• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Epidemiologi HIV/AIDS

2.6.2 Determinan HIV/AIDS

Kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi tertular HIV adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas atau mereka yang sering berganti-ganti pasangan seks, yaitu pelacur dan pelanggannya, homoseksual/biseksual, waria, pengguna NAPZA suntik, wanita pekerja di panti pijat/klab malam /diskotik, penerima transfusi darah/produk darah berulang dan anak yang lahir dari ibu pengidap HIV. Distribusi penderita AIDS di negara-negara barat menunjukkan kelompok homo/biseksual merupakan penderita terbesar, diikuti oleh kelompok pengguna obat narkotika suntik. Di Afrika, AIDS banyak terjadi pada kelompok heteroseksual. Di Amerika Serikat/Eropa Barat penderita

kelompok ini cenderung meningkat sejajar dengan makin banyaknya ‗reservoir’ HIV di masyarakat seperti pada kelompok biseksual, IDU, dan pelacur (Irianto, 2014).

Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2004), rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 1,9:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual sebesar 78,0%, Penasun 9,3%, homoseksual 4,3%, perinatal 2,6%, transfusi darah 0,5% dan tidak diketahui penularannya 4,0% (Depkes RI, 2004).

Di Sumatera Utara, menurut Laporaan Program P2P Dinkes Provsu tahun 2012, penderita terbanyak adalah laki-laki dibandingkan perempuan, dengan rasio kasus 3:1. Sumber penularan terbanyak melalui hubungan heteroseksual 65% dan pengguna jarum suntik 26%. Presentasi penularan dari ibu ke bayi (perinatal) meningkat dari 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,6% pada tahun 2012 (Dinkes Sumut, 2012).

b. Faktor Agent

Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel CD4. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel efektor imun yang lainnya, serta daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut.

Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada nodus limfa dan thymus yang membuat individu terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan

jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.

Berdasarkan data surveilans di Amerika Serikat dan Eropa Barat, angka kematian (cummulative case fatality rate) penderita AIDS yang memenuhi kriteria CDC/WHO kira-kira 50%. Ini berarti bahwa dari semua penderita AIDS yang dilaporkan di Amerika Serikat dan Eropa Barat 50% diantaranya telah meninggal. Untuk penderita AIDS yang sudah didiagnosa 3 tahun sebelumnya menunjukkan CFR 75% dan CFR yang sudah menderita AIDS selama 5 tahun adalah 100% (Irianto, 2014).

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan fisik, kimia, biologis berpengaruh terhadap HIV. HIV tidak tahan hidup lama di lingkungan luar seperti panas, zat kimia (desinfektan), dan sebagainya. Oleh karena itu, HIV relatif tidak mudah ditularkan dari satu orang ke orang lain jika tidak melalui cairan tubuh penderita yang masuk ke dalam tubuh orang lain (Irianto, 2014).

Faktor ekonomi, lingkungan, sosial budaya dan norma-norma dalam masyarakat (agama, kepercayaan, kebiasaan) dapat mempengaruhi perilaku kelompok individu, baik perilaku seksual maupun perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan tertentu. Bila lingkungan memberikan peluang pada perilaku seksual yang “permisiveness” maka kelompok masyarakat yang seksual aktif akan cenderung melakukan promiskuitas, sehingga akan meningkatkan penyebaran HIV dalam masyarakat (Irianto, 2014).

2.7 Pencegahan HIV/AIDS 2.7.1 Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit (Budiarto, 2001). Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan ―ABC‖ yaitu; Abstinence artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Be Faithful yang artinya tidak berganti-ganti pasangan. Penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom). Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak menggunakannya secara bersama-sama (Kurniawati, 2011).

b. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Keperawatan universal meliputi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati- hati, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar (Kurniawati, 2011).

c. WHO mencanangkan empat straregi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV /AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya. Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui penggunaan antiretroviral selama kehamilan, penggunaan antiretroviral selama persalinan dan bayi yang baru dilahirkan, penanganan obstetrik selama persalinan, dan penatalaksanaan selama menyusui. Persalinan sebaikanya dilakukan dengan metode sectio caesarea untuk mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi. (Kurniawati, 2011)

d. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan didonorkan, serta menghindari tranfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu. (Kurniawati, 2011) Penggunana jarum suntik hanya sekali saja (disposable) atau jarum suntik dan alat suntik lain harus steril (Irianto, 2014).

2.7.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan kepada penderita yang sudah terinfeksi virus HIV. Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. Sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut :

a. Terapi antiretroviral (ARV),

ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportunistik menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV tidak dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV. Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum munculnya infeksi oportunistik yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat CD4 <200/mm3. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium III dan IV harus memulai terapi ARV (Murtiastutik, 2008).

Keberhasilan terapi ARV sangat ditentukan oleh kepatuhan (adherence) pasien. Kepatuhan yang dimaksud adalah ketaatan pasien terhadap instruksi atau aturan minum obat, meliputi dosis, cara, waktu minum obat, dan periode. Oleh karena itu, kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Untuk mencapai supresi virus yang optimal

setidaknya 90-95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan (Murtiastutik, 2008).

Sebelum memulai terapi, maka harus dimantapkan terlebih dahulu mengenai pemahaman pasien tentang terapi ARV tersebut dengan segala konsekuensinya. Rencana pengobatan harus dibuat secara rinci bersama pasien untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pasien untuk berobat secara teratur dan terus menerus. Karena terapi ARV harus dilaksanakan seumur hidupnya (Murtiastutik, 2008).

b. Pengobatan suportif,

Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian makanan yang mempunyai gizi yang lebih baik serta pengobatan pendukung lainnya, serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan (Djoerban, 2010).

c. Pengobatan infeksi oportunistik

Merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks (Djoerban, 2010).

Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus,

dll). Penanganan terhadap infeksi oportunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus (Levinson, 2006).

2.7.3 Pencegahan Tersier

Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat. Selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula.

2.8 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep pada penelitian tentang karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Jasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013-2014 adalah sebagi berikut:

KARAKTERISTIK PENDERITA HIV/AIDS 1. Sosiodemografi: Umur Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Pekerjaan Status Pernikahan Daerah Tempat Tinggal 2. Transmisi Penularan 3. Jumlah CD4

4. Keadaan Klinis Penderita 5. Infeksi Oportunistik

6. Tahap Terapi Antiretroviral (ART) 7. Keadaan Terakhir Penderita

BAB 3

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait