• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan yang Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan yang Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat)"

Copied!
280
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA

PERIKANAN KARANG UNTUK

PEMANFAATAN BERKELANJUTAN

(Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat,

Provinsi Irian Jaya Barat)

ZULKIFLI BUGIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA

PERIKANAN KARANG UNTUK

PEMANFAATAN BERKELANJUTAN

(Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat,

Provinsi Irian Jaya Barat)

ZULKIFLI BUGIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan yang Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dikutip berasal dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2006

Zulkifli Bugis

(4)

ABSTRAK

ZULKIFLI BUGIS. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan yang Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat) (Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO sebagai ketua komisi pembimbing dan ZULKARNAIN sebagai anggota)

Kegagalan Indonesia untuk memperoleh hak kepemilikan terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan pengalaman berharga mengenai pentingnya kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau kecil perbatasan. Pertimbangan potensi dan karakteristik spesifik wilayah seyogyanya dikedepankan dalam penetapan kebijakan pembangunan. Kepulauan Ayau adalah salah satu pulau kecil perbatasan di Kabupaten Raja Ampat yang berbatasan dengan Negara Palau. Pulau ini memiliki potensi perikanan karang yang cukup besar. Tujuan penelitian adalah merancang strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan karang untuk pemanfaatan yang berkelanjutan di Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan evaluasi kegiatan pengelolaan dengan menggunakan indeks keberlanjutan yang kemudian penggunaan analisis SWOT untuk perancangan strategi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Indeks Keberlanjutan sebesar 0,98. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan karang berada di luar jalur pengelolaan yang berkelanjutan. Strategi yang ditetapkan untuk mengatasi kondisi tersebut adalah: (1) pengelolaan perikanan karang yang berwawasan lingkungan, (2) pemanfaatan potensi ikan karang secara optimal, (3) pengembangan iklim usaha yang kondusif, (4) pengembangan sistem usaha pola inti-rakyat (PIR), (5) pembinaan kelembagaan masyarakat, (6) perbaikan infrastruktur perdagangan dan perhubungan, (7) modernisasi dan motorisasi unit penangkapan dan (8) pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat.

(5)

ABSTRACT

ZULKIFLI BUGIS. Management Strategy for Sustainable Utilization of Reef Fishery Resources: Case on Ayau Archipelago, Raja Ampat Regency, West Irian Jaya Province. Supervised by MULYONO S. BASKORO and ZULKARNAIN

Indonesia failure to get property rights to Sipadan and Ligitan Island

represent worth experience about importance of development policy to increase

the social welfare in boundries island. Potency consideration and regional

specific characteristics is properly placed forward in stimulating of development

policy. Ayau Archipelago is one of boundry island in Raja Ampat Regency owning

big enough reef fishery potency. Research objective were designed as the strategy

of reef fishery resources management for sustainability exploitation in Ayau

archipelago, Raja Ampat Regency. SWOT analysis is used to evaluate

sustainability of management activities. The sustainability index shows 0,98 which

mean reef fishery management activities was unsustain. There were some

strategies to anticipate the condition; (1) friendly reef fishery management, (2)

optimalization of reef fish potency, (3) development of business system, (4)

development of PIR system in business ,(5) development of institution, (6)

infrastructure repair of commerce and communication, (7) modernization and

motorization of fishing unit, and (8) resource management base on society.

(6)

© Hak cipta milik Zulkifli Bugis, tahun 2006

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

(7)

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA

PERIKANAN KARANG UNTUK

PEMANFAATAN BERKELANJUTAN

(Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat,

Provinsi Irian Jaya Barat)

ZULKIFLI BUGIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

untuk Pemanfaatan yang Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat)

Nama Mahasiswa : Zulkifli Bugis

Nomor Pokok : C551024054

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Ir. Zulkarnain, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat)”.

Selama penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh kerenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Ir. Zulkarnain, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan arahan.

2. Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si selaku tim penguji luar komisi atas koreksi serta masukan-masukan yang konstruktif untuk perbaikan tesis penulis. 3. Direktur Akademi Perikanan Sorong, Bapak Ir. Samel Hamel, M.Si dan Bapak

Ir. Mahmud Fakoubun, M.Si, serta rekan–rekan dosen maupun staf administrasi.

4. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat beserta staf yang telah membantu penulis selama penelitian.

5. Kepala Distrik Kepulauan Ayau, Kepala Desa Dorekar, Desa Rutum, Desa Reni, Desa Meosbekwan dan Desa Yankawir beserta masyarakatnya yang dengan tulus ikhlas membantu penulis dalam melakukan penelitian.

6. Walikota Sorong Drs. J.A. Jumame, MM dan Ketua Bappeda Drs. Yohanis Nauw serta Bapak Kepala Badan Keuangan Kota Sorong Bapak Drs. Ec. Lamber Jitmau atas bantuan moril dan materil yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

(10)

9. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dengan senang hati penulis terima. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, April 2006

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Desember 1959 di Tual, Maluku Tenggara. Penulis adalah putra ke tujuh dari delapan bersaudara pasangan Alm. Husein dan Alm. Sitti Zubaedah. Pendidikan penulis mulai dari SD hingga SMA ditempuh di Tual. Pada tahun 1979, penulis melanjutkan pendidikan ke Fakultas Perikanan, Universitas Pattimura dengan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan.

Pada tahun 1989-2001, penulis bekerja sebagai guru pada Sekolah Usaha Perikanan Menengah Sorong (SUPM) dan sejak tahun 2001 hingga saat ini, penulis tercatat sebagai Dosen pada Akademi Perikanan Sorong. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan (TKL) pada tahun 2003 dengan beasiswa Akademi Perikanan Sorong.

Penulis dinyatakan lulus dalam sidang ujian tesis yang diselenggarakan

oleh Sekolah Pascasarjana IPB pada tanggal 21 April 2006 dengan judul tesis “Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan

(12)

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Perumusan Masalah ...3

1.3 Tujuan Penelitian ...4

1.4 Manfaat Penelitian ...4

1.5 Kerangka Pemikiran...5

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsepsi Strategi ...7

2.2 Sumberdaya Ikan Karang ...9

2.3 Teknologi Penangkapan Ikan Karang ...10

2.3.1 Legal Fishing...11

2.3.2 Destructive Fishing...14

2.4 Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Perikanan Tangkap ....19

2.5 Review Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ...20

3 METODOLOGI 3.1 Pemilihan Lokasi dan Waktu Penelitian ...22

3.2 Penggunaan Peralatan ...24

3.3 Metode Pengumpulan Data ...24

3.4 Jenis Data...25

3.5 Analisis Data ...26

3.5.1 Evaluasi Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang ...26

3.5.2 Strategi Pengelolaan Perikanan Karang ...31

4 GAMBARAN KONDISI KEPULAU AN AYAU 4.1 Keadaan Geografis, Topografi dan Klimatologi ...34

4.2 Kependudukan ...35

4.3 Kelembagaan Sosial, Ekonomi dan Budaya ...36

4.4 Sarana-Prasarana dan Aksesibilitas ...38

4.5 Kondisi Sumberdaya Alam di Darat...41

4.6 Keadaan Umum Perikanan Kepulauan Ayau...42

4.6.1 Potensi Sumberdaya Perikanan ...42

4.6.2 Metode Penangkapan Ikan ...43

4.6.3 Penanganan dan Pengolahan Pascapanen...45

4.6.4 Pemasaran Sumberdaya Hayati Laut...46

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau ...52

(13)

5.1.1.1 Metode Penangkapan Destruktif ...52

5.1.1.2 Metode Penangkapan yang Tidak Destruktif ...56

5.1.2 Sumberdaya Ikan Karang di Kepulauan Ayau ...62

5.1.2.1 Produksi Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu (Epinephelus sp) ...63

5.1.2.2 Upaya Penangkapan Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu (Epinephelus sp)...64

5.1.2.3 Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap (CPUE ) Tahunan Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu ... (Epinephelus sp) ...66

5.1.2.4 Pendugaan Nilai Hasil Tangkapan Maksimum Lestari dan Upaya Tangkap Optimum Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu (Epinephelus sp)...67

5.1.3 Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ...68

5.1.4 Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan Perikanan Karang ...71

5.1.5 Peraturan yang Berkaitan dengan Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau ...72

5.2 Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau ...75

5.2.1 Penilaian Indikator Pengelolaan Perikanan Karang...75

5.2.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau...85

5.3 Analisis SWOT...86

5.4 Strategi Pengelolaan Perikanan Karang Secara Berkelanjutan ...90

5.5 Implementasi Strategi Pengelolaan di Masyarakat ...95

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan...97

6.2 Saran ...97

DAFTAR PUSTAKA...98

(14)

