Tujuan determinasi unit penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1988) mengemukakan bahwa untuk menentukan unit usaha perikanan tangkap pilihan digunakan metoda skoring. Penilaian metoda skoring mencakup analisis terhadap aspek-aspek sebagai berikut :
(1)Aspek biologi mencakup : lama waktu musim penangkapan ikan dan musim ikan dengan melihat jumlah bulan musim ikan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan dan melihat mesh size jaring yang digunakan untuk menganalisa selektivitas alat tangkap.
(2)Aspek teknis mencakup: produksi per trip, produksi per tenaga kerja dan produksi per tenaga penggerak kapal.
(3)Aspek sosial meliputi: jumlah tenaga kerja per unit penangkapan dan pendapatan nelayan per unit penangkapan serta kemungkinan kepemilikan unit penangkapan ikan oleh nelayan yang diperoleh dari pendapatan nelayan per tahun dibagi investasi dari unit penangkapan.
(4)Aspek ekonomi mencakup: analisis aspek ekonomi dan finansial yaitu meliputi penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per tenaga kerja dan penerimaan kotor per tenaga penggerak kapal. Sedangkan untuk analisis
finansial meliputi penilaian dengan Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR).
Prinsip dasar untuk penentuan berdasarkan cara skoring terhadap unit perikanan tangkap adalah untuk penilaian pada kriteria yang mempunyai satuan berbeda dan penilaiannya dilakukan secara subjektif. Penilaian terhadap semua kriteria secara terpadu dan dilakukan standarisasi nilai dari kriteria masing-masing unit penangkapan ikan. Kemudian skor tersebut dijumlahkan, makin besar jumlah skor berarti lebih baik atau efisien dan sebaliknya (Mangkusubroto dan Trisnadi, 1985).
2.5 Konsep Dasar Sistem Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan
Berbagai permasalahan sumberdaya maupun lingkungan yang sedang dihadapi pada saat ini, telah menjadi dasar dan alasan penting bahwa pengembangan teknologi penangkapan ikan dimasa mendatang lebih dititik beratkan pada kepentingan konservasi sumberdaya dan perlindungan lingkungan. Usaha-usaha untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari ancaman kepunahan, sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh berbagai ahli penangkapan ikan di seluruh dunia. Sebagai contoh, industri penangkapan ikan di laut Utara telah melakukan berbagai usaha untuk mengurangi buangan hasil tangkap sampingan lebih dari 100 tahun yang lalu (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Kegiatan ini pada akhirnya telah mengarahkan kepada pengembangan penelitian selektivitas mata jaring yang dilakukan oleh sebagian besar negara- negara di benua Eropa. Hal tersebut kemudian diikuti oleh negara-negara di Asia. Usaha-usaha tersebut di atas belum dapat dikatakan berhasil, setelah diketahui bahwa hampir sebagian besar ikan-ikan yang lolos dari alat tangkap melalui selektivitas dilaporkan mengalami kematian akibat luka atau stres yang diterima selama proses penangkapan dan pelolosan (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Terlebih lagi dengan kerusakan lingkungan bumi dan sumberdaya alam yang telah melampaui ambang batas dan menghawatirkan bagi kelangsungan hidup generasi mendatang akhir-akhir ini, telah menggugah kepedulian masyarakat dunia untuk segera bertindak. Akhir abad ke-20 kiranya dapat disebut sebagai
abad sadar lingkungan dengan telah dicanangkannya dua isu penting internasional yaitu pemeliharaan lingkungan bumi dan jaminan penyediaan pangan (earth environmental conservation and food security)(Purbayanto dan Baskoro 1999).
Perhatian internasional tentang tingkat stres dan kematian dari ikan-ikan setelah lolos dari alat tangkap dan diperlukannya standarisasi dari penelitian selektivitas telah membawa kedua isu ini menjadi fokus perhatian para ahli penangkapan ikan. Penelitian mengenai survival dan selektivitas telah menjadi suatu topik utama dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini sejalan dengan
International Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dihasilkan dari pertemuan konsultasi ahli-ahli perikanan dunia (FAO) tahun 1995. Untuk mewujudkan pengembangan selektivitas alat tangkap secara sukses tanpa mengakibatkan kematian ikan-ikan yang lolos melalui proses seleksi alat tangkap, telah direkomendasikan bahwa kegiatan penelitian survival dan selektivitas harus saling terkait (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Memasuki awal melenium III, trend pengembangan teknologi penangkapan ikan di tekankan pada teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (environmental friendly fishing technology) dengan harapan dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Teknologi penangkapan ikan ramah lingkunganadalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut merusak dasar perairan (benthic disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi (Arimoto 1999).
