• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Need terhadap Pelayanan Kesehatan

2.5 Konseling dan Test HIV (KTHIV) dan AIDS Sukarela (KTS/VCT) .1 Pengertian KTHIV dan AIDS Sukarela (KTS/VCT) .1 Pengertian KTHIV dan AIDS Sukarela (KTS/VCT)

2.5.6 Sumber Daya Manusia VCT

2.5.7.2 Deteksi HIV Melalui Pemeriksaan Laboratorium/Tes HIV

Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Caranya adalah dengan cara mendeteksi ada tidaknya antibodi HIV dalam sampel darahnya. (Nursalam dan Kurniawati, 2009). Tes HIV berupa pemeriksaan terhadap rangsangan antibodi yang terbentuk untuk melawan masuknya HIV (sebagai antigen) ke dalam tubuh,

atau pemeriksaan antigen (penggunaan metode Polymerase Chain Reaction) yang mendeteksi adanya virus itu sendiri atau komponennya (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan Permenkes RI No.21/2013 Pasal 25 Ayat 1-3 menyatakan bahwa tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh Tenaga Medis dan/atau Teknisi Laboratorium yang terlatih. Jika salah satu atau kedua tenaga tersebut tidak ada, bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV. Tes HIV dilakukan dengan metode Rapid Diagnostic Test (RDT) atau Enzyme Immuno Assay (EIA).

Lamptey (2004) membedakan ada dua jenis utama dari tes HIV: tes antibodi (misalnya: tes ELISA, sederhana/cepat, air liur dan urin, serta Western

Blot) dan tes virologi (misalnya: tes antigen HIV, Polymerase Chain Reaction,

dan kultur virus).

Tes antibodi yang paling umum digunakan adalah enzim uji kekebalan tubuh atau ELISA, termasuk tes HIV cepat (hasil tes hanya 5-30 menit). Penggunaan metode Tes Cepat HIV/Rapid Diagnostic Test memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Menurut UNAIDS (2002), tes HIV cepat seharusnya dilakukan di masa depan, yang juga akan mengurangi biaya transportasi ke laboratorium.

Tes antibodi Western blot jarang digunakan terutama di negara-negara maju untuk mengkonfirmasi hasil tes sebelumnya yang tidak dapat ditentukan/indeterminate. Tes Western blot lebih baik daripada tes lainnya untuk mengidentifikasi Infeksi HIV, tetapi lebih mahal daripada tes lainnya. Selain itu, Tes Radio Immnuno Precipitation (RIPA), sebuah alat konfirmasi bagi tes

antibodi yang digunakan ketika antibodi sangat rendah atau sulit untuk dideteksi, ataupun tidak pasti. RIPA adalah tes mahal, membutuhkan waktu dan keahlian.

Tes Virologi digunakan dalam keadaan khusus, misalnya individu yang baru terinfeksi, selama periode jendela (munculnya antibodi terhadap HIV 1-6 bulan), atau dalam kasus seorang bayi lahir (umur kurang dari 18 bulan) yang HIV-positif dari ibunya. Tes virologi menentukan Infeksi HIV dengan mendeteksi virus itu sendiri. Ada tiga macam:

1. Tes deteksi antigen virus (tes antigen P24);

2. Tes berdasarkan asam nukleat (tes khusus yang terlihat untuk informasi genetik HIV menggunakan Polymerase Chain Reaction atau PCR);

3. Budaya/kultur virus yang mengisolasi virus.

Tes virologi jarang digunakan untuk mendiagnosis HIV dalam suatu negara karena mereka memerlukan laboratorium yang canggih. Tapi tes ini dapat digunakan untuk memantau kemajuan infeksi atau respon terhadap terapi (misalnya, dengan mengukur viral load) (Lamptey, 2004). Tes virologi HIV DNA kualitatif dianjurkan untuk diagnosis bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan dan persalinan.

