• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASUKAN DAN REKOMENDASI BPJS

Pelayanan Kesehatan Tradisional Di kaitkan Dengan Era Jaminan Kesehatan Nasional

MASUKAN DAN REKOMENDASI BPJS

Pelayanan Kesehatan dengan Jamu yang ideal 1. Dukungan pusat dalam

pembiayaan pelayanan kesehatan dengan jamu 2. Dokter Pelaksana bekerja

dengan baik.

3. Dukungan penentu kebijakan oleh pemda setempat untuk fasyankes dengan jamu.

Standar Besaran Pembiayaan Pelayanan

Kesehatan tradisonal Akupunktur dan Jamu

xxiii

Masukan dan rekomendasi untuk BPJS adalahperlu adanya fornas khusus herbal bila jamu akan dimasukkan dalam program JKN sehingga ada perlindungan khusus dalam pengadaan jamunya.

Direktorat Yankestradkom

Masukan dan rekomendasi untuk Direktorat Yankestradkom adalah perlu adanya payung khusus untuk melindungi pelaksana yankestradkom di RS dan pusk. Perlu pendanaan khusus untuk pelaksana pemda yang sudah menjalankan yankestradkom dengan memilih dan mendanai dengan alokasi khusus, karena selama ini pembiayaan dengan DAK pusat, sedangkan di tahun 2015 akan dihapus pendanaan pusat . Pemerintah daerah masih perlu bantuan dana dari pusat untuk menjalankan fasyankes dengan jamu (pengadaan simplisia atau ekstrak jamu) dengan anggaran rutin selama ini untuk kota/kabupaten yang besar maka dibutuhkan anggaran 500juta/tahun, utk kota/kab sedang dan kecildiperkirakan 250juta/tahun. Dan untuk pengkategorian jenis kota dan kabupaten dapat ditentukan bersama tim Komnas SJ dan pemda provinsi terkait. Perlu disusun sistem pelayanan pengobatan non konvensional untuk menata seluruh stakeholders yang terkait dalam penyelenggaraan pengobatan komplementer tradisional dengan jamu.

Badan Litbangkes

Masukan dan rekomendasi untuk Badan Litbangkes adalah perlu ada studi khusus untuk mencari data efektifitas secara klinik dari yankestradkom di tingkat rujukan/RS (RS Soetomo,dll), selain secara penilaian klinik dapat juga penilaian kepuasan pasien (QoL).

Pemerintah Pusat

Masukan dan rekomendasi untuk Pemerintah Pusat adalah perlu dibuat Keppres khusus untuk pengembangan pelayanan jamu di fasyankes (RS dan PKM). Ini merupakan bentuk Kemandirian Bangsa melalui pengobatan asli Indonesia. Agar dapat berjalan dengan baik program pengobatan dengan jamu di fasyankes dasar dan rujukan maka harus dimulai dari kebijakan nomor satu di negara ini, dengan suatu program dari hulu sampai hilir dan antar beberapa kementerian terkait. Bila perlu

xxiv

dibuat suatu badan tersendiri yang mengelola segala urusan Jamu dari hulu sampai dengan hilir yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Ada pemikiran lain,bahwa idealnya yankestradkom dengan jamu mempunyai program pembiayaan khusus yang ditanggung oleh pemerintah pusat namun diluar program JKN, karena sistim pengobatan konvensional berbeda dengan sistim pengobatan jamu yang mempunyai sifat perbaikan organ secara alami dan bersifat holistik, sesuatu yang berbeda dengan pengobatan konvensional yang bersifat pengobatan organ secara spesifik. Berbeda dari lama pemberian obat karena jamu membutuhkan waktu untuk bereaksi dengan tubuh, berbeda dari bahan baku karena jamu berasal dari satu atau lebih tanaman namun tetap terstandarisasi. Sekali lagi kajian ini hanya memberikan masukan untuk penentu kebijakan mencari program apa yang sebaiknya dijalankan dan dapat dikerjakan di lapangantanpa adanya kontroversial sehingga mengganggu kinerja tenaga medis yang mengerjakan yankestradkom dengan jamu di fasyankes dasar maupun rujukan.

