BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.6. Epidemiologi
2.6.2. Determinan Sepsis Neonatorum
Beberapa determinan sepsis neonatorum dibedakan berdasarkan host, agent, dan environment.
a. Host
Faktor host yang menjadi determinan terjadinya sepsis neonatorum dapat dilihat dari faktor bayi dan ibu.
a.1. Faktor Bayi a.1.1. Umur
Penelitian Jumah, dkk tahun 2007 di Iraq menyebutkan bahwa secara statistik angka kematian akibat sepsis lebih tinggi secara signifikan pada bayi berumur < 7 hari dibandingkan pada bayi berumur 7-28 hari (p<0,001).24 Hasil penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan rancangan penelitian uji diagnostik potong lintang di RS Dr. Sardjito Yogyakarta, proporsi penderita sepsis neonatorum berumur <7 hari 77,2% dan >7 hari 22,8%.15
a.1.2. Jenis Kelamin
Laki-laki empat kali lebih beresiko terkena sepsis dibandingkan perempuan, dan kemungkinan ini berhubungan dengan kerentanan host berdasarkan jenis kelamin.18 Dalam penelitian Simbolon tahun 2008 dengan menggunakan desain penelitian kasus kontrol di RSUD Curup kabupaten Rejang Lebong Bengkulu menyebutkan bahwa menurut faktor bayi, kejadian sepsis neonatorum banyak terjadi pada bayi laki-laki (61,2%).10 Hasil penelitian Patel, dkk (1994) di University of Mississippi Medical Center (UMMC), proporsi penderita sepsis neonatorum tertinggi pada bayi laki-laki (54,3%).57 Penelitian
Jumah, dkk (2007) di Basrah Maternity and Children Hospital, penderita sepsis neonatorum lebih banyak pada bayi laki-laki, diantaranya 56,75% yang hidup dan 43,25% yang meninggal.24
a.1.3. Prematuritas
Prematur adalah satu-satunya faktor paling signifikan berkorelasi dengan sepsis. Risiko meningkat sebanding dengan penurunan berat lahir.18 Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Bayi yang lahir prematur mempunyai berat badan lahir rendah, namun bayi yang mempunyai berat badan lahir rendah belum tentu mengalami kelahiran
prematur.27 Bayi prematur rentan mengalami infeksi/septikemia.
Infeksi/septikemia empat kali beresiko menyebabkan kematian bayi prematur.28 Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.29
Incidence rate sepsis neonatorum yang dilaporkan bervariasi, antara 1-8 per 1.000 kelahiran hidup, dengan kejadian terbanyak pada bayi kurang bulan dengan berat badan lahir rendah.7
a.1.4. Berat lahir rendah.
Bayi berat lahir rendah adalah bayi yang kurang atau sama dengan 2500 gram saat lahir. Tujuh persen dari semua kelahiran termasuk kelompok ini. Kebanyakan persoalan terjadi pada bayi yang beratnya kurang dari 1500 gram
dengan angka kematian yang tinggi dan membutuhkan perawatan dan tindakan medik khusus.30
Dalam penelitian Stoll, dari 7.861 bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (berat lahir <1500g) dari National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) pada tahun 1991-1993, 1,9% bayi terbukti mengalami sepsis dalam 72 jam pertama kehidupan, meskipun hampir 50 % bayi di kelompok ini dianggap memiliki sepsis klinis dan diobati dengan antibiotik selama lebih dari lima hari. Dua puluh enam persen dari bayi tersebut meninggal.31
a.1.5. Status Kembar
Bayi kembar berisiko tinggi untuk infeksi streptococcus grup B dan infeksi lain walaupun sudah dikendalikan untuk prematuritasnya selain itu bayi lahir dengan status kembar kemungkinan akan lahir dengan BBLR, sehingga akan berisiko mengalami sepsis karena organ tubuhnya belum sempurna sehingga sistem imunnya kurang yang menyebabkan mudah terkena infeksi.7
