berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Tidak
hanya yang formal, lembaga non-formal seperti
pesantren dan lembaga swadaya masyarakat
tak ketinggalan. Bagaimana mata ajar itu
dikembangkan?
Suplemen the Wahid Institute Edisi VIII / Majalah Gatra / 7 Juni 2006
dok.Muhammadiyah Peluncuran program civic education
Itulah miniatur praktek demokrasi di level perguruan tinggi. Tak hanya di UIN Bandung, dinamika politik yang disebut student governance ini juga merebak di hampir seluruh kampus di tanah air.
Praktek demokrasi dalam bentuk pemilu di berbagai level memang disambut antusias, baik oleh mahasiswa maupun masyarakat. Namun terdapat keterputusan antara semangat itu dan sikap masyarakat saat merespon persoalan kebangsaan.
“Masyarakat kita sangat semangat berdemokrasi. Tapi artikulasi dan ekspresi sebagian mereka memperlihatkan sikap-sikap yang uncivilized. Dengan dalih demokrasi, mereka membakar gedung, merusak mobil dan sebagainya,” tegas Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada.
Fenomena menjalani kebebasan yang cenderung anarkis dan melanggar HAM, dinilai Dede, sebagai dampak pendidikan kewarganegaraan model Orde Baru yang menerapkan sistem komando, dari atas ke bawah. “Perlu model pendidikan kewarganegaraan baru yang mengembangkan paradigma pembangunan yang berbasis masyarakat,” lanjut penulis buku
Paradigma Pendidikan Demokratis ini.
Dengan alasan itu, Dede bersama kawan-kawannya di UIN Jakarta mereformasi pendidikan kewarganegaraan saat pasca kejatuhan rezim Orba. Pembelajaran berorientasi demokratisasi Indonesia ini pun diberi nama Civic Education (CE).
Secara umum, pembelajaran CE meliputi kajian dan pembahasan mengenai konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga negara, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam civil
society.
Menurut Said Tuhuleley, munculnya kebutuhan atas CE didorong oleh tiga alasan utama. Pertama, meningkatnya gejala ‘buta’ politik di kalangan warga negara. Kedua, meningkatnya apatisme politik dengan semakin sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses politik. Dan ketiga, masih terjadinya pelanggaran HAM baik yang dilakukan negara maupun warga negara.
“Di sinilah urgensi civic education, yakni mendorong setiap orang agar menjadi warga negara yang partisipatif, kritis, taat hukum, menghormati perbedaan dan berani menyatakan pikiran dan perasaannya,” jelas Said yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LP3 UMY).
Alasan lainnya, Pendidikan Kewiraan mesti direformasi seiring derasnya arus demokratisasi. “Jadi CE itu kita isi dengan tiga pilar yang saling berkait, yaitu demokrasi, HAM dan civil
society,” kata Abdul Rozak dari Indonesian Center for Civic
Education (ICCE) UIN Jakarta.
Pemerintah pun menyambut baik pengembangan CE ini, melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional No. 267/DIKTI/ KEP/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
Sedang standar nasional pengajaran CE di sekolah dan perguruan tinggi, kini tengah diperbaiki oleh Badan Standar-isasi Nasional Pendidikan (BSNP). “Tim inilah yang menyiapkan standar isi, metode pembelajaran dan pengajarnya,” jelas Direktur Pascasarjana Universitas Terbuka Jakarta, Prof. Dr. Udin S. Winataputra (baca: Baru Knowing, Belum Doing).
Dengan sokongan pemerintah itu, CE berhasil masuk berbagai kampus di negeri ini, kendati dengan nama beragam. Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta misalnya, materi ini bertitel Pendidikan Resolusi Konflik dan Perdamaian, di Universitas Trisakti bertitel Pendidikan Kebangsaan, Demokrasi dan HAM, di Universitas Mercu Buana (UMB) bertitel
Pendidikan Etika Berwarganegara, dan di Universitas Bina Nusantara (Ubinus) bertitel Character Building.
Perguruan Tinggi Islam Negeri atau Swasta dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah tetap menggunakan nama civic
education. “Ini terjadi karena di dalam kurikulum, kita diberi
keleluasaan oleh pemerintah dalam hal penamaan. Yang terpenting substansinya,” jelas Abdul Rozak.
Ditambahkannya, saat ini tidak kurang dari 213 perguruan tinggi Islam telah mengajarkan CE, yaitu 47 Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN), 79 Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTIS) di Jawa Barat dan Jakarta, dan 87 PTIS di Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara. Sedang di lingkungan Muhammadiyah, CE telah diajarkan setidaknya di 20 Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Malah tak lama lagi CE akan diajarkan di 509 SMA, 249 SMK, dan 171 MA di bawah naungan Muhammadiyah. Tak hanya di jalur formal, CE pun berkembang di jalur non-formal (lihat: Merajut Islam dan
Demokrasi).