xxv

Rekomendasi Kebijakan

Registri Penyakit untuk Meningkatkan Keberhasilan Penatalaksanaan TB –DM

di Puskesmas

Ringkasan

Komorbiditas DM pada pasienTB sudah lama diketahui, yaitu DM berpengaruh negatif terhadap luaran pengobatan TB. Menurut WHO dan International Union against Tuberculosis and Lung Disease tahun 2014, Indonesia merupakan satu dari tujuh negara dengan beban penyakit ganda TB dan DM.Penderita DM memiliki sistem imun yang rendah sehinggaberisiko lebih tinggimengalami TB. PasienDM memiliki 2 - 3 kali risiko untuk menderita TB dibanding orang tanpa DM. Selain itu pasien DM yang didiagnosis TB memiliki risiko kematian lebih tinggi. Data riset kesehatan masyarakat tahun 2007 menunjukkan hampir 40 % pasien TB melaksanakan pengobatan di Puskesmas.Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbang Kesehatan, sejak tahun 2014 telah mengembangkan registri penyakit TB-DM pada tujuh Rumah Sakit di Jawa dan Bali.Adanya Registri TB-DM secara berkesinambungan mempermudah evaluasi outcome, yang pada akhirnya sangat membantu dalam pengendalian penyakit.

Untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan kolaborasi TB-DM, maka direkomendasikan pengembangan registri penyakit ini di Puskesmas. Selain itu juga agar mengintensifkan kolaborasi pelayanan terintegrasi TB-DM dalam hal pencegahan dan penatalaksanaan.

Pengantar

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko tersering pada pasien TBparu. Saat ini, prevalensi terjadinya TB paru meningkat seiring dengan peningkatanprevalensi pasien DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% danprevalensi penyakit infeksi TB 2-5 kali lebih tinggi pada pasien DM dibandingkandengan tanpa DM.1,2

Diabetes berhubungan dengan meningkatnya risiko kegagalan dan kematian dalam pengobatan tuberkulosis. Diabetes juga berhubungan dengan meningkatnya risiko relaps. Klinis pasien TB-DM lebih berat karena muatanmycobacterialnya yang lebih banyak, tingkat kegagalan pengobatan yang lebih tinggi dan waktu konversi yang lebih lama dibandingkan

xxvi

dengan TB tanpa DM. Pasien TB dan DM cenderung lebihbanyak yang menjadi TB resistens obat dibanding TB non DM.3,4

Penyakit TB-DM dapat mengganggu tercapainya sasaran dari Millennium Development Goal (MDG’s) sehingga kolaborasi penyakit ini harus segera ditangani. Penanganan TB-DM harus difokuskan pada diagnosis awal, pengendalian kadargula darah serta monitoring ketat klinis dan pengobatan. Selain itu perlu juga dilakukan deteksi awal DM pada semua pasien TB.5,6

Peran Registri Penyakit dalam Penatalaksanaan TB-DM

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbang Kesehatan, bekerjasama dengan tujuh RS di Jawa dan Bali, sejak tahun 2014 telah mengembangkan registri TB-DM. Registri sebagai suatu sistem terstandarisasi dalam pengumpulan data sangat membantu dalam mengevaluasi outcome dari penyakit, termasuk TB yang disertai dengan DM.

Hasil registriTB-DM menunjukkan bahwa presentase klinis TB dengan atau tanpa DM umumnya tidak berbeda (gambar 1), oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa penapisan (screening) untuk deteksi awal DM pada kasus TB sebaiknya dilakukan pada awal pemeriksaan dan hal ini sejalan dengan kebijakan WHO tahun 2011.7

Gambar 1. Persentase gejala klinis TB pada kasus TB-DM saat masuk RS, Registri Penyakit TB-DM, 2014

xxvii

Hasil registry TB-DM juga menunjukkan bahwa DM meningkatkan risiko kematian pada TB (gambar 2). Hasil ini sesuai dengan penelitian kohort retrospektif pasien TB paru di Maryland, Amerika Serikat yang menunjukkan meningkatnya risiko kematian sebesar tujuh kali pada pasien TB-DM dibandingkan dengan pasien TB Non DM.7

Adanya Registri TB-DM secara berkesinambungan mempermudah evaluasi outcome, yang pada akhirnya sangat membantu pengendalian penyakit.

Rekomendasi A. Kebijakan

Peran Puskesmas untuk penatalaksanaan TB sangat penting karena berdasarkan data riset kesehatan masyarakat tahun 20078hampir 40 % pasien TB melaksanakan pengobatan di Puskesmas.Untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan kolaborasi TB-DM, maka direkomendasikan pengembangan registri penyakit di Puskesmas.

B. Teknis

Mengintensifkan kolaborasi pelayanan TB-DM dalam hal pencegahan dan penatalaksanaan, seperti: meningkatkan kesadaran dan pengetahuan petugas kesehatan, pasien terdiagnosis DM harus dilakukan skrining dan prosedur pemeriksaan TB, dan bagi pasien yang terinfeksi TB harus dilakukan pemeriksaan skrining diabetes di Puskesmas.

xxviii

Dokumen terkait