• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan

Teknologi penangkapan ikan layang yang digunakan oleh nelayan Maluku

Utara saat ini adalah mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu.

Ketiga alat tangkap ini dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan untuk mengetahui urutan prioritas pengembangan perikanan layang di Maluku Utara.

5.1.1 Aspek biologi

Berdasarkan analisis kriteria aspek biologi (Tabel 9), untuk spesies komposisi target spesies (%), ukuran hasil tangkapan utama (cm), dan lama waktu

musim penangkapan ikan layang (bulan) alat tangkap mini purse seine menempati

pada urutan prioritas pertama, jaring insang hanyut pada urutan prioritas kedua dan bagan perahu pada urutan prioritas ketiga. Hal ini disebabkan karena sifat alat yang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan dengan menarik tali kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan berbentuk seperti mangkok, pada kondisi ini ikan-ikan yang sudah terkurung sulit untuk meloloskan diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Baskoro (2002), bahwa pukat cincin dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan satu kapal ataupun dua unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian bagian bawah jaring dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin.

Hal lain yang menyebabkan persentase ikan layang lebih banyak tertangkap dengan pukat cincin karena alat tangkap pukat cincin didesain untuk menangkap gerembolan ikan yang hidup di permukaan air dan memanfaatkan sifat tingkah

laku dari ikan yang senang membentuk schooling. Nugroho (2005) menyatakan

hasil tangkapan yang mendominasi hasil tangkapan pukat cincin biasanya adalah

jenis ikan layang yaitu antara Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma.

Jaiswar et al.( 2001), menyatakan bahwa pukat cincin adalah alat

penangkapan yang bertujuan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish). Selanjutnya dikatakan tingkah laku ikan layang membentuk

gerombolan dekat dasar perairan pada siang hari dan mencari makan pada malam hari di permukaan perairan.

Hasil analisis (Tabel 9), menunjukkan bahwa jaring insang hanyut adalah alat tangkap yang mampu menangkap ikan layang dalam ukuran rata-rata terbesar bila dibandingkan dengan pukat cincin dan bagan perahu. Hal tersebut sangat berkaitan dengan selektivitas dari ketiga alat tangkap tersebut, dimana jaring insang hanyut adalah alat tangkap yang memilki selektivitas yang tinggi di bandingkan dengan alat tangkap pukat cincin dan bagan perahu. Sebagaimana penelitian yang dilakukan di kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan oleh Arifin (2008) menyatakan bahwa alat tangkap jaring insang hanyut termasuk kategori alat tangkap ramah lingkungan, sedangkan pukat cincin dan bagan perahu termasuk alat tangkap yang kurang ramah lingkungan.

5.1.2 Aspek teknis

Berdasarkan analisis aspek teknis (Tabel 10), yang dikaji berkaitan dengan efektivitas suatu unit penangkapan ikan, dimana alat tangkap tersebut dikatakan efektif jika alat tangkap tersebut memiliki produktivitas yang tinggi. Berdasarkan kriteria-kriteria penilaian yang digunakan dalam aspek ini adalah nilai produksi per tahun, produksi per trip dan produksi per tenaga kerja menempatkan alat

tangkap mini purse seine menempati urutan pertama dalam usaha perikanan

layang yang ada di perairan Maluku Utara.

Tingginya produktivitas yang dihasilkan alat tangkap mini purse seine

disebabkan karena prinsip pengoperasian alat tangkap ini yang bersifat aktif dengan cara melingkari tujuan penangkapan, mengkerucutkan bagian bawah jaring sehingga membentuk kantong menyebabkan ikan-ikan layang yang telah

berada dalam catchable area akan sulit untuk meloloskan diri. Sedangkan untuk

alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yang bersifat pasif dengan prinsip pengoperasian menghadang gerakan renang ikan sehingga peluang untuk mendapatkan hasil tangkapan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan alat

tangkap mini purse seine.