Menurut Mochtar, berat badan satu janin kembar rata-rata 1000 gram lebih ringan dari janin tunggal. Berat badan masing-masing janin kembar tidak sama, umunya berselisih antara 50 sampai 1000 gram, dan karena pembagian sirkulasi darah tidak sama, maka yang satu kurang bertumbuh dari yang lainnya. Pengaruh kehamilan kembar pada janin adalah umur kehamilan tambah singkat dengan bertambahnya jumlah janin dalam kehamilan kembar, sehingga kemungkinan terjadinya bayi prematur sangat tinggi.32
a.2. Faktor Ibu
a.2.1. Umur ibu
Umur ibu melahirkan dibagi dalam 3 kelompok usia remaja dengan umur < 20 tahun, kelompok usia reproduksi sehat dengan umur 20-35 tahun dan kelompok usia risiko tua dengan umur > 35 tahun. Ibu hamil dengan umur lebih muda sering mengalami komplikasi kehamilan dengan hasil kehamilan tidak baik. Pada kelompok umur risiko tua kejadian berat badan lahir rendah juga meningkat.33 Menurut penelitian Nyoman Nuada di RS Denpasar pada tahun 1999 ditemukan 84% ibu yang melahirkan bayi prematur berusia kurang dari 20 tahun dan usia lebih dari 35 tahun (umur risiko tinggi).34
Dalam penelitian Suwiyoga tahun 2007 dengan menggunakan rancangan penelitian studi kohort di Indonesia menemukan bahwa insiden sepsis neonatorum di kelompok umur ibu kurang dari 20 tahun adalah 14,2 %, lebih tinggi dari insidens sepsis di kelompok umur 20 tahun atau lebih. Usia ibu kurang dari 20 tahun diketahui berhubungan dengan kolonisasi kuman Streptococcus Grup Beta di jalan lahir.35
a.2.2. Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan bayi. Dengan berbekal pendidikan yang cukup, seorang ibu dinilai lebih banyak memperoleh infromasi yang dibutuhkan. Selain itu, ibu dengan tingkat pendidikan relatif tinggi lebih mudah menyerap informasi atau himbauan yang diberikan. Dengan demikian mereka dapat memilih serta
menentukan alternatif terbaik dalam melakukan perawatan dan pemeriksaan kehamilan sehingga dapat melahirkan bayi sehat.
Menurut Bachroen, tingkat pendidikan mempunyai pengaruh besar terhadap derajat kesehatan. Penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa pendidikan paling berpengaruh adalah pendidikan ibu.36
a.2.3. Pekerjaan Ibu
Variabel pekerjaan akan mencerminkan keadaan sosial ekonomi keluarga. Penelitian Yahya K, dkk menyebutkan bahwa presentase terbanyak adalah pada golongan berpenghasilan rendah. Dimana suami bekerja sebagai buruh, kemudian diikuti pedagang kecil, pegawai negeri golongan I dan II. Sedangkan istrinya (ibu hamil) pada umumnya tidak bekerja. Rendahnya kedudukan tingkat dan macam pekerjaan ini adalah akibat dari tingkat pendidikan yang juga rendah.37
Di Negara berkembang, banyak ibu bekerja keras untuk membantu menopang kehidupan keluarganya di samping tugas utama mengelola rumah tangga, menyiapkan makanan, mengasuh dan merawat anak. Salah satu studi menunjukkan bahwa 25% dari rumah tangga sangat bergantung pada pendapatan kaum perempuan. Jika ibu hamil bekerja terlalu keras dan intake kalori kurang selama hamil akan lebih mudah melahirkan bayi dengan berat lahir rendah yang merupakan faktor risiko terjadinya infeksi.38
a.2.4. Umur Kehamilan
Lama kehamilan yaitu 280 hari atau 40 minggu, dihitung dari hari pertama haid yang terakhir. Lama kehamilan dapat dibedakan atas:
i. Partus prematurus, adalah persalinan dari hasil konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur. Berat janin antara 1.000-2.500 gram.
ii. Partus matures atau aterm (cukup bulan), adalah partus pada kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500 gram.
