• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Pendidikan Pesantren Dalam Novel “Negeri 5 Menara” (Studi Analisis Wacana Norman Fairclough Tentang Representasi Pendidikan Pesantren dalam Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Representasi Pendidikan Pesantren Dalam Novel “Negeri 5 Menara” (Studi Analisis Wacana Norman Fairclough Tentang Representasi Pendidikan Pesantren dalam Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi)"

Copied!
334
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI PENDIDIKAN PESANTREN

DALAM NOVEL “NEGERI 5 MENARA”

(Studi Analisis Wacana Norman Fairclough Tentang Representasi Pendidikan Pesantren dalam Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh

FIQI LISTYA FUJIASIH

(060904077)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAKSI

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi pendidikan pesantren dalam novel “Negeri 5 Menara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ideologi penulis, mengetahui wacana pada makna isi pesan yang terkandung dalam novel dan untuk mengetahui representasi pendidikan pesantren yang dibentuk dalam novel “Negeri 5 Menara” ini.

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana kritis dengan menggunakan analisis Norman Fairclough. Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah pada level teks, discourse practice dan sociocultural practice yang melatarbelakangi dibuatnya novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat wacana pendidikan pesantren dan representasi yang disajikan dengan konsep makna pesan yang tersirat.

Dalam analisis Norman Fairclough, peneliti dapat melihat secara spesifik bagaimana representasi yang disajikan dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya wacana tersebut. Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.

Objek dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi, yang dibagi atas 20 bagian cerita dan terdiri dari 80 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009 yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah sembah syukur ku haturkan kehadirat Allah SWT, Rabb Semesta Alam, Pemilik Diri yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, telah merancang skenario terindah dihidup peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, serta tidak lupa pula shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi kehidupan.

Penelitian skripsi ini berjudul REPRESENTASI PENDIDIKAN PESANTREN DALAM NOVEL “NEGERI 5 MENARA” (Studi Analisis Wacana Norman Fairclough Tentang Representasi Pendidikan Pesantren dalam Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi), merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa belajar adalah sebuah proses berkelanjutan yang tak kenal henti hingga akhir hidup, begitupun dengan skripsi ini adalah bagian dari proses belajar peneliti, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Peneliti berterima kasih kepada orang tua peneliti, Bapak Ir. Fauzi Bramantyo, yang semangat belajarnya menular kepada peneliti. Usia boleh tua, tetapi semangat belajar tetap layaknya masih di usia muda. Mama Sri Asih, yang meskipun tidak merasakan pendidikan perguruan tinggi, namun selalu memotivasi peneliti untuk sekolah tinggi, bahkan sampai menemani peneliti keliling berbagai universitas di Jawa. Dukungan, doa restu dan semangat Bapak dan Emak yang menemani peneliti hingga sampai di titik ini. Teruntuk adikku, Fariqi Iqbal Zulfi, semoga apa yang kakak lakukan ini, dapat memotivasimu untuk terus semangat kuliah.

(4)

1. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, MA, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

4. Ibu Dra. Lusiana A. Lubis, MA, selaku dosen wali dan dosen pembimbing yang tak hanya membimbing peneliti selama mengerjakan skripsi, tetapi juga dengan kesabaran yang tulus menunggu skripsi peneliti yang lama selesainya, yang telah berbagi cerita tentang banyak hal dan memotivasi untuk melanjutkan sekolah dan terus menimba ilmu. Terima Kasih Bu, atas pengertian, kesabaran, nasehat dan pemikiran yang telah diberikan kepada saya.

5. Dosen Ilmu Komunikasi yang telah menuangkan ilmu, memberi pengajaran, membuka mata dan wawasan, tidak hanya di bangku kuliah, tetapi juga dalam diskusi sederhana.

6. Ibu Dra. Rosmiani, M.A yang selama ini telah memberi banyak nasehat dan semangat kepada peneliti.

7. Kak Cut, Kak Ros dan Kak Maya serta seluruh staf Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah membantu mengurus administrasi peneliti sejak masa PKL. Mohon maaf telah banyak merepotkan.

8. Pak Ahmad Fuadi dan Ibu Danya “Yayi” Dewanti serta keluarga, seluruh manajemen Negeri 5 Menara dan Komunitas Menara, yang telah banyak membantu peneliti. Terima Kasih, Negeri 5 Menara sungguh membuka mata untuk percaya bahwa impian kan nyata akhirnya jika mau berusaha. Man Jadda Wajada!

(5)

Keluarga Alumni Pondok Modern Gontor Medan yang telah membantu peneliti. Skripsi ini membuat saya ingin menjadi santri di PM Gontor. 10.Bapak Drs. Arief Ridwan Haris, Kepala Sekolah Al Ulum Terpadu

Medan, yang telah membantu peneliti. Terima Kasih atas diskusi menyenangkannya.

11.Heri Gunanti Surbakti dan Ropesta Sitorus, S.Sos yang telah bersedia peneliti wawancarai seputar pesantren dan Negeri 5 Menara.

12.Redaksi Majalah SABILI; Ka Nesa, Mbak Diyah, Mbak Noer, Mbak Wiwit, Pak Herry Nurdi, Pak Rivai, Pak Chairul, Pak Eman, Seto Buje, Pak Rani, Pak Iwan, Mohon maaf selama skripsi jadi tidak pernah meliput dan menulis lagi.

13.Sahabatku di UKMI As-Siyasah FISIP USU; Tiwi, Reine, Nazlia, Aida, Wira, Ira, Ka Siti, Ka Yo, Ka Widi, Ka Ifah, Yayuk, Windy, Qin, Dilla, Ayu, Yasa, Uni, Alim, Sulhan, Ali, Prie, Eka, Irwanto, Tama, Iqbal dan seluruh keluarga UKMI, para penunggu musholla, yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Dari kalian, aku belajar bahwa ilmu bukan sekedar untuk dihapal, tapi juga diamalkan.