Faktor lain yang menunjang tingginya produktiviatas alat tangkap mini

purse seine adalah banyaknya jumlah tenaga kerja per armada tangkap dan ukuran alat tangkap (ukuran jaring) yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ukuran

alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu serta trip penangkapan

bersifat one day fishing, artinya jumlah hari penangkapan juga lebih banyak

dibandingkan dengan kedua alat tangkap lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian Irham et al., (2008), bahwa faktor-faktor teknis produksi yang

berpengaruh nyata terhadap produksi tangkapan alat tangkap mini purse seine

antara lain jumlah tenaga kerja, jumlah bahan bakar, jumlah hari tangkapan, tinggi jaring dan panjang jaring.

5.1.3 Aspek sosial

Dalam suatu usaha perikanan FAO dalam Asian Productivity Organisation

Development menyatakan bahwa dalam bidang perikanan berkelanjutan faktor sosial harus menjadi perhatian penting. Berdasarkan hasil skoring untuk aspek

sosial (Tabel 11), alat tangkap mini purse seine berada pada urutan pertama,

bagan perahu pada urutan kedua dan jaring insang hanyut menempati urutan

prioritas ketiga. Hal ini disebabkan karena alat tangkap mini purse seine mampu

memberikan kontribusi pendapatan nelayan yang lebih tinggi dibandingkan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu. Demikian juga dari aspek tenaga

kerja alat tangkap mini purse seine mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak

dibandingkan dengan kedua alat tangkap lainnya. Tingkat penguasaan teknologi ketiga alat tangkap tersebut tidak mengalami kesulitan, hal ini disebabkan pada umumnya nelayan sudah beberapa tahun menggunakan alat tangkap tersebut, dan pada umumnya setelah tamat sekolah mereka terjun menjadi nelayan untuk membantu perekonomian keluarga dan pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun.

Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya perairan pada masyarakat nelayan di Maluku Utara sangat tinggi. Pofesi nelayan umumnya dijalani seumur hidup. Keadaan ini menunjukkan bahwa perikanan telah menjadi bagian dari kehidupan nelayan, dan bahkan menjadi suatu cara hidup. Artinya, apabila terjadi gangguan pada kondisi ekologi sumberdaya perikanan, maka gangguan ini akan mempengaruhi juga pada kehidupan nelayan umumnya. Sulit pula dihindarkan

sifat sumberdaya perikanan yang bersifat public property. Impliksinya adalah

kompetisi dan tindakan-tindakan lain yang bersifat mencemari atau merusak menjadi gejala yang tidak bisa dihindarkan.

5.1.4 Aspek ekonomi

Berdasarkan hasil skoring untuk aspek ekonomi (Tabel 12), yang dikaji dari

segi kelayakan usaha menempatkan tangkap alat tangkap mini purse seine pada

urutan prioritas pertama sedangkan jaring insang hanyut menempati urutan prioritas kedua dan bagan perahu beraada pada prioritas ketiga

Hasil analisis kriteria kelayakan usaha pada aspek ekonomi dilakukan guna mengetahui kelayakan usaha penangkapan dari setiap alat tangkap untuk mengetahui keuntungan usaha yang di terima nelayan. Hasil analisis perhitungan nilai Net B/C mengambarkan skala penerimaan atas biaya dan modal adalah

untuk alat tangkap mini purse seine sebesar 2,88. Hal ini mempunyai arti bahwa

pendapatan yang diperoleh sebesar 2,88 kali dari atas besarnya biaya yang dikeluarkan sehingga usaha tersebut layak untuk dikembangkan.

Nilai Net B/C alat tangkap mini purse seine dan nilai Net B/C dari alat

tangkap jaring insang hanyut lebih tinggi dari pada nilai B/C alat tangkap bagan

perahu . Sedangkan untuk nilai NPV mini purse seine lebih besar dari kedua alat

tangkap lainnya yaitu sebesar Rp 379.547.452 dimana nilai NPV > 0 menunjukkan nilai rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke depan atau dengan kata lain nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha

perikanan mini purse seine di Maluku Utara memberikan keuntungkan sebesar

379.547.452 selama 10 tahun menurut nilai sekarang.

