• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Dini Hipertensi Untuk Pencegahan Stroke

Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di dunia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 stroke adalah peringkat pertama penyebab kematian penduduk usia lima tahun keatas (15,4%). Sebanyak 80% kejadian stroke dapat dicegah melalui identifikasi dan manajemen faktor risiko. Diantara faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi, hipertensi merupakan faktor risiko terpenting. RegistriPenyakit Stroke di Indonesia tahun 2013 menunjukkan 71,9% pasien strokeperdarahan dan 63,8% stroke iskemik memiliki riwayat hipertensi. Riskesdas tahun 2013 menunjukkan hipertensi diderita oleh 25,8% penduduk dan sebanyak 63,2% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Deteksi dini hipertensi untuk mengidentifikasi penduduk yang berisiko mengalami penyakit kardiovaskular melalui skrining tekanan darah terbukti menurunkan mortalitas akibat stroke dan penyakit jantung.Oleh karena itu, kami merekomendasikan kebijakan deteksi dini hipertensi pada penduduk usia 18 tahun keatas di semua fasilitas kesehatan, termasuk di tempat kerja. Untuk mendukung kebijakan tersebut, diperlukan dukungan manajemen dan sumber daya, baik tenaga kesehatan dan alat kesehatan. Selain itu diperlukan aktivitas monitoring dan evaluasi berkala untuk menjamin mutu pelaksanaan program.Bila rekomendasi kebijakan tersebut tidak dilaksanakan atau tidak ditindaklanjuti, diperkirakan tidak ada perbaikan signifikan dalam hal cakupan diagnosis hipertensi. Selanjutnya kesempatan untuk intervensi dini hipertensi akanterlewatkan sehingga risiko kejadian komplikasi kardiovaskular seperti stroke atau penyakit jantung akan meningkat.

1. Isu Pokok

Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di dunia. Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menempatkan stroke pada peringkat pertama penyebab kematian penduduk berusia diatas lima tahun (15,4%).1Antara tahun 2007 dan 2013 terdapat peningkatan prevalensi stroke di Indonesia dari 8,3 menjadi 12,1 per 1000 penduduk, jumlah ini diperkirakan terus meningkat seiring pertambahan faktor risiko dan penduduk usia lanjut.1,2

Sebanyak 80% kejadian stroke dapat dicegah melalui identifikasi dan manajemen faktor risiko. Diantara faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi, hipertensi merupakan faktor

xxix

risiko terpenting. Menurut JNC 7, hipertensi ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg. Pada individu berusia 40-60 tahun, setiap penambahan tekanan darah 20/10 mmHg akan meningkatkan risiko mortalitas karena penyakit kardiovaskular.3,4Penelitian Lawes dkk dan Perkovic dkk memperlihatkan hubungan linear antara peningkatan tekanan darah dan risiko stroke.5,6 Hubungan ini bahkan terlihat lebih nyata pada etnis Asia dibanding Kaukasia. Penelitian Wheltondkk tahun 2002 menunjukkan pengurangan tekanan sistolik 2 mmHg akan menurunkan risiko mortalitas stroke sebanyak 6%.7 Lebih lanjut pengurangan sistolik 5 mmHg akanmenurunkan risiko mortalitas stroke 14%.

Di Indonesia, hipertensi diderita oleh 25,8% penduduk pada tahun 2013. Jumlah ini menurun dibanding tahun 2007 sebanyak 31,7%.1,2 Data RegistriPenyakit Stroke di Indonesia tahun 2013 menunjukkan 71,9% pasien stroke perdarahan dan 63,8% stroke iskemik memiliki riwayat hipertensi menjadikannya sebagai faktor risiko tertinggi, disusul oleh diabetes mellitus dan dislipidemia di urutan kedua dan ketiga.8

2. Masalah Kebijakan

Hipertensi dikenal sebagai “the silent killer” karena gejalanya seringkali tidak dirasakan oleh pasien. Peningkatan awarenessmasyarakat tentang bahaya hipertensi dan bagaimana cara mengontrol tekanan darah dapat menjadi kunci terhadap pencegahan primer strokeatau pencegahan terjadinya serangan stroke yang pertama kali.

Deteksi dini hipertensi bertujuan untuk mengidentifikasi penduduk yang berisiko mengalami penyakit kardiovaskular melalui skrining tekanan darah. Langkah ini direkomendasikan WHO karena terbukti menurunkan mortalitas akibat stroke dan penyakit jantung.9Di Indonesia, belum ada kebijakan untuk deteksi dini dan penatalaksanaan hipertensi di masyarakat. Pengukuran tekanan darah selama ini dilakukan sebagai bagian dari pelayanan kesehatan rutin dan belum menjangkau penduduk yang tidak mendatangi fasilitas kesehatan. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, cakupan diagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan hanya 36,8% atau 63,2% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis.2

Modifikasi gaya hidup juga direkomendasi WHO sebagai langkah pertama penatalaksanaan hipertensi. Canadian Hypertension Education Program (CHEP) pada tahun 2013 menganjurkan menjaga asupan natrium dibawah 1500 mg per hari, diet tinggi serat dan rendah lemak, olahraga intensitas sedang selama 30-60 menit 4-7 kali per minggu, membatasi konsumsi alkohol ≤2 gelas per hari, dan menjaga berat badan di kisaran indeks massa tubuh (IMT) 18,5-24,9 kg/m2. Pelaksanaan setiap rekomendasi tersebut akan berkontribusi pada

xxx

penurunan tekanan darah. Setiap penurunan berat badan 10 kg akan menurunkan 5-20 mmHg. Diet tinggi serat dan rendah lemak akan menurunkan 8-14 mmHg. Penurunan konsumsi natrium akan menurunkan 2-8 mmHg. Olahraga akan membantu menurunkan 4-9 mmHg. Pembatasan konsumsi alkohol akan menurunkan 2-4 mmHg.10

3. Opsi Pemecahan Masalah

Terdapat dua alternatif kebijakan yang memiliki daya ungkit besar yang diusulkan terhadap isu promotif dan preventif stroke. Keduanya untuk diimplementasi di level nasional.

