• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagnosa Laboratorium untuk Avian Influenza

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Diagnosa Laboratorium untuk Avian Influenza

Diagnosa laboratorium untuk Avian Influenza dapat dilakukan dengan mendeteksi antibodi atau mendeteksi virus. Diagnosa serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap AI dapat dilakukan menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI), Agar Gel Immunodiffusion Test (AGID) atau Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode untuk mendiagnosa virus dapat dilakukan melalui isolasi virus, rapid antigen detection, Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction

(RT-PCR) konvensional, realtime RT-PCR (rRT-PCR), dan Nucleic acid sequence based amplification (NASBA) (Suarez 2003). Beberapa metode lain yang sedang berkembang yaitu Microarray (Gall et al. 2009) dan Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP). Dalam penelitian ini, metode uji serologis yang akan digunakan adalah HI, sedangkan deteksi virus akan menggunakan rRT-PCR.

2.5.1 Uji Hemaglutinasi Inhibisi

Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) merupakan metode yang direkomendasikan untuk uji spesifik terhadap suatu subtipe virus AI (FAO 2007). Uji ini dapat digunakan untuk pemantauan respon terhadap vaksinasi dan untuk memantau sirkulasi virus pada unggas yang bertahan terhadap infeksi, misalnya LPAI dan HPAI pada bebek (FAO 2007).

Virus influenza memiliki protein amplop yang disebut hemaglutinin (HA). Hemaglutinin dapat berikatan dengan reseptor sialik pada sel, termasuk pada sel darah merah (red blood cell, RBC). Apabila HA berikatan pada RBC maka akan terjadi hemaglutinasi yang ditandai dengan terbentuknya butir-butir menyerupai pasir. Apabila RBC tidak berikatan dengan virus influenza, maka RBC akan mengendap pada dasar well (Capua dan Alexander 2009). Uji ini dilakukan dengan pengenceran bertingkat dan berlangsung selama kira-kira 40 menit sehingga merupakan indikator cepat untuk mengetahui kuantitas relatif partikel virus.

Uji HI dilakukan dengan mencampurkan virus yang mampu mengaglutinasi RBC, misalnya virus AI, dengan serum yang mengandung antibodi terhadap virus tertentu. Apabila tidak terjadi aglutinasi pada penambahan RBC, hal tersebut disebabkan oleh antibodi serum yang telah menetralisasi virus sehingga virus tersebut tidak dapat menempel pada reseptor dipermukaan sel darah. Hal tersebut menujukkan bahwa virus yang diuji homolog dengan antibodi serum tertentu tersebut (Capua dan Alexander 2009). Pada sampel serum non

ayam terkandung HA nonspesifik sehingga sebelum dilakukan uji HI perlu diberi perlakuan dengan RBC ayam terlebih dulu. Selain itu, perlu dilakukan inaktifasi terhadap serum melalui pemanasan dalam penangas air pada suhu 56oC selama 30 menit (Capua dan Alexander 2009).

2.5.2 Real time Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (rRT-PCR)

Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu secara in vitro (Yuwono 2006). Metode PCR memungkinkan terjadinya pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5x10-19 mol) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit (Yuwono 2006). Kelebihan reaksi ini yaitu dapat dilakukan menggunakan komponen yang sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg dan oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM (Yuwono 2006). Virus AI merupakan virus RNA (Boyce et al. 2009), maka perlu dilakukan transkripsi balik (reverse transcription, RT) terhadap molekul RNA sehingga diperoleh

complementary DNA (cDNA) yang digunakan sebagai cetakan (template) dalam proses PCR (Yuwono 2006).

Teknik real time RT-PCR (rRT-PCR) merupakan hasil pengembangan RT-PCR konvensional yang memungkinkan dilakukan pemonitoran amplifikasi DNA pada saat proses amplifikasi berlangsung (real time). Dibandingkan PCR konvensional, rRT-PCR lebih menguntungkan dari segi sensitivitas dan spesifisitas, bersifat kuantitatif, lebih cepat, dan lebih ramah lingkungan. Walaupun biaya investasi peralatan lebih mahal, namun biaya operasional dan pengamanan lingkungan memerlukan biaya yang lebih sedikit (Aminah 2012).