iii. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu partus cukup bulan.32
a.2.5. Ketuban pecah dini (KPD)
Ketuban pecah dini (KPD) yaitu bocornya cairan amnion sebelum mulainya persalinan, terjadi pada kira-kira 7 sampai 12 persen kehamilan. Paling sering ketuban pecah pada atau mendekati saat persalinan; persalinan terjadi secara spontan dalam beberapa jam. Bila ketuban pecah dini dihubungkan dengan kehamilan preterm, ada risiko peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal akibat imaturitas janin.39
Sepsis neonatorum dini sering dihubungkan dengan KPD karena infeksi dengan KPD saling mempengaruhi. Infeksi genital bawah dapat mengakibatkan KPD, demikian pula KPD dapat memudahkan infeksi asendens. Infeksi asendens ini dapat berupa amnionitis dan korionitis, gabungan keduanya disebut korioamnionitis.40 Bila ketuban pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.18
Dalam penelitian Suwiyoga, dkk tahun 2007 dengan menggunakan rancangan penelitian studi kohort di Indonesia menemukan bahwa resiko SAD pada ketuban pecah kurang 12 jam adalah 1,5 kali, sesudah 12-18 jam adalah 7 kali dan pada 18-24 jam adalah 9 kali.35 Selain itu, KPD merupakan faktor risiko utama prematuritas yang merupakan penyumbang utama SAD dan kematian perinatal.40
a.2.6. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum
Infeksi dapat merupakan akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptococcus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.18 Ibu yang menderita infeksi ketika hamil dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap ibu maupun janin dan bayi neonatal seperti infeksi neonatal.39
a.2.7. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
Dalam penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan rancangan penelitian uji diagnostik potong lintang di RS Dr. Sardjito Yogyakarta terdapat proporsi ibu dengan keadaan air ketuban keruh melahirkan bayi yang mengalami sepsis neonatorum sebanyak 33,1%.15 Menurut hasil penelitian Simbolon di instalasi kebidanan Rumah Sakit Pusat Sardjito Yogyakarta dari bulan Januari 2001 ditemukan 72 % faktor risiko sepsis neonatorum adalah BBLR dengan keadaan air ketuban bau busuk.10
a.2.8. Riwayat Persalinan Ibu
Bayi yang lahir dengan tindakan (ekstraksi cunam/vakum dan seksio sesaria) berisiko mengalami sepsis neonatorum. Infeksi dapat diperoleh bayi dari
lingkungannya diluar rahim ibu, seperti alat-alat penolong persalinan yang terkontaminasi.41 Dalam penelitian Simbolon tahun 2008 dengan menggunakan desain penelitian kasus kontrol di kabupaten Rejang Lebong propinsi Bengkulu, kejadian sepsis neonatorum menurut riwayat persalinan menunjukkan bahwa kejadian sepsis neonatorum sedikit lebih banyak pada bayi dengan riwayat persalinan dengan tindakan (ekstraksi cunam/vakum dan seksio sesaria). Bayi yang lahir dengan tindakan berisiko 2,142 kali mengalami sepsis neonatorum dibandingkan dengan bayi yang lahir secara normal.10
a.2.9. Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care)
Pemeriksaan kehamilan (Antenatal Care) yang teratur berfungsi sebagai kontrol untuk mendeteksi terjadinya tanda-tanda komplikasi kehamilan, sehingga dapat mengantisipasi kemungkinan bahaya kehamilan dan persalinan.42 Pemeriksaan kehamilan perlu dilakukan oleh ibu semasa hamil, mulai dari trimester pertama sampai saat berlangsungnya persalinan. Tujuan pemeriksaan kehamilan adalah untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai risiko tinggi sehingga risiko kematian ibu atau bayi dapat dikurangi.43 Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan dapat mengurangi kejadian kelahiran prematur pada bayi yang sangat rentan terkena sepsis. Selain itu dengan melakukan pemeriksaan selama hamil dapat dideteksi secara dini penyakit infeksi yang diderita oleh ibu yang nantinya akan mengakibatkan infeksi pada bayinya.
Menurut Ulina (2004) dalam penelitiannya di Kelurahan Tanjung Jati Kecamatan Binjai, hasil cakupan kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan antenatal yaitu K1 (81%) dan K4 (66,7%). Dari hasil cakupan tersebut terlihat
relatif tinggi drop out antara K1 dan K4 yaitu sebesar 14,3%. Rendahnya pencapaian cakupan K4 ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ibu hamil merasa kurang membutuhkan pelayanan antenatal karena beranggapan dirinya sehat, pendidikan ibu rendah, kurangnya pengetahuan ibu hamil akan pentingnya perawatan pada masa kehamilan secara berkala, bagi ibu hamil yang bekerja kurang memiliki waktu untuk memeriksakan kehamilannya, tingkat pendapatan keluarga sehubungan dengan kondisi ibu hamil.44
b. Agent
Agent/organisme tersering sebagai penyebab penyakit adalah Escherichia coli dan Streptococcus group B (yang bersama-sama bertanggungjawab atas 50-75% kasus pada kebanyakan pusat pelayanan kesehatan),21 Streptococcus termasuk kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada satu sistem pun yang mampu untuk mengklasifikasikannya. Ada dua puluh jenis, termasuk streptococcus pyogenes (group A), streptococcus agalactiae (group B) dan jenis enterococcus (group D), dapat dicirikan dengan berbagai tampilannya yang bervariasi: dari karakteristik
koloni pertumbuhan, pola hemolisis pada media agar darah (hemolisis α, hemolisis ß, atau tanpa hemolisis), komposisi antigen pada substansi dinding sel dan reaksi
biokimia. Jenis Streptococcus pneumonia (pneumococcus) lebih lanjut
dikalsifikasikan berdasarkan komposisi antigen polisakarida pada kapsul.