Faktor lain bagaimana dampaknya terhadap bio-diversity dan target
resources yaitu komposisi hasil tangkapan, adanya by catch serta tertangkapnya ikan-ikan muda. Berbagai permasalahan sumberdaya maupun lingkungan yang sedang dihadapi pada saat ini telah menjadi dasar dan alasan penting bahwa pengembangan teknologi penangkapan ikan dimasa mendatang dititik beratkan pada kepentingan konservasi sumberdaya dan perlindungan lingkungan (Purbayanto dan Baskoro 1999).
Proses seleksi alat tangkap ramah lingkungan dimulai dengan melihat spesies ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Apakah spesies tersebut termasuk kategori dilindungi atau terancam punah, jika ya maka tidak dilakukan
penangkapan. Jika spesies termasuk kategori yang diperbolehkan, maka dapat dilanjutkan dengan memilih teknologi penangkapan yang ada di perairan tersebut, dengan memenuhi syarat ramah lingkungan dan berkelanjutan (Monintja 2000). Beberapa kriteria alat tangkap ramah lingkungan dan berkelanjutan adalah:
1) Mempunyai selektivitas yang tinggi. 2) Tidak merusak habitat.
3) Tidak membahayakan operator. 4) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi.
5) Produk yang dihasilkan tidak membahayakan konsumen. 6) By-catch rendah.
7) Tidak berdampak buruk terhadap biodiversity. 8) Tidak menangkap ikan-ikan yang dilindungi. 9) Dapat diterima secara sosial.
10)Hasil tangkapan tidak melebihi TAC. 11)Tingkat keuntungan tinggi.
12)Nilai investasi rendah.
13)Penggunaan bahan bakar rendah. 14)Secara hukum legal.
2.6 Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) 2.6.1 Sistematika dan morfologi ikan layang
Menurut Weber dan Beaufort (1931) diacu dalam Najamuddin (2004) sistematika ikan layang (Decapterus spp) adalah sebagai berikut:
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidae Devisi : Carangi
Famili : Carangidae
Sub Famili : Caranginae Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus russelli, (Ruppel)
D. lajang, (Bleeker) D. Kurroides, (Bleeker)
D. maruadsi, (Temminck dan Schlegel)
Nama Decapterus terdiri dari dua suku kata yaitu Deca artinya sepuluh dan Pteron artinya sayap. Jadi Decapterus berarti ikan yang mempunyai sepuluh sayap. Nama ini berkaitan dengan layang yang berarti jenis ikan yang mampu bergerak sangat cepat di air laut. Kecepatan tinggi ini memang dapat dicapai karena bentuknya seperti cerutu dan sisiknya halus. Selanjutnya dikatakan bahwa genus marga ini mudah dibedakan dari 26 marga lainnya dalam suku Carangidae, karena mempunyai tanda khusus yaitu terdapat finlet di belakang sirip punggung dan sirip dubur, mempunyai bentuk tubuh yang bulat memanjang dan pada bagian belakang garis sisi (lateral line) terdapat sisik-sisik berlengir (lateral scute) (Burhanuddin et al. (1983) diacu dalam Najamuddin (2004).
Berikut ini deskripsi dari beberapa jenis ikan layang menurut Saanin (1984); Nontji (1993) adalah sebagai berikut: Decapterus russelli (Ruppell), Decapterus macrosoma (Bleeker), Decapterus macarellus (Cuvier), dan Decapterus kurroides
(Bleeker).
