melindungi warganya. Banyak lahir peraturan
diskriminatif.
Suplemen the WAHID Institute Edisi XVIII / Majalah Tempo / 31 Maret 2008
Adminduk). Kriteria itu dipakai untuk membedakan cara pelayanan administrasi kependudukan setiap pemeluk agama, baik di kelurahan, kecamatan atau Dinas Kependudukan (lihat:
Inilah Pasalpasal Diskriminatif Itu).
Rumusan seperti ini menurut Rudi Soraya dari Majelis Nasional Baha’i Indonesia sangat merugikan agama-agama yang masuk kategori belum diakui. Selain karena adanya definisi agama yang sempit, penggolongan agama seperti ini mengakibatkan terjadinya perlakuan yang tidak adil bagi agama yang belum diakui tadi, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
“Berbagai perlakuan buruk seperti penghancuran tempat ibadah, pengusiran dari tempat tinggal, tidak boleh kawin, anak-anak dikeluarkan dari sekolah hingga dipaksa pindah agama banyak kami alami,” jelas Soraya.
Diskriminasi juga masih dirasakan para penghayat kepercayaan. Meski dalam UU Adminduk mereka sudah boleh mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil (KCS) dengan mengosongkan identitas dalam kolom agama di KTP atau Kartu Keluarga, namun kebijakan ini tetap mengundang masalah.
Seperti diakui Engkus Ruswana, Presidium Badan Kerja sama Organisasi Kepercayaan (BKOK), para penghayat kepercayaan sering dituduh komunis atau atheis yang rentan diperlakukan diskriminatif. Tuduhan ini menimbulkan ketakutan mendalam untuk menyatakan identitas sehingga mereka kerap beribadah secara sembunyi-sembunyi.
Pelanggaran hak para penghayat kepercayaan juga timbul dari penerapan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ditegaskan pada pasal 2, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Meskipun pada awalnya tidak ada masalah, namun setelah Menteri Agama pada tahun 1978 menyurati para gubernur yang menegaskan bahwa perkawinan hanya sah jika berdasarkan hukum agama, perkawinan penghayat kepercayaan setelah itu tidak lagi dibenarkan.
Selain status perkawinan penghayat kepercayaan, undang undang produk Orde Baru ini juga melarang perkawinan beda agama, padahal sebelumnya praktek ini lazim di masyarakat. Pemerintah sama sekali tidak mengizinkan perkawinan jenis ini karena undang-undang ini didasarkan pada hukum perdata Islam (fiqh) dari satu pendapat (mazhab) yang tidak memboleh-kan perkawinan beda agama.
Seharusnya negara, menurut Djohan, bukan mendefi-nisikan sah tidaknya perkawinan. Apabila ada penduduk yang melakukan perkawinan, apakah berdasar agama, kepercayaan atau bahkan yang tidak beragama, mestinya tugas negara mencatatnya. “Nah, di situlah negara berperan.”
Hal senada disampaikan Frans Magnis Suseno, SJ. Bagi dosen STF Driyarkara ini, perkawinan adalah hak sipil setiap warga negara yang harus dijamin. Karena apabila hak per- kawinan ini tidak mendapat pengesahan oleh negara, hal itu akan menimbulkan masalah menyangkut sahnya anak, warisan dan sebagainya.
Namun regulasi bagaikan macan di atas kertas. Intervensi negara ke ruang-ruang privat warganya ternyata tidak
berpengaruh apapun, tetap saja banyak orang yang menikah beda agama. “Orang lebih mengikuti patokan moral ketimbang regulasi yang ada,” jelas Koordinator KONTRAS, Usman Hamid.
Peraturan lain yang juga menimbulkan masalah dalam hubungan antar agama adalah Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Aturan yang lahir dari pertentangan yang tajam antara berbagai kepentingan ideologi di masyarakat ini mewajibkan pelajaran agama di semua sekolah.
