• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI RUMAH ORANG TUA

Dalam dokumen Adolf Hitler (Halaman 36-52)

Adalah sebuah kemujuran bagiku bahwa takdir ternyata memilih Braunau di pinggir sungai Inn sebagai tempat kelahiranku. Kota kecil ini terletak di perbatasan antara dua negara bagian di Jerman, yang setidaknya kita sebagai generasi muda

berusaha untuk menyatukan antara kedua negara itu dengan mengorbankan segenap apapun: Sebagai tujuan hidup kita!

Jerman-Austria harus dikembalikan ke negara induknya, yaitu Jerman yang Agung bukan hanya karena alasan pertimbangan ekonomi semata. Sekali tidak tetap tidak, bahkan jika ada suatu persekutuan yang tidak begitu penting bila dilihat dari

perspektif ekonomi. Ya, walau itu berbahaya sekalipun, hal itu harus tetap berlangsung.

Darah yang sama menuntut satu kekaisaran. Tak pernah lagi Volk1 Jerman memiliki hak moral untuk terlibat dalam politik kolonialisme, sampai setidaknya menyambut putra-putranya dalam satu negara. Namun ketika perbatasan kekaisaran telah

memasuki wilayah Jerman yang terakhir, hal itu tak akan menjamin kebutuhan hidup sehari-hari. Keinginan moral untuk mengambil tanah jajahan bangkit dari tekanan bangsa kita. Pedang mereka akan menjadi senjata kami, dan dari tetesan air mata perang itulah kebutuhan sehari-hari generasi masa depan akan tumbuh lagi. Oleh karena itu, kota kecil di perbatasan negara ini bagiku merupakan simbol misi yang besar. Di lain pihak, hal ini akan terus berkembang sebagai sebuah peringatan akan masa kini. Lebih dari seratus tahun yang lalu, tempat yang dipandang tidak penting ini akan secara khusus diabadikan dalam setiap peristiwa atau sejarah Jerman, karena negara ini merupakan saksi atas kehancuran tragis yang mencengkeram seluruh bangsa Jerman dalam masa yang penuh hina.

Dalam masa-masa yang penuh dengan kehinaan dari bangsa kita itulah, Johannes Palm dari Nürenberg seorang warganegara tercinta, si penjual buku dan seorang nasionalis yang tak kenal kompromi sekaligus pembenci Perancis, tewas di sana demi Jerman yang sangat dia cintai dengan penuh semangat heroik, bahkan dalam masa-masa yang penuh penderitaannya. Dengan watak yang keras kepala dia tetap menolak untuk mengadukan teman-temannya yang sebenarnya mereka adalah atasannya. Kejadian ini mirip dengan apa yang dialami Leo Schlageter, dengan diadukannya dia kepada pihak Perancis oleh seorang wakil pemerintahannya, yakni seorang kepala kepolisian Augsburg yang akhirnya dia kini menjadi orang terkenal. Hal itu menjadi simbol pihak berwenang Jerman di bawah kekuasaan Herr Severing2.

Dalam suasana kota kecil di pinggiran sungai Inn yang diterangi oleh sinar

kesyahidan Jerman, dia terlahir sebagai seorang berdarah Bayern, namun secara hukum kewarganegaraanya adalah seorang Austria. Orangtuaku hidup di akhir tahun delapanpuluhan satu abad yang lampau. Ayahku adalah seorang pegawai negeri yang sangat berbakti kepada negara, sedangkan ibuku adalah seorang wanita yang senantiasa mencurahkan segalanya untuk rumah tangga dan

Mein Kampf volume I | 37 membaktikan dirinya pada kami: anak-anaknya yang selalu berada dalam kasih sayangnya yang kekal dan abadi. Periode ini sebenarnya tak begitu kuingat dengan jelas, karena setelah beberapa tahun ayahku harus meninggalkan perbatasan kota kecil yang dia cintai ini untuk bekerja di Passau, Jerman.

