• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODE PENELITIAN

5.2 Deteksi Avian Influenza

Virus influenza A memiliki keragaman genetik yang tinggi dan tersebar pada berbagai spesies unggas liar di seluruh dunia. Pada studi yang dilakukan di Pasar Burung Pramuka, Jakarta, AI terdeteksi pada empat spesies burung. Pada sampel lapangan, sampel positif ditemukan pada empat spesies burung, yaitu tiga ekor burung Kacer (Copsychus saularis, famili Turdidae), dua ekor burung Kacamata (Zosterops palpebrosus, famili Zostropidae), satu ekor burung Trucuk (Pycnonotus goiavier, famili Pycnotidae), dan satu ekor burung Robin (Leiothrix lutea, famili Sylviidae). Pada unggas yang dibeli, sampel positif AI ditemukan pada dua ekor burung Kacamata (Zosterops palpebrosus, famili Zostropidae). Keempat spesies burung yang positif AI termasuk dalam ordo yang sama yaitu

Passeriformes (ITIS 2012).

Deteksi VAI pada sampel yang diuji dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan publikasi sebelumnya mengenai deteksi VAI pada unggas liar. Berdasarkan uji rRT-PCR, dari sampel lapangan terdeteksi 1.08% feses unggas yang positif VAI, sedangkan dari sampel unggas yang dibeli 1.12% unggas positif VAI. Pada studi deteksi VAI pada unggas liar di Spanyol Tengah-Selatan, secara keseluruhan prevalensi virus AIV adalah 2,6% (Perez-Ramirez et al. 2010). Studi AI pada unggas liar oleh Stallknecht dan Shane (1988) menunjukkan bahwa tingkat isolasi VAI adalah sebesar 2.317 (10.9%) dari 21.318 sampel unggas berbagai spesies. Namun dalam penelitian tersebut sebagian besar sampel yakni 67% dikoleksi dari Ordo Anseriformes dengan tingkat isolasi 15.2% . Sedangkan pada penelitian di Pasar Pramuka, lebih dari 50% sampel dikoleksi dari unggas hias atau kicauan. Tingkat isolasi AI pada unggas liar bukan unggas air (ordo Anseriformes) memang lebih sedikit, yakni dari Ordo Passeriformes

(2.95%) dan Charadriiformes (2.2%) (Stallknecht dan Shane 1988).

Pada unggas yang dibeli, VAI hanya terdeteksi pada sampel usap orofaringeal sedangkan sampel usap kloakal dan uji HI (H5) menunjukkan hasil yang negatif. Ketidaksesuaian antara hasil sampel orofaringeal dan kloakal dapat terjadi (Whitworth et al. 2007, Aminah 2012), sehingga pengambilan sampel untuk survailans AI pada unggas liar sebaiknya dari kloakal maupun orofaringeal. Pada studi di Pramuka, diduga bahwa pengambilan sampel dilakukan pada tahap awal infeksi dimana tubuh belum membentuk antibodi terhadap AI. Studi oleh Doherty et al. 2006 menunjukkan bahwa pada mencit yang diinfeksikan H3N2, antibodi baru mulai terbentuk 4-5 hari setelah infeksi walaupun titer virus telah tinggi. Selain itu, karena masih dalam tahap awal infeksi, virus masih menginfeksi saluran respirasi saja dan belum menginfeksi saluran pencernaan.

Terdapat keterkaitan hasil positif antara sampel lapangan, sampel unggas yang dibeli, dan hasil serologis. Dari unggas yang dibeli, sampel positif AI terdeteksi pada burung Kacamata (Zosterops palpebrosus, famili Zostropidae) yang dikoleksi pada bulan Agustus 2011 dari pedagang 0827. Pada pedagang dan waktu pengambilan sampel yang sama terdeteksi tiga sampel lingkungan (feses) yang positif AI dan satu ekor burung Kutilang yang memiliki antibodi (titer 25)

terhadap AI. Hal tersebut menunjukkan bahwa VAI telah bersirkulasi pada unggas yang dijual oleh pedagang 0827 karena penerapan praktek biosekuriti yang buruk.

