r
ahmat adalah santri di Pesantren Moderen Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM) Makassar. Tapi santri juga manusia. Dia pun sangat hobi mainsepakbola. Sebagai putra Makassar, jelas dia menggilai
kesebelasan
Persatuan Sepakbola Makassar (PSM). Rahmat tidak
sendiri, bersama teman-teman senasibnya di pesantren, mereka membentuk gank PSM Mania.
Tapi, pesantren punya segudang peraturan. Setiap santri tidak boleh keluar tanpa ijin khusus. Dalam sebulan boleh ijin keluar hanya sekali. Itupun pada hari libur, hari Jumat. Suatu hari terdengar kabar pasukan Ayam Jantan dari Timur akan berlaga.
Mereka tak ingin menyiakan kesempatan itu. PSM Mania pun minta ijin, tapi tidak diberi. Karena hasrat sudah tak terbendung terpaksa ambil jalan pintas, loncat pagar. Tapi Satpam pesantren lebih sigap. Mereka pun ditangkap.
Cerita tadi ada dalam Pagar (2006), film indie (independen) berjenre dokumenter yang dibesut oleh tokoh utama film itu, Rahmat Setiawan, 17 tahun bersama Aditya Ahmad, 18 tahun. Mereka santri Pesantren Modern IMIMM Makassar. Dari film ini Rahmat dan Adit meraih juara tiga nasional kategori Filmmaker, dalam kompetisi Creativity Week 2006 yang digelar British Council Indonesia.
Selain Pagar, Aditya dan Rahmat juga membuat Assala’
Kau Senang Jiee Cezz (2007), bahasa gaul Makassar yang boleh
diartikan ”asal kau senang kawan”. Film ini juga menceritakan kehidupan santri Pesantren IMIMM yang berasal dari berbagai suku, namun saling menyayangi.
“Ini bisa jadi bukti kalau santri tidak cuma bisa ngaji atau ilmu agama, tapi juga
bisa buat film
dan karya besar lain,” kata Aditya, kameramen sekaligus sutradara dua film itu.
Aditya mengaku tidak sulit untuk mendapatkan ide cerita. “Banyak hal yang unik dan menarik dari keseharian pesantren yang dapat diangkat menjadi sebuah karya yang baik,” kata putra kelahiran Makassar 29 Mei 1989 ini.
Pernyataan Aditya dibenarkan Irfan Amalee yang membuat film berlatar serupa, yaitu Biru Darahku (2006).
Ide cerita film itu, ditemukan Irfan saat menjadi ustadz untuk pelajaran sosiologi di Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Garut. Di akhir semester dia meminta para santrinya membuat diary tentang diri mereka. Irfan menemukan diary Fahri yang isinya melulu bercerita tentang Persib. Persib menjadi agenda terpenting dalam hidup Fahri (lihat: Semua
Orang Bisa Menjadi Filmmaker).
“Saya berpikir ini sangat layak untuk diangkat jadi film,” kata
Tak cuma mengaji, kini para santri juga pandai membuat film indie. Ada dokumenter, juga fiksi.
Keterbatasan peralatan dan dana bukan halangan.
Geliat Santri
di Film Indie
mantan Ketua Bidang Hikmah dan Advokasi Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (PPIRM) ini. Sejumlah prestasi diraih Biru Darahku. Film ini lolos seleksi untuk diputar di Festival KONFIDEN, festival tahunan film independen yang menjadi barometer perkembangan film indepen-den Indonesia.
”Setidaknya film ini menjadi satu diantara sedikit film yang layak diputar di festival itu. Film ini juga diputar di Slingshort
Film Festival yang skalanya Asia Tenggara,” jelas Irfan yang juga
pernah menimati kehidupan pesantren yang sama seperti Fahri, dari 1990 sampai 1996.
Film dengan latar belakang pesantren juga dibuat siswa-siswa Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah (QT), Salatiga.
Sabda Kelabu Seorang Santri (2006), demikian judul film fiksi
itu. Sutradaranya Maia Rosyida, siswi kelas 3 sekolah itu, mengangkat kisah ini dari sebuah cerpen dengan judul yang sama karya Azizah Hefni.
Ada seorang santriwati Nafsa yang kepincut seniornya Dafa. Namun peraturan pesantren menghalangi cinta mereka. Tapi cinta mereka tak bisa dibendung dan ditentang.
Karena ini produksi pertama, pembuat film ini pun meng-akui hasilnya jauh dari sempurna. Tapi mereka
patut berbangga
Sabda Kelabu pernah ditonton sineas Garin Nugroho.
“Garin sangat penasaran. Bagaimana Kepala Sekolah QT, Bahruddin bisa membuat anak-anak berkarya tanpa harus digurui,” ungkap Muntaha al-Hasan, salah satu pendamping di Sekolah QT.
Tak hanya itu, film ini memacu murid-murid sekolah tersebut memproduksi karya sinematografi lainnya. Lewat komunitas-komunitas film yang mereka dirikan di sekolah itu lahir film-film indie.
