang ada dalam pikiran
atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word.
Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan atau
teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pencakupan dari yang terlihat
atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari
Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah
luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi
pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang
dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi
tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi
tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana
mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001: 12).
Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang
terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling
melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang
diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi
antar pribadi. Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan
dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak
pernah jelas seluruhnnya (Lull, 1998: 1).
Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam
tiga ranah. Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh
masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Definisi dalam
ranah ini biasanya digunakan oleh para psikologi yang melihat ideologi
sebagai suatu perangkat sikap yang dibentuk atau diorganisasikan dalam
bentuk yang koheren. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang
berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu
Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah
ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur
ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi
adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana
kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang
dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok
yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat
hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah.
Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut
sebagai suatu kebenaran.
Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi
makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk
menggambarkan produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak
sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat
ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa
diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara
persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam
kategori jumlahnya.
I.6. Kerangka Konsep
Di dalam setiap penelitian sosial, seorang peneliti harus terlebih
dahulu menetapkan variabel-variabel penelitian sebelum memulai
dengan menetapkan variabel akan mempermudah penelitian. Kerangka
sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang
bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang
dicapai (Nawawi, 1995: 33). Konsep adalah penggambaran secara tepat
fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan
untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau
individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:
34).
Variabel dalam penelitian ini adalah bentuk analisis wacana
Norman Fairclough yang terdiri dari tiga tahap yaitu:
1. Teks
2. Discourse Practice
3. Sociocultural Practice
I.7. Operasionalisasi Konsep
Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks
dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Titik perhatian
besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.
Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis
tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Melihat bahasa dalam
perspektif ini membawa konsekuensi tertentu. Bahasa secara sosial dan
historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan
bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan kenteks sosial
tertentu. (Eriyanto, 2001: 285). Fairclough membagi analisis wacana
dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice.
Berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana Fairclough tersebut:
A. Teks
1. Representasi: pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang,
kelompok, tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi
dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana
seseorang, kelompok, gagasan, ditampilkan dalam anak kalimat,
kombinasi anak kalimat atau rangkaian antarkalimat.
2. Relasi: berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam media
berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media di sini dipandang
sebagai suatu arena sosial, di mana semua kelompok, golongan, dan
khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan
menyampaikan versi pendapat dan gagasannya.
3. Identitas: aspek ini melihat bagaimana identitas penulis novel
ditampilkan dan dikonstruksikan dalam teks. Apakah ia ingin
mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari khalayak ataukah
menampilkan dan mengindentifikasi dirinya secara mandiri?
B. Discourse Practice
Analisis discourse practice memusatkan perhatian pada
praktik diskursus, yang akan menentukan bagaimana teks tersebut
diproduksi. Dalam pandangan Fairclough, ada dua sisi dari praktik
diskursus tersebut, yakni produksi teks (di pihak media) dan konsumsi
teks (di pihak khayalak). Jadi, kalau ada teks media yang
merendahkan atau meninggikan citra pendidikan pesantren, kita harus
mencari tahu bagaimana teks tersebut diproduksi dan bagaimana juga
teks tersebut dikonsumsi.
C. Sociocultural Practice
Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa
konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana
wacana yang muncul dalam media. Sociocultural practice ini memang
tidak berhubungan dengan produksi teks, tetapi ia menentukan
bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Sociocultural practice
menggambarkan bagaiman kekuatan-kekuatan yang ada dalam
masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan
kepada masyarakat.
Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural
practice, yaitu:
a. Situasional: konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi di
antaranya memperhatikan aspek situasional ketika teks
tersebut diproduksi. Aspek ini lebih mengarah pada waktu atau
b. Institusional: aspek ini melihat bagaimana pengaruh institusi
organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa
berasal dari media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan
eksternal di luar media yang menentukan proses produksi
berita.
c. Sosial: aspek ini memandang bahwa wacana yang muncul
dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Aspek
sosial lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik,
sistem ekonomi, sistem budaya masyarakat secara
keseluruhan.
I.8. Metodelogi Penelitian I.8.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara
pandang dalam menganalisis media. Metode penelitian ini menggunakan
pisau analisis wacana Norman Fairclough. Dalam penelitian yang
dianalisis adalah teks, discourse practice, dan sociocultural practice yang
melatarbelakangi dibuatnya Novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat
wacana pendidikan pesantren dengan konsep makna pesan yang tersirat.
Dalam analisis wacana Fairclough, peneliti dapat melihat secara
spesifik faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu wacana.
Analisis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar,
yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis
wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya,
sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual –yang selalu
melihat bahasa dalam ruang tertutup- dengan konteks masyarakat yang
lebih luas.
I.8.2 Subjek Penelitian
Novel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi
cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi
(A. Fuadi), yang dibagi dalam 20 bagian cerita dan terdiri dari 80
halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009
yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.
