• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Teknologi Penangkapan Ikan Karang

2.3.2 Destructive Fishing

Kondisi ekosistem terumbu karang memiliki korelasi positif dengan jumlah dan jenis ikan yang ada pada ekosistem tersebut. Luas terumbu karang di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia mencapai 51.020 kilometer persegi, tetapi kondisi terumbu karang tersebut sangat memprihatinkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh LIPI tahun 1996, kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi rusak sekitar 39,5%, dalam kondisi sedang sekitar 33,5%, kondisi baik 21,7% dan hanya 5,3% dalam kondisi sangat baik.

Penyebab terjadinya kerusakan karang tidak hanya disebabkan dampak dari perubahan alam seperti perubahan iklim, namun juga disebabkan oleh aktifitas manusia dalam praktek-praktek perikanan yang merusak (destruktif fishing) seperti eksploitasi berlebih dan teknik penangkapan perikanan yang tidak ramah lingkungan.

Kegiatan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) telah lama dikenal di dunia. Umumnya perikanan yang destruktif menggunakan peralatan/bahan pembius untuk melumpuhkan ikan. Brant (1984) telah mengelompokkan keseluruhan metode penangkapan ikan ke dalam 16 kelompok besar, salah satu diantaranya adalah penangkapan ikan dengan menggunakan paralatan/bahan pembius (stupefying devices). Prinsip penangkapan ikan dengan cara ini adalah melumpuhkan ikan melalui serangkaian kegiatan pembiusan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan teknik yang digunakan dalam melumpuhkan ikan, yaitu (1) metode melumpuhkan secara mekanis (mechanical stupefying), (2) metode melumpuhkan secara kimiawi (chemical stupefying) dan (3) melumpuhkan dengan listrik (electrical stupefying).

Metode penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (blast fishing) tergolong dalam mechanical stupefying, sedangkan penangkapan ikan dengan menggunakan racun ikan (ichtyotoxic materials) baik tumbuhan (ichtyotoxic plants), hewan maupun bahan kiimia sintesis merupakan contoh- contoh dari metode melumpuhkan secara kimiawi.

1) Blast Fishing

Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (blast fishing) telah dikenal lebih dari 50 tahun yang lalu dan termasuk salah satu metode penangkapan ikan tradisional. Teknik penangkapan dengan menggunakan bahan peledak diadopsi dari tentara Jepang pada masa perang dunia ke dua. Metode ini dianggap sebagai cara yang lebih efektif dan efisien untuk menangkap kawanan ikan. Beberapa dasawarsa terakhir, sejalan dengan semakin menurunnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan di hampir seluruh perairan pantai telah mendorong dijadikannya metode ini sebagai alternatif untuk memperoleh tangkapan (Pet-Soede et al., 1999).

Material yang digunakan sebagai bahan pembuat bom pada mulanya berasal dari sisa-sisa amunisi perang dunia yang diperoleh dari bunker-bunker

yang digali. Saat ini, nelayan umumnya menggunakan bahan peledak yang dirakit sendiri dari campuran pupuk sintesis, seperti ammonium nitrat (NH4NO3) atau kalium nitrat (KNO3) dengan minyak tanah dan belerang. Ketiga bahan tersebut dimasukkan ke dalam botol bekas kaleng minuman dan dilengkapi dengan sumbu yang terbuat dari pintalan benang.

Nelayan di Kepulauan Togean biasa menyebut metode penangkapan ikan dengan bahan peledak dengan sebutan “Babom”. Bahan baku utama bahan peledak adalah pupuk tanaman cap Matahari dan Obor yang didapat secara terselubung. Bahan lainnya adalah korek api, bola lampu senter dan botol kaca bekas minuman suplemen. Tiap kelompok nelayan yang biasa babom sanggup membuat 10 hingga 20 botol bom ikan siap pakai dalam sekali melaut. Nelayan yang biasa menggunakan peledak untuk mencari ikan (babom) sangat lihai dalam merakit bom mulai dari yang sederhana (dilempar) maupun menggunakan detonator.

Selain menggunakan pupuk sintesis sebagai bahan dasar pembuatan bom, nelayan kadang-kadang menggunakan dinamit dalam penangkapan ikan. Dinamit ini diperoleh dari oknum polisi, militer, perusahaan-perusahaan pertambangan, atau pekerja-pekerja proyek pembangunan jalan/jembatan sebagai (Pet-Soede et al., 1999).