Decapterus russelli nama Indonesia disebut ikan layang dan nama daerah khusus untuk Jawa disebut Benggol, Kerok, layang; Jabar/Jakarta : Layang; Madura: Kaban padara, Kaban patek, Lajeng rencek bulus, Rencek kaban, Rencek padara, Rencek patek ; Maluku (Ambon) : Momar merah ; Nusa Tenggara Timur : Layang. Decapterus russelli mempunyai badan memanjang, agak gepeng. Dua sirip punggung, sirip punggung pertama berjari-jari 9 (1 meniarap + 8 biasa), sirip punggung kedua berjari-jari keras 1 dan 30 – 32 lemah. Sirip dubur berjari-jari keras 2 (lepas) dan 1 bergabung dengan 22 – 27 jari-jari sirip lemah. Baik dibelakang sirip punggung kedua dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan (finlet). Termasuk pemakan plankton (invertebrata).
Decapterus russelli hidup di perairan lepas pantai, kadar garam tinggi, membentuk gerombolan besar. Dapat mencapai panjang 30 cm umumnya 20 – 25 cm. Warna biru kehijauan, hijau pupus bagian atas, putih perak bagian bawah. Sirip-siripnya abu-abu kekuningan atau pucat dan satu totol hitam terdapat pada tepian atas penutup insang (Gambar 3).
Gambar 3 Ikan layang (Decapterus russelli). Sumber. Allen Gerry (1999).
Decapterus macrosoma nama Indonesia disebut ikan layang dan nama daerah khusus untuk Jawa disebut benggol deles, layang deles, layang lidi, luncu; Jawa Barat/Jakarta : layang deles; Madura : bulus blanseng, Kaban bulus: bawean : Bulus ; Muna-Buton : Lada Seram : Iya biya; Ambon : momar, momol, momare, kela mahu; Saparua : momar papeda; Nusa Tenggara Timur : layang.
Decapterus macrosoma mempunyai badan memanjang,seperti cerutu. Badan sepintas lalu seperti tongkol. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 8; sirip punggung kedua berjari-jari keras 1 dan 32 – 35 lemah. Sirip dubur berjari-jari keras 2 (lepas), 1 jari-jari keras bergandeng dengan 26 – 30 jari-jari lemah. Di belakang sirip punggung kedua dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan (finlet). Terdapat 25 – 30 sisik duri pada garis sisinya.
Decapterus macrosoma termasuk pemakan plankton kasar. Hidup bergerombol di perairan lepas pantai, daerah-daerah pantai laut dalam, kadar garam tinggi. Dapat mencapai panjang 40 cm, umumnya 25 cm. Warna biru kehijauan bagian atas, putih perak bagian bawah. Sirip-siripnya kuning pucat atau kuning kotor. Satu totol hitam pada bagian atas penutup insang, dan pangkal sisip dada (Gambar 4).
Gambar 4 Ikan layang (Decapterus macrosoma).
Decapterus macarellus nama Indonesia disebut ikan malalugis biru. Jari- jari sirip terdiri dari D VIII; I, 31 – 37, A. II; I, 27 – 31, GR 9 – 31 + 31 – 39. Mempunyai tubuh memanjang dan ramping; sirip punggung pendek, tidak sampai melebihi garis vertical dari ujung posterior duri-duri perut; garis lateral terdiri dari 68 – 79. Sisik berbentuk kurva, 19 – 33 sisik berbentuk lurus diikuti dengan 23 – 32 scute; tidak mempunyai gigi pada rahang atas, membran sub spesifik rahang atas berwarna putih; ujung rahang atas berbentuk lurus dan jaringan adipose mata berkembang dengan baik. Berwarna biru metalik sampai kehitaman pada bagian atas, putih keperakan pada bagian bawah, terdapat bintik/noda hitam kecil pada garis tepi operkulum. Sirip ekor berwarna kuning kehitaman, sedang sirip lainnya berwarna putih kehitaman. Panjang tubuh bisa mencapai 28 cm (Gambar 5).
Gambar 5 Ikan layang (Decapterus macarellus ). Sumber. Allen Gerry (1999).