Klasifikasi bakteri streptococcus dari sisi kepentingan medis yaitu sebagai berikut:
b.1. Streptococcus pyogenes: Kebanyakan bakteri streptococcus yang termasuk dalam antigen grup A adalah S. pyogenes. Bakteri ini
bersifat hemolitik-ß. S. pyogenes adalah bakteri pathogen utama pada manusia dikaitkan dengan invasi lokal atau sistemik dan gangguan immunologi pasca infeksi oleh streptococcus.
b.2. Streptococcus agalactiae: Termasuk dalam streptococcus group B. Mereka adalah anggota dari flora normal pada saluran organ wanita serta penyebab penting dari sepsis neonatal dan meningitis. Dan mereka menunjukkan jenis hemolitik ß dan menghasilkan daerah hemolisis yang sedikit lebih luas daripada koloninya (berdiameter 1-2 meter). Bakteri streptococcus group B dapat menghemolisis natrium hippurate dan memberi respon positif terhadap tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson).
b.3. Grup C dan G: Bakteri streptococcus ini kadang terdapat di dalam
nasofaring dan menimbulkan sinusitis, bakteremia atau endokarditis. Sering kelihatan seperti S. pyogenes grup A pada medium darah agar dan bersifat hemolitik ß. Dapat diidentifikasi menggunakan reaksi dengan antiserum spesifik untuk grup C atau G.
b.4. Enterococcus faecalis (E. faecium, E. durans): Bakteri enterokokus dapat bereaksi dengan antiserum grup D. Enterokokus ini merupakan bagian dari flora normal enterik. Mereka biasanya bersifat nonhemolitik tapi suatu saat dapat bersifat hemolitik-α.
b.5. Sterptococcus bovis: Bakteri ini termasuk dalam streptococcus group D nonenterococcus. Mereka sebagian merupakan flora enterik dan kadangkala dapat mengakibatkan endokarditis, dan juga dapat
mengakibatkan bakteremia pada pasien dengan carcinoma colon. Bakteri bersifat nonhemolitik.
b.6. Streptococcus anginosus: Bakteri streptococcus ini merupakan bagian
dari flora normal. Bisa bersifat α, ß, atau nonhemo litik. S. anginosus meliputi bakteri streptococcus hemolitik ß yang membentuk koloni kecil (berdiameter < 0,5 mm) dan bereaksi dengan antiserum grup A, C, atau G; dan terhadap semua hemolitik ß grup F.
b.7. Streptococcus Grup N: Mereka jarang menimbulkan penyakit pada
manusia namun dapat menyebabkan penggumpalan normal pada susu. b.8. Streptococcus Grup E, F, G, H, dan K-U: Bakteri streptococcus ini
terdapat terutama pada hewan dan terkadang juga pada manusia. b.9. Streptococcus pneumoniae: Bakteri pneumokokus bersifat hemolitik-
α.
b.10. Streptococcus viridians: Secara tipikal, biasanya bersifat hemolitik-α, tapi kemungkinan lain mereka bersifat nonhemolitik. Bakteri streptococcus viridians merupakan bakteri yang paling umum sebagai flora normal pada saluran pernafasan atas dan berperan penting untuk menjaga kesehatan membran mukosa yang terdapat disana.45
Selain itu penyebab lain dari sepsis neonatorum adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella, Enterobacter sp, Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp,Listeria monocytogenes dan bakteri anaerob. Sepsis awitan dini akan terlihat sebagai proses nyata, yang mengenai banyak organ pada minggu pertama kehidupan, sedangkan
sepsis awitan lambat, sering dimanifestasikan sebagai meningitis setelah minggu pertama kehidupan.
Pertama-tama biasanya dihubungkan dengan faktor-faktor ibu dan organisme yang berasal dari cairan ketuban yang terinfeksi atau ketika janin melewati jalan lahir, dan setelah itu bayi mungkin terinfeksi dari lingkungannya atau dari sejumlah sumber di rumah sakit. E. coli dan streptococcus B mungkin bertanggung jawab atas terjadinya sepsis awitan dini atau lambat, sedangkan S. aureus, Klebsiella, Enterobacter sp, P. aeruginosa dan Serratila sp, lebih lazim menyebabkan sepsis awitan lambat.21
c. Environment
Beberapa faktor lingkungan yang menjadi determinan sepsis neonatorum terutama berasal dari keadaan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) yaitu jumlah pasien yang terlalu banyak, kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan, kurangnya handuk atau tissue, tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak nyaman, buruknya kebersihan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas ruangan isolasi, dapat meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum.
Semua faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.7