3.1. Deteksi dini hipertensi pada penduduk usia 18 tahun keatas di semua fasilitas kesehatan, termasuk di tempat kerja

Saat ini pelayanan untuk penyakit tidak menular dilaksanakan di fasilitas kesehatan (faskes) dasar, sedangkan untuk menjangkau populasi sehat dalam bentuk Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM).

Posbindu PTM merupakan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM)yang melakukan aktivitas monitoring (tekanan darah, obesitas, merokok, diet) dan konseling faktor risiko PTM oleh dan untuk masyarakat secara rutin. Sampai tahun 2014 tercatat sebanyak 7.225 Posbindu PTM tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Kebijakan mengenai deteksi dini hipertensi pada penduduk usia 18 tahun keatas diperlukan untuk memperluas cakupan diagnosis hipertensi. Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan deteksi dini dapat dilaksanakan di Posbindu dan semua faskes (milik pemerintah maupun swasta), termasuk faskes di tempat kerja.

3.2. Pembatasan kandungan garam pada makanan olahan dan siap saji

Pengurangan konsumsi natrium (dalam bentuk garam) sudah diakui WHO sebagai langkah yang cost-effective untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sumber natrium diperoleh dari garam yang ditambahkan pada hidangan, ikan asin, atau makanan kemasan. Dengan mengurangi konsumsi garam kurang dari 5 gram per hari (setara dengan 2 gram natrium) dipercaya akan mencegah 2,5 milyar kematian setiap tahunnya. Saat ini diestimasi rerata konsumsi garam di dunia sebanyak 10 gram per orang setiap hari. Di Indonesia berdasarkan data dari Studi Diet Total (SDT) tahun 2014, sebanyak 18,3% penduduk mengonsumsi natrium diatas 2 gram per orang per hari.11

Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah melalui Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 menetapkan pencantuman informasi kandungan gula, garam, lemak serta pesan kesehatan pada makanan olahan dan siap saji. Pesan kesehatan berupa label informasi bahwakonsumsi gula lebih dari 50 gram, natrium lebih dari 2000 miligram, atau lemak total lebih dari 67 gram

xxxi

per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung.Permenkes ini direncanakan efektif diterapkan tiga tahun setelah diundangkan, yaitu pada tahun 2016 sesuai waktu yang diperlukan industri makanan untuk melakukan persiapan.

4. Rekomendasi Kebijakan Yang Dipilih

Berdasarkan kedua opsi diatas, diperlukan kebijakan yang mengatur pelaksanaandeteksi dini hipertensi pada penduduk usia 18 tahun keatas di semua faskes termasuk di tempat kerja. Kebijakan tersebut meliputi detil mengenai dukungan manajemen dan sumber daya yang diperlukan, baik tenaga kesehatan dan alat kesehatan. Selain itu mengatur langkah monitoring dan evaluasi berkalauntuk menjamin mutu pelaksanaan program.

WHO merekomendasi alat kesehatan (alkes) minimal yang terdapat di faskes, yaitu alat pengukur tekanan darah (tensimeter), alat pengukur berat badan (timbangan), alat pemeriksa gula darah (glukometer), dan strip urin untuk pemeriksaan albumin. Seluruh alkes tersebut harus berfungsi baik dan ditera secara berkala.

Kompetensi tenaga kesehatan diperiksa dan diperbarui secara berkala. Obat-obatan minimal adalah aspirin; statin; antihipertensi golongan ACE inhibitor, tiazid, dan penghambat kalsium; antidiabetik oral dan insulin.JIka memungkinkan, konseling harus selalu dilakukan pada setiap pasien.

Sebagai langkah lanjutan pemeriksaan tekanan darah, JNC 7 merekomendasi interval skrining pada populasi dewasa minimal:

 Setiap dua tahun bila didapati tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg.

 Setiap tahun bila tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau diastolik 80-89 mmHg. Untuk monitoring dan evaluasi dapat dilakukan surveilans atau penelitian, terutama mengenai insidens atau prevalens hipertensi dan komplikasinya. Selain itu mengenai efektivitas langkah pencegahan dan tata laksana.

5. Kemungkinan Dampak Yang Terjadi Jika Rekomendasi Tidak Dilaksanakan/Ditindaklanjuti

Bila rekomendasi kebijakan tersebut tidak dilaksanakan atau tidak ditindaklanjuti, diperkirakan tidak ada perbaikan signifikan dalam hal cakupan diagnosis hipertensi. Selanjutnya kesempatan untuk intervensi dini hipertensi akan terlewatkan sehingga risiko kejadian komplikasi kardiovaskular seperti stroke atau penyakit jantung akan meningkat.

Dokumen terkait