14.Sahabatku di KAMMI Merah Putih dan Nusantara USU; Syaiful, Farida, Rico, Ama, Nurul, Sita, maaf jika di akhir-akhir masa kepengurusan, saya kurang berkontribusi.

15.Sahabatku di 99 Percent Magazine; Ka Yo, Ayu, Yasa, Ari, Fadhlan, Rico, Ikhsan, Dilla, Roby, kita buat majalah kita jadi Go International. 16.Sahabatku Happy Yummy Slurpp; Mel, Dika, Wanya, Yuli, Vega,

(6)

17.Teman-teman di SUARA USU, Bang Febri Ichwan Butsi, Bang Liston Damanik, Bang Vinsensius Sitepu, Terima Kasih atas diskusinya, telah membantu peneliti memahami teori analisis wacana.

18.Fanny Yulia Chaniago dan Bang Roni Wisuda Rambe, yang telah membantu peneliti wawancara dan memberi semangat.

19.Adik-adik mentoring Ilmu Komunikasi 2008 & 2009, dan Administrasi Bisnis 2009, serta teman-teman Liqo & Ka Alucyana, S.Psi yang telah memberi semangat dan taujih agar peneliti tidak lupa mengaji meskipun sedang sibuk skripsi.

20.Teman-teman Ilmu Komunikasi 2006, para senior dan junior. Terima Kasih atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga ilmu kita benar-benar diaplikasikan di dunia nyata, bukan sekedar penghias ijazah saja. 21.Sahabatku di Smart Generation Community (SGC) USU; Semoga kita

bisa mewujudkan mahasiswa USU yang tidak hanya sekedar penghapal buku, tapi juga pecinta ilmu, tidak hanya tahu demo, tapi juga dekat dengan Allah.

22.Sahabat dan keluarga saya di FORSAI SMAN 12 Medan, terutama kepada Kak Nailul Abror Pohan, Kak Eko Susanto dan Mbak Ulfa, yang banyak memberi semangat kepada peneliti selama mengerjakan skripsi. Terkhusus angkatan 2006, mengisi waktu terbaik di usia SMA bersama kalian, bekal yang sangat berarti untuk lima puluh tahun yang akan datang. Bersama kalian, usia remaja tak selalu harus hura-hura tapi usia untuk mempersiapkan diri agar dapat meraih cita-cita.

23.Kak Ibnu Asqori Pohan yang telah banyak membantu peneliti sejak awal penulisan skripsi hingga akhir. Meskipun nun jauh di Manila sana, namun pemikiran, dukungan dan semangatnya menembus jarak beratus kilometer. Bahkan membuat Negeri 5 Menara sampai ke Filipina. Jazzakumullah Khairan Katsira.

(7)

malam hari, dengan diskusi kita dari isu kamar sampai isu global, yang membuat peneliti jadi lebih sering baca dan nonton TV agar diskusi kita gak pernah mati, yang membuat peneliti betah di Ilmu Komunikasi, yang membuat semangat kuliah di luar negeri, yang membuat peneliti mencintai ilmu, teruntuk Kak Ardhi Jayali Lubis, S.Sos (FISIPOL UGM), Kak Afit Fahrudin hampir S.Sn, S.Pd (Seni Rupa UNY), Tegar Hamzah, S.Psi (Psikologi UI), Fikrie El Mujahid, S.Ked (FK UNDIP), Mulya Fitrah Utama hampir SH (FH UI), Bag Kinantan, ST (FT USU), Fathia Rahma (SMAN 3 Bandung), PH (Arsitektur ITB), dan juga seluruh jama’ah fesbuker dan multiply.

25.Sahabat, keluarga, teman, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, tapi yakinlah, setiap kebaikan dan keikhlasan, Allah akan membalasnya dan mengumpulkan kita kembali, insya Allah, di syurgaNya kelak. Amin.

Akhir kata peneliti panjatkan doa dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar pendidikan di Indonesia lebih baik di masa yang akan datang. Insya Allah. Man Jadda Wajada!

Medan, September 2010 Peneliti

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAKSI………. i

KATA PENGANTAR………. ii

DAFTAR ISI………. vii

DAFTAR TABEL……… ix

BAB I PENDAHULUAN……….... 1

I.1 Latar Belakang Masalah……….. 1

I.2 Perumusan Masalah………. 9

I.3 Pembatasan Masalah……….9

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 9

I.4.1 Tujuan Penelitian………... 9

I.4.2 Manfaat Penelitian.………10

I.5 Kerangka Teori……….10

I.5.1 Analisis Wacana Kritis………...11

I.5.2 Analisis Wacana Norman Fairclough……….14

I.5.3 Representasi………16

I.5.4 Ideologi………...17

(9)