Real time PCR disebut juga PCR kinetik dan bersifat kuantitatif. Secara teori, terdapat hubungan kuantitatif antara jumlah DNA awal (sekuen target) dan jumlah produk PCR untuk setiap siklus PCR. Amplifikasi pada rRT-PCR dideteksi berdasarkan pancaran sinar flouresen yang digunakan sebagai indikator amplifikasi DNA (Artika 2008). Hasil rRT-PCR berupa Ct (cycle threshold) yang merupakan perpotongan antara kurva amplifikasi (siklus PCR) dimana floresen yang dihasilkan memotong garis threshold, atau garis ambang deteksi. Nilai Ct dapat menggambarkan konsentrasi relatif target PCR. Pada rRT-PCR menggunakan TaqMan Probe, proses ekstensi amplikon menyebabkan reporter

(R) dan quencher (Q) pada probe terpisah sehingga floresen tereksitasi (Gambar 2).

Dalam pengerjaan rRT-PCR terdapat beberapa titik kritis yang perlu diperhatikan, yaitu ekstraksi RNA, amplifikasi RT-PCR berserta enzim yang digunakan, serta penggunaan primer dan probe (Suarez et al. 2007, Aminah 2012). Berbagai macam kit komersial tersedia di pasaran untuk melakukan ektraksi, amplifikasi RNA virus dengan reagen, enzim serta pasangan primer dan probe yang beragam. Guna memperoleh hasil dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi maka diperlukan optimasi, termasuk dalam menentukan penggunaan urutan basa primer dan probe, waktu dan suhu amplifikasi, serta konsentrasi reagen uji. Beberapa kit rRT-PCR yang tersedia telah divalidasi, namun validasi tersebut biasanya sesuai untuk penggunaan spesies dan spesimen tertentu saja. Belum ada uji diagnostik molekuler yang tervalidasi untuk semua spesies dan spesimen (Suarez et al. 2007).

11

Gambar 2 rRT-PCR menggunakan TaqMan Probe.

Proses ekstensi amplikon menyebabkan reporter berfloresen (F) dan

quencher (Q) sehingga floresen terksitasi.

Tahap ekstraksi RNA menjadi tahap yang penting karena RNA dengan kualitas yang tinggi diperlukan untuk mengoptimalkan hasil uji. Beberapa sampel, seperti sampel feses, usap kloaka dan usap orafaring sulit untuk diproses, karena hasil ektraksi RNA yang kurang baik atau adanya faktor inhibitor (Suarez et al. 2007). Pengembangan kontrol internal, sistem robotik dan penggunaan reagen bead menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan metode sebelumnya.

Deteksi influenza A menggunakan rRT-PCR biasanya mentarget regio yang lestari (conserved) seperti Matriks, Nukleoprotein atau gen Nonstruktural. Berbagai primer untuk mendeteksi subtipe influenza A seperti H5 dan H7 juga telah dikembangkan. Spackman et al. (2002) pertama kali mengembangkan teknik rRT-PCR untuk influenza A, subtipe H5 dan H7. Dalam pengujiannya untuk mendeteksi influenza A digunakan sistem one-step rRT-PCR serta primer dan probe yang mendeteksi regio lestari ujung 5’ segmen gen 7 (Matriks 1/M1) dengan panjang 100 nukleotida. Guna mendeteksi subtipe H5 dan H7, primer dan probe dirancang untuk mendeteksi region lestari subunit HA2 virus AI Amerika Utara (Spackman et al. 2002).