Dalam pemberian pelajaran agama, regulasi itu
memerintahkan setiap sekolah harus menyediakan guru yang seagama bagi masing-masing anak didik. Bagi penyelenggara pendidikan yang berafiliasi pada agama tertentu, ketentuan ini terasa memberatkan. Akibatnya, ketika tidak bisa memenuhi- nya, mereka kerap dicurigai memurtadkan peserta didiknya dari agama lain. “Masyarakat melihat ini sebagai paksaan. Ini yang membuat mereka tidak terima,” ungkap Djohan.
Seirama dengan UU Sisdiknas, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) juga menambah daftar peraturan yang mengancam kerukunan antar umat beragama. Pasal-pasal mengenai pengasuhan, misalnya, sangat problematis karena pengasuhan hanya boleh bagi pengasuh dan anak asuh yang seagama.
Hal ini menurut Frans Magnis Suseno bisa menimbulkan diskriminasi terhadap anak-anak terlantar yang belum bisa menentukan agama yang dianut. Menurutnya, anak bisa diasuh oleh siapapun meski berbeda agama.
”Yang penting anak itu harus diasuh dengan baik. Tetapi saya bisa mengerti bahwa di situ ada masalah dari orang-orang yang sangat agamis. Tidak saja dari sudut Islam, tetapi mungkin juga ada orang Kristiani keberatan jika anak Kristiani yang terlantar dibesarkan oleh orang Islam atau orang Hindu,” jelasnya.
Dengan melihat banyaknya aturan yang lebih berpihak kepada agama-agama ‘resmi’, timbul pertanyaan, bagaimana seharusnya negara memposisikan dirinya terhadap agama-agama ‘tidak resmi’ dalam bingkai kerukunan antar umat dok.WI/ Mubarik
karena tidak ingin memutus sesuatu yang ditolak oleh agama-agama yang besar. Mungkin pemerintah tidak memiliki cukup keberanian dan tanggung jawab,” jelasnya.
Sedangkan Djohan menilai bangsa kita tengah berada dalam situasi yang tidak sehat, saling curiga, sehingga masalah agama menjadi sangat sensitif. Baginya, negara seharusnya tidak terlalu jauh mencampuri urusan agama karena itu sepenuhnya tanggung jawab individu dan masyarakat.
Kalaupun ingin mencampuri urusan agama, negara tidak boleh keluar dari
pertimbangan HAM, yakni untuk menjaga moral publik, keamanan publik, kesehatan publik dan menghargai kebebasan orang lain. “Orang yang menyakiti orang lain yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah di Manis Lor, itu termasuk mengancam keamanan publik. Itu yang harus dibatasi,” papar Usman Hamid.
Djohan menggaris bawahi, bahwa proses masuk-nya agama ke dalam aturan negara tidak bisa dilepaskan dari fenomena kebangkitan agama-agama pada tahun 60-an. Hal ini ditandai dengan lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan agama, seperti aliran-aliran kharismatik dalam kekristenan dan gerakan pemurnian agama dalam Islam.
“Kalau dulu, ketika antara abangan dengan santri tidak terlalu jelas bedanya, yang jadi
patokan adalah budi pekerti orang. Tetapi ketika terjadi proses santrinisasi, ini lalu muncul pertentangan di masyarakat,” jelas Djohan.
Lebih-lebih, ketika keluar berbagai fatwa dari MUI yang mengharamkan praktek-praktek yang terkait dengan hubungan antar agama seperti larangan doa bersama, pluralisme, dan
Karena itu, bagi Usman, seharusnya setiap regulasi tidak mencampuri urusan yang sifatnya relasi antar manusia, yang
mungkin bisa memunculkan prasangka sosial, kebencian
dan tudingan-tudingan yang justru menghilangkan esensi dasar dari agama itu sendiri.
Regulasi model begini, merupakan interpretasi sosial yang keliru terhadap
kehidupan politik
masyarakat. “Ini sudah tidak relevan dengan kondisi hari ini. Jadi harusnya diperbaharui,” tegasnya.