Biosekuriti terbagi menjadi tiga aspek yaitu aspek sanitasi, aspek isolasi dan aspek pengendalian lalu-lintas. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, secara umum biosekuriti di Pasar Burung Pramuka adalah buruk. Menurut studi pada pedagang unggas di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Wicaksono (2012), sebanyak 53.3% pedagang unggas termasuk dalam kategori biosekuriti yang buruk dan sebanyak 46.7% pedagang masuk ke dalam kategori tingkat biosekuriti yang baik. Menurut studi tersebut, aspek sanitasi yang paling diabaikan pedagang yaitu praktik mencuci kandang dengan air dan sabun dan praktik pengendalian lalat atau serangga di sekitar kandang burung. Sebanyak 70% pedagang tidak mencuci kandang menggunakan sabun/detergen (Wicaksono 2012). Padahal, kegiatan seperti pembersihan dan desinfeksi kandang setiap hari berperan besar dalam menurunkan risiko keberadaan virus AI (Martin et al. 2010).

Aspek isolasi yang paling diabaikan oleh pedagang yaitu tidak adanya praktik pemisahan burung yang baru datang/masuk dan tidak adanya praktik pemisahan burung yang sakit. Aspek pengendalian lalu lintas yang paling diabaikan pedagang yaitu praktik kontrol lalu lintas tikus ke dalam kandang dan area penjualan burung (Wicaksono 2012). Seluruh praktik biosekuriti yang buruk tersebut dapat meningkatkan risiko penyebaran AI di dalam pasar burung. Selain itu, sebanyak 83% pedagang unggas belum pernah mendapatkan pelatihan terkait menajemen pemeliharaan dan kesehatan unggas (Wicaksono 2012). Pedagang yang belum pernah mendapatkan pelatihan hanya mengandalkan pengalaman memelihara burung dari keluarga secara turun temurun atau sesama pedagang unggas.

Pada pemeriksaan rRT-PCR terhadap H5, tidak diperoleh sampel lapangan maupun unggas dibeli yang positif. Menurut Alexander (2007), virus AI subtipe H5 memang jarang terisolasi pada unggas liar, namun tingkat isolasi virus LPAI pada unggas liar cukup tinggi, yakni 11% untuk bebek dan angsa dan sekitar 2% untuk spesies lainnya. Pada penelitian ini, jumlah unggas air (bebek, angsa, entok) yang dikoleksi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan burung hias atau kicauan. Hal tersebut diduga menyebabkan tidak adanya virus AI yang terdeteksi dari unggas air. Hasil penelitian ini mendukung hasil survailans UPT balai Kesehatan Hewan dan Ikan (BKHI), Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta tahun 2011 mengenai AI di Pasar dan Pedagang Burung DKI Jakarta. Menurut BKHI (2011), tidak ada unggas yang positif H5 (0%) berdasarkan uji PCR.

Walaupun berdasarkan uji rRT-PCR tidak ada sampel yang positif H5, namun tetap terdapat kemungkinan adanya unggas di Pasar Burung Pramuka Jakarta yang terinfeksi atau pernah terinfeksi virus AI H5. Dugaan kegagalan deteksi AI subtipe H5 rRT-PCR dalam penelitian ini muncul dengan melihat hasil uji HI yang menunjukkan bahwa 4.29% unggas yang dibeli positif AI H5. Beberapa kemungkinan tidak terdeteksinya H5 pada sampel yang diperiksa yaitu adanya faktor inhibitor (Suarez et al. 2007), jumlah materi genetik virus pada sampel yang tidak mencapai limit deteksi rRT-PCR (Spackman et al. 2002), dan keragaman sekuens gen HA pada isolat dari unggas liar (Suarez et al. 2007, Xing

et al. 2008).

Lebih dari 75% sampel lapangan merupakan sampel feses. Pada sampel feses terdapat berbagai faktor inhibitor yang dapat menurunan sensitivitas deteksi.