Halaman

1 Potensi sumberdaya ikan karang Indonesia menurut WPP... 10

2

Data primer yang dikumpulkan selama penelitian... 25

3 Data sekunder yang dikumpulkan selama penelitian ... 26

4 Kriteria dan indikator penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau... 27

5 Pembobotan tiap unsur SWOT... 32

6 Matriks hasil analisis SWOT... 32

7 Rangking alternatif strategi ... 33

8 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kepulauan Ayau ... 36

9 Periodisasi penangkapan ikan di wilayah Kepulauan Ayau ... 43

10 Harga ikan kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) per kg di tingkat pengumpul... 49

11 Deskripsi pancing tonda yang digunakan nelayan Kepulauan Ayau ... 59

12 Spesifikasi jaring insang di Kepulauan Ayau... 61

13 Luasan hasil klasifikasi citra Landsat_TM Kepulauan Ayau ... 70

14 Persen penutupan karang dengan Metode Manta Tow di Kepulauan Ayau ... 71

15 Penilaian indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau ... 86

16 Identifikasi, skoring, dan arahan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau ... 87

17 Analisis keterkaitan antar unsur SWOT... 89

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir strategi pengelolaan sumberdaya perikanan Karang untuk

pemanfaatan berkelanjutan ... 6

2 Peta lokasi penelitian ... 23

3 Konstruksi jerat yang digunakan nelayan di Kepulauan Ayau... 44

4 Konstruksi tombak yang digunakan nelayan di Kepulauan Ayau ... 45

5 Saluran pemasaran napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp) di Kepulauan Ayau ... 47

6 Jaring tempat penyimpanan napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp). ... 48

7 Jaring apung tempat penyimpanan sementara ikan sebelum di ekspor .. 48

8 Saluran pemasaran lobster di Kepulauan Ayau ... 49

9 Saluran pemasaran produk olahan di Kepulauan Ayau ... 51

10 Tablet sianida yang dijadikan bahan pembius ikan... 53

11 Kaca mata molo untuk alat bantu penyelaman ... 53

12 Pohon bore ... 53

13 Konstruksi bubu yang digunakan nelayan di Kepulauan Ayau ... 55

14 Ilustrasi bubu yang terpasang di perairan ... 55

15 Konstruksi pancing ulur yang digunakan di Nelayan Ayau ... 57

16 Ilustrasi pengoperasian pancing ulur ... 58

17 Konstruksi pancing tonda di Kepulauan Ayau ... 59

18 Ilustrasi pengoperasian pancing tonda ... 60

19 Konstruksi jaring insang dasar di Kepulauan Ayau ... 61

20 Ilustrasi pengoperasian jaring insang dasar ... 62

21 Komposisi hasil tangkapan ikan yang ditangkap nelayan di Kepulauan Ayau selama Desember 2004... 63

22 Perkembangan produksi napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp) yang ditangkap nelayan Ayau (2000-2004) ... 64

23 Perkembangan upaya tangkap napoleon (C. undulatus) selama tahun 2000-2004 ... 65

24 Perkembangan upaya tangkap kerapu (Epinephelus sp) selama tahun 2000-2004 ... 65

(16)

27 Potensi napoleon (C. undulatus) di Kepulauan Ayau... 67

28 Potensi kerapu (Epinephelus sp) di Kepulauan Ayau ... 68

29 Hasil citra landsat_TM di Kepulauan Ayau... 70

(a) komposit 321 ... 70

(b) komposit 421... 70

(c) komposit 542... 70

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jenis-jenis kerapu dan napoleon yang ditangkap di Kepulauan Ayau ... 102

2 Tangkapan napoleon selama bulan Desember 2004 ... 103

3 Tangkapan kerapu tongseng selama bulan Desember 2004 ... 105

4 Tangkapan kerapu saiseng selama bulan Desember 2004... 107

5 Tangkapan kerapu GH selama bulan Desember 2004... 109

6 Tangkapan ikan campuran selama bulan Desember 2004 ... 110

7 Jumlah ikan napoleon dan kerapu berdasarkan ukuran selama bulan Desember 2004... 111

8 Perhitungan potensi napoleon di Kepulauan Ayau ... 112

9 Perhitungan potensi kerapu di Kepulauan Ayau ... 113

10 Produksi napoleon pada berbagai tingkat upaya penangkapan ... 114

11 Produksi kerapu pada berbagai tingkat upaya penangkapan... 115

12 Pendapatan nelayan akar bore dengan kapal jonson... 116

13 Proporsi alat tangkap aktif dan pasif di Kepulauan Ayau... 117

14 Hasil wawancara dengan masyarakat Ayau mengenai kondisi karang.... .. 117

(18)

1.1 Latar Belakang

Kegagalan Indonesia untuk memperoleh hak kepemilikan terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan pengalaman berharga mengenai pentingnya suatu kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau kecil perbatasan. Orientasi hak kepemilikan ternyata tidak cukup didasarkan pada bukti sejarah belaka.

Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan hanyalah segelintir kasus dari kasus-kasus yang lebih besar yang mungkin terjadi jika pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah kejadian serupa di masa akan datang. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Dephan dan Dehidros TNI-AL tahun 2003, dari 17.504 pulau-pulau yang dimiliki Indonesia, terdapat 92 pulau-pulau kecil berada pada posisi terluar, 67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan Negara tetangga sebagai pulau perbatasan. Dari 67 pulau-pulau tersebut, 13 pulau diantaranya perlu mendapatkan perhatian khusus. Perhatian khusus pada 13 pulau tersebut didasarkan pada timbulnya permasalahan-permasalah substansial yang dapat berdampak pada eksistensi pulau tersebut di masa akan datang. Permasalahan tersebut antara lain (1) rawan penangkapan ikan illegal, (2) rawan perompakan, (3) rawan penyelundupan, (4) rawan okupasi negara lain, dan (5) rawan pengaruh ipoleksosbud dari negara lain (Dishidros TNI-AL, 2003).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah kejadian serupa adalah menetapkan kebijakan pemanfaatan pulau-kecil secara komperhensif berdasarkan pertimbangan potensi dan karakteristik spesifik wilayah. Potensi pulau-pulau perbatasan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, (2) potensi ekonomi dan (3) potensi sebagai basis pertahanan. Secara garis besar terdapat tiga pilihan pola atau model pengembangan yang dapat diterapkan untuk ekosistem pulau kecil. Pertama, menjadikan pulau sebagai kawasan konservasi.
(19)

2

Secara lebih spesifik, telah dikemukakan suatu teori tentang pentingnya pendekatan lokal dalam konsep pengelolaan pulau-pulau kecil. Teori ini dikenal dengan sebutan Global Ocean Governance (GOG) dan didefinisikan sebagai berikut: "the development of a set of ocean rules and practices that are equitable, efficient in the allocation of ocean uses and resources (including notion of sustainability), provide the means of resolving conflicts over access to and the enjoyment of the benefits of the oceans, and specifically attempt to alleviate collective-action problems in a world of independent actors". Dari definisi tersebut, paling tidak ada 3 kata kunci yaitu: (1) asas kesamaan (equitability) dan efisiensi (efficiency) alokasi pemanfaatan sumber daya kelautan yang ada di pulau-pulau kecil, (2) menyediakan cara pemecahan konflik pemanfaatan sumber daya di pulau-pulau kecil, dan (3) meningkatkan aksi kolektif dari segenap

stakeholder terhadap masalah-masalah pemanfaatan sumber daya kelautan pulau-pulau kecil.

Kepulauan Ayau atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau Fani merupakan salah satu dari 13 pulau yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Ditinjau dari perspektif topografi wilayah, daerah ini dikelilingi oleh lautan serta kondisi tanah yang kurang sesuai dipergunakan untuk aktivitas bercocok tanam. Oleh karena itu mayoritas penduduk kepulauan ini menggantungkan hidupnya pada penangkapan ikan di laut dan aktivitas turunannya.

Potensi perikanan yang paling besar dimiliki oleh Kepulauan Ayau adalah ikan karang. Hamparan karang yang mengelilingi wilayah lautan daerah ini merupakan justifikasi terhadap kondisi tersebut. Bahkan berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Conservation International ( CI ) yang dilakukan di Kepulauan Raja Ampat termasuk kawasan Kepulauan Ayau, berhasil ditemukan sekitar 900 spesies karang yang ada di dunia. Selain spesies karang, berhasil pula diidentifikasi sebanyak 950 spesies ikan karang, empat jenis diduga merupakan spesies baru, yaitu Pseudochromis sp, Apogon sp, Eviota sp (Farid dan Sriyadi, 2001).