I.7 Operasionalisasi Konsep………20

I.8 Metodologi Penelitian………23

BAB II URAIAN TEORITIS………27

II.1 Analisis Wacana Kritis………..28

II.2 Analisis Wacana Norman Fairclough………37

II.3 Representasi………..48

II.4 Ideologi……….54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………...61

III.1 Deskripsi Objek Penelitian………...61

III.2 Tipe Penelitian………..67

III.3 Subjek Penelitian………..68

III.4 Unit dan Level Analisis………68

III.5 Teknik Pengumpulan Data………68

III.6 Teknik Analisa Data………..69

BAB IV HASIL & PEMBAHASAN……….71

IV.1 Analisis Wacana Novel………..73

IV.2 Diskusi dan Pembahasan………..277

BAB V KESIMPULAN & SARAN………...312

V.1 Kesimpulan………....312

V.2 Saran………..315

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel II.1 Struktur Teks………39

Tabel III.1 Struktur Analisis Wacana Norman Fairclough………70

Tabel IV.1.1 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...78

Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...91

Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...103

Tabel IV.1.4 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...118

Tabel IV.1.5 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...132

Tabel IV.1.6 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...145

Tabel IV.1.7 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...157

Tabel IV.1.8 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...164

Tabel IV.1.9 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...177

Tabel IV.1.10 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….186

Tabel IV.1.11 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….194

Tabel IV.1.12 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….200

Tabel IV.1.13 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….206

Tabel IV.1.14 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….212

Tabel IV.1.15 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….222

Tabel IV.1.16 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….230

Tabel IV.1.17 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….238

Tabel IV.1.18 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….249

Tabel IV.1.19 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….259

(11)

ABSTRAKSI

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi pendidikan pesantren dalam novel “Negeri 5 Menara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ideologi penulis, mengetahui wacana pada makna isi pesan yang terkandung dalam novel dan untuk mengetahui representasi pendidikan pesantren yang dibentuk dalam novel “Negeri 5 Menara” ini.

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana kritis dengan menggunakan analisis Norman Fairclough. Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah pada level teks, discourse practice dan sociocultural practice yang melatarbelakangi dibuatnya novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat wacana pendidikan pesantren dan representasi yang disajikan dengan konsep makna pesan yang tersirat.

Dalam analisis Norman Fairclough, peneliti dapat melihat secara spesifik bagaimana representasi yang disajikan dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya wacana tersebut. Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.

Objek dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi, yang dibagi atas 20 bagian cerita dan terdiri dari 80 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009 yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sejak masa reformasi media massa di Indonesia mengalami

perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan

majalah hingga munculnya saluran-saluran baru radio dan televisi. Dari

segi isi dan pemberitaan, media juga dapat dikatakan lebih ‘berani’ dalam

mengomentari kebijakan pemerintah atau memberitakan realita di

masyarakat.

Dalam hal pemberitaan realita di masyarakat, media tidak hanya

memberitakan apa yang terjadi, tetapi juga mengkonstruksi realita

tersebut, menyembunyikan sebagian fakta dan menonjolkan fakta lainnya.

Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil

konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Media

menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi

cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada

dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah

cerita atau wacana yang bermakna (Hamad, 2004: 11). Guy Cook

menyebut tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks

(13)

“Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak

di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan,

musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan

semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi

pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks

diproduksi. Wacana disini kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks

bersama-sama.” Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa teks

memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana. Hal ini

dapat dilihat misalnya pada wacana mengenai pendidikan di Indonesia,

salah satunya yaitu wacana yang berkembang mengenai lembaga

pendidikan agama, dalam hal ini yaitu pondok pesantren.

Akhir-akhir ini pemberitaan di surat kabar dan televisi cukup

sering memberitakan kasus-kasus kriminal yang terjadi di dalam

pesantren. Kasus pelecehan seksual santri yang dilakukan pimpinan

pesantren atau guru-guru di lingkungan pondok cukup mendeskreditkan

pesantren sebagai pendidikan agama di mata masyarakat, seperti yang

terjadi di sebuah Pondok Pesantren di Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

Seorang guru pesantren memperkosa santrinya sendiri yang duduk dikelas

3 madrasah aliyah. Tidak tanggung-tanggung, kejadian itu dilakukan pada

siang hari

Selain itu, pondok pesantren

diberitakan juga menjadi sasaran dalam sebuah konflik pemilihan kepala

(14)

Kuajang, Polewali Mandar Sulawesi Barat. Pesantren ini hangus dibakar

dan diduga dilakukan oleh orang yang tidak senang dengan hasil

pemilihan kepala desa yang dimenangkan oleh calon kepala desa yang

juga merupakan ustad di pondok pesantren tersebut (Buser Liputan 6

SCTV, 23/9/2009). Pola pendidikan pesantren pun mendapat sorotan

ketika salah seorang santri di Pondok Pesantren di Kendari, Sulawesi

Tenggara harus dilarikan ke rumah sakit akibat direndam di bak

penampungan air oleh ustadnya hingga mengalami mual, muntah dan

demam tinggi (Buser Liputan 6 SCTV, 10/12/2009). Budaya kekerasan di

pesantren pun menjadi sorotan media ketika Handoyo (17), santri Pondok

Pesantren Alziziah, Jombang Jawa Timur, tewas akibat dianiaya

seniornya (Buser, Liputan 6 SCTV, 21/12/2009). Dan yang cukup

menyita perhatian masyarakat adalah pemberitaan pernikahan kedua

pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah, Semarang, Pujiono Cahyo

Widiyanto atau yang lebih dikenal dengan Syeh Puji menikahi

santriwatinya sendiri yang masih di bawah umur. Beberapa orang tua

santri memulangkan anaknya akibat pemberitaan ini.