31

Apabila jumlah materi genetik VAI dalam sampel dibawah limit deteksi maka akan diperoleh negatif palsu. Adapun limit deteksi rRT-PCR untuk gen matriks adalah 10 fg atau sekitar 1.000 kopi RNA target dan dapat mendeteksi 0.1 50%

Egg infective dose (EID50) (Spackman et al. 2002). Sedangkan limit deteksi rRT-PCR untuk H5 dan H7 adalah 100 fg atau sekitar 1.000-10.000 kopi gen dan dapat mendeteksi 10 EID50 (Spackman et al. 2002) atau dapat juga 5x10-2 EID50 (Chen

et al. 2007).

Gen HA pada VAI memiliki variabilitas yang tinggi sehingga pasangan primer dan probe yang tepat menjadi pertimbangan penting untuk meningkatkan sensitivitas. Dalam penelitian ini digunakan pasangan primer dan probe yang terbukti dapat mendeteksi VAI pada unggas air di Indonesia (Aminah 2012), namun sensitivitasnya pada sampel dari berbagai spesies unggas liar masih perlu diteliti lebih lanjut. Perbedaan hasil deteksi antar spesies unggas pernah dilaporkan Das et al. (2007) di dalam Xing et al. (2008), dimana sensitifitas rRT-PCR untuk sampel dari unggas liar lebih rendah dibandingkan sampel dari unggas domestik. Penggunaan primer dan probe yang tepat untuk isolat dari Indonesia terutama perlu diperhatikan karena adanya infeksi HPAI dari clade yang baru pada bebek di Indonesia pada tahun 2012. Clade baru di Indonesia tersebut adalah

clade 2.3 yang sangat berbeda dengan clade virus yang sebelumnya beredar di Indonesia, yakni clade 2.1.3 (Wibawa et al. 2012). Kemungkinan adanya clade

baru sehingga mempengaruhi hasil uji dalam penelitian ini tidak dapat dikesampingkan, mengingat asal geografis unggas yang diperdagangkan di Pasar Burung Pramuka sangatlah beragam, yaitu dari dalam maupun luar negeri.

Selain memiliki variabilitas yang tinggi, virus RNA seperti VAI memiliki tingkat mutasi yang tinggi. Tingkat mutasi gen Matriks adalah 1.64x10-4 substitusi/situs/tahun untuk VAI dari garis keturunan Amerika Utara dan 5.76x10-4 substitusi/situs/tahun untuk VAI dari garis keturunan Asia (Furuse et al. 2009). Di lain pihak, kecepatan substitusi nonsinonim gen HA 1 VAI lebih tinggi dibandingkan gen matriks, yakni 5,7 x 10-3/situs/tahun (Bush et al. 1999). Variabilitas HA dan tingkat mutasi HA yang tinggi menjadi alasan diperlukannya uji tapis dengan target deteksi gen Matriks yang bersifat lebih lestari (conserved), sedangkan pengujian subtipe HA berperan sebagai informasi tambahan dan konfirmasi sampel positif.

Mengingat mutasi gen HA yang cepat, maka diduga bahwa VAI yang menginfeksi unggas di Pasar Burung Pramuka telah mengalami evolusi sehingga tidak terdeteksi oleh primer dan probe yang digunakan untuk mendeteksi H5. Kegagalan rRT-PCR dalam mendeteksi virus AI H7 pada unggas liar pernah dilaporkan oleh Xing et al. (2008). Pada penelitian tersebut sampel berasal dari unggas liar di California dan deteksi dilakukan menggunaka rRT-PCR sesuai dengan protokol deteksi dini AI yang telah digunakan secara nasional di Ameika Serikat. Dengan menggunakan rRT-PCR, semua sampel dinyatakan negatif terhadap AI H7, namun berdasarkan hasil sekuensing ternyata terdapat tiga sampel yang positif AI H7 (Xing et al. 2008). Penyebab kegagalan deteksi rRT-PCR sehingga menyebabkan negatif palsu disebabkan isolat dari unggas liar memiliki perbedaan sekuens nukleotida gen HA di regio primer forward, reverse dan probe (Xing et al. 2008).