Nilai IRR yang diperoleh sebesar 55,53 % untuk alat tangakp mini purse

seine. Nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan mini purse seine di Maluku Utara setiap satu rupiah yang akan diinvestasikan akan memberikan

keuntungan sebesar Rp. 55,53 %, nilai IRR yang diperoleh mini purse seine lebih

besar dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yaitu dengan nilai sebesar 53, 75% dan 39,33 %.

Berdasarkan hasil perhitungan BEP yang dihasilkan dari unit penangkapan mini purse seine diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp. 68.399.099,76 dengan volume produksi per tahun sebesar 31.019,66 kg. BEP merupakan jumlah dan nilai minimal yang harus diperoleh agar dapat menutupi total biaya

nilai produksi per tahun sehingga usaha ini akan memberikan keuntungan apabila berada pada titik sama atau lebih besar dari Rp. 68.399.099,76 dengan volume produksi per tahun sebesar 31.019,66 kg.

Nilai paybackperiode yang diperoleh alat tangkap mini purse seine yaitu 2

tahun 1 bulan. Nilai yang diperoleh ini lebih kecil dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yaitu masing-masing 2 tahun 4

bulan dan 3 tahun 1 bulan. Dengan demikian unit penangkapan mini purse seine

membutuhkan periode waktu yang lebih singkat dalam pengembalian modal usaha dibandingkan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu.

Berdasarkan ketiga nilai kriteria kelayakan tersebut, dengan NPV bernilai positif, IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakann dan nilai Net B/C

lebih dari satu, maka unit penagkapan mini purse seine di Maluku Utara layak

untuk dikembangkan secara finansial dan menjadi prioritas utama dalam pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara.

Dalam pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara alat tangkap mini purse seine merupakan alat tangkap prioritas yang disarankan untuk dikembangkan harus tetap memperhatikan berapa jumlah alat tangkap yang optimal untuk dioperasikan di perairan Maluku Utara sehingga tidak akan akan terjadi kelebihan penggunaan alat tangkap ini. Dalam beberapa penelitian juga

dikatakan bahwa alat tangkap purse seine mampu memberikan keuntungan yang

maksimal tetapi selain dengan melakukan analisis finansial juga untuk ke depan

terlebih perlu faktor-faktor produksi terhadap usaha perikanan purse seine.

Masyahoro (2001) menyatakan bahwa faktor lama operasi/trip dan ukuran

panjang jaring purse seine akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap

besarnya hasil tangkapan dalam operasi penangkapan ikan layang mengunakan

alat tangkap purse seine.

Keunggulan alat tangkap tangkap pukat cincin disebabkan antara lain karena tingginya produktivitas menyebabkan pendapatan kotor yang cukup besar dibandingkan kedua alat tangkap tersebut sehingga dari segi ekonomi alat tangkap mini purse seine menempati urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu pada urutan ketiga.

5.1.5 Aspek keramahan lingkungan

Berdasarkan hasil analisis keramahan lingkungan dari ketiga alat tangkap (Tabel 13), menempatkan alat tangkap jaring insang hanyut pada urutan prioritas

pertama, selanjutnya mini purse seine, sedangkan bagan perahu termasuk alat

tangkap yang dianggap kurang ramah lingkungan dan berada pada prioritas ke tiga.

Jaring insang hanyut dikategorikan alat tangkap yang ramah lingkungan karena alat tangkap ini dioperasikan di kolom air. Selain itu, ukuran ikan dan jenis ikan yang tertangkap juga selektif sehingga tidak akan mempengaruhi keseimbangan struktur umur populasi ikan (Suharyanto, 1998).