Blast fishing dianggap sebagai suatu tindakan manusia paling merusak yang tidak saja berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang dan eksistensi organisme yang ada disekitarnya namun juga sangat berbahaya bagi operator.

16

Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh ledakan di bawah air terhadap kehidupan di perairan telah menjadi subyek penelitian selama lebih dari 50 tahun terakhir ini. Menurut Pet-Soede dan Cesar (1999), laju kehancuran karang hidup akibat ledakan mencapai 3,7 m2 per 100 m2, jauh lebih besar dari kemampuan karang untuk meregenerasi diri. Multiplier effect yang diakibatkan oleh ledakan bahkan bisa lebih besar dari dampak kerusakan pengeboman itu sendiri yang hanya mencapai radius 2,5 m atau setara dengan 19,6 m2 luas area karang yang terpengaruh (Pet-Soede et al., 2000).

Salah satu efek turunan dari blast fishing yang paling serius adalah tidak dapat tumbuhnya koloni karang baru pada area serpihan-serpihan karang yang terbentuk akibat ledakan. Kerangka-kerangka karang dan puing-puing yang tidak stabil menghalangi dan mencegah terjadinya kolonisasi. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya tekanan terhadap area karang yang masih sehat disekitar area ledakan sehingga berpotensi menimbulkan kehancuran ekosistem terumbu karang (Mc. Manus et al., 1997).

Ditinjau dari perspektif asosiasi ekologis, kerusakan terumbu karang yang akibat ledakan tidak dapat difungsikan lagi sebagai tempat berlindung, mencari makan dan memijah bagi organisme-organisme laut. Dari sisi ekonomis, hamparan terumbu karang yang telah hancur akan kehilangan daya tarik dari sudut pandang pariwisata. Keadaan ini akan sangat merugikan mengingat pengembangan sector wisata pantai/karang dapat mendatangkan pendapatan alternative yang cukup besar bagi masyarakat setempat dan merupakan sumber devisa negara (Pet-Soede et al., 1999).

Dampak negatif penggunaan blast fishing dapat diidentifikasi secara jelas pada bagian-bagian tubuh ikan yang tertangkap. Umumnya terjadi kerusakan pada tubuh ikan yang ditangkap dengan menggunakan bom sebagai akibat dari terjadinya gelombang kejut yang terbentuk dari ledakan bawah air. Tingkat kerusakan tergantung pada sejumlah faktor, seperti kekuatan ledak, jarak ikan dari titik ledak, jenis dan ukuran ikan serta kedalaman kolom air dan dasar perairan. Ikan-ikan yang berada di dekat pusat ledakan mati secara cepat oleh gelombang kejut, sementara yang berada pada jarak yang lebih jauh menderita kerusakan yang lebih ringan. Berdasarkan pada faktor-faktor tersebut, ikan yang terkena ledakan tidak segera mengalami kematian namun beberapa saat setelahnya akan mengalami kematian.

2) Racun

Penggunaan racun dalam penangkapan ikan telah dikenal sejak tahun 1500-an dengan digunakannya racun tumbuhan untuk menangkap ikan. Berbagai jenis tumbuhan seperti Loncho carpu, Amanirta cocolus, Strychonus nuxvomica, Serrasalmus sp., Derris elliptica, D. uliginosa dan D. laganesis di Indonesia dan Malaysia dikenal dengan sebutan “tuba” telah sejak lama digunakan sebagai racun ikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1700-an bahan kimia sintesis mulai digunakan untuk penangkapan ikan. Bahan kimia pertama yang digunakan untuk menangkap ikan adalah kapur yang dilarutkan dalam air kemudian dituangkan ke dalam perairan. Ikan yang ada di tempat tersebut akan terbius oleh sifat basa dari kapur. Bahan kimia lain yang pernah digunakan sebagai racun ikan antara lain senyawa tembaga-sulfat (copper vitriol), natrium hipoklorit dan sianida, baik yang bersenyawa dengan natrium dan kalium. Unsur yang disebutkan terakhir merupakan material yang paling popular digunakan nelayan dalam penangkapan ikan dan dikenal dengan sebutan potasium.