Komunitas film MR Cinemages, selain membuat Sabda
Kelabu Seorang Santri, juga memproduksi film fiksi seperti Life is Rock N Roll, Rock… Ohh…, Gadis di Balik Awan dan Papi Gue Puber Lagi. Bahkan komunitas ini bekerja sama dengan LSM
Aceh Pinto sedang memproduksi film dokumenter berjudul Cerita Pendidikan AnakAnak Korban Tsunami di Pulot.
Sedang Big Fam Production membesut film drama Do’a
untuk Kakakku dan MTV yang berisi parodi video klip penyanyi
yang sedang ngetop.
Adik-adik kelas mereka pun tak mau kalah. Untuk proyek kelas, murid-murid kelas 1 SMP QT angkatan 2006 membuat film berjenre komedi horor berjudul Funky Ghost (2006). “Padahal di sekolah kami tidak ada bidang studi film. Mereka mempelajari apapun sesuai kesukaan dan selera mereka. Dan biasanya de-ngan langsung mempraktekkan,” jelas Muntaha.
Pengalaman serupa juga dialami pelajar SMA dan pesantren di Jogjakarta yang tergabung dalam Komunitas Coret. Karena sekolah mereka tidak mengajarkan, mereka belajar menulis dan
membuat film dokumenter dalam Workshop Creative Writing
and Documentary yang digelar Lembaga Kajian islam dan Sosial
(LKiS) Jogjakarta.
Hasilnya, lahir film dokumenter berjudul Dunia Tahfidz (2007). Film ini menguak kehidupan santri-santri perempuan yang belajar menghapal al-Qur’an di Pesantren Krapyak Jogjakarta. Norma-norma pesantren itu ternyata tidak membelenggu mereka untuk memahami ’dunia luar’ dan berkarya.
Komunitas ini juga melahirkan Bocah Candi (2007), film dokumenter yang mengisahkan anak-anak di seputar Candi Prambanan yang juga digagas dari workshop itu.
Selain Coret, dari workshop itu lahir komunitas-komunitas serupa di tiga daerah lain. Masing-masing komunitas itu membuat film dokumenter. Komunitas Jeda di Magelang membuat film Pilang (2007) dan Jalan Tika (2007). Komunitas Oekir di Jepara meluncurkan Sudah Bukan Cina (2007). Dan Komunitas Toelis di Solo menelurkan Raja Ketoprak Tukang Becak (2007).
Bersama-sama mereka menggali tema mengenai
kenyataan sosial di daerahnya. Tujuannya agar terjadi interaksi antar anggota komunitas dan objek film. ”Pembuatan film
bisa sebagai media pembelajaran
agar tumbuh kepedulian
terhadap sekitar,” jelas Direktur LKiS Farid Wajdi.
Dari kegiatan itu, para anggota komunitas itu berhasil membuang stigma tentang banyak hal, yang lama bercokol di pikiran mereka. Salah satunya adalah stigma tentang waria. Ini didapat saat mereka membuat film Jalan Tika.
Film ini mengisahkan tentang Hartoyo yang lahir laki-laki, namun merasa sebagai perempuan. Ia pun memilih dipanggil Kartika alias Tika. Agar tidak menjadi waria, Hartoyo dinikahkan keluarganya pada usia 17 tahun. Pernikahan itu dijalani setahun dengan cinta segitiga, dia, istrinya dan ”partner”nya. Bahkan hingga dikarunia dua orang anak.
Saat film itu diluncurkan di Magelang, seorang ibu yang diundang dalam acara itu menangis. Ia mengakui, selama ini dirinya salah menilai kehidupan para waria. Si Ibu itu pun memeluk Tika.
”Ini tanda bahwa film juga bisa jadi media mepengaruhi orang,” kata K. Ardi, sineas film independen dari Jogjakarta yang menjadi mentor workshop bagi komunitas-komunitas itu.
Menyampaikan sesuatu lewat film memang lebih mudah diserap. ”Ketimbang hanya sekedar ngomong,” imbuh K. Ardi yang telah melahirkan beberapa film dokumenter.
0
bukanlah halangan untuk melahirkan film bermutu. Itu dirasakan Aditya Ahmad dan Rahmat Setiawan. Ketika masih nyantri di Ponpes Modern Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM) Putra Makassar, mereka berdua membuat film dokumeter Assala’ Kau Senang Jie Cezz (2007).
Dalam film itu ada adegan para santri berebut roti. “Karena uang untuk membeli roti telah habis, batu aku bungkus seperti roti,” Adit panggilan akrab Aditya Ahmad, mengisahkan.
Selain Assala’ Kau Senang Jie Cezz, Adit dan Rahmat menelorkan film dokumenter
Pagar (2006). Kedua film itu mengisahkan
lika-liku kehidupan pesantren.
“Banyak hal yang unik dan menarik dari keseharian pesantren yang dapat diangkat menjadi sebuah karya yang baik,” ujar Adit kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.
Para pemainnya juga diambil dari sesama santri. “Tanpa casting, naskah skenario dan honor. Tapi hasilnya justru lebih alami,” kata pria kelahiran Makassar 29 Mei 1989 yang kini duduk di Semester II jurusan Broadcasting Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Fajar Makassar.