Gen HA memiliki variabilitas yang tinggi, yakni mencapai 65% antar-subtipe dan 20% dalam antar-subtipe yang sama (Suarez et al. 2007). Identifikasi VAI dari wilayah geografis yang berbeda, seperti VAI dari garis keturunan Eurasia dan Amerika Utara, memerlukan primer dan probe yang berbeda (Spackman et al. 2002). Selain variabilitas yang tinggi, virus RNA juga memiliki tingkat mutasi yang tinggi, yakni 1x10-3 sampai dengan 8x10-3 substitusi/situs/tahun (Chen dan Holmes 2006), sehingga pengembangan penggunaan primer dan probe terus dilakukan. Adapun pasangan primer dan probe untuk mendeteksi gen VAI tertentu dapat dilihat pada Tabel 1.

Limit deteksi rRT-PCR terhadap gen matriks (M1) adalah sebesar 10 femtogram (fg, 1 fg = 10-15 gram) atau sekitar 103 kopi target RNA dan dapat mendeteksi virus hingga 0.1 EID50 (50% egg infective dose) (Spackman et al. 2002, Lee dan Suarez 2004). Sedangkan limit deteksi rRT-PCR untuk H5 dan H7 mencapai 100 fg target RNA atau 103-104 kopi gen (Spackman et al. 2002). Namun, tingkat kesepakatan antara pengujuan rRT-PCR matriks dan isolasi virus pada telur ayam berembrio (TAB) tidaklah 100% (Spackman et al. 2002, Elvinger

et al. 2007). Pada kasus wabah LPAI H7N1 di Virginia tahun 2007, sensitivitas diagnostik relatif rRT-PCR terhadap isolasi virus pada TAB adalah 85%, dengan probabilitas 95% dan interval 71,9%-95.7%, sedangkan spesifisitas diagnostik relatifnya adalah 98.9% dengan probabilitas 95% dan interval 98.0%-99.5% (Elvinger et al. 2007). Sedangkan menurut Spackman et al. (2002), spesifisitas relatif antara rRT-PCR dan isolasi virus pada TAB adalah 89%.

Tabel 1 Pasangan primer dan probe untuk mendeteksi gen AI

Target Primer/Probe Urutan basa (5’-3’) Amerika Utara dan Eurasia (Spackman et al. 2002)

Gen M1 M +25 AGA TGA GTC TTC TAA CCG AGG TCG

M -124 TGC AAA AAC ATC TTC AAG TCT CTG

M +64 FAM-TCA GGC CCC CTC AAA GCC GA-TAMRA

Gen H5 (HA2) H5 +1456 ACG TAT GAC TAT CCA CAA TAC TCA G

H5 -1685 AGA CCA GCT ACC ATG ATT GC

H5 +1637 FAM-TCA ACA GTG GCG AGT TCC CTA

GCA-TAMRA Asia (Heine et al. 2005)

Gen M1 IVA-D161M AGATGAGYCTTCTAACCGAGGTCG

IVA-D162M TGCAAANACATCYTCAAGTCTCTG

IVA-Ma TCAGGCCCCCTCAAAGCCGA

Gen H5 IVA-D148H5 AAACAGAGAGGAAATAAGTGGAGTAAAATT

IVA-D149H5 AAAGATAGACCAGCTACCATGATTGC

IVA-H5a TCAACAGTGGCGAGTTCCCTAGCA

Qinghai lineage yang terjadi di Eropa (Hoffmann et al. 2007) Gen H5

(cleavage site

HA1 dan HA0)

FliH5-1028F GGG GAA TGC CCC AAA TAT GT

FliH5-1190R TCT ACC ATT CCC TGC CAT CC

FliH5-CS-FAM

FAM-AGA GAG AAG AAG AAA AAA GAG AGG ACT A-TAMRA

FliH5-1148-HEX

HEX-TTG GAG CTA TAG CAG GTT TTA TAG AGG-BHQ1

Eurasia (Loendt et al. 2008)

Gen H5 (HA2) H5LH1 ACA TAT GAC TAC CCA CARTAT

TCAG

H5RH1 AGA CCA GCT AYC ATG ATT GC

H5PRO FAM-TCW ACA GTG GCGAGT TCC CTA

GCA-TAMRA Keterangan: M= A, C; R=A, G; Y= C, T

13

Dokumen terkait