Beberapa layanan VCT mungkin tidak memiliki fasilitas untuk mendiagnosa melalui tes HIV/AIDS. Oleh karena itu, klien dapat dirujuk ke pelayanan laboratorium diagnostik lainnya setelah konseling pra-tes. Tes HIV wajib menggunakan reagen tes HIV yang sudah diregistrasi dan dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk Kementerian Kesehatan. Tes cepat harus dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pabriknya dan tidak dianjurkan untuk jumlah

pasien yang banyak.Tes Enzyme ImmunoAssay (EIA) biasanya dilakukan dengan sarana laboratorium yang lengkap dan petugas yang terlatih dengan jumlah pasien yang lebih banyak (Permenkes No.74 tahun 2014).

Pemilihan antara menggunakan tes cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk kembali mengambil hasil (Kemenkes RI, 2013).

Secara umum, pemeriksaan HIV dilakukan untuk tujuan penapisan darah donor dan transplantasi, surveilans, dan penegakan diagnosis. Strategi pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk ketiga tujuan tersebut berbeda satu sama lain.

Strategi tes HIV bervariasi dari satu negara dengan negara lainnya yang tergantung pada gejala atau tanda klinis, estimasi prevalensi HIV dan tersedianya teknologi. Biasanya itu adalah tanggung jawab peraturan Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, Program Pengendalian HIV/AIDS Nasional, atau Sumber Laboratorium Nasional untuk merumuskan paling layak menguji strategi untuk suatu negara tertentu.

Pertimbangan pemerintah untuk pilihan protokol tes HIV meliputi: validitas ilmiah/akurasi dari tes (sensitivitas dan spesifisitas); ada prasarana laboratorium; Keberadaan dan kemampuan laboratorium rujukan untuk tujuan kontrol kualitas; Volume tes HIV yang diperlukan (jumlah orang yang akan diuji); Preferensi klien; Dampak protokol pada penyediaan layanan (misalnya, hasil pada

hari yang sama vs perjanjian datang kembali); Biaya tes vs dana yang tersedia (Lamptey, 2004).

Di Indonesia, pemeriksaan HIV untuk uji penapisan darah donor dan transplantasi, dilakukan dengan Strategi I (pemeriksaan dengan satu metode), pemeriksaan HIV untuk surveilans dilaksanakan dengan strategi II (pemeriksaan dengan dua metode), dan pemeriksaan HIV untuk diagnosis dilaksanakan dengan strategi III (pemeriksaan dengan tiga metode) (Permenkes No.74 tahun 2014). Prevalensi HIV dibawah 10% harus menggunakan strategi III dengan tiga jenis reagen yang berbeda sensitifitas dan spesifitas-nya (Kemenkes RI, 2013).

Semua hasil tes positif HIV harus dikonfirmasi oleh setidaknya satu tes lainnya, baik algoritma/alur tes paralel atau seri dapat digunakan oleh penyedia layanan KTS, tergantung pada keadaan tes (NASCOP, 2008).

Dalam melaksakan tes HIV, perlu merujuk pada alur tes yang dianjurkan menggunakan alur serial karena lebih murah dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama memberi hasil reaktif saja.

Permenkes No.74 tahun 2014 menyatakan bahwa alur yang harus dilakukan untuk diagnosis HIV melalui beberapa strategi dapat dilihat seara skematis pada bagan berikut ini.

Gambar 2.6 Alur Diagnosis HIV Keterangan :

1) A1, A2 dan A3 merupakan tiga jenis tes antibodi HIV yang berbeda. 2) Positif : Bila hasil A1, A2, dan A3 reaktif

3) Negatif : Bila hasil A1 non reaktif; hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 nonreaktif; salah satu reaktif tapi tidak berisiko.

4) Indeterminate : Bila dua hasil tes reaktif; hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko.

Penawaran tes HIV secara rutin di layanan kesehatan akan menormalisasi tes HIV dan tidak hanya mengandalkan motivasi individu dalam mencari layanan tes tersebut, karena masih adanya ketakutan akan stigma dan diskriminasi. Meskipun demikian, tes HIV tidak boleh memeriksa pasien/klien secara paksa tanpa menginformasikannya kepada pasien/klien terlebih dahulu (Permenkes RI No.74 tahun 2014).

Tes HIV selalu mengikuti alur atau algoritma yang sudah ditentukan dan harus disertai dengan sistem jaminan dan perbaikan mutu yang tidak hanya diterapkan pada pemeriksaan laboratorium saja tetapi juga perlu untuk proses konselingnya (Kemenkes RI, 2013).