Tujuan utama penangkapan dari alat tangkap pukat cincin adalah kelompok ikan pelagis kecil dan ikan yang dominan tertangkap pada alat tangkap ini adalah ikan layang atau di Maluku Utara dikenal dengan “ikan sorihi”. Berdasarkan hasil pengelompokkan alat tangkap pada tingkat keramahan lingkungan pukat cincin di kategorikan pada alat tangkap yang kurang ramah lngkungan. Hal ini sesuai

dengan pendapat (Atmaja dan Haluan, 2003) bahwa alat tangkap purse seine

memang cukup selektif terhadap ukuran dan jenis ikan target spesies sehingga

tidak mengganggu siklus hidup dan pertumbuhan populasi, namun demikian pada kondisi-kondisi tertentu terdapat beberapa populasi yang ukurannya berbeda dan berukuran kecil. Bila menggunakan rumpon maka beberapa ikan yang berukuran kecil juga ikut tertangkap, sehingga kategori ramah lingkungan alat tangkap pukat cincin tergolong dalam kategori sedang.

Bagan perahu dikategorikan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan

disebabkan karena selektivitas dan hasil tangkapan sampingan (by catch) memiliki

nilai yang rendah mampu menangkap semua jenis ikan yang ada dalam areal penangkapan dari berbagai jenis dan ukuran ini dibandingkan dengan alat tangkap lainnya dan jika dihubungkan dengan nilai aspek biologi menunjukkan bahwa hasil-hasil tangkapan ikan layang yang diperoleh relatif berukuran kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Najamuddin (2004), yang menyatakan alat tangkap bagan perahu termasuk alat tangkap yang tidak selektif dimana menangkap banyak jenis ikan dengan ukuran mulai dari kecil sampai besar.

Menurut Shepherd (1992), menyatakan bahwa penangkapan ikan-ikan kecil lebih berbahaya dari pada penangkapan ikan memijah, karena lebih banyak jumlah ikan yang diambil dengan berat yang sama, dan juga ikan-ikan lebih kecil lebih mudah ditangkap bertahun-tahun sampai memijah. Jika ditangkap pada fase- fase sebelum memijah, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memijah, sementara tidak semua ikan yang memijah dapat ditangkap dan mereka mempunyai kesempatan memijah sekurang-kurangnya sekali.

Hal ini sesuai dengan pendapat Monintja (2000), bahwa alat tangkap ikan disebut ramah lingkungan bila memenuhi 9 kriteria tersebut selanjutnya menurut

Arimoto (1999) diacu dalam Samuel (2003), teknologi penangkapan ikan ramah

lingkungan adalah suatu alat tangkap yag tidak memberikan dampak lingkungan,

tidak merusak dasar perairan (benthik disturbance), kemungkinan hilangnya alat

tangkap kecil, serta kontribusinya terhadap polusi rendah.

5.1.6 Aspek gabungan biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan

Berdasarkan hasil dari total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial,

ekonomi, dan keramahan lingkungan unit penangkapan ikan layang (minipurse

seine, jaring insang hanyut, bagan perahu) di perairan Maluku Utara (Tabel 15),

maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap mini purse seine

pada urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu pada urutan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam usaha perikanan ikan

layang yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah alat tangkap mini purse

seine sesuai dengan pendapat Haluan dan Nurani (1988), dan Yuliansyah (2002)

yang menyatakan bahwa alat tangkap purse seine adalah alat tangkap yang paling

produktif untuk dikembangkan.

Analisis aspek gabungan dari aspek biologi, teknik, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan dimaksudkan untuk menilai penampilan alat tangkap secara menyeluruh. Hasil dari analisis ini merupakan salah satu indikator menyeluruh tentang bagaimana keberlanjutan dari suatu usaha penangkapan ikan layang yang ada di perairan Maluku Utara dan urutan prioritas dari alat tangkap yang ada.

5.2 Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Ikan Layang 5.2.1 Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY)

Data produksi dan upaya tangkap yang digunakan dalam penelitian ini

didasarkan pada jenis alat tangkap yaitu, mini purse seine, jaring insang hanyut

dan bagan perahu. Standarisasi alat tangkap sangat diperlukan untuk menyeragamkan kemampuan suatu alat tangkap ikan dalam menangkap ikan.

sehingga diperoleh catch gabungan, total effort standar dan CPUE standar. Hasil

standarisasi menghasilkan mini purse seine sebagai alat tangkap standar, karena

alat tangkap ini mempunyai nilai CPUE per tahun lebih besar dibandingkan alat

tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu.

Hasil korelasi antara CPUE dengan effort pada Gambar 16 menunjukkan

hubungan yang negatif, yaitu semakin tinggi effort semakin rendah nilai CPUE.

Korelasi negatif antara CPUE dengan effort mengindikasikan bahwa produktivitas

alat tangkap layang akan menurun apabila effort mengalami peningkatan.

Perhitungan potensi maksimum lestari yang dianalisis menggunakan metode Schaefer menghasilkan nilai hasil tangkapan maksimum yang diperbolehkan

(Cmsy) sebesar 20.109,43 ton per tahun. Nilai Cmsy yang diperoleh menunjukkan

tingkat produksi maksimum lestari yaitu hasil tangkapan ikan layang yang dapat ditangkap tanpa mengancam kelestarian sumberdaya perikanan yang terdapat di perairan Maluku Utara. Sedangkan nilai upaya penangkapan lestari yang

diperoleh sebesar 32.448 trip standard mini purse seine . Nilai upaya penangkapan

yang diperoleh ini sudah mendekati nilai upaya penangkapan aktual (2007). Hal ini berarti peluang untuk penambahan armada penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara sangat kecil.

Hubungan antara upaya penangkapan dan hasil tangkapan ikan layang di

perairan Maluku Utara (Gambar 17) berbentuk parabola (fungsi kuadratik),

artinya setiap penambahan tingkat upaya penangkapan (E) maka akan

meningkatkan hasil tangkapan (C) sampai mencapai titik maksimum, kemudian

akan terjadi penurunan hasil tangkapan untuk tiap peningkatan intensitas pengusahaan sumberdaya.

5.2.2 Bio-ekonomik perikanan layang

Potensi ekonomi lestari (MEY) adalah nilai maksimum hasil tangkapan yang

dapat memberikan keuntungan maksimum. MEY perlu dihitung agar aktivitas

eksploitasi sumberdaya perikanan dapat berjalan dengan sehat, dan efisien untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum tanpa mengganggu proses regenerasi atau daya pulih sumberdaya tersebut. Harga ikan dan biaya operasional merupakan komponen penting yang diperlukan untuk menghitung nilai hasil tangkapan yang memberikan keuntungan maksimum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya penangkapan yang dibutuhkan

dalam ekspolitasi sumberdaya ikan layang sebesar Rp 988,375 per trip

penangkapan. Biaya penangkapan yang digunakan ini adalah biaya penangkapan

pada alat tangkap standard ((mini purse seine), dimana dalam usaha penangkapan

ikan layang memerlukan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable)

cost). Dalam penelitian ini, yang dimaksud biaya tetap adalah biaya yang sifatnya

tidak habis digunakan dalam satu kali operasional penangkapan. Biaya tetap terdiri atas penyusutan kapal, penyusutan alat tangkap, penyusutan mesin dan perlengkapan lainnya. Biaya tidak tetap adalah biaya yang sifatnya habis pakai pada setiap operasi penangkapan. Biaya tidak tetap meliputi biaya bahan bakar,

es ,ransum dan retribusi. Adapun harga jual ikan layang (Decapterus spp) di

Maluku Utara berkisar antara Rp 5500,00 sampai dengan Rp 6500,00 dengan harga rata-rata (p) sebesar Rp 6.000,00 per kg .