Jari-jari sirip Decapterus kurroides terdiri dari D VIII, I, 28 – 30, A. II; I 22 – 26, GR 9 – 12 + 26 – 32. Mempunyai tubuh memanjang dan sedikit gepeng. Jaringan adipose menutup seluruh mata dan terdapat sebuah celah. Sisik berada diatas kepala dan menyebar mendekati garis tepi anterior mata. Sirip dada memanjang mendekati sebuah garis vertikal dari sirip dorsal lemah. Rahang atas dengan rangkaian gigi, rahang bawah memiliki sederatan gigi yang tidak teratur. Lateral line melengkung kebawah didepan terdapat 47 – 55 scute pada bagian yang lurus. Badan bagian atas berwarna biru kehijauan dan bagian bawah berwarna putih keperak-perakan. Terdapat satu bintik noda hitam pada garis tepi operkulum. Sirip ekor berwarna merah, spinous dorsal dan sirip dorsal lemah kadang-kadang berwarna kehitaman, sedangkan sirip lainnya berwarna putih. Panjang tubuh 17 cm ( Gambar 6).
Gambar 6 Ikan layang (Decapterus kurroides).
Sumber . Allen Gerry (1999).
2.6.2 Siklus hidup, distribusi dan ruaya ikan layang
Siklus hidup ikan layang harus diketahui agar dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya (Widodo 1998). Perhatian terhadap proses-proses yang terdapat dalam perkembangan awal hidup ikan layang merupakan hal yang menarik karena berhubungan dengan stabilitas populasi ikan tersebut dalam suatu perairan. Mortalitas pada awal perkembangan hidup ikan umumnya sangat besar dimana fluktuasi mortalitas mempunyai andil yang besar dalam menentukan variasi produksi pada tiaptiap tahunnya.
Menurut Widodo (1998) secara ringkas siklus hidup ikan layang dimulai dari telur, fase larva, anakan, populasi muda, dewasa, memijah dan akhirnya mati.. Ikan layang memulai kehidupannya sebagai plankton yang berukuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus lautan.
Layang umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan pemakan plankton dengan jalan menyaring plankton yang masuk untuk memilih jenis plankton yang disukainya . Pada siang hari ikan layang berada di dasar perairan membentuk gerombolan yang padat dan kompak, sedangkan pada malam hari naik ke permukaan membentuk gerombolan yang menyebar. Ikan juga dapat muncul ke permukaan pada siang hari, apabila cuaca mendung disertai hujan gerimis (Sumadhiharga 1991).
Ikan layang muncul di permukaan laut oleh karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari organisme-organisme lain yang terdapat di suatu perairan. Pada siang hari gerombolan-gerombolan ikan ini bergerak ke lapisan atas, dimana perpindahan tersebut disebabkan oleh adanya perpindahan massal plankton nabati
yang diikuti oleh plankton hewani, kemudian organisme hewan-hewan kecil, seterusnya oleh organisme-organisme yang lebih besar termasuk ikan (Asikin, 1971). Ikan layang biasanya memanfaatkan benda-benda terapung seperti rumpon sebagi substrat untuk meletakkan telurnya dan sebagai tempat berlindung dari predator maupun tempat untuk mencari makan.
Penyebaran ikan layang sangat luas di dunia. Jenis-jenis ikan ini mendiami perairan tropis dan sub tropis di Indo-Pasifik dan Lautan Atlantik. Walaupun jenis ikan ini hidup di wilayah yang luas, namun setiap jenis mempunyai wilayah sebaran tertentu . Ikan layang di Perairan Indonesia terdapat 5 jenis ikan layang yakni Decapterus russelli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima spesies tersebut hanya
Decapterus russelli yang mempunyai daerah sebaran yang luas di Indonesia mulai dari Kepulauan Seribu hingga Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang
senang hidup di perairan dangkal seperti di Laut Jawa ( termasuk Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali), Ambon dan Ternate.
Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali, Laut Banda, Selat Makasar dan Sangihe. Ikan layang Deles (Decapterus macrosoma) termasuk dalam kelompok ikan pelagis kecil yang sudah dieksploitasi secara intensif di perairan Selat Makassar. Decapterus kurroides terdapat di Selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam seperti di Laut Banda. Ikan ini tertangkap pada kedalaman 100 meter atau lebih (Gafa et al. (1993) diacu dalam Nontji (1993)).