Dengan mempertimbangkan adanya faktor inhibitor, mutasi gen HA, dan kemungkinan keragaman sekuens gen HA pada berbagai spesies unggas liar,

maka kegagalan deteksi rRT-PCR terhadap H5 diduga dapat terjadi dalam penelitian di Pasar Burung Pramuka. Oleh karena itu disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan peneguhan diagnosa menggunakan isolasi virus pada TAB dan sekuensing.

Virus yang terdeteksi pada unggas liar umumnya bersifat LPAI (Boyce et al. 2009), namun kecurigaan terhadap kemungkinan infeksi HPAI pada unggas di Pasar Burung Pramuka tidak dapat dikesampingkan mengingat keterbatas deteksi H5 dengan rRT-PCR. Virus LPAI tetap beresiko bagi unggas, manusia dan lingkungan karena LPAI dapat bermutasi menjadi HPAI (Capua et al. 2002). Mutasi virus HPAI dapat terjadi akibat substitusi atau insersi nukleotida (Alexander 2007), kegagalan transkripsi oleh komplek enzim polymerase sehingga terjadi duplikasi spontan triplet purin yang menghasilkan insersi asam amino pada HA0 cleavage site (Perdue et al. 1997). Contoh kasus mutasi LPAI menjadi HPAI terjadi pada tahun 1999-2000 di Italia. Pada wabah LPAI dan HPAI H7N1 di Italia, sebanyak 199 wabah LPAI mengalami mutasi sehingga menyebabkan 415 wabah HPAI dan kematian 14 juta unggas (Capua et al. 2000, Capua et al. 2002).

Wabah HPAI H5N1 pada peternakan unggas air (itik dan entok) sejak bulan September 2012 di Indonesia menunjukkan bahwa perubahan VAI yang bersirkulasi di Indonesia terus terjadi. Sejak September 2012 hingga awal Januari 2013, tercatat terdapat 11 propinsi di Indonesia yang telah mengalami wabah HPAI H5N1 pada unggas air (Kompas 2013), padahal sebelumnya prevalensi AI pada unggas air adalah rendah dan umunya bersifat subklinis. Kematian itik pada berbagai provinsi di Indonesia akhir tahun 2012 disebabkan oleh HPAI H5N1 clade 2.3.2. Clade 2.3.2 ini berbeda dengan clade yang sebelumnya beredar di Indonesia, yaitu clade 2.1.3 (Wibawa et al. 2012). Penyebab munculnya clade baru di Indonesia masih belum diketahui secara pasti. Diduga hal tersebut terjadi akibat mutasi genetic drift atau genetic shift dari virus sebelumnya atau introduksi virus baru dari luar negeri.

Lesi yang ditemukan pada itik akibat clade 2.3 lebih parah dibandingkan infeksi akibat clade 2.1, dengan gejala klinis AI yang ditandai dengan gangguan sistem saraf (tortikolis, kesulitan berdiri dan tremor), kornea mata yang memutih, penurunan produksi telur, dan kematian (Wibawa et al. 2012). Namun, patogenesis virus baru ini belum diketahui secara jelas pada unggas liar maupun unggas domestik sehingga kewaspadaan perlu ditingkatkan.

Berbagai kasus LPAI yang akhirnya berubah menjadi HPAI menunjukkan bahwa unggas liar yang terinfeksi LPAI memiliki peranan yang penting dalam penyebaran virus. Virus LPAI dapat bereplikasi di saluran pencernaan unggas, sehingga ekskresi virus bersama feses dapat ditransmisikan ke unggas atau mamalia lain melalui feses atau secara oral (Sturm-Ramirez et al. 2004). Feses dalam kandang maupun di sekitar pemeliharaan unggas yang tidak dibersihkan dapat menjadi risiko penularan AI. Berbeda dengan infeksi virus HPAI yang menimbulkan kematian cepat sehingga pelepasan virus yang terjadi hanya sedikit (Alexander 2007), pada infeksi virus LPAI unggas tidak langsung mati sehingga virus dapat bereplikasi dengan baik dan semakin menyebar di lingkungan. Apabila virus LPAI bermutasi menjadi HPAI maka hal tersebut dapat menimbulkan wabah dan kerugian yang serius.