Sejak maraknya pemberitaan kasus teroris di Indonesia, pesantren

juga cukup mendapat sorotan media massa. Pemimpin Pondok Pesantren

Al Mu’min, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Abu Bakar Ba’asyir,

sosoknya lekat dengan kasus terorisme Beliau bahkan sempat mendekam

di balik jeruji besi selama 2,5 tahun akibat dakwaan terlibat dalam

(15)

dari segala tuduhan kasus terorisme. Menjelang bulan Ramadhan 1431 H,

atau pada pertengahan Agustus kemarin, Abu Bakar Ba’asyir kembali

ditangkap dengan dugaan terlibat dalam aksi latihan senjata di Nangroe

Aceh Darussalam. Akibat pemberitaan ini, pesantren asuhannya menjadi

sorotan media dan masyarakat, karena memasukkan tema jihad dalam

kurikulum pendidikan pesantren. Bahkan semakin dicurigai karena

sebagian alumni pondok pesantren tersebut diduga terlibat dalam

beberapa aksi terorisme di Indonesia. Beberapa hari sebelum Amrozi

ditangkap, diberitakan santri dan pengasuh Pondok Pesantren Al Islam,

Lamongan Jawa Timur, merasa dirugikan akibat seringnya orang-orang

tak dikenal mengawasi lingkungan Pesantren. Hal ini dikarenakan

pemberitaan media yang mengkait-kaitkan Pesantren Al Islam dengan

Amrozi. Padahal menurut pengasuh pondok pesantren Amrozi bukanlah

alumni pondok mereka (Gatra, 8/11/2002). Pondok Pesantren Al Mutaqin

di Sowan Kidul juga mendapat sorotan karena salah satu buron kasus

terorisme bom Marriot dan Ritz Carlton, Bagus Budi Pranoto alias Urwah

pernah menjadi santri di pondok pesantren tersebut (Harian SIB,

31/8/2009). Wacana yang berkembang mengenai pendidikan pesantren di

atas, cukup mendeskreditkan pesantren sebagai sebuah lembaga

pendidikan agama.

Dalam pembentukan suatu wacana, media massa dapat

menempatkan peranan sangat penting. Pembentukan wacana di

(16)

kabar saja. Novel dianggap sebagai salah satu media massa hasil

manifestasi jurnalistik baru dan jurnalistik sastra yang dapat

mewacanakan sesuatu atas interpretasi penulis dalam melihat fenomena

yang terjadi di masyarakat. Dalam sebuah novel, cerita yang disampaikan

mengandung suatu pesan yang diharapkan dapat menjadi acuan atau

pengetahuan baru bagi masyarakat.

Di tengah pemberitaan mengenai kasus teroris bom Marriot dan

Ritz Carlton, yang mengkaitkan pelakunya dengan latar belakang

pendidikan mereka di pesantren, Juli 2009 lalu, Ahmad Fuadi, mantan

wartawan Tempo dan VOA menerbitkan sebuah novel berlatar belakang

cerita pesantren yaitu Negeri 5 Menara. Novel ini mengangkat cerita

pesantren yang berbeda dengan penggambaran media lainnya saat itu.

Novel dengan cerita latar belakang pendidikan pesantren memang

tidak cukup banyak. Tema-tema yang diangkat juga tidak jauh dengan

model pemberitaan yang dapat kita lihat di televisi atau kita baca di surat

kabar saat ini. Sebut saja misalnya Pesantren Impian karya Asma Nadia,

menceritakan mengenai pesantren di ujung propinsi Nangroe Aceh

Darussalam tempat mantan kriminal, anak-anak korban kekerasan rumah

tangga atau korban pelecehan seksual yang ingin bertaubat, merupakan

penggambaran pesantren sebagai sebuah tempat rehabilitasi. Novel yang

diangkat ke layar lebar berjudul Perempuan Berkalung Sorban, sebuah

novel karya Abidah El Khalieqy mengangkat cerita santri yang

(17)

mendeskreditkan dirinya sebagai perempuan, merupakan penggambaran

pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak cukup mumpuni dalam

menyikapi kehidupan yang lebih modern, bahkan dapat dikatakan tidak

mampu bersaing dengan lembaga pendidikan non agama. Beberapa novel

angkatan Pujangga Lama meskipun tidak secara langsung berlatar

belakang pesantren, namun mencerminkan dunia pesantren, ada dalam

karya AA. Navis berjudul Robohnya Surau Kami. Karya mendalam

mengenai kehidupan dan jiwa pesantren pernah diterbitkan pada tahun

1979 dalam bentuk otobiografi Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari

Pesantren. Namun karya-karya ini tidak cukup dikenal lagi saat sekarang

ini, sehingga wacana yang diangkat pun tidak terlalu berpengaruh di

kalangan masyarakat.

Hal berbeda mengenai dunia pesantren ditampilkan Ahmad Fuadi,

penulis trilogi novel Negeri 5 Menara. Novel yang terinspirasi oleh kisah

yang dialami penulis selama mengenyam pendidikan pesantren di Pondok

Modern Gontor ini, membawa wacana baru mengenai dunia pesantren.

Wacana dan realita yang berbeda dengan pemberitaan mengenai pesantren

di media massa maupun novel bergenre pesantren sebelumnya.

Ahmad Fuadi dalam novelnya menceritakan pesantren sebagai

sebuah lembaga pendidikan yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan

non agama baik negeri maupun swasta. Pesantren tidak hanya tempat

buangan anak-anak nakal atau korban kekerasan dalam rumah tangga atau

(18)

negeri atau tidak memiliki cukup dana untuk masuk ke lembaga

pendidikan swasta. A. Fuadi menggambarkan bahwa pesantren

seharusnya menjadi tempat untuk mendidik bibit-bibit unggu l calon-calon

da’i dan menjadi tempat untuk mendalami pendidikan agama. Selain itu

juga penulis novel ini juga memberikan gambaran mengenai pola

pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang berbeda dari

wacana mengenai pesantren yang berkembang selama ini dan jarang

diceritakan atau diberitakan di media manapun. Salah satu metode

pengajaran yang digambarkan A. Fuadi adalah bagaimana para santri

dapat berkomunikasi secara fasih dengan dua bahasa asing selama 24 jam

dalam waktu 4 bulan saja. Metode pendidikan yang dalam pesantren tidak

hanya berkutat masalah agama, tetapi ada kesinambungan antara ilmu

agama dan ilmu umum. Selain itu juga, pesantren merupakan tempat para

santri berkreasi mengembangkan bakatnya, mulai dari seni, musik,

fotografi, dan olahraga.