(20)

strategi pengelolaan sumberdaya perikanan karang dalam rangka pemanfaatan yang berkelanjutan mutlak dibutuhkan.

1.2 Perumusan Masalah

Pengembangan kegiatan produktif yang berbasis potensi dapat dijadikan sebagai sarana memperkuat posisi kenegaraan terutama untuk daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain. Kepulauan Ayau yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat memiliki potensi karang dan ikan karang yang sangat besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat, total potensi ikan karang di wilayah tersebut mencapai 35.000 ton/tahun. Dari jumlah tersebut 30 % diantaranya diperkirakan berada di wilayah perairan Kepulauan Ayau.

Ikan karang merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sejak awal dekade 90-an, perdagangan ikan karang hidup berkembang dengan cepat di Asia Tenggara dan wilayah-wilayah lain. Dimasa yang akan datang kebutuhan ikan hidup diprediksi akan terus mengalami peningkatan (Dragon Search, 1996). Komoditas-komoditas utama yang diperdagangkan terkonsentrasi pada jenis kerapu (Plectropomus dan Epinephelus sp) dan napoleon (Cheillinus undulatus). Ikan-ikan tersebut menjadi konsumsi masyarakat kelas ekonomi tinggi di Hongkong, Cina, Taiwan, Singapura dan Jepang (Johanes dan Riefen, 1995). Berdasarkan hasil kajian aspek sosial terumbu karang yang dilakukan oleh CORE MAP-LIPI pada tahun 2002, diperoleh informasi bahwa dua jenis ikan, yaitu kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) merupakan spesies-spesies ikan yang paling banyak di tangkap di perairan Kepulauan Ayau.

(21)

4

Sebagai suatu organisme perairan, ikan karang memiliki karakteristik spesifik yang bisa dibedakan dengan kelompok ikan lain seperti ikan pelagis dan demersal. Asoasiasi yang terjadi antara karang sebagai tempat hidup dengan ikan karang sebagai “penghuni” sangatlah tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bell et al (1985 ) dalam Putranto (1994) ditemukan adanya korelasi positif antara penutupan karang hidup dengan kelimpahan dan keanekaragaman ikan di terumbu karang. Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya, hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan alat tangkap yang destruktif justru akan berdampak pada penurunan kuantitas ikan karang di wilayah tersebut pada masa yang akan datang.

Kerugian akibat penggunaan alat tangkap desktruktif jika dikonversi dalam bentuk uang cukup besar. Hasil estimasi bank dunia menunjukkan bahwa, Indonesia akan mengalami kerugian sekitar sekitar US $ 46 juta dalam kurun waktu empat tahun apabila penggunaan racun skala besar dalam penangkapan ikan tidak diatasi. Kerugian tersebut akan bertambah sebesar US $ 86.000 /km2 jika penggunaan bahan peledak tidak dihentikan.

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, maka rumusan masalah yang ingin diungkapkan penulis adalah bagaimana merancang suatu strategi pengelolaan sumberdaya perikanan karang yang berkelanjutan di Kepulauan Ayau melalui pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya serta pemeliharaan dan peningkatan daya dukung lingkungan tanpa menapikkan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

(1) Menentukan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan karang di Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat. (2) Menentukan arah dan prioritas strategi pengelolaan sumberdaya perikanan

karang di Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

(22)

dijadikan sebagai masukan oleh para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka pengelolaan potensi sumberdaya perikanan di wilayah kajian. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan referensi pembanding yang mungkin dapat menstimulasi penelitian-penelitian selanjutnya

.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pulau-pulau kecil perbatasan memiliki peran strategis dalam pembangunan mengingat letaknya yang berbatasan dengan negara lain. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa keberadaan pulau-pulau kecil perbatasan kurang mendapat perhatian pemerintah, bahkan kebanyakan dari pulau-pulau tersebut menjadi daerah terisolasi. Peristiwa lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi pemerintah yang mengabaikan pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan.

Pengembangan pulau-pulau kecil seyogyanya menjadikan potensi dan karakteristik wilayah sebagai pertimbangan utama. Menurut Dahuri (1998), salah satu potensi yang banyak ditemukan di pulau-pulau perbatasan yang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan adalah potensi sumberdaya perikanan karang.

Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan haruslah meninggalkan pola-pola yang hanya bersifat ekstraktif belaka. Pengelolaan merupakan kata kunci yang harus diperhatikan untuk mencegah dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya yang cenderung ekstraktif. Dalam konteks perikanan global, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan seyogyanya mengacu pada “Code of Conduct for Responsible Fisheries “ (FAO, 1995), yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah terhadap lingkungan serta memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya. Secara nyata terkandung pemahaman bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan haruslah dilakukan secara terkendali dan bijaksana sehingga menjamin kepentingan generasi saat ini maupun generasi masa depan (berkelanjutan).

(23)

6

kondisi pengelolaan sumberdaya yang telah ada berikut permasalahan yang dihadapi serta langkah-langkah perbaikan (corrective action) yang akan diterapkan berdasarkan parameter-parameter yang ada.

(24)

2.1 Konsepsi Strategi

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), yang dimaksud dengan strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Sedangkan jika ditelaah secara terminologi strategi diartikan sebagai jenderal, berasal dari kata strategos dalam bahasa Yunani. Dalam arti yang lebih sempit, menurut Matloff (1967) diacu dalam Salusu (1996), strategy

berarti the art of general (seni jenderal). Asal-muasal pengertian tersebut dikarenakan besarnya otoritas yang dimiliki seorang jenderal dalam memanfaatkan semua sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai sasaran perang dan damai.

Dengan semakin kompleksnya kehidupan pada saat ini, dimana terjadi pergeseran situasi dari militer ke organisasi turut berdampak pada perluasan makna strategi. Chadler dan Alfred pada tahun 1966 mengutarakan pendapat mengenai defenisi strategi sebagai berikut, “ Strategi merupakan penetapan dari tujuan dan sasaran jangka panjang serta penggunaan serangkaian tindakan dan alokasi sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut”. Pendapat-pendapat senada dengan beberapa penekanan elemen dalam defenisi telah diutarakan oleh beberapa ahli seperti Hofer dan Schendel (1978); Shirley (1978); Ohmae (1982); serta Hatten dan Hatten (1988). Elemen yang ditekankan oleh para ahli tersebut antara lain faktor lingkungan, kemampuan internal, kompetisi serta komunikasi.

Rumusan yang komperhensif dan merupakan rangkuman dari berbagai defenisi tentang strategi diutarakan oleh Hax dan Majluf (1991) diacu dalam Salusu (1996) sebagai berikut:

(1) Strategi ialah pola keputusan yang konsisten, menyatu dan integral ;

(2) Menentukan dan menampilkan tujuan organisasi dalam artian sasaran jangka panjang, program bertindak, dan prioritas alokasi sumberdaya ;

(3) Menyeleksi bidang yang akan digeluti atau akan digeluti oleh organisasi ; (4) Mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama, dengan

memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal organisasi, dan kekuatan serta kelemahannya;

(25)

8

Bertolak dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi mengandung unsur tahapan waktu dalam merealisasikan tujuan yang hendak dicapai. Tahapan-tahap tersebut oleh Kooten (1991) diistilahkan dengan tingkat-tingkat strategi. Tingkatan-tingkatan strategi yang dimaksud sebagai berikut:

(1) corporate strategy (strategi organisasi)

Strategi ini berkaitan dengan perumusan misi, tujuan, nilai-nilai dan inisiatif-inisiatif strategi baru.

(2) program strategy (strategy program)

Strategi ini lebih memberi perhatian pada implikasi-implikasi stratejik dari suatu program tertentu.

(3) resource support strategy (strategi pendukung sumberdaya)

Strategi sumberdaya ini memusatkan perhatian pada memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumberdaya esensial yang tersedia guna meningkatkan kualitas kinerja organisasi. Sumberdaya tersebut dapat berupa tenaga, keuangan maupun teknologi.

(4) Institutional strategy (strategi kelembagaan)

Fokus dari strategi institusional ialah mengembangkan kemampuan organisasi untuk melaksanakan inisiatif-inisiatif stratejik.

Strategi mengandung unsur yang lebih luas dari sekedar paparan konsep. Dalam strategi terkandung unsur peluang terlaksananya konsep strategi. Menurut Hatten dan Hatten (1988), untuk membuat suatu strategi dapat dilaksanakan dengan sukses ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

(1) Strategi haruslah konsisten dengan lingkungannya;

Strategi yang dibuat seyogyanya mengikuti arus perkembangan dalam masyarakat dan dalam lingkungan yang memberi peluang untuk bergerak maju.