Mekanisme hukum yang tersedia memberi ruang bagi masyarakat sipil untuk mendorong perubahan jika pemerintah tidak mau
memperbaharui. “Kalau peraturan di bawah undang-undang bisa
masuk ke Mahkamah Agung (MA), kalau setingkat undang
undang bisa masuk ke Mahkamah Konstitusi
(MK),” jelas Usman. Selain faktor ketatanegaraan di atas,
faktor penting lainnya adalah kepentingan politik. Dari situlah,
Magnis mencurigai agama-agama besar takut kehilangan pengaruhnya, karena itu meminjam tangan negara untuk melindungi kepentingan mereka.
Karena itu, Adnan Buyung Nasution mengingatkan, jika
negara tidak kembali menyadari perannya sebagai pelindung segenap warganya, dan berpegang pada demokrasi dan supremasi hukum, maka itu artinya telah terjadi dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain. “Bisa juga terjadi diktator mayoritas terhadap minoritas,” tandas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu.
Subhi Azhari
INIlaH Pasal-Pasal DIsKrIMINatIf Itu
dari berbagai sumber diolah oleh Subhi Azhari
BUNYI PASAL SUBSTANSI
undang-undang No. 1 pNps/1965 pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukung-an umum, untuk melakukdukung-an penafsirdukung-an tentdukung-ang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan-kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu
Adanya aliran-aliran yang dianggap menyimpang atau sesat.
Kebebasan menganut kepercayaan yang diyakini terancam.
• •
undang-undang No. 23 / 2006 tentang adminduk pasal 8
(1) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk persyaratan dan tata cara Pencatatan Peristiwa Penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan. Pasal 61
(2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan. Pasal 64
(3) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan
Negara menilai ada agama-agama dan kepercayaan di masyarakat yang resmi dan tidak resmi.
Dampak penilaian itu, perlakuan diskriminatif dalam pelayanan administrasi kependudukan.
Selain itu, mereka juga rentan dipaksa memeluk satu agama yang diakui negara (resmi) untuk mendapat pelayanan publik.
• • •
undang-undang No. 1 / 1974 tentang perkawinan pasal 2
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tidak diperbolehkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan yang belum diakui.
Tidak diperbolehkan perkawinan beda agama. Melanggar hak asasi.
• • •
puluHaN kiai dari berbagai daerah di Tanah Air
dengan tekun mendengarkan arahan dari KH. A. Mustofa Bisri (Pendiri Mata Air Foundation) dan KH. Abdurrahman Wahid (Pendiri the WAHID Institute), Senin (24/3/2008). Mereka adalah peserta Bahtsul Masail Nasional Peran
Pesantren dalam Mencegah Kekerasan Berbasis Agama. Di hari yang sama, selain dari Gus Dur
dan Gus Mus, mereka juga mendapat paparan soal dampak sosial dari Anas Saidi (Peneliti Senior LIPI) dan ekonomi dari Hendri Saparini (Direktur Pelaksana Econit) yang ditimbulkan dari kekerasan atas nama agama.
Kekerasan berbasis agama menjadi kajian para kiai dan aktivis agama yang menggelar forum itu di Jakarta dari 23-25 Maret 2008. Dua masalah mendapat sorotan seksama. Pertama, bagaimana kewajiban pemerintah dalam melindungi warganya? Kedua, bagaimanakah hukum kekerasan dengan mengatasnamakan agama?
Forum menyimpulkan, fungsi peme-rintah adalah untuk mengatur kehidupan dunia (siyasah addunya), sehingga masyarakat yang ada di dalamnya dapat hidup dengan aman, nyaman dan tenang. Kepala pemerintahan bertugas memberikan perlindungan terhadap seluruh warga negara untuk memperoleh rasa aman, keadilan (hukum, ekonomi, dan sosial). Sebuah hadits menyebutkan; alsulthan
zhill Allah fi alardhi ya’wi ilaihi kullu mazhlum
(seorang pemimpin adalah bayangan Allah di bumi, sejauh ia berfungsi sebagai tempat berlindung orang-orang yang terzalimi). Pemerintah wajib menegakkan supremasi