Novel ini pun mendapat sambutan yang cukup luas dari khalayak

masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya apresiasi dan testimoni

yang diberikan oleh tokoh-tokoh pakar pendidikan maupun public figure

lainnya. Beberapa surat kabar nasional seperti Kompas dan Republika pun

memuat resensi novel ini dan memberikan apresiasinya. Dalam kurun

waktu tiga bulan sejak cetakan pertama, novel ini kemudian menjadi Best

(19)

dari enam bulan. Sebuah prestasi tersendiri untuk novel bergenre

pendidikan pesantren dengan tokoh utama para santri.

Hal-hal seperti ini tidak biasanya dipublikasikan secara luas dalam

media. Oleh karena itu, masalah ini menjadi menarik untuk diteliti.

Apakah tata bahasa yang dipergunakan dalam novel Negeri 5 Menara

dapat merepresentasikan bagaimana pola pendidikan dan komunikasi

pengajaran di lingkungan pesantren. Selain itu juga perlu untuk

mengetahui apakah yang mendasari penulis novel mengangkat tema

pesantren yang berbeda dari yang ditampilkan media massa pada

umumnya. Apakah hal ini juga berhubungan dengan apa yang terjadi di

masyarakat, opini apa yang berkembang di masyarakat mengenai

pendidikan pesantren. Atas dasar inilah peneliti ingin melakukan

penelitian mengenai representasi pendidikan pesantren dalam novel

Negeri 5 Menara.

Representasi ini dianalisis menggunakan teori analisis wacana

Norman Fairclough karena teori ini memusatkan perhatian bahasa sebagai

praktik kekuasaan, untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa

nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa

secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan dalam hubungan

dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis dipusatkan pada

bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan

konteks sosial tertentu. Dalam hal ini bagaimana pendidikan pesantren

(20)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah pendidikan pesantren

direpresentasikan dalam novel Negeri 5 Menara?”

I.3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat

lebih jelas, terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun

pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian pada level teks untuk mencari makna yang ada dibalik

penyajian tata bahasa tersebut.

2. Penelitian ini membahas ke masalah discourse practice (kognisi

sosial) dan sociocultural practice (konteks sosial) pendidikan

pesantren di balik teks secara tersirat.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai ideologi

penulis dalam menyajikan ceritanya.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wacana pada makna isi

(21)

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi

pendidikan pesantren yang dibentuk dalam Novel Negeri 5

Menara.

I.4.2 Manfaat Penelitian:

1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya

khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian

media yang diteliti dengan analisis wacana.

2. Secara praktis hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi

pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan

media.

3. Secara akademis penelitian ini dapat disumbangsihkan kepada

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya

bahan penelitian dan sumber bacaan terutama kajian analisis

wacana.

I.5. Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu

unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori

(Singarimbun, 1995:37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau

landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu

(22)

menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti

(Nawawi, 1995:40).

Teori menurut Kerlinger diartikan sebagai suatu himpunan

konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan

sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel,

untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena atau gejala tertentu

(Rakhmat, 2004: 6).

Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:

I.5.1 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa

disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap

pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi

mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif

lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih

melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat

analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga

bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora

seperti apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana

bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat

makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana

(23)

positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan

objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat

secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada

kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai

pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan

pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan

antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana,

konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu

mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari

pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu

dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.

Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini

menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek

bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat

sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan

dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru

menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta

hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S

Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap

maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam

paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang

bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan

(24)

sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai

suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini

ingin mengoreksi pandangan konstruktivimsme yang kurang sensitif pada

proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis

maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan

konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya

berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut

perilaku-perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada

kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran

seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada

konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi

makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di

luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang

berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu,

maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana

dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa;

batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang

mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu

terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma

kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana

(25)

Dalam analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahami

sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan

menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga

menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan

dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam

melihat ketimpangan yang terjadi.

I.5.2 Analisis Wacana Norman Fairclough

Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar,

bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat

yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis

wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya,

sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks

masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah

melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana

pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis

yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk

tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena

itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan

dibentuk oleh relasi sosial dan konteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001:

285).

Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough

(26)

sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu.

Memandang bahasa sebagai praktek sosial semacam ini mengandung

sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan,

seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan

khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas.

Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara

wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh struktur sosial,

kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari

institusi tertentu seperti pada hukum atau pendidikan, sistem dan

klasifikasi.

Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks,

discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough,

teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik

dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas,

bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk

pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan

dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan sociocultural

practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks.

Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih

luas adalah konteks dari praktek institusi dari media sendiri dalam

(27)

I.5.3 Representasi

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang

akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to

present”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara

dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan.

Konsep awal mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa

ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makan

yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya

digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang

digambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall

beragumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan

kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which

meaning is somehow given to the things which are depicted through the

images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands

for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna

yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau

bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan

“Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai

setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah

(28)

Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif

darinya.

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan,

kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh

wartawan, dalam penelitian ini berarti penulis novel itu sendiri. Pada level

pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada

level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan

berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga,

bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi yang diterima

secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak

bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.