(2) Setiap organisasi tidak hanya membuat satu strategi;

Rancangan strategi disesuaikan dengan ruang lingkup kegiatannya dengan membuat beberapa alternatif strategi. Antar satu stategi dengan yang lainnya haruslah selaras/tidak ada kontradiksi.

(3) Memfokuskan dan menyatukan sumberdaya;

(26)

sumberdaya sehingga menjadi suatu kekuatan yang besar untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

(4) Strategi haruslah layak untuk dilaksanakan;

Strategi yang dibuat merupakan serangkaian tahapan analitis terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, sehingga keluaran yang dihasilkan haruslah layak dilaksanakan.

(5) Strategi hendaknya memperhitungkan resiko yang tidak terlalu besar;

Setiap usaha pasti mengandung suatu resiko, demikian halnya dengan strategi. Namun untuk meminimalisasi resiko tersebut, strategi yang dibuat haruslah selalu dapat dikontrol.

(6) Strategi hendaknya disusun diatas landasan keberhasilan;

Rancangan strategi sebaiknya dibuat berdasarkan pengalaman keberhasilan kegiatan-kegiatan lainnya, atau melakukan modifikasi strategi dari yang telah ada dengan berbagai penyesuaian dalam konsep dasar.

(7) Perlu dukungan dari semua pihak yang terlibat.

Kesuksesan strategi sangat dipengaruhi oleh dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan.

2.2 Sumberdaya Ikan Karang

Ikan karang adalah semua jenis ikan yang hidup dan berasosiasi dengan lingkungan karang, baik untuk memijah, makan maupun untuk berkembang biak. Menurut Djamali dan Mubarak (1998), ada sekitar sepuluh famili utama penyumbang produksi perikanan di Indonesia. Kesepuluh famili tersebut adalah: (1) Caesiodae, (2) Holocentridae, (3) Serranidae, (4) Siganidae, (5) Scaridae, (6) Lethrinidae, (7) Priachanthidae, (8) Labridae, (9) Lutjanidae dan (10) Haemunidae. Dari kesepuluh famili utama ikan karang, yang tergolong ikan karang konsumsi diantaranya Caesionidae (ekor kuning), Labridae (napoleon), Scaridae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Singanidae (baronang) dan Lethrinidae (lencam).

(27)

10

Tabel 1. Potensi sumberdaya ikan karang Indonesia menurut WPP No Wilayah pengelolaan perikanan Potensi

(103 Ton/thn)

Produksi (103 Ton/thn))

1 Selat Malaka 5,00 21,60

2 Laut Cina Selatan 21,57 7,88

3 Laut Jawa 9,50 48,24

4 Selat Makassar dan Laut Flores 34,10 24,11

5 Laut Banda 32,10 6,22

6 Laut Seram dan Teluk Tomini 12,50 4,63

7 Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik 14,50 2,21

8 Laut Arafura 3,10 22,58

9 Samudera Hindia 12,88 19,42

Jumlah 145,25 156,89

Sumber: Dahuri (2002)

Ikan karang umumnya termasuk komoditas yang memiliki nilai ekonomis penting, apalagi jika tersedia dalam bentuk hidup. Permintaan dunia terhadap komoditas ikan karang hidup khususnya kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) pada tahun 2002 saja telah mencapai 35.000 ton. Dari jumlah tersebut, realisasi ekspor ikan hidup Indonesia pada periode Januari-April 2002 mencapai 24.050.819 kg dengan nilai 23.932.157 US$ (DKP, 2003).

2.3 Teknologi Penangkapan Ikan Karang

Teknologi mengandung dua dimensi, yaitu ilmu pengetahuan dan

(science) dan rekayasa (engineering), dimana keduanya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Teknologi dapat berupa teknik, metoda atau cara serta peralatan yang dipergunakan untuk menyelenggarakan pelaksanaan suatu rancangan transformasi input menjadi output, dengan sasaran tertentu yang didasarkan atas hasil science dan engineering tercapai (Sewoyo, 2001).

(28)

2.3.1 Legal Fishing

1) Bubu (Trap)

Perikanan bubu sudah sejak lama dikenal oleh nelayan terutama dipergunakan untuk menangkap ikan karang. Teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu dilakukan di hampir seluruh dunia mulai dari yang skala kecil hingga skala besar. Perkembangan usaha perikanan dengan alat tangkap bubu yang sangat pesat disebabkan banyaknya keistimewaan yang dimiliki oleh alat tangkap ini, antara lain : (1) Pembuatan alat yang mudah dan murah, (2) Pengoperasiannya mudah, (3) Kesegaran hasil tangkapan bagus, dan

(4) Tidak merusak sumberdaya baik dari sisi ekologi maupun teknis (Monintja dan Martasuganda, 1990).

Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan dapat dibuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rotan netting), anyaman kawat (wire netting), plastik dan bahan jaring (Brandt, 1984; Subani dan Barus, 1989).

Bentuk bubu sangat beraneka ragam, ada yang segi empat, trapesium, silider, lonjong, bulat setengah lingkaran, persegi panjang atau bentuk lainnya. Model bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang merupakan target tangkapan maupun kebiasaan atau pengetahuan sang operator. Secara umum konstruksi bubu terdiri dari rangka, badan dan pintu masuk, kemudian ada juga yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan (Martasuganda, 2003).

Menurut Martasuganda (2003), penentuan daerah penangkapan ikan dengan menggunakan bubu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang keberadaan ikan diperairan, sedangkan faktor oseanografi tidak mempengaruhi secara signifikan. Pemasangan bubu di perairan dapat dilakukan dengan sistem tunggal (dipasang satu demi satu) dan sistem beruntai (pemasangan system rawai). Waktu pemasangan (setting) dan pengangkatan (hauling) sangat fleksibel tergantung dari nelayan yang mengoperasikannya. Antara pemasangan alat dengan pengangkatan alat, ada waktu jeda yang umum disebut waktu perendaman (soaking). Lama perendaman bubu (soaking) diperairan bervariasi antara satu malam sampai tujuh hari.

(29)

12

sebagai tempat berlindung, sebagai tempat istrirahat sewaktu ikan bermigrasi dan adanya sifat thigmotaxis ikan itu sendiri. Sifat thigmotaxis adalah sifat ikan yang selalu ingin mengetahui suatu benda asing yang ada disekitarnya, sehingga ikan cenderung untuk menyentuhkan diri pada alat tersebut (Gunarso, 1995).

Berdasarkan hasil penulusuran kepustakaan yang dilakukan, beberapa daerah-daerah yang dominan menggunakan alat tangkap bubu untuk menangkap ikan karang, yaitu Kepulauan Seribu (Marliana, 2004), Tanjung Manimbaya-Donggala (Rumajar, 2001), dan Kepulauan Kei-Maluku Utara (Sarmintohadi, 2002).

2) Pancing (Line)

Pancing merupakan alat penangkap ikan yang paling banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia. Berbagai modifikasi yang disesuaikan dengan lokasi dan tujuan penangkapan dilakukan untuk memperoleh hasil penangkapan yang diharapkan. Dua jenis pancing yang biasanya digunakan nelayan untuk menangkap ikan karang adalah rawai dasar dan handline.

Bagian-bagian utama dari handline terdiri atas roller, tali pancing dan mata pancing. Selain tiga komponen tersebut dalam pengoperasian handline

digunakan bantuan umpan dan pemberat. Konstruksi handline dapat mengalami modifikasi dengan tambahan tali cabang (branch line) dan swivel/kili-kili yang merupakan penghubung antara tali pancing/tali utama dengan tali cabang. Modifikasi konstruksi umumnya dilakukan untuk memperbesar peluang tertangkapnya ikan.

Prinsip pengoperasian pancing ulur (handline) adalah memikat ikan menggunakan umpan yang dikaitkan pada kail. Ikan yang memakan umpan tersebut akan tersangkut pada kail. Secara umum dalam setiap pengoperasian

handline, dilakukan empat tahapan kegiatan. Pertama: Persiapan di atas perahu, meliputi kegiatan persiapan dan pemeriksaan kelayakan operasi pancing ulur. Kedua: Penurunan (setting) alat tangkap di dasar perairan yang didahului pemasangan umpan pada mata pancing. Ketiga: Perendaman (soaking) pancing selama beberapa saat dan Keempat: penarikan pancing (hauling) ke atas perahu.

(30)

Rawai perairan karang adalah tipe rawai yang digunakan pada perairan yang dasarnya terdapat terumbu karang atau bebatuan yang memungkinkan mata pancing mudah tersangkut atau terbelit di karang. Pada rawai perairan karang terdapat modifikasi pada bahan tali cabang (branch line), yaitu tali cabang yang dibungkus dengan bahan kuralon sehingga posisi tali cabang tegak secara vertikal. Modifikasi ini dapat mengurangi peluang tersangkutnya mata pancing pada terumbu (Subani dan Barus, 1989).