I.8.3 Unit dan Level Analisis
Unit yang dianalisis adalah novel “Negeri 5 Menara” yang dilihat
dari teks atas keseluruhan isi cerita dalam novel. Analisis dilakukan dalam
tahap teks, discourse practice dan sociocultural practice yang disajikan
dalam isi cerita novel tersebut. Sedangkan tingkat analisisnya adalah
wacana pada makna pesan yang disampaikan secara tersirat dan
representasi pendidikan pesantren yang disajikan dalam cerita novel
I.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Data Primer, yaitu dimana data unit analisis dari teks-teks
yang tertulis pada Novel “Negeri 5 Menara”.
2. Data Sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (Library
Research), dengan mengumpulkan literatur serta berbagai
sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.
3. Wawancara terhadap pengarang Novel “Negeri 5 Menara” via
e-mail dan wawancara langsung kepada praktisi atau pengamat
pendidikan, alumni pesantren dan pembaca novel Negeri 5
Menara.
8.5 Teknik Analisis Data
Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke
dalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian
ini menganalisis teks, kognisi sosial dan analisis sosial pada novel
“Negeri 5 Menara dengan menggunakan Analisis Wacana Norman
Fairclough. Sebelumnya teks akan ditabulasikan terlebih dahulu dalam
sebuah tabel, kemudian dianalisis dengan kerangka analisis wacana
Norman Fairclough, untuk kemudian data disederhanakan lagi ke dalam
STRUKTUR METODE
Relasi Pola Hubungan Bagaimana
BAB II
URAIAN TEORITIS
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu
unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori
(Singarimbun, 1995:40). Maka teori berguna untuk menjelaskan titik
tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalahnya. Untuk itu
perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang
menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti
(Nawawi, 1991:40).
Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk
(konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan
sistematis tentang gejala yang menyebarkan relasi di antara variabel,
untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat,
2004:6). Fungsi teori dalam suatu riset penelitian adalah membantu
peneliti dalam menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang
menjadi pusat perhatiannya (Kriyantono, 2007:45). Teori yang relevan
dengan penelitian ini adalah: Analisis Wacana Kritis, Analisis Wacana
menurut Norman Fairclough, Representasi dan Ideologi. Secara lebih rinci
II.1 Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa
disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Awal perkembangan
analisis wacana kritis dikemukakan oleh van Dijk pada tahun 1970-an.
Analisis ini mendapat pengaruh teori linguistik kritis, teori sosial kritis
Frankfurt, dan teori pascastrukturalisme yang berkembang di Perancis.
Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana
berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa.
Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’
(what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan
atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya
mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan.
Lewat kata, frasa, kalimat, metafora seperti apa suatu berita disampaikan.
Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut,
analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu
teks (Eriyanto, 2001: xv). Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69) membahas
bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal
tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar.
Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel,
cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta
paragraph, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi,
Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana
menurut Eriyanto (2001: 4-6). Pandangan pertama disebut
positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan
objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat
secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada
kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai
pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan
pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan
antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana,
konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu
mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari
pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu
dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.
Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini
menolak pandangan positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan
objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya
dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang
dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme
justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana
serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S
Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap
maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam
bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan
makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari
sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai
suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna
tertentu.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini
ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada
proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis
maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan
konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya
berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut
perilaku-perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran
seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada
konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi
makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di
luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu,
maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana
dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa;
batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang
mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu
kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana
kritis.
Menurut Yoce (2009: 49), analisis wacana kritis adalah sebuah
upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah
teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau
kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu
untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks
harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang
terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai
faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat
makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang
diperjuangkan.
Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek (penulis)
yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan
menempatkan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan
menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur
makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi
yang disamarkan dalam wacana dapat diketahui. Jadi, wacana dapat
dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan
subjek dan berbagai tindakan representasi.
Dalam Eriyanto (2001: 7) analisis wacana kritis, wacana disini
dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga
menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan
dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam
melihat ketimpangan yang terjadi. Habermas dalam Yoce (2009: 53)
mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana kritis bertujuan
membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam
hubungannya antara ideologi dan kekuasaan. Tujuan analisis wacana
kritis adalah untuk mengembangkan asumsi-asumsi yang bersifat
ideologis yang terkandung dibalik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam
berbagai bentuk kekuasaan. Analisis wacana kritis bermaksud untuk
menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik
diskursif, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas. Jadi,
analisis wacana kritis dibentuk oleh struktur sosial (kelas, status, identitas
etnik, zaman dan jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang
digunakan). Analisis wacana krtis mencoba mempersatukan dan
menentukan hubungan antara (1) teks aktual, (2) latihan diskursif dan (3)
konteks sosial yang berhubungan dengan teks dan latihan diskursif.
Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat
wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari
praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial
menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif
tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.
memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang
antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan
minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi yang
ditampilkan. Untuk menyempurnakan pandangan di atas, Fairclough
mengemukakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan
kritis. Menurut Fairclough wacana harus dipandang simultan, yaitu
sebagai (1) teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) praksis
kewacanaan, yaitu produksi teks dan interpretasi teks, (3) praksis
sosiokultural, yaitu perubahan-perubahan masyarakat institusi, budaya
yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Menganalisis
wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi
wacana secara integral dan ketiga dimensi tersebut merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Analisis wacana kritis dipakai untuk mengungkap tentang hubungan suatu
ilmu pengetahuan dan kekuasaan, juga digunakan untuk mendeskripsikan
sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan mengkritik kehidupan sosial
yang tercermin dalam teks atau ucapan.
Dalam Eriyanto (2001: 8-13) mengutip dari pemikiran Fairclough
dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa
kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya
masing-masing. Adapun karakteristik analisis wacana kritis menurut
1. Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang diasosiakan
sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang
bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk,
menyangga, beraksi dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis
mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana
dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol,
bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar
kesadaran.
2. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana,
seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang
diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.
Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari
komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan
mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa;
bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan
hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan
ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan
wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata
yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi
komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya.
dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam
bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang
dimaksudkan, dan sebagainya. Titik perhatian dari analisis wacana
adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam
suatu proses komunikasi.
Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi
tertentu; wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Meskipun
demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya
yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi
wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi
wacana. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi
pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang
berguna untuk mengerti suatu wacana. Oleh karena itu, wacana harus
dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang
mendasarinya.
3. Historis
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau
kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan.
Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena
itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti
mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu,
4. Kekuasaan
Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan
atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar
dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis
wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur
wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi
sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam
hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut
sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk
fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis.
Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas
konteks, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol
struktur wacana.
5. Ideologi
Wacana dipandang sebagai medium kelompok yang dominan
mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi
kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah
dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika
didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang
didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan
kewajaran. Analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara
dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam
membentuk wacana.
II.2 Analisis Wacana Norman Fairclough
Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar,
bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat
yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis
wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya,
sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks
masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah
melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana
pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis
yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk
tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena
itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan
dibentuk oleh relasi sosial dan konteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001:
285).
Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough
menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek
sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu.
Memandang bahasa sebagai praktek sosial semacam ini mengandung
sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan,
khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas.
Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara
wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh struktur sosial,
kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari
institusi tertentu seperti pada hukum atau pendidikan, sistem dan
klasifikasi.
Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks,
discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough,
teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik
dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas,
bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk
pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan
dengan proses produksi dan konsumsi teks, sedangkan sociocultural
practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks.
Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih
luas adalah konteks dari praktek institusi dari media sendiri dalam
hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.
Model Tiga Dimensi Analisis Wacana Fairclough
PRAKSIS
SOSIOKULTURAL
PRAKSIS WACANA
a. Teks
Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan
hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga
bagaimana hubungan antar objek didefinisikan. Ada tiga elemen dasar
dalam model Fairclough, yang digambarkan dalam tabel berikut:
UNSUR YANG INGIN DILIHAT
1. Representasi Bagaimana peristiwa orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apa pun ditampilkan dan digambarkan dalam teks.
2. Relasi Bagaimana hubungan antara
wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.
3. Identitas Bagaimana identitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.
Sumber: Eriyanto, 2001: 289
1. Representasi
Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang,
kelompok, tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi
dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana
seseorang, kelompok, dan gagasan ditampilkan dalam anak kalimat
dan gabungan atau rangkaian antar anak kalimat.
1.1 Representasi dalam anak kalimat
Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang,
kelompok, peristiwa dan kegiatan ditampilkan dalam teks,
sesuatu tersebut ditampilkan, pada dasarnya pemakai bahasa
dihadapkan pada paling tidak dua pilihan. Pertama, pada tingkat
kosakata: kosakata apa yang dipakai untuk menampilkan dan
menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana
sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori. Menurut
Fairclough, pilihan pada kosakata metafora juga merupakan
kunci bagaimana realitas ditampilkan dan dibedakan dengan
yang lain. Metafora bukan hanya persoalan keindahan bahasa,
tetapi juga bisa menentukan apakah realitas itu dimaknai dan
dikategorikan sebagai positif dan negatif. Kedua, pilihan yang
didasarkan pada tingkat tata bahasa. Pada tingkatan ini, analisis
Fairclough terutama dipusatkan pada apakah tata bahasa
ditampilkan dalam bentuk proses ataukah dalam bentuk
partisipan. Dalam bentuk proses, apakah seseorang, kelompok,
kegiatan ditampilkan sebagai tindakan, peristiwa keadaan,
ataukah proses mental. Ini terutama didasarkan pada bagaiman
suatu tindakan hendak digambarkan. Bentuk tindakan
menggambarkan bagaimana aktor melakukan suatu tindakan
tertentu kepada seseorang yang menyebabkan sesuatu. Bentuk
peristiwa memasukkan hanya satu partisipan saja dalam
kalimat, baik subjeknya saja maupun objeknya saja. Bentuk
keadaan, menunjuk pada sesuatu yang telah terjadi. Bentuk