Apakah semua itu mengindikasikan keberhasilan pengajaran CE? Ternyata tidak. Dari hasil survei terhadap pengajaran CE di UIN Jakarta saja misalnya, terungkap fakta minimnya kreativitas dosen, pembelajaran yang masih instruktif dan gaya mengajar yang masih berbau Orba, sehingga menyebabkan mahasiswa kurang kritis.
Di luar itu, masih ada kendala terbatasnya buku ajar dan harganya yang mahal. “Ini sering mengganggu proses belajar-mengajar, karena dosen akhirnya harus melakukan ceramah lagi untuk menjelaskan isi buku,” tulis LP3 UMY dalam laporannya.
Karena itu, Dede Rosyada berharap, CE harus terus dikembangkan. “Juga perlu ada standard nasional yang baku semacam Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) yang membina dosen Kewiraan, dilatih, di-training, dan seterusnya,” imbuhnya.
Hal yang sama disampaikan Udin S. Winataputra. Bahkan Udin menilai, CE yang dikembangkan di Asia baru tahap to
know democracy (mengetahui demokrasi, red.). “Belum how to build democracy (bagaimana membangun demokrasi, red.),”
ujarnya.
Sebab itu pula, jika ada orang yang beranggapan pengajaran CE di negeri ini telah berhasil, Udin
menyanggahnya. “Itu sering bikin saya malu hati. Saya sendiri merasa, kita belum banyak beranjak secara signifikan, kecuali sebatas knowing (pengetahuan, red.),” akunya.
Karena itu Udin merasa masih banyak yang harus dilakukan para penggagas CE agar demokrasi di Indonesia benar-benar terwujud. “Seluruh komponen bangsa yang peduli dalam soal ini harus menyatukan pikiran dan terus bekerja,” pesan profesor yang puluhan tahun menggeluti CE ini.
Apa tujuan awal diciptakannya CE?
CE itu program kurikuler yang dirancang untuk sekolah di AS. Tujuannya membangun warga negara AS yang cerdas dan bertanggungjawab. Atau smart dan good
citizens. Warga itu hypothetical citizen kata
Aristoteles. Maksudnya, semua orang baru bisa menjadi warga negara yang baik kalau ada upaya khusus mendidiknya. Jadi harus ada upaya sistemik yang dilakukan pemerintah untuk membangun masa depan bangsanya. Salah satunya dengan melakukan pendidikan kewarganegaraan atau CE.
Adakah akar CE untuk konteks Indonesia?
Kita memang punya tradisi sendiri. Upaya membangun bangsa itu lahir sejak awal abad 20. Kita mencatat ada semangat berbangsa Indonesia yang oleh orang Barat ditengarai sebagai indikator bangkitnya kesadaran orang-orang Timur. Puncaknya pada 28 Oktober 1928. Saat itu sejumlah anak muda berikrar dan bersemangat untuk menjadi banga yang satu, hidup di tanah tumpah yang satu dan berbahasa yang satu bahasa Indonesia. Ini kian mengkristal ketika Indonesia merdeka pada 1945.
Jadi tradisi bernegara bangsa Indonesia ada sejak dini?
Betul! Persoalannya bagaimana mewujudkan itu? Salah satu alatnya adalah pendidikan sebagai sarana membangun bangsa ini lewat generasi mudanya. Inilah latar historis dan filosofis mengapa kita harus punya program pendidikan yang dirancang khusus untuk membangkitkan kesadaran berbangsa. Maka pada era 61-an dikembangkanlah mata pelajaran
Civic. Tahun 1968, Civic berubah menjadi
Pendidikan Kewargaan Negara (PKN). Doktrin pemerintahnya mulai dikurangi dan muncul doktrin negara yaitu UUD 1945 dan Pancasila.
PULUHAN tahun menggeluti Civic
Education (CE), menjadikan Prof. Dr. Udin
S. Winataputra sangat berkompeten
berbicara soal ini. Menurutnya, CE di
Indonesia baru sebatas knowing belum
doing. Indikatornya, mahasiswa yang
telah dibekali prinsip-prinsip CE, ketika
berunjuk rasa masih ada yang tidak
tertib. Malah tak jarang anarkis. Berikut
penuturannya kepada Gamal Ferdhi dan
Nurul H. Maarif dari the WAHID Institute:
Ini berlangsung sampai tahun 1974. Tahun 1975 berubah jadi PMP. Tahun 1994 jadi Pendi-dikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Pelajaran-pelajaran itu menjadi alat pemerintah untuk mengindoktrinasi rakyat. Lewat mata pelajaran ini kita dicekoki bagaimana seharusnya menjadi warga negara dengan memahami doktrin politik kenegaraan waktu itu. Padahal seharusnya semua
pendidikan itu untuk membangun warga yang pro negara, bukan pro pemerintah. Kalau perlu kritis terhadap pemerintah. Barulah beberapa tahun silam, pasca Orde Baru, muncul wacana baru tentang pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi.