33

Pengendalian penyebaran dan pemberantasan virus AI yang sudah menjadi program pemerintah selama ini sebaiknya harus secara nyata diterapkan di lapangan, termasuk di pasar burung. Pada tahun 2004, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian mengeluarkan kebijakan strategi No. 17/Kpts/ PD.640/F/02/04 yang meliputi 1) penerapan biosekuriti yang tepat, 2) depopulasi selektif di daerah tertular, 3) vaksinasi, 4) pengendalian lalu lintas unggas, 5) surveilans dan penelusuran, 6) peningkatan kesadaran masyarakat, 7) pengisian kandang kembali, 8) stamping out di daerah tertular baru, 9) monitoring, pelaporan dan evaluasi. Pada tahun 2012, strategi utama pengendalian AI yang ditetapkan pemerintah melalui Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dititik beratkan pada 1) peraturan perundangan, 2)

public awareness, 3) biosekuriti di peternakan dan rantai pemasaran unggas, 4) depopulasi terbatas di daerah endemis dan stamping out di daerah bebas, 5) surveilans yang meliputi partisipasi, prevalensi, pembebasan dan monitoring dinamika virus, 6) pengawasan lalu lintas, 7) vaksinasi tertarget di daerah kasus tinggi, 8) restrukturisasi perunggasan (BBalitvet 2012).

5.3 Uji Hemaglutinasi Inhibisi

Prevalensi AI (H5) berdasarkan uji HI pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil studi oleh BKHI pada lokasi yang sama. Dalam penelitian ini, sebanyak 4.29% unggas dinyatakan memiliki antibodi terhadap AI (H5). Pada penelitian oleh BKHI di Pasar Burung Pramuka tahun 2011, tidak ditemukan unggas yang memiliki antibodi terhadap AI (H5), sedangkan di tingkat pasar dan pedagang burung di DKI Jakarta secara keseluruhan, terdapat 2% burung yang positif AI (titer antibodi ≥ 24

) dan hewannya tidak divaksin (BKHI 2011).

Berdasarkan data HI yang terbatas dalam penelitian ini, diduga bahwa unggas yang diperiksa kemungkinan terinfeksi virus AI yang lebih mendekati isolat yang digunakan untuk membuat A/Ck/West Java/PWT-Wij/2006 (H5N1) dibandingkan A/Legok/IPB-SGT/1/2004 (H5N1). Isolat untuk membuat antigen A/Legok/IPB-SGT/1/2004 (H5N1) merupakan hasil modifikasi virus yang menyebabakan outbreak di Legok pada tahun 2003. Sedangkan isolat untuk membuat antigenA/Ck/West Java/PWT-Wij/2006 (H5N1) berasal dari Purwakarta dan diketahui telah mengalami mutasi pada cleavage site gen HA (komunikasi pribadi).

Virus AI H5N1 yang menyebabkan outbreak pertama pada tahun 2003 mempunyai motif asam amino PQRERRRKKR//G pada cleavage site gen HA. Pada tahun 2005 dan 2006, virus AI (khususnya dari daerah Jawa Barat) diketahui telah mengalami mutasi pada cleavage site gen HA, yakni sekuen asam aminonya telah berubah menjadi PQRESRRKKR//G, dimana posisi R/arginin digantikan oleh S/serin (Indriani et al. 2011). Perubahan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi antigenic drift pada isolat virus AI yang ada di Indonesia, termasuk virus AI A/Ck/West Java/PWT-Wij/2006 (H5N1) yaitu pada epitope A (posisi asam amino 124, 131, dan 137) (Dharmayanti dan Darminto et al. 2009 di dalam Indriani et al. 2011). Berdasarkan clade prediction pada Gen Bank, virus AI A/ Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 (H5N1) termasuk dalam clade 2.1.3 (www. fluegenome.or) (Indriani et al. 2011).