Prinsip pengoperasian rawai dasar serupa dengan long line, yaitu memanfaatkan umpan sebagai sarana untuk menarik perhatian ikan yang akan di tangkap. Hanya saja operasi penangkapan ikan dengan longline umumnya dilakukan dengan cara menghanyutkan pancing (drift longline) sedangkan pada rawai dasar, alat tangkap dipasang secara permanen/menetap di perairan.

Salah satu daerah di Indonesia yang diidentifikasi menggunakan alat tangkap rawai dasar dalam penangkapan ikan karang adalah perairan Tamako-Sulawesi Utara (Rawung, 1999).

3) Jaring Insang Dasar (Gillnet)

Jaring insang merupakan suatu jenis alat penangkap ikan yang terbuat dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dimana mata jaring dari bagian utama ukurannya sama, jumlah mata jaring kearah panjang atau kearah horizontal mesh length (ML). Bagian atas jaring dilengkapi dengan beberapa pelampung (float) dan bagian bawah dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinker). Kombinasi antara pelampung dan pemberat menghasilkan gaya yang berlawanan sehingga memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak (Martasuganda, 2003)

(31)

14

2.3.2 Destructive Fishing

Kondisi ekosistem terumbu karang memiliki korelasi positif dengan jumlah dan jenis ikan yang ada pada ekosistem tersebut. Luas terumbu karang di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia mencapai 51.020 kilometer persegi, tetapi kondisi terumbu karang tersebut sangat memprihatinkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh LIPI tahun 1996, kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi rusak sekitar 39,5%, dalam kondisi sedang sekitar 33,5%, kondisi baik 21,7% dan hanya 5,3% dalam kondisi sangat baik.

Penyebab terjadinya kerusakan karang tidak hanya disebabkan dampak dari perubahan alam seperti perubahan iklim, namun juga disebabkan oleh aktifitas manusia dalam praktek-praktek perikanan yang merusak (destruktif fishing) seperti eksploitasi berlebih dan teknik penangkapan perikanan yang tidak ramah lingkungan.

Kegiatan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) telah lama dikenal di dunia. Umumnya perikanan yang destruktif menggunakan peralatan/bahan pembius untuk melumpuhkan ikan. Brant (1984) telah mengelompokkan keseluruhan metode penangkapan ikan ke dalam 16 kelompok besar, salah satu diantaranya adalah penangkapan ikan dengan menggunakan paralatan/bahan pembius (stupefying devices). Prinsip penangkapan ikan dengan cara ini adalah melumpuhkan ikan melalui serangkaian kegiatan pembiusan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan teknik yang digunakan dalam melumpuhkan ikan, yaitu (1) metode melumpuhkan secara mekanis (mechanical stupefying), (2) metode melumpuhkan secara kimiawi (chemical stupefying) dan (3) melumpuhkan dengan listrik (electrical stupefying).

(32)

1) Blast Fishing

Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (blast fishing) telah dikenal lebih dari 50 tahun yang lalu dan termasuk salah satu metode penangkapan ikan tradisional. Teknik penangkapan dengan menggunakan bahan peledak diadopsi dari tentara Jepang pada masa perang dunia ke dua. Metode ini dianggap sebagai cara yang lebih efektif dan efisien untuk menangkap kawanan ikan. Beberapa dasawarsa terakhir, sejalan dengan semakin menurunnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan di hampir seluruh perairan pantai telah mendorong dijadikannya metode ini sebagai alternatif untuk memperoleh tangkapan (Pet-Soede et al., 1999).

Material yang digunakan sebagai bahan pembuat bom pada mulanya berasal dari sisa-sisa amunisi perang dunia yang diperoleh dari bunker-bunker

yang digali. Saat ini, nelayan umumnya menggunakan bahan peledak yang dirakit sendiri dari campuran pupuk sintesis, seperti ammonium nitrat (NH4NO3) atau kalium nitrat (KNO3) dengan minyak tanah dan belerang. Ketiga bahan tersebut dimasukkan ke dalam botol bekas kaleng minuman dan dilengkapi dengan sumbu yang terbuat dari pintalan benang.

Nelayan di Kepulauan Togean biasa menyebut metode penangkapan ikan dengan bahan peledak dengan sebutan “Babom”. Bahan baku utama bahan peledak adalah pupuk tanaman cap Matahari dan Obor yang didapat secara terselubung. Bahan lainnya adalah korek api, bola lampu senter dan botol kaca bekas minuman suplemen. Tiap kelompok nelayan yang biasa babom sanggup membuat 10 hingga 20 botol bom ikan siap pakai dalam sekali melaut. Nelayan yang biasa menggunakan peledak untuk mencari ikan (babom) sangat lihai dalam merakit bom mulai dari yang sederhana (dilempar) maupun menggunakan detonator.

Selain menggunakan pupuk sintesis sebagai bahan dasar pembuatan bom, nelayan kadang-kadang menggunakan dinamit dalam penangkapan ikan. Dinamit ini diperoleh dari oknum polisi, militer, perusahaan-perusahaan pertambangan, atau pekerja-pekerja proyek pembangunan jalan/jembatan sebagai (Pet-Soede et al., 1999).

(33)

16

Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh ledakan di bawah air terhadap kehidupan di perairan telah menjadi subyek penelitian selama lebih dari 50 tahun terakhir ini. Menurut Pet-Soede dan Cesar (1999), laju kehancuran karang hidup akibat ledakan mencapai 3,7 m2 per 100 m2, jauh lebih besar dari kemampuan karang untuk meregenerasi diri. Multiplier effect yang diakibatkan oleh ledakan bahkan bisa lebih besar dari dampak kerusakan pengeboman itu sendiri yang hanya mencapai radius 2,5 m atau setara dengan 19,6 m2 luas area karang yang terpengaruh (Pet-Soede et al., 2000).

Salah satu efek turunan dari blast fishing yang paling serius adalah tidak dapat tumbuhnya koloni karang baru pada area serpihan-serpihan karang yang terbentuk akibat ledakan. Kerangka-kerangka karang dan puing-puing yang tidak stabil menghalangi dan mencegah terjadinya kolonisasi. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya tekanan terhadap area karang yang masih sehat disekitar area ledakan sehingga berpotensi menimbulkan kehancuran ekosistem terumbu karang (Mc. Manus et al., 1997).

Ditinjau dari perspektif asosiasi ekologis, kerusakan terumbu karang yang akibat ledakan tidak dapat difungsikan lagi sebagai tempat berlindung, mencari makan dan memijah bagi organisme-organisme laut. Dari sisi ekonomis, hamparan terumbu karang yang telah hancur akan kehilangan daya tarik dari sudut pandang pariwisata. Keadaan ini akan sangat merugikan mengingat pengembangan sector wisata pantai/karang dapat mendatangkan pendapatan alternative yang cukup besar bagi masyarakat setempat dan merupakan sumber devisa negara (Pet-Soede et al., 1999).

(34)

2) Racun

Penggunaan racun dalam penangkapan ikan telah dikenal sejak tahun 1500-an dengan digunakannya racun tumbuhan untuk menangkap ikan. Berbagai jenis tumbuhan seperti Loncho carpu, Amanirta cocolus, Strychonus nuxvomica, Serrasalmus sp., Derris elliptica, D. uliginosa dan D. laganesis di Indonesia dan Malaysia dikenal dengan sebutan “tuba” telah sejak lama digunakan sebagai racun ikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1700-an bahan kimia sintesis mulai digunakan untuk penangkapan ikan. Bahan kimia pertama yang digunakan untuk menangkap ikan adalah kapur yang dilarutkan dalam air kemudian dituangkan ke dalam perairan. Ikan yang ada di tempat tersebut akan terbius oleh sifat basa dari kapur. Bahan kimia lain yang pernah digunakan sebagai racun ikan antara lain senyawa tembaga-sulfat (copper vitriol), natrium hipoklorit dan sianida, baik yang bersenyawa dengan natrium dan kalium. Unsur yang disebutkan terakhir merupakan material yang paling popular digunakan nelayan dalam penangkapan ikan dan dikenal dengan sebutan potasium.

Penangkapan ikan dengan menggunakan sianida umumnya dilakukan di perairan terumbu karang dengan cara menyemprotkan botol-botol berisi sianida ke dalam gua-gua karang tempat persembunyian ikan tersebut. Dalam operasi penangkapan ikan ini, nelayan menggunakan kompresor sebagai alat bantu dalam melakukan penyelaman. Teknik lain telah dilakukan oleh nelayan Kepulauan Togean dengan cara menebarkan butiran-butiran potas pada lokasi terumbu karang yang diperkirakan gudang persembunyian ikan.