I.5.4 Ideologi

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi

berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal

dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate

Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the

formulation on an opinion, plan or like” (sesuatu yang ada dalam pikiran

atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word.

Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan atau

teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pencakupan dari yang terlihat

atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari

(29)

Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah

luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi

pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang

dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi

tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi

tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana

mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001: 12).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang

terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling

melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang

diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi

antar pribadi. Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan

dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak

pernah jelas seluruhnnya (Lull, 1998: 1).

Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam

tiga ranah. Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh

masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Definisi dalam

ranah ini biasanya digunakan oleh para psikologi yang melihat ideologi

sebagai suatu perangkat sikap yang dibentuk atau diorganisasikan dalam

bentuk yang koheren. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang

berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu

(30)

Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah

ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur

ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi

adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana

kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang

dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok

yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat

hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah.

Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut

sebagai suatu kebenaran.

Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi

makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk

menggambarkan produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak

sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat

ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa

diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara

persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam

kategori jumlahnya.

I.6. Kerangka Konsep

Di dalam setiap penelitian sosial, seorang peneliti harus terlebih

dahulu menetapkan variabel-variabel penelitian sebelum memulai

(31)

dengan menetapkan variabel akan mempermudah penelitian. Kerangka

sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang

bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang

dicapai (Nawawi, 1995: 33). Konsep adalah penggambaran secara tepat

fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan

untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau

individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:

34).

Variabel dalam penelitian ini adalah bentuk analisis wacana

Norman Fairclough yang terdiri dari tiga tahap yaitu:

1. Teks

2. Discourse Practice

3. Sociocultural Practice

I.7. Operasionalisasi Konsep

Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks

dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Titik perhatian

besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.

Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis

tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Melihat bahasa dalam

perspektif ini membawa konsekuensi tertentu. Bahasa secara sosial dan

historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan

(32)

bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan kenteks sosial

tertentu. (Eriyanto, 2001: 285). Fairclough membagi analisis wacana

dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice.

Berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana Fairclough tersebut:

A. Teks

1. Representasi: pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang,

kelompok, tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi

dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana

seseorang, kelompok, gagasan, ditampilkan dalam anak kalimat,

kombinasi anak kalimat atau rangkaian antarkalimat.

2. Relasi: berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam media

berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media di sini dipandang

sebagai suatu arena sosial, di mana semua kelompok, golongan, dan

khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan

menyampaikan versi pendapat dan gagasannya.

3. Identitas: aspek ini melihat bagaimana identitas penulis novel

ditampilkan dan dikonstruksikan dalam teks. Apakah ia ingin

mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari khalayak ataukah

menampilkan dan mengindentifikasi dirinya secara mandiri?

B. Discourse Practice

Analisis discourse practice memusatkan perhatian pada

(33)

praktik diskursus, yang akan menentukan bagaimana teks tersebut

diproduksi. Dalam pandangan Fairclough, ada dua sisi dari praktik

diskursus tersebut, yakni produksi teks (di pihak media) dan konsumsi

teks (di pihak khayalak). Jadi, kalau ada teks media yang

merendahkan atau meninggikan citra pendidikan pesantren, kita harus

mencari tahu bagaimana teks tersebut diproduksi dan bagaimana juga

teks tersebut dikonsumsi.

C. Sociocultural Practice

Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa

konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana

wacana yang muncul dalam media. Sociocultural practice ini memang

tidak berhubungan dengan produksi teks, tetapi ia menentukan

bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Sociocultural practice

menggambarkan bagaiman kekuatan-kekuatan yang ada dalam

masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan

kepada masyarakat.

Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural

practice, yaitu:

a. Situasional: konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi di

antaranya memperhatikan aspek situasional ketika teks

tersebut diproduksi. Aspek ini lebih mengarah pada waktu atau

(34)

b. Institusional: aspek ini melihat bagaimana pengaruh institusi

organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa

berasal dari media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan

eksternal di luar media yang menentukan proses produksi

berita.

c. Sosial: aspek ini memandang bahwa wacana yang muncul

dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Aspek

sosial lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik,

sistem ekonomi, sistem budaya masyarakat secara

keseluruhan.

I.8. Metodelogi Penelitian I.8.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara

pandang dalam menganalisis media. Metode penelitian ini menggunakan

pisau analisis wacana Norman Fairclough. Dalam penelitian yang

dianalisis adalah teks, discourse practice, dan sociocultural practice yang

melatarbelakangi dibuatnya Novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat

wacana pendidikan pesantren dengan konsep makna pesan yang tersirat.

Dalam analisis wacana Fairclough, peneliti dapat melihat secara

spesifik faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu wacana.

Analisis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar,

(35)

yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis

wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya,

sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual –yang selalu

melihat bahasa dalam ruang tertutup- dengan konteks masyarakat yang

lebih luas.

I.8.2 Subjek Penelitian

Novel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi

cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi

(A. Fuadi), yang dibagi dalam 20 bagian cerita dan terdiri dari 80

halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009

yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.

I.8.3 Unit dan Level Analisis

Unit yang dianalisis adalah novel “Negeri 5 Menara” yang dilihat

dari teks atas keseluruhan isi cerita dalam novel. Analisis dilakukan dalam

tahap teks, discourse practice dan sociocultural practice yang disajikan

dalam isi cerita novel tersebut. Sedangkan tingkat analisisnya adalah

wacana pada makna pesan yang disampaikan secara tersirat dan

representasi pendidikan pesantren yang disajikan dalam cerita novel

(36)

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1. Data Primer, yaitu dimana data unit analisis dari teks-teks

yang tertulis pada Novel “Negeri 5 Menara”.