Apa kelemahan CE yang ada sekarang?
CE di Asia baru teaching about
democracy (pengajaran tentang demokrasi, red.) yang lebih ke wacana. Dengan kata lain
baru how to know democracy (bagaimana mengetahui demokrasi, red.) dan belum how
to build democracy (bagaimana membangun
demokrasi, red.) seperti di AS, Inggris dan New Zealand. Jadi di Indonesia kita harus bergerak ke tengah dulu. Jangan langsung melompat ke building.
Bukankah CE sudah cukup lama diajarkan di Indonesia?
Memang. Tapi demokrasi itu tumbuh jika ada kulturnya. Sebagian besar orang mengatakan, kita tidak punya akar demokrasi. Karena sejarah kita itu sejarah kerajaan atau monarki lokal. Budaya kita bukan budaya Indonesia, tapi budaya komuniter. Saya sering dialog dengan orang DPR. Dalam benak mereka bukan Indonesia nomor satu, tapi partai. Apalagi kalau sudah menjelang Pemilu. Sebenarnya politisi harus diajarin slogan mereka sendiri: “loyalitas pada partai selesai ketika loyalitas pada bangsa dimulai”.
Baru Knowing, Belum Doing
Suplemen the Wahid Institute Edisi VIII / Majalah Gatra / 7 Juni 2006
dok
.WI/ G
amal F
er
dhi
sejarah lahirnya UUD 1945 pasal 33 tentang bumi, air, dan kekayaan laut dipelihara oleh negara, itu yang merumuskan Hatta dan Syahrir. Mereka itu pemuda Sumatera yang tahu di bawah alam Sumatera ada kekayaan. Tapi karena Otda, ada kabupaten bertengkar soal laut. Ini menyebabkan Indonesia terkavling. Akhirnya yang terbentuk bukan orang yang punya jiwa keindonesiaan, tapi orang yang lokalis, primordial dan sangat egosentris. Itu ironis!
Bagaimana perkembangan CE saat ini?
Sekarang ini, standar isi pendidikan kewarganegaraan untuk SD, SMP, dan SMA sangat dominan kontennya. Ini berarti anak sekolah hanya diperkuat knowing-nya. Untuk SMP misalnya, ada bunyi kompetensi, siswa mampu menganalisis suasana kebatinan pembuatan konstitusi. Celaka! Kalau anak SMP harus dicekoki untuk menganalisis, apa
sih suasana kebatinan itu? Padahal itu untuk
mahasiswa fakultas hukum jurusan hukum tata negara.
Evaluasi CE itu sendiri seperti apa?
Sekarang, karena knowing, evaluasinya hanya testing. Kalau sudah doing, evaluasinya bukan lagi testing, tapi juga doing. Karena itu, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sekarang sedang memperbaiki standar isi, standar pembelajaran dan standar guru yang nantinya akan diterapkan dari SD sampai PT.
Bukankah banyak orang beranggapan CE telah berhasil?
Itu sering bikin saya malu hati. Saya katakan, itu hanya lips service. Saya sendiri merasa, kita belum banyak beranjak secara signifikan. Dalam pemikiran memang banyak berubah.
Lalu capaian apa yang telah diraih CE?
Yang paling kelihatan hanya knowing
saja. Orang banyak tahu demokrasi. Itupun
baru pada tingkat akademis. Doing-nya ada, tapi kalau dipersentase mungkin knowing-nya 75 persen. Buktinya anak-anak sekolah kalau berdemo nggak bisa tertib. Indikatornya itu saja. Mereka tahu demokrasi, tapi belum bisa mempraktekkannya.
Jadi, banyak pekerjaan yang harus kita lakukan. Seluruh komponen yang konsen dalam soal ini harus menyatukan pikiran dan konsisten menyebarkan hal ini lewat media massa, sehingga terbangun kebersamaan sebagai bangsa. Misalnya kesadaran orang Aceh, Jawa, Sunda, Manado dan sebagainya. Bangunlah kesamaan itu. Jangan tonjolkan perbedaannya. Simbol-simbol Indonesia harus selalu dikedepankan.