Penggunaan racun sebagai sarana penangkapan ikan mulai marak sejak terjadinya peningkatan permintaan ikan hidup untuk komoditas ikan karang. Prinsip kerja racun yang hanya bersifat temporer dianggap sebagai solusi tepat dalam menyediakan ikan hidup. Padahal ditinjau dari sisi ekologis/lingkungan maupun biologis ikan, penggunaan racun khususnya sianida kemungkinan memberikan dampak negatif.

(35)

18

Namun demikian toksitas racun sianida terhadap karang pada kondisi percobaan ini tidak membuktikan tingkat degradasi yang terjadi pada terumbu karang. Hal ini disebabkan laju kematian (kehilangan) karang akibat paparan sianida mungkin lebih kecil dari laju pertumbuhan alami dari karang itu sendiri, atau mungkin pada kondisi alamiah air di laut, sianida terbawa begitu cepat oleh arus air sehingga menimbulkan paparan terhadap area karang yang lebih luas (Jones and Steven, 1997).

Hasil pendugaan beberapa peneliti mengenai tingkat degradasi penutupan karang di Indonesia aakibat cyanide fishing berkisar antara 0,05-0,06 m2 per 100 m2 per tahun. Estimasi tingkat degradasi karang ini lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan kepulihan alami karang (Mous, 2000). Oleh karena itu, asumsi bahwa cyanide fishing untuk perdagangan ikan hidup bukan ancaman terhadap kelestarian terumbu karang mengkin saja timbul, terutama bila dibandingkan dengan degradasi karang yang diakibatkan oleh blast fishing

yang diduga mencapai kisaran 3,7 m2 per 100 m2 per tahun (Pet-Soede et al.,

1999).

Dipandang dari sisi biologis ikan, penggunaan racun dalam penangkapan dapat mempertinggi tingkat mortalitas ikan akibat resistensi terhadap racun yang rendah serta akibat pemangsaan yang merupakan dampak turunan dari penggunaan racun.

Sianida merupakan salah satu bahan kimia yang paling beracun. Ikan diperkirakan mempunyai kepekatan terhadap sianida seribu kali lebih tinggi dari manusia. Konsentrasi sianida di bawah tingkatan yang mematikan dapat menimbulkan respon psikologis dan patologis berupa berkurangnya kemampuan berenang, gangguan terhadap kemampuan bereproduksi dan dapat mengarah ke munculnya keturunan yang cacat. Selain itu ikan-ikan yang telah terkena sianida juga rentan terhadap serangan pemangsa karena pergerakannya di dalam air menjadi lambat (Eisler, 1991). Toksitas sianida terhadap ikan meningkat 3 kali lipat dengan menurunnya temperature air 12oC. Selain itu, keberadaan ion khlorida dengan konsentrasi sekitar 17,0 ppt dapat menurunkan kemampuan bertahan hidup (survival rate) pada ikan yang terkena sianida (Hynes, 1998).

(36)

organisme-organisme perairan. Pada kasus tersebut limbah menutupi aliran sungai sepanjang 10 km dari sumber pencemaran. Polutan tersebut membunuh semua biota sepanjang aliran sungai. Kondisi perairan baru mulai pulih setelah 6-7 bulan kemudian (Yasuno, 1981).

2.4 Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Perikanan Tangkap

Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future (Masa Depan Bersama) yang disiapkan oleh World Commision on Enviroment and Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) pada tahun 1987 (Mitchell, 1997). Definisi pembangunan berkelanjutan menurut komisi tersebut adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Mitchell, 1997; Maryunani, 1998).

Definisi lain dari pembangunan berkelanjutan yang lebih komperhensif dikemukakan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal pada tahun 1997 sebagai berikut: Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan institusi adalah suatu proses yang harmonis dan menjamin potensi masa kini dan masa akan datang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manuasia

Beranjak dari defenisi yang telah diungkapkan tersirat adanya dimensi ekonomi serta lingkungan sebagai faktor pembatas untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam perspektif perikanan tangkap, Monintja (2000) telah menderivasikan pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kriteria usaha perikanan yang berkelanjutan sebagai berikut:

(1) Menerapkan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan; (2) Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah yang diperbolehkan; (3) Kegiatan usaha menuntungkan;

(4) Investasi rendah;

(5) Penggunaan bahan bakar minyak rendah;

(37)

20

Menurut Monintja (2000), perlu ada pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan usaha perikanan. Pertimbangan dimaksud salah satunya adalah teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, yaitu: (1) Selektivitas alat tangkap yang digunakan tinggi;

(2) Teknologi yang digunakan tidak merusak habitat

(3) Teknologi penangkapan ikan tidak berbahaya terhadap nelayan (operator); (4) Produk yang dihasilkan tidak membahayakan terhadap kesehatan konsumen; (5) Hasil tangkapan sampingan (by catch) dan yang terbuang (discard) minimum

.

2.5 Review Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Manajemen perikanan bertujuan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya secara optimal dengan memperhatikan berbagai aspek yang berpengaruh. Ada berbagai pendapat mengenai manajemen perikanan ditinjau dari berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, teknis maupun sumberdaya.

Pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan kriteria sumberdaya dapat dilakukan dengan cara penetapan musim atau penutupan daerah penangkapan secara atau sementara untuk membatasi ukuran dan umur ketika ditangkap. Penutupan musim haruslah didasarkan atas bukti-bukti ilmiah yang dapat membuktikan kondisi musim yang sedang terjadi. Selanjutnya Panayotou memberikan pendekatan penetapan jumlah kapal, quota untuk membatasi jumlah upaya penangkapan serta jumlah ikan yang ditangkap. Langkah implementasi tersebut dapat ditempuh melalui (1) pengelolaan sumberdaya dengan penetapan pajak; (2) subsidi; (3) pembatasan impor; dan (4) promosi ekspor.

Menurut Anderson (1995) seperti dikutip Satria (2001) paling tidak ada dua kategori sistem pengelolaan penangkapan ikan, yaitu:

(1) Pembatasan input yang terdiri atas jumlah pelaku, jumlah dan jenis kapal, serta jenis alat tangkap,

(2) Pembatasan output, dalam hal pembatasan jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan quota.

(38)

kelemahan masing-masing. Gabungan dari kedua pendekatan tersebut dinamakan co management.

(39)

3 METODOLOGI

3.1 Pemilihan Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 5 bulan, mulai bulan Agustus 2004 sampai Januari 2005, berlokasi di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat (Gambar 2). Sehubungan dengan banyaknya jumlah pulau yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat, maka fokus penelitian dilakukan di salah satu kepulauan di kabupaten tersebut, yaitu Distrik Ayau yang terdiri atas 5 desa yaitu: (1) Meosbekwan, (2) Dorekhar, (3) Yenkawir, (4) Rutum dan (5) Reni. Pemilihan Kepulauan Ayau sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan berikut:

(1) Secara geopolitik dan geostrategik, Kepulauan Ayau memiliki posisi yang sangat penting karena merupakan salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan Negara Palau;

(2) Secara biogeofisik Kepulauan Ayau memiliki potensi yang mendukung; (3) Merupakan daerah baru yang membutuhkan masukan-masukan berbagai

pihak dalam perencanaan pembangunan daerah; dan

(40)
[image:40.596.100.461.147.664.2]

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

(41)

24

3.2 Penggunaan Peralatan

Peralatan-peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis, alat pengukur panjang, kamera dan tape recorder. Untuk keperluan mobilisasi saat pelaksanaan penelitian digunakan kendaraan bermotor dan perahu.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan ditempuh cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan. Cara kerja yang dilakukan menggunakan metode survey dan studi pustaka. Rincian metode pengumpulan data disajikan sebagai berikut:

(1) Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk inventarisasi data sekunder. Pengumpulan data sekunder dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga tingkat departemen teknis. Pengumpulan bahan pustaka juga dilakukan di lembaga-lembaga penelitian. Tinjauan terhadap data sekunder dan informasi dilakukan untuk mengetahui gambaran kualitatif dan kuantitatif terhadap obyek yang diperlukan.

(2) Diskusi/Wawancara

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan tanya jawab kepada responden dengan bantuan daftar pertanyaan dan alat tulis. Diskusi atau wawancara dilakukan terhadap pemangku kepentingan (stake holder) yang berkompeten terhadap penelitian ini seperti pemerintah daerah, dinas kelautan dan perikanan, Bappeda, nelayan, ketua kelompok/kelembagaan dan pengusaha perikanan.