2. Data Sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (Library

Research), dengan mengumpulkan literatur serta berbagai

sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

3. Wawancara terhadap pengarang Novel “Negeri 5 Menara” via

e-mail dan wawancara langsung kepada praktisi atau pengamat

pendidikan, alumni pesantren dan pembaca novel Negeri 5

Menara.

8.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke

dalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian

ini menganalisis teks, kognisi sosial dan analisis sosial pada novel

“Negeri 5 Menara dengan menggunakan Analisis Wacana Norman

Fairclough. Sebelumnya teks akan ditabulasikan terlebih dahulu dalam

sebuah tabel, kemudian dianalisis dengan kerangka analisis wacana

Norman Fairclough, untuk kemudian data disederhanakan lagi ke dalam

(37)

STRUKTUR METODE

Relasi Pola Hubungan Bagaimana

(38)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu

unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori

(Singarimbun, 1995:40). Maka teori berguna untuk menjelaskan titik

tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalahnya. Untuk itu

perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang

menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti

(Nawawi, 1991:40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk

(konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan

sistematis tentang gejala yang menyebarkan relasi di antara variabel,

untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat,

2004:6). Fungsi teori dalam suatu riset penelitian adalah membantu

peneliti dalam menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang

menjadi pusat perhatiannya (Kriyantono, 2007:45). Teori yang relevan

dengan penelitian ini adalah: Analisis Wacana Kritis, Analisis Wacana

menurut Norman Fairclough, Representasi dan Ideologi. Secara lebih rinci

(39)

II.1 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa

disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Awal perkembangan

analisis wacana kritis dikemukakan oleh van Dijk pada tahun 1970-an.

Analisis ini mendapat pengaruh teori linguistik kritis, teori sosial kritis

Frankfurt, dan teori pascastrukturalisme yang berkembang di Perancis.

Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana

berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa.

Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’

(what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan

atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya

mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan.

Lewat kata, frasa, kalimat, metafora seperti apa suatu berita disampaikan.

Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut,

analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu

teks (Eriyanto, 2001: xv). Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69) membahas

bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal

tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar.

Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel,

cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta

paragraph, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi,

(40)

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana

menurut Eriyanto (2001: 4-6). Pandangan pertama disebut

positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan

objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat

secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada

kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai

pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan

pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan

antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana,

konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu

mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari

pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu

dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.

Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini

menolak pandangan positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan

objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya

dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang

dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme

justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana

serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S

Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap

maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam

(41)

bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan

makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari

sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai

suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna

tertentu.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini

ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada

proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis

maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan

konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya

berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut

perilaku-perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada

kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran

seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada

konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi

makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di

luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang

berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu,

maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana

dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa;

batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang

mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu

(42)

kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana

kritis.

Menurut Yoce (2009: 49), analisis wacana kritis adalah sebuah

upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah

teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau

kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu

untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks

harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang

terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai

faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat

makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang

diperjuangkan.

Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah

sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek (penulis)

yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan

menempatkan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan

menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur

makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi

yang disamarkan dalam wacana dapat diketahui. Jadi, wacana dapat

dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan

subjek dan berbagai tindakan representasi.

Dalam Eriyanto (2001: 7) analisis wacana kritis, wacana disini

(43)

dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga

menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan

dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam

melihat ketimpangan yang terjadi. Habermas dalam Yoce (2009: 53)

mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana kritis bertujuan

membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam

hubungannya antara ideologi dan kekuasaan. Tujuan analisis wacana

kritis adalah untuk mengembangkan asumsi-asumsi yang bersifat

ideologis yang terkandung dibalik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam

berbagai bentuk kekuasaan. Analisis wacana kritis bermaksud untuk

menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik

diskursif, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas. Jadi,

analisis wacana kritis dibentuk oleh struktur sosial (kelas, status, identitas

etnik, zaman dan jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang

digunakan). Analisis wacana krtis mencoba mempersatukan dan

menentukan hubungan antara (1) teks aktual, (2) latihan diskursif dan (3)

konteks sosial yang berhubungan dengan teks dan latihan diskursif.

Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat

wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari

praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial

menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif

tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.

(44)

memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang

antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan

minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi yang

ditampilkan. Untuk menyempurnakan pandangan di atas, Fairclough

mengemukakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan

kritis. Menurut Fairclough wacana harus dipandang simultan, yaitu

sebagai (1) teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) praksis

kewacanaan, yaitu produksi teks dan interpretasi teks, (3) praksis

sosiokultural, yaitu perubahan-perubahan masyarakat institusi, budaya

yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Menganalisis

wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi

wacana secara integral dan ketiga dimensi tersebut merupakan satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Analisis wacana kritis dipakai untuk mengungkap tentang hubungan suatu

ilmu pengetahuan dan kekuasaan, juga digunakan untuk mendeskripsikan

sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan mengkritik kehidupan sosial

yang tercermin dalam teks atau ucapan.

Dalam Eriyanto (2001: 8-13) mengutip dari pemikiran Fairclough

dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa

kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya

masing-masing. Adapun karakteristik analisis wacana kritis menurut

(45)

1. Tindakan

Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang diasosiakan

sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang

bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk,

menyangga, beraksi dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis

mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana

dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol,

bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar

kesadaran.

2. Konteks

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana,

seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang

diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.

Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari

komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan

mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa;

bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan

hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan

ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan

wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata

yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi

komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya.