Pada waktu itu sangat lumrah bagi seorang pegawai negeri Austria untuk berpindah-pindah tempat kerja. Beberapa saat kemudian setelah ayahku dikirim ke Linz,

akhirnya disanalah dia bekerja hingga pensiun. Meski demikian, tak pernah ada waktu untuk istirahat terlintas dalam benak pria tua itu. Karena masa

kanak-kanaknya yang berasal dari keluarga miskin itulah, dia selalu merasa bosan dengan hanya terus-menerus tinggal di rumah. Sebelum berumur tigabelas tahun, ayahku yang masih kecil itu, dengan membawa tas ranselnya pergi meninggalkan rumah di

Waldviertel. Waktu itu hampir seluruh penduduk desa yang dianggap

‘berpengalaman’ berusaha membujuknya agar dia kembali ke Wina untuk belajar berdagang disana. Kejadian ini terjadi sekitar tahun limapuluhan seabad yang lalu. Akhirnya, ayahku dengan gigih memutuskan untuk tetap pergi berkelana. Dengan hanya berbekal uang tiga gulden saja, dia melakukan perjalanan dan mengabdikan dirinya pada sesuatu yang belum pernah dia alami sebelumnya. Pada saat ayahku beranjak umur tujuhbelasan, dia telah mampu melewati segala tantangan dan

rintangan. Meski demikian, dia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dia kerjakan itu.

{Biang keladi kecil}

Di sisi lain dalam masa hidupnya yang penuh dengan kesukaran, kesengsaraan dan penderitaan yang tiada taranya itu, dia telah meneguhkan pendiriannya untuk segera meninggalkan dunia perdagangan dan menjadi ’seseorang yang lebih baik’ lagi. Sebelumnya ayahku yang malang itu telah mempertimbangkan dirinya masak-masak untuk menjadi seorang pendeta sebagai pengabdian nilai luhur seorang manusia. Di kota besar, tempat yang telah meluaskan pandangannya itu dia malah menjadi seorang pegawai negeri. Dengan segala kegigihannya, seorang pemuda yang telah melewati fase-fase penderitaan dan kesengsaraan hidup yang panjang itu telah membuatnya lebih dewasa, meskipun usianya masih sangat muda.

Ayahku yang baru berumur tujuhbelas tahun itu akhirnya memilih bersikukuh pada pendiriannya untuk tetap berada dalam dinas pemerintahan. Ketika menginjak usia dua puluh tiga tahun, ayahku percaya bahwa dia telah mencapai tujuannya.

Keadaan itu tampaknya telah mewujudkan janjinya yang pernah dia ikrarkan

sewaktu dia masih menjadi seorang anak yang miskin, bahwa dia tak akan kembali ke kampung halamannya sebelum dia menjadi seseorang yang sukses.

Kini cita-citanya itu telah tercapai. Tak seorang pun penduduk di desanya mengingat masa lalu ayahku itu, sementara bagi dirinya sendiri desanya itu telah berubah menjadi tempat yang aneh. Ketika pensiun pada umur limapuluh enam tahun, ayahku tak ingin membiarkan hari-harinya berlalu begitu saja dengan tidak melakukan apa-apa. Di dekat pasar desa Lambach Austria utara, ayahku telah mampu membeli sebidang tanah pertanian untuk dia garap sendiri. Dengan berada dalam ruang lingkup industri pertanian tersebut, dia merasa dikembalikan ke asal muasal nenek moyangnya yang dulunya hidup sebagai petani.

Mein Kampf volume I | 38 Pada saat inilah suri tauladan yang telah diwariskan ayahku itu mulai terbentuk di dadaku. Semua kegiatanku bermain -main di alam bebas, menempuh perjalanan jauh ke sekolah dengan hanya berjalan kaki dan bersahabat dengan anak-anak yang berbadan tegap dan kumal, terkadang seringkali membuat ibuku menjadi marah. Hal ini tentu saja menjadikan diriku merasa seperti anak rumahan saja yang tidak boleh melakukan apa