(3) Survey lapangan

(42)

3.4 Jenis Data

Data yang dikumpulkan berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung sesuai dengan tujuan studi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang nelayan masing-masing kampung yang dipilih secara purposive berdasarkan pertimbangan kemudahan akses dan keterwakilan data. Kriteria keterwakilan data yang digunakan antara lain mewakili tiap jenis alat tangkap.

Wawancara juga dilakukan terhadap kepala desa dan 3 orang pedagang pengumpul yang memiliki afiliasi langsung dengan eksportir komoditas ikan karang. Pemilihan kepala desa sebagai obyek wawancara sangat strategis karena peran pendataan hasil pembelian komoditas ikan karang berada dalam otoritas kepala desa. Berikut data-data primer yang dikumpulkan selama penelitian:

Tabel 2. Data primer yang dikumpulkan selama penelitian

No Jenis Data Sumber

1 Gambaran unit penangkapan ikan di Kepulauan Ayau

Wawancara dengan nelayan dan observasi langsung terhadap operasi penangkapan

2

Gambaran kegiatan

perikanan/pengolahan, serta sosial ekonomi masyarakat Kepulauan Ayau

Wawancara dengan nelayan, ketua lembaga masyarakat dan kepala desa

3 Produksi ikan karang jenis napoleon dan kerapu

Wawancara dengan pedagang pengumpul, plasma dan kepala desa

(43)
[image:43.596.116.506.103.394.2]

26

Tabel 3. Data sekunder yang dikumpulkan selama penelitian

No Jenis Data Tahun

Penerbitan Sumber

1 Potret 1 tahun Kabupaten Raja

Ampat 2004

Pemerintah Kabupaten Raja Ampat

2 Kondisi umum Kabupaten Raja

Ampat 2003 BPS Kabupaten Sorong

3 Data dasar aspek sosial terumbu

karang Indonesia 2002 COREMAP LIPI

4

UU Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Raja Ampat

2002 Bagian Hukum, Setda. Kabupaten Raja Ampat

5 Rencana Strategis Dinas Kelautan

& Perikanan 2002

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat

6 Laporan umum hasil penelitian RAP

di Kepulauan Raja Ampat 2001

Conservation International Indonesia

7 Laporan penelitian hukum dan sasi

di Kepulauan Raja Ampat 1996

Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih

8 Laporan Tahunan Dinas Kelautan &

Perikanan 2001-2002

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sorong

3.5 Analisis Data

Untuk mencapai tujuan penelitian berupa rancangan strategi pengelolaan perikanan karang untuk pemanfaatan berkelanjutan, dilakukan langkah-langkah analisis permasalahan melalui data-data ataupun informasi yang telah dikumpulkan. Tahapan analisis yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu (1) evaluasi pengelolaan perikanan karang dan (2) penetapan strategi pengelolaan perikanan berkelanjutan

3.5.1 Evaluasi Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang

(44)
[image:44.596.114.511.159.726.2]

menjadi atribut-atribut yang lebih spesifik. Berikut sajian matriks sustainability checklist yang digunakan berikut parameter-parameter yang digunakan

Tabel 4. Kriteria dan indikator penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau

Kriteria Nilai Baik Buruk Keterangan

Ekologi

• Status

penangkapan 0-2 2 0

(0); tingkat pemanfaatan sangat tinggi (>MSY) (1); Mendekati tingkat eksploitasi maksimum (2); Dibawah tangkapan yang diperbolehkan (<TAC)

• Ukuran ikan

tangkapan 0-2 2 0

(0); Rata-rata ukuran ikan yang tertangkap lebih Kecil dari ukuran ekonomis

(1); Rata-rata ukuran ikan yang tertangkap sama dengan ukuran ekonomis

(2); Rata-rata ukuran ikan yang tertangkap lebih besar dari ukuran ekonomis

• Keragaman ikan

yang tertangkap 0-2 2 0

(2); Tangkapan non target rendah (1-10 %) (1); Tangkapan non target sedang (10-100 %) (0); Tangkapan non target besar (> 100%)

• Ikan yang dibuang/tidak dimanfaatkan

0-2 2 0 (2) Ikan yang dibuang sangat sedikit (0-10%) (1) Ikan yang dibuang relatif banyak (10-40%) (0) Ikan yang dibuang sangat banyak (>40 %)

• Kualitas

lingkungan 0-2 2 0

(2) tidak ada bukti kerusakan lingkungan (1) Ada beberapa bukti kerusakan lingkungan (0) Ada bukti kerusakan yang sangat parah

Teknologi

• Lama trip 0-2 2 0

(2) one day fishing (1) 2-4 hari/trip (0) >5hari/trip

• Fishing base 0-2 2 0 (2) Banyak lokasi pendaratan (1) Lokasi pendaratan terpusat (0)Tidak ada tempat pendaratan khusus

• Penanganan ikan

sebelum dijual 0-2 2 0

(0) Ikan langsung dijual ke pengumpul (1) Ikan dipelihara dalam keramba

(2) Ikan dipelihara ditempat khusus yang diisolasi

• Penanganan di

atas kapal 0-2 2 0

(2) Ikan ditempatkan pada tangki hidup (1) Ikan ditempatkan pada ember/baskom (0) Ikan ditempatkan dalam plastik

• Alat tangkap 0-2 2 0 (0) Dominan alat tangkap aktif (1) Jumlah alat aktif = alat pasif (2) Dominan alat pasif

• Selektivitas alat 0-2 2 0

(0) Tidak Ada upaya meningkatkan selektivitas alat (1) Ada beberapa upaya meningkatkan selektivitas

alat tangkap

(2) Ada banyak upaya upaya meningkatkan selektivitas alat tangkap

• Ukuran kapal

(LOA) 0-2 2 0

(0) >10 m (1) 5-10 m (2) <5 m

Catching power 0-2 2 0

(0) Tidak ada nelayan yang mengubah alat dan kapal untuk meningkatkan tangkapan

Sangat sedikit nelayan yang mengubah alat dan kapal untuk meningkatkan tangkapan

(1) Ada beberapa nelayan yang mengubah alat dan kapal untuk meningkatkan tangkapan

(2) Banyak nelayan yang mengubah alat dan kapal untuk meningkatkan tangkapan

• Efek penggunaan

alat tangkap 0-2 2 0

(0) Perikanan didominasi oleh praktek perikanan yang destruktif

(1) Teknik penangkapan dapat merusak

(45)

28

Tabel 4. (lanjutan)

Kriteria Nilai Baik Buruk Keterangan

Sosial-kemasyarakatan

• Pola pemanfaatan

sumberdaya 0-2 2 0

(0); Pemanfaatan dilakukan oleh keluarga (1); Pemanfaatan dilakukan secara bersama-sama dalam suatu komunitas

(2); Pemanfaatan dilakukan oleh individu atau komunitas untuk kepentingan perusahaan

• Pemahaman

lingkungan 0-2 2 0

(0); Pemahaman terhadap lingkungan dan ekosistem tidak ada

(1); Pemahaman terhadap lingkungan dan ekosistem sangat sedikit

(2); Pemahaman terhadap lingkungan dan ekosistem sangat baik

• Tingkat

pendidikan 0-2 2 0

(0); Persentase masyarakat yang mengenyam pendidikan < rata-rata populasi

(1); Persentase masyarakat yang mengenyam pendidikan = rata-rata populasi

(2); Persentase masyarakat yang mengenyam pendidikan > rata-rata populasi

• Status konflik 0-2 2 0

(2) Tidak ada konflik pemanfaatan sumberdaya (1) Ada sedikit konflik pemanfaatan sumberdaya (0) Konflik pemanfaatan sumberdaya yang terjadi

telah menggangu aktivitas pemanfaatan

• Pendapatan dari kegiatan penangkapan

0-2 0 2

(0) > 80 % (1) 50-80 %

(2) Pendapatan kegiatan penangkapan < 50 % pendapatan total keluarga

• Partisipasi keluarga dalam usaha perikanan

0-2 2 0

(0) Sangat sedikit anggota keluarga yang terlibat (1- 2 orang)

(1) Jumlah anggota keluarga yang terlibat relatif banyak (3-5 orang)

(2) Seluruh anggota keluarga terlibat dalam usaha pemasaran/pengolahan hasil tangkapan

Ekonomi

• Profitabilitas 0-2 2 0 (2) Sangat menguntungkan; B/C ratio > 1 (1) Break even (0) Merugi; B/C ratio < 1