Ketujuh unggas yang positif memiliki antibodi terhadap AI ternyata menunjukkan hasil yang negatif pada uji rRT-PCR (Tabel 9). Diduga, unggas-unggas ini pernah terinfeksi virus AI namun pada saat pemeriksaan shedding virus telah berhenti. Penelitian oleh Kida et al. (1980) menunjukkan bahwa itik peking putih yang diinfeksi virus LPAI H7N2 memberikan hasil titer antibodi HI yang sangat rendah, namun virus tetap dikeluarkkan hingga 7 hari sesudah infeksi. Inokulasi ulang setelah 46 hari dengan strain virus yang sama memberi respon antibodi yang lebih tinggi namun virus tidak ditemukan pada organ. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada mencit H1N1-primed yang diinfeksikan H3N2,

shedding virus berakhir 13 hari setelah infeksi, namun titer antibodi tetap tinggi (Doherty et al. 2006).

5.4 Asal Unggas dan Cuaca

Sumber unggas di Pasar Pramuka diperoleh dari alam, peternakan, dan negara lain. Berdasarkan lokasi geografisnya, burung yang positif AI berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan satu dari negara Cina. Dari 16 sampel yang positif, sebanyak 11 sampel berasal dari Pulau Jawa. Sejak bulan April tahun 2012, penyakit AI telah menjadi endemis di 32 propinsi di Indonesia dan hanya 1 propinsi yang dinyatakan bebas AI yaitu propinsi Maluku Utara.

Berdasarkan wawancara dengan pedagang, burung Emprit, Kutilang, Kacamata, Trucuk, Kacer, Kruwok, dan Angsa berasal dari tangkapan alam sedangkan burung Robin diperoleh dari peternakan dan diimpor dari Cina. Baik unggas hasil tangkapan maupun penangkaran beresiko menyebarkan AI karena infeksi primer biasanya terkait dengan kontak dengan unggas yang terlepas ke alam (feral birds), sedangkan penyebaran selanjutnya melibatkan aktivitas manusia, misalnya transportasi dan perpindahan unggas maupun feses unggas serta aktivitas unggas liar (Alexander 2007). Karena studi ini dilakukan secara

cross-sectional, maka tidak dapat ditentukan secara pasti kapan unggas terinfeksi VAI. Unggas dapat terinfeksi saat berada di daerah asal, dalam proses transportasi ataupun saat berada di pasar.

Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menunjukkan bahwa rataan temperatur dan kelembapan bulanan di Pasar Burung Pramuka selama bulan April sampai dengan September 2011 relatif sama. Namun terdapat perbedaan curah hujan yang signifikan antara bulan-bulan tersebut. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei, yakni 157.1 mm, diikuti bulan Juni sebesar 77.7 mm. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan September, yakni hanya 2.8 mm (Gambar 6).

Apabila dikaitkan antara kasus AI dan kondisi cuaca, maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa AI dapat terjadi sepanjang tahun tanpa pengaruh nyata oleh kondisi cuaca. Di Pasar Pramuka pada tahun 2011 terjadi peningkatan kasus pada bulan Agustus yang merupakan musim pancaroba. Walaupun curah hujan pada bulan Mei dan Juni relatif tinggi dibandingkan dengan bulan lainnya, namun hanya 2 sampel positif AI yang terdeteksi pada bulan Mei dan tidak ada sampel positif AI yang terdeteksi pada bulan Juni.

35

Hasil penelitian ini memperkuat kesimpulan Jatikusumah et al. (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh nyata antara kejadian AI dengan musim walaupun terjadi peningkatan kasus AI di musim penghujan dan pancaroba. Selain itu, berdasarkan studi AI pada unggas di Provinsi Lampung tahun 2010-2011 oleh Saswiyanti (2012), diketahui bahwa tidak ada perbedaan intensitas kasus AI pada unggas sepanjang tahun kejadian.

37

Dokumen terkait