Untuk mengambil gambar dari berbagai sisi, Adit tidak kehilangan akal. Adegan diambil hingga beberapa kali. Aktornya diminta diam sejenak, guna memberi waktu pada kameramen mengambil gambar pada sisi yang dikehendaki. “Kesannya sih nyiksa teman-teman. Tapi apa boleh buat, kameranya cuma ada satu,” jelas Adit yang merangkap kameramen sekaligus sutradara dua filmnya.
Ketika pengambilan gambar pada malam hari, misalnya, sang sutradara tetap berupaya menyuguhkan kesan gelap, tanpa mengabaikan kejelasan gambar. Digunakanlah lampu sepeda motor yang dipinjam dari petugas keamanan pesantren.
Adit mengerjakan semua tahap pembuatan film itu sendiri. Hanya untuk proses editing, dia meminta bantuan Meditatif, sebuah komunitas film
Kesenian Makassar. “Karena belum tahu banyak soal editing,” kata sulung pasangan H. Mahmuddin Nasri, SKM dan Hj. Nur Syamsi, SE ini.
Permasalahan yang sama juga dihadapi Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah (QT), Salatiga. Murid-murid sekolah ini tidak memiliki peralatan sendiri saat membuat film pertamanya, Sabda
Kelabu Seorang Santri (2006). ”Saat itu
alat-alat yang kita pakai kebanyakan masih pinjam dari orang lain seperti handycam dan lighting,” kata Muntaha Al-Hasan, salah satu pendamping di Sekolah QT.
Bahkan ketika itu, pedamping (guru) dan siswa belum ada yang bisa mengedit film. Untungnya mereka punya kenalan di luar kota yang menguasai multimedia dan perfilman. Dikirimlah seorang pendamping bersama dua siswa ke tempat tersebut untuk belajar.
”Setelah kembali, mereka membagi ilmu yang didapat kepada
teman-temannya. Keahlian itu diwariskan hingga ke adik-adik kelasnya,” jelas Muntaha kepada Gamal Ferdhi dari the WAHID Institute.
Bahkan karena kemauan membuat film yang kuat, para siswa rela iuran Rp 5.000 tiap anak. Uang itu dipakai untuk membeli Mini DV, peralatan kosmetik dan konsumsi. Kostum pun dimodifikasi dari mukena, sorban, dan pakaian yang cocok buat penampilan sosok hantu.
Ini terjadi ketika membuat Funky
Ghost. Film berjenre komedi horor ini
menceritakan kisah Roni, seorang siswa
culun dengan kepandaian yang pas-pasan.
Ia selalu diganggu teman-temannya di sekolah. Gurunya juga menghadapi problem kehidupan dengan gaji kecil. Mereka berdua sepakat bunuh diri.
Film ini juga membutuhkan
pencahayaan yang membangkitkan efek menyeramkan. Tapi karena keterbatasan alat, para siswa sekolah itu membuat sendiri pencahayaannya. “Lampu neon kita tempel di kayu lalu diberi kabel yang panjang,” ungkap Muntaha.
Suplemen the WAHID Institute Edisi XV / Majalah Tempo / 31 Desember 2007
montase Witjak kameramen film dokumenter Biru Darahku (2006), juga melakukan sendiri beberapa tahap pembuatan film. Mulai dari menulis skenario, mengambil gambar hingga mengedit.
Namun dia beruntung, kamera yang digunakannya ketika membuat film itu dari kelas high end. “Waktu itu, kamera ini temasuk yang mahal dan masih jarang dipakai. Tapi ini milik organisasi. Saya diberi izin menggunakannya. Juga
handycam pribadi untuk back up,” katanya.
Untuk menyunting, Irfan menggunakan komputer pribadinya. ”Rekaman suara dilakukan di studio sewaan,” jelasnya.
Bahkan tokoh utama film Biru
Darahku, Fahri bersama Zink, grup
band-nya yang beraliran british punk membuat
soundtrack khusus untuk film itu.
“Pokoknya digarap seperti film beneran,” kata Irfan kepada Nurul H. Maarif dari the WAHID Institute.
Membuat film memang bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja, tanpa takut dibatasi pakem-pakem film industri. Tapi dalam membuat film dokumenter, filmmaker harus memiliki kedekatan dengan objeknya. ”Diperlukan pengamatan dan riset terlebih dulu,” kata sineas dari Jogjakarta K Ardi.
”Tapi yang lebih penting, film itu bisa menyampaikan apa yang jadi pemikiran dan keinginan kreatornya,” imbuh pria yang film-film dokumenternya berhasil masuk nominasi di beberapa festival ini.
Ardi juga mengatakan peralatan yang digunakan pun tidak usah yang muluk-muluk. ”Kalau ada yang punya kamera
handphone atau handycam, gunakan itu
saja dulu,” kata mentor Workshop Creative
Writing and Documentary LKiS Yogyakarta
ini.
Karena membuat film itu mudah dan murah, “Jika sudah punya keinginan membuat film, segera buat,” tandas Ardi.