• Rata-rata

pendapatan 0-2 2 0

(0) Pendapatan nelayan sangat rendah dibandingkan rata-rata penduduk

(1) Pendapatan nelayan sama dengan pendapatan rata-rata penduduk

(2) Pendapatan nelayan lebih besar dibandingkan rata-rata penduduk

• Aturan

perdagangan 0-2 2 0

(2) Tidak ada aturan perdagangan komoditas (1) Ada sedikit peraturan perdagangan tentang

komoditas

(0) Perdagangan komoditas sangat ketat

• Sifat aktivitas

penangkapan 0-2 2 0

(2) Insidentil/tiba-tiba (1) Musiman

(0) Seharian (full time)

• Status

kepemilikan/transf er keuntungan

0-2 2 0

(0) Keuntungan kegiatan tidak digunakan untuk kepentingan masyarakat lokal

(1) Sebahagian keuntungan digunakan untuk kepentingan masyarakat lokal dan lainnyal (2) Seluruh keuntungan digunakan untuk

kepentingan lokal

[image:45.596.111.514.94.677.2]
(46)

Tabel 4. (lanjutan)

Kriteria Nilai Baik Buruk Keterangan

Kelembagaan

• Efektivitas

manajemen 0-2 2 0

(0); Peraturan dan regulasi pemerintah tidak diikuti (1); Peraturan dan regulasi pemerintah diikuti tetapi masih belum total

(2); Peraturan dan regulasi pemerintah diikuti secara total

• Kearifan lokal 0-2 2 0

(0); Kearifan lokal tidak dikuti

(1); Kearifan lokal dikuti, namun dengan beberapa pengecualian

(2); Kearifan lokal dikuti secara total

• Pengawasan 0-2 2 0

(0); Tidak ada pengawasan terhadap pelaksanaan aturan yang ditetapkan

(1); Ada pengawasan terhadap pelaksanaan aturan yang ditetapkan, namun frekuensinya jarang (2); Pengawasan dilakukan secara total terhadap pelaksanaan aturan yang ditetapkan

Penetapan indeks keberlanjutan didasarkan pada akumulasi dari keseluruhan nilai pada masing-masing indikator yang sebelumnya telah distandardisasi dengan menggunakan bobot. Secara matematik, rumusan umum dari indeks keberlanjutan dirumuskan sebagai berikut:

+

+

+

=

Eco Tek Sec Ek KL

K

I

I

I

I

I

I

... (1)

karena masing-masing indikator terdiri atas atribut-atribut yang lebih spesifik dan memiliki sistem nilai serta pembobotan yang berbeda-beda, maka rumusan indeks keberlanjutan menjadi:

= = = = = = = = = = × × + × + × + × = n i n i i i n i n i i i n i n i i i n i n i i i n i n i i i k WKl WKl VKl WEk WEk VEk WSec WSec VSec WTec WTec VTec WECO WECo VECo I 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 ... (2)

atau

∑∑∑

∑∑∑

×

=

i i i k

W

W

V

I

... (3)

Keterangan:

Ik : Indeks keberlanjutan

IEco : Indeks ekologi

ITek : Indeks teknologi

ISec : Indeks sosial-kemasyarakatan

IEk : Indeks ekonomi

IKL : Indeks kelembagaan

Vi : Nilai indeks ke-i

[image:46.596.113.511.100.287.2]
(47)

30

Mekanisme pembobotan didasarkan tingkat kepentingan atribut dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang. Skala penilaian berkisar antara 1 sampai 5. Berikut skala pembobotan atribut:

Nilai 5: Sangat penting Nilai 4: Penting

Nilai 3: Cukup penting Nilai 2: Kurang penting Nilai 1: Tidak penting

Interpretasi nilai indeks dilakukan dengan menganalisa hasil perhitungan yang diperoleh. Nilai indeks keberlanjutan yang semakin mendekati 2 berarti kegiatan pemanfaatan sumberdaya semakin dekat pada kondisi ideal, yaitu pemanfaatan yang berkelanjutan. Berikut disajikan skala penilaian indeks keberlanjutan:

0,0-0,5 : Status keberlanjutan sangat buruk 0,5-1,0 : Status keberlanjutan kurang baik 1,0-1,5 : Status keberlanjutan baik

1,5-2,0 : Status keberlanjutan sangat baik

Penilaian status penangkapan dilakukan dengan pendekatan potensi ikan yang dikembangkan oleh Schaefer. Langkah awal perhitungan adalah standardisasi masing-masing alat penangkap ikan karang. Standardisasi dilakukan dengan cara menentukan CPUE terbesar dari masing-masing alat tangkap. Alat tangkap yang memiliki CPUE terbesar atau memiliki fishing power index (FPI) sama dengan 1 dijadikan sebagai alat tangkap standard. Nilai FPI

diketahui dengan cara membagi tangkapan CPUE alat tertentu dengan CPUE

alat tangkap standard. Untuk mengetahui upaya standard (standard effort), dilakukan perkalian antara upaya penangkapan dengan nilai FPI. Rumus yang digunakan untuk standardisasi adalah sebagai berikut:

dard s dard s s

f

C

CPUE

tan tan

=

; s s s

CPUE

CPUE

FPI

=

i i i

f

C

CPUE

=

;

s i i

CPUE

CPUE

FPI

=

(

)

= − × = n i i dard

s FPI jumlahalatke i

f

1

(48)

Keterangan:

Cstandard : Hasil tangkapan (catch) alat tangkap standard;

fstandard : Upaya penangkapan (effort) alat tangkap standard;

Ci : Hasil tangkapan tahun ke-i jenis alat tangkap lain;

fi : Upaya tangkap tahun ke-i jenis alat tangkap lain;

CPUEs : Hasil tangkapan per upaya tangkap alat tangkap standard;

CPUEi : Hasil tangkapan per upaya tangkap tahun ke-i jenis alat tangkap lain;

FPIs : Fishing power index alat tangkap standard;

FPIi : Fishing power index alat tangkap lain.

Pendugaan potensi sumberdaya ikan dilakukan dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi. Data yang digunakan berupa data hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort).

Hubungan hasil tangkapan (catch) dengan upaya tangkap (effort) adalah sebagai berikut:

2

bf

af

C

=

...(5)

Perhitungan upaya penangkapan optimum, dilakukan dengan menurunkan persamaan (2) terhadap upaya penangkapan (effort)

bf a df dC

2

− =

0=a−2bf

b a fopt

2

= ...(6)

Perhitungan nilai MSY ditempuh dengan memasukkan persamaan (6) ke persamaan (5), sehingga diperoleh nilai :

b

a

MSY

4

2

=

...(7)

Total Allowable Catch (TAC) besarnya 0,8 dari MSY sehingga secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

MSY TAC =0,8×

3.5.2 Strategi Pengelolaan Perikanan karang

(49)

32

Kekuatan Bobot Peluang Bobot Kelemahan Bobot Ancaman Bobot

S1 S2 S3 S4 S5 . . Sn O1 O2 O3 O4 O5 . . On W1 W2 W3 W4 W5 . . Wn T1 T2 T3 T4 T5 . . Tn

Peluang Ancaman

Kekuatan SO1

Gambar

Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Tabel 3.  Data sekunder yang dikumpulkan selama penelitian
Tabel 4. Kriteria dan indikator penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan
Tabel 4. (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rekening buku besar yang sudah diisi selama periode akuntansi, tapi akhir periode harus ditutup dan kemudian dibukukan kembali pada awal periode berikutnya.Menutup buku

terselesaikannya skripsi ini, termasuk kepada JP, NW, dan NV yang bersedia menjadi subyek penelitian. Bapak, Ibu, kakak dan keluarga besarku di Purwokerto yang selalu memberikan

Tanaman hidroponik bisa dilakukan secara kecil-kecilan di rumah sebagai suatu hobi ataupun secara besar-besaran dengan tujuan.. 2) Air akan terus bersirkulasi di

Mata kuliah ini diperuntukkan bagi mahasiswa Jurusan Syari’ah sebagai calon sarjana yang mahir dalam hukum Islam. Mata kuliah ini akan membantu mahasiswa

Selanjutnya penetapan iniakan diusulkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen untuk diterbitkan Surat Perintah Kerja ( SPK ) agar dapat segera memulai proses pengadaan

Hasil analisis variansi dua jalan pada taraf 5% menunjukkan: (1) pembelajaran matematika pada materi bangun ruang sisi datar menggunakan metode SQ3R menghasilkan prestasi sama

Apabila ada mahasiswa yang belum selesai bimbingan proposal, mahasiswa dipanggil Kaprodi, dicari permasalahan dan diberi solusinya 4.. Setiap bimbingan harus membawa

Langkah diversifikasi  meningkatkan penganekaragaman penggunaan energi alternatif (batubara, gas, dan energi terbarukan)2. Langkah konservasi  meningkatkan efisiensi