(46)

dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam

bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang

dimaksudkan, dan sebagainya. Titik perhatian dari analisis wacana

adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam

suatu proses komunikasi.

Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi

tertentu; wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Meskipun

demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya

yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi

wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi

wacana. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi

pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang

berguna untuk mengerti suatu wacana. Oleh karena itu, wacana harus

dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang

mendasarinya.

3. Historis

Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau

kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan.

Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena

itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti

mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu,

(47)

4. Kekuasaan

Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan

atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar

dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis

wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur

wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi

sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam

hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut

sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk

fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis.

Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas

konteks, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol

struktur wacana.

5. Ideologi

Wacana dipandang sebagai medium kelompok yang dominan

mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi

kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah

dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika

didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang

didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan

kewajaran. Analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara

(48)

dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam

membentuk wacana.

II.2 Analisis Wacana Norman Fairclough

Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar,

bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat

yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis

wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya,

sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks

masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah

melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana

pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis

yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk

tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena

itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan

dibentuk oleh relasi sosial dan konteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001:

285).

Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough

menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek

sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu.

Memandang bahasa sebagai praktek sosial semacam ini mengandung

sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan,

(49)

khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas.

Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara

wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh struktur sosial,

kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari

institusi tertentu seperti pada hukum atau pendidikan, sistem dan

klasifikasi.

Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks,

discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough,

teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik

dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas,

bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk

pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan

dengan proses produksi dan konsumsi teks, sedangkan sociocultural

practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks.

Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih

luas adalah konteks dari praktek institusi dari media sendiri dalam

hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.

Model Tiga Dimensi Analisis Wacana Fairclough

PRAKSIS

SOSIOKULTURAL

PRAKSIS WACANA

(50)

a. Teks

Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan

hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga

bagaimana hubungan antar objek didefinisikan. Ada tiga elemen dasar

dalam model Fairclough, yang digambarkan dalam tabel berikut:

UNSUR YANG INGIN DILIHAT

1. Representasi Bagaimana peristiwa orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apa pun ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

2. Relasi Bagaimana hubungan antara

wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

3. Identitas Bagaimana identitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

Sumber: Eriyanto, 2001: 289

1. Representasi

Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang,

kelompok, tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi

dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana

seseorang, kelompok, dan gagasan ditampilkan dalam anak kalimat

dan gabungan atau rangkaian antar anak kalimat.

1.1 Representasi dalam anak kalimat

Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang,

kelompok, peristiwa dan kegiatan ditampilkan dalam teks,

(51)

sesuatu tersebut ditampilkan, pada dasarnya pemakai bahasa

dihadapkan pada paling tidak dua pilihan. Pertama, pada tingkat

kosakata: kosakata apa yang dipakai untuk menampilkan dan

menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana

sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori. Menurut

Fairclough, pilihan pada kosakata metafora juga merupakan

kunci bagaimana realitas ditampilkan dan dibedakan dengan

yang lain. Metafora bukan hanya persoalan keindahan bahasa,

tetapi juga bisa menentukan apakah realitas itu dimaknai dan

dikategorikan sebagai positif dan negatif. Kedua, pilihan yang

didasarkan pada tingkat tata bahasa. Pada tingkatan ini, analisis

Fairclough terutama dipusatkan pada apakah tata bahasa

ditampilkan dalam bentuk proses ataukah dalam bentuk

partisipan. Dalam bentuk proses, apakah seseorang, kelompok,

kegiatan ditampilkan sebagai tindakan, peristiwa keadaan,

ataukah proses mental. Ini terutama didasarkan pada bagaiman

suatu tindakan hendak digambarkan. Bentuk tindakan

menggambarkan bagaimana aktor melakukan suatu tindakan

tertentu kepada seseorang yang menyebabkan sesuatu. Bentuk

peristiwa memasukkan hanya satu partisipan saja dalam

kalimat, baik subjeknya saja maupun objeknya saja. Bentuk

keadaan, menunjuk pada sesuatu yang telah terjadi. Bentuk

Gambar

Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel Negeri 5 Menara
Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel Negeri 5 Menara
Tabel IV.1.4 Analisis Wacana Novel Negeri 5 Menara
Tabel IV.1.7 Analisis Wacana Novel Negeri 5 Menara
+2

Referensi

Dokumen terkait

Banyuurip Final Disposal (TPA) in Magelang City was the TPA which haven’t apply sanitary landfill system and doesn’t have the adequate leachate treatment unit, therefore need to

Dengan,ni menyatakan dengan sebena.nya bahwa karya ilmiah ihi telah dlperlka/divalldasl dan hasilnya telah memenuhi kaidah ilmiah, norma akademik dan norma hukum

dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal visi dan strategi..  tidak hanya berfokus pada hasil finansial melainkan juga masalah manusia,

Transpower Marine, Tbk tersebut di atas memberi gambaran bahwa pelayanan pengiriman muatan batubara belum berjalan dengan baik akan berpengaruh pada distribusi

Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu : (1) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik dalam pemutusan hubungan kerja pada karyawan yang dilakukan oleh perusahaan yaitu

Berbagai fungsi yang terkait dalam transaksi pembelian berada di tangan unti organisasi berikut ini... Nama Fungsi Unit Organisasi Pemegang Fungsi 1) Fungsi Gedung5. 2)

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti proses seleksi untuk Paket Pekerjaan Rehab Gedung Ibadah Kampus (Gereja) , bersama ini

The Problems of guiding services at Mangkunegaran Palace are the monotonous presentation, the mastery of foreign languages, the discipline of the guide, the