Analisis optimalisasi bio-ekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan model Gordon-Schaefer pada berbagai kondisi pengelolaan

menunjukkan bahwa pada kondisi pengeloaan MSY memiliki hasil tangkapan

lebih besar dibandingkan dengan hasil tangkapan yang diperoleh pada kondisi

pengelolaan MEY, aktual dan open acces. Hasil tangakpan ikan layang pada

kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan yang maksimum lestari dimana jika

hasil tangkapan sudah melebihi kondisi hasil tangkapan ini maka mengakibatkan

sumberdaya ikan layang tersebut menjadi tidak sustainable.

Perbandingan upaya penangkapan pada berbagai kondisi pengelolaan (Gambar 19), mengilustrasikan bahwa upaya penangkapan yang dilakukan armada

ketiga kodisi pengeloaan lainnya. Sebaliknya bila dilihat dari rente ekonomi tertinggi atau keuntungan optimum lestari yang diperoleh nelayan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara, dicapai pada

kondisi pengelolaan MEY dan terendah yaitu pada kondisi open acces.

Berkurangnya nilai rente ekonomi dalam pengusahaan perikanan laying ini akan terus berlangsung hingga dicapai keuntungan normal yaitu pada saat tingkat upaya

penangkapan yang dilakukan mencapai keseimabangan open acces (π =0). Jika

terjadi peningkatan upaya penangkapan melebihi kondisi ini maka akan mengakibatkan kerugian bagi nelayan. Dengan adanya keuntungan dalam pengelolaan sumberdaya menjadi pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan armada penangkapan maupun upaya penangkapan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.

Pada kondisi pengelolaan open acces, meskipun total penerimaan semakin

menurun, selagi total penerimaan masih lebih besar dari total biaya penangkapan (rente ekonomi positif), maka kondisi ini akan tetap dijalankan oleh nelayan untuk

bertahan dalam usaha penangkapan, dimana nelayan akan meningkatkan effort.

Jika tingkat effort sudah berlebihan, sehingga total penerimaan lebih kecil dari

total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan akan keluar dari

kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang harus lestari, walaupun rekruitmen oleh

alam terus berjalan, namun effort yang meningkat tajam setiap tahunnya akan

berimbas kepada produksi dan pendapatan nelayan itu sendiri. Pada kondisi open

acces tidak ada batasan bagi nelayan untuk tetap memanfaatkan sumberdaya.

Secara ekonomi pengusahaan sumberdaya pada kondisi open access tidak

menguntungkan karena keuntungan komparatif sumberdaya akan terbagi habis.

Akibat sifat sumberdaya yang open access maka nelayan cenderung akan

mengembangkan jumlah armada penangkapan maupun tingkat upaya penangkapannya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya, maka tidak efisien secara ekonomi karena keuntungan yang diperoleh lama kelamaan akan berkurang atau tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Oleh

economic yield atau terkendali agar dapat memberikan keuntungan yang maksimum dikarenakan upaya penangkapan yang terkendali sehingga total penerimaan yang diperoleh lebih besar dari pada total pengeluaran.

5.3 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang

Pengalokasian jumlah unit penangkapan dari teknologi penangkapan ikan terpilih dilakukan dengan tujuan agar kegiatan perikanan layang di Maluku Utara dapat berjalan efisien, lestari dan berkelanjutan.

Model linear goal programming yang digunakan dalam penelitian ini

memiliki tiga variabel keputusan dan tiga kendala tujuan. Variabel keputusan

yang dimaksud adalah jumlah unit penangkapan ikan layang terpilih (minipurse

seine) sebagai (X1). Adapun ketiga kendala tujuan yang dimaksud adalah: (1) mengoptimalkan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dengan pertimbangan MEY, (2) mengoptimalkan upaya penangkapan/jumlah hari operasi penangkapan

sesuai dengan upaya penangkapan pada tingkat fMEY, dan (3) mengoptimalkan

tingkat penyerapan tenaga kerja.

Hasil olahan LINDO dalam optimasi alokasi armada penangkapan ikan layang pilihan di perairan Maluku Utara memperlihatkan nilai fungsi tujuan

sebesar 1064. Hal ini menunjukkan bahwa dari tujuan atau target yang diinginkan,

Dokumen terkait