Layang (Decapterus spp) terutama terkonsentrasi di perairan utara Jawa, utara dan selatan Sulawesi. Daerah penyebarannya mulai dari barat Sumatera, selatan Jawa, timur Kalimantan, Nusa Tenggara, selatan dan barat Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1997). Jenis dan daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia No Jenis Ikan Daerah Penyebaran
1 Deapterus russelli Kepulauan Seribu hingga Bawean dan
Pulau Masalembo
2 Decapterus kurroides Selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu 3 Decapterus lajang Laut Jawa (Selat Sunda, Selat Madura
dan Selat Bali), Selat Makasar, Ambon
dan Ternate
4 Decapterus macrosoma Selat Bali, Selat Makasar dan Sangihe 5 Decapterus maruadsi Laut Banda
Menurut (Hardenberg, 1973 diacu dalam Djamali, 1995) di Laut Jawa populasi layang ada tiga macam yaitu layang utara, layang barat, dan layang timur. Pada Musim Timur populasi layang disebut layang timur, jadi disini yang akan dibahas adalah populasi layang timur. Selanjutnya ia menyatakan bahwa ruaya layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan massa air laut, walaupun secara tidak langsung. Selama musim timur berlangsung air dengan salinitas tinggi mengalir dari Laut Flores masuk ke Laut Jawa dan keluar melalui Selat Gaspar, Selat Karimata, dan Selat Sunda. Pada tahap permulaan layang yang masih kecil berasal dari Laut Flores bermigrasi ke barat dan sampai di Pulau Bawean. Pada musim timur pada bulan Juni sampai September terdapat banyak layang di Laut Jawa. Ia menyebut populasi ikan ini sebagai layang timur. Menurut Burhanuddin dan Djamali (1977), layang timur terdiri dari dua populasi. Populasi pertama berasal dari Selat Makasar dan populasi ke dua berasal dari Laut Flores. Jadi pengamatan ini memperkuat hipotesa (Hardenberg, 1937 diacudalam Djamali, 1995) dengan tambahan adanya populasi layang dari Selat Makasar.
Pada umumnya ruaya layang berkaitan erat dengan pergerakan massa air laut walaupun secara tidak langsung. Dalam hal pola pergerakan arus sangat mempengaruhi ruaya layang, karena layang cenderung melakukan ruaya mengikuti massa air, sebaran salinitas yang tinggi, serta ketersediaan makanan (Djamali, 1995). Layang sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan kesediaan layang adalah arus. Karena layang biasanya melakukan ruaya mengikuti kadar garam dan ketersediaan makanan. Dengan mengikuti pergerakan arus tersebut layang
cenderung beruaya mengikuti arus, di mana di daerah tersebut banyak mengandung ketersediaan makanan (plankton) dan bersalinitas tinggi di atas 32
o
/oo (Djamali, 1995).
Ikan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagik, tidak menetap dan suka bergerombol, tergolong stenolaline, hidup di perairan yang berkadar garam tingg (32 - 34 permil), menyenangi perairan yang jernih, banyak tertangkap di perairan yang berjarak 20 - 30 mil dari pantai (Weber dan Beaufort, 1931; Hardenberg, 1938 diacu dalam Djamali 1995). Sifat bergerombol atau membentuk schooling ini merupakan suatu gejala biososial yang elemen-elemen penyebabnya merupakan suatu pendekatan yang bersifat timbal balik. Bagi ikan yang hidup bergerombol dapat memberikan kesempatan yang lebih besar untuk menyelamatkan dari predator, karena terlindung dalam suatu gerombolan; dan bagi beberapa jenis ikan yang hidup bergerombol dapat memberikan pengaruh stres yang lebih kecil dibanding hidup menyendiri (Royce, 1972 diacu dalam
Djamali 1995).
2.6.3 Pertumbuhan
Umumnya, ikan mengalami pertumbuhan secara terus menerus sepanjang hidupnya. Pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang dipelajari dalam dunia perikanan dikarenakan pertumbuhan menjadi indikator bagi kesehatan individu dan populasi yang baik bagi ikan.
Menurut Wahyuningsih dan Barus (2006), pengertian pertumbuhan dalam istilah sederhana yaitu sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah. Akan tetapi kalau kita lihat lebih lanjut, sebenarnya pertumbuhan itu merupakan proses biologis yang komplek dimana banyak faktor mempengaruhinya.
Menurut Weatherley (1972) diacu dalam Wahyuningsih dan Barus (2006), pertumbuhan ikan merupakan suatu pola kejadian yang kompleks dan melibatkan banyak faktor yang berbeda termasuk di dalamnya seperti : (1) temperatur dan kualitas air, (2) ukuran, ketersediaan dan kualitas makanan, (3) ukuran, umur dan jenis ikan itu sendiri, dan (4) jumlah ikan-ikan lain yang memanfaatkan' sumber- sumber yang sama.
Pertumbuhan individu adalah pertumbuhan ukuran panjang dalam suatu periode waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi adalah pertambahan jumlah dan biomas totalnya. Pertumbuhan tersebut merupakan proses biologi yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Beberap faktor yang mempengaruhi pertumbuhan diantaranya jumlah makanan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang sama, suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran ikan dan kemmatangan gonad (Effendie, 1997).
2.6.4 Hubungan panjang berat
Pengukuran panjang dan berat ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan ikan pada waktu tertentu. Panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat tubuh. Hubungan panjang dengan berat seperti hukum kubik yaitu bahwa berat sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun, hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan bebeda-beda. Menurut Effendie (1997) harga eksponen ini telah diketahui dari 398 populasi ikan berkisar 1,2 – 4,0, namun kebanyakan dari harga n tadi berkisar dari 2,4 – 3,5. Bilamana harga n sama dengan 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya yaitu pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya. Pertumbuhan demikian seperti telah dikemukakan ialah pertumbuhan
isometrik. Apabila n lebih besar atau lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan
allometrik. Harga n yang kurang dari 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus yaitu pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya, sedangkan harga n lebih besar dari 3 menunjukkan ikan itu montok, pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya.
Cara yang dapat digunakan untuk menghitung panjang berat ikan ialah dengan menggunakan regresi, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari tiap-tiap panjang dan berat ikan atau dengan mengikuti jalan pendek seperti dikemukakan oleh Carlander (1968) diacu dalam Wahyuningsih dan Barus (2006), yaitu dengan mengadakan pengkelasan berdasarkan logaritma. Dasar perhitungan dari cara tersebut adalah sama namun metoda yang dikemukakan oleh Carlender lebih pendek dan dapat dipakai tanpa menggunakan mesin hitung. Nilai praktis yang didapat dari perhitungan panjang berat ini ialah kita dapat menduga berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai
pertumbuhan kemontokan, dan perubahan dari lingkungan serta baik digunakan terutama untuk ikan-ikan yang besar. Namun, kelemahan dari perhitungan ini yaitu hanya berlaku untuk sementara waktu saja (Reinthal, P & J. Stegen, 2005).
2.6.5 Tingkat kematangan gonad
Effendie (1992), menyatakan bahwa tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pertumbuhan ikan akan menjadi lambat pada saat mulai matang gonad karena sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad semakin bertambah berat bersamaan dengan semakin bertambah besar ukurannya, termasuk diametar telur . Selanjutnya dikatakan bahwa berat gonad akan bertambah maksimum sesaat ikan berpijah, kemudian berat gonad akan menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai selesai. Untuk mengetahui perubahan gonad secara kuantitatif dinyatakan dengan indeks kematangan gonad.
Menurut Devados (1969) diacu dalam Soumokil (1996), pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad perlu untuk mengetahui musim-musim ikan memijah, sehingga penangkapannya dapat dikontrol. Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kematangan gonad ikan yaitu mengukur perbandingan panjang gonad dengan rongga tubuh (body cavity), disamping mengetahui warna gonad, pembuluh darah dan butir-butir di dalamnya (Effendie, 1992).
2.6.6 Indeks kematangan gonad
Proses sebagain besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Berat gonad akan semaki bertambah dan mencapai maksimum ketika ikan itu akan memijah, kemudian berat ikan akan menurun setelah pemijahan. Perubahan- perubahan kondisi gonad ini dinyatakan dengan suatu indeks, yaitu Indeks