Penangkapan ikan dengan menggunakan sianida umumnya dilakukan di perairan terumbu karang dengan cara menyemprotkan botol-botol berisi sianida ke dalam gua-gua karang tempat persembunyian ikan tersebut. Dalam operasi penangkapan ikan ini, nelayan menggunakan kompresor sebagai alat bantu dalam melakukan penyelaman. Teknik lain telah dilakukan oleh nelayan Kepulauan Togean dengan cara menebarkan butiran-butiran potas pada lokasi terumbu karang yang diperkirakan gudang persembunyian ikan.

Penggunaan racun sebagai sarana penangkapan ikan mulai marak sejak terjadinya peningkatan permintaan ikan hidup untuk komoditas ikan karang. Prinsip kerja racun yang hanya bersifat temporer dianggap sebagai solusi tepat dalam menyediakan ikan hidup. Padahal ditinjau dari sisi ekologis/lingkungan maupun biologis ikan, penggunaan racun khususnya sianida kemungkinan memberikan dampak negatif.

Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa paparan racun sianida (zooxanthellae) yang bersimbiosis pada hard coral pada tingkatan seperti yang terjadi pada cyanide fishing menyebabkan terjadi pemutihan (bleaching) atau matinya polip-polip karang tersebut (Jones and Steven, 1997). Pemutihan karang tersebut disebabkan oleh pengaruh racun sianida terhadap proses fotosintesis dari gangggang zooxanthellae (Jones and Hoegh-Guildberg, 1999).

18

Namun demikian toksitas racun sianida terhadap karang pada kondisi percobaan ini tidak membuktikan tingkat degradasi yang terjadi pada terumbu karang. Hal ini disebabkan laju kematian (kehilangan) karang akibat paparan sianida mungkin lebih kecil dari laju pertumbuhan alami dari karang itu sendiri, atau mungkin pada kondisi alamiah air di laut, sianida terbawa begitu cepat oleh arus air sehingga menimbulkan paparan terhadap area karang yang lebih luas (Jones and Steven, 1997).

Hasil pendugaan beberapa peneliti mengenai tingkat degradasi penutupan karang di Indonesia aakibat cyanide fishing berkisar antara 0,05-0,06 m2 per 100 m2 per tahun. Estimasi tingkat degradasi karang ini lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan kepulihan alami karang (Mous, 2000). Oleh karena itu, asumsi bahwa cyanide fishing untuk perdagangan ikan hidup bukan ancaman terhadap kelestarian terumbu karang mengkin saja timbul, terutama bila dibandingkan dengan degradasi karang yang diakibatkan oleh blast fishing

yang diduga mencapai kisaran 3,7 m2 per 100 m2 per tahun (Pet-Soede et al.,

1999).

Dipandang dari sisi biologis ikan, penggunaan racun dalam penangkapan dapat mempertinggi tingkat mortalitas ikan akibat resistensi terhadap racun yang rendah serta akibat pemangsaan yang merupakan dampak turunan dari penggunaan racun.

Sianida merupakan salah satu bahan kimia yang paling beracun. Ikan diperkirakan mempunyai kepekatan terhadap sianida seribu kali lebih tinggi dari manusia. Konsentrasi sianida di bawah tingkatan yang mematikan dapat menimbulkan respon psikologis dan patologis berupa berkurangnya kemampuan berenang, gangguan terhadap kemampuan bereproduksi dan dapat mengarah ke munculnya keturunan yang cacat. Selain itu ikan-ikan yang telah terkena sianida juga rentan terhadap serangan pemangsa karena pergerakannya di dalam air menjadi lambat (Eisler, 1991). Toksitas sianida terhadap ikan meningkat 3 kali lipat dengan menurunnya temperature air 12oC. Selain itu, keberadaan ion khlorida dengan konsentrasi sekitar 17,0 ppt dapat menurunkan kemampuan bertahan hidup (survival rate) pada ikan yang terkena sianida (Hynes, 1998).

Terjadinya pencemaran sianida dalam volume besar yang pernah terjadi di Jepang akibat bobolnya tanggul penampungan limbah yang mengandung sianida mungkin bisa dijadikan ilustrasi tentang dampak sianida terhadap

organisme-organisme perairan. Pada kasus tersebut limbah menutupi aliran sungai sepanjang 10 km dari sumber pencemaran. Polutan tersebut membunuh semua biota sepanjang aliran sungai. Kondisi perairan baru mulai pulih setelah 6-7 bulan kemudian (Yasuno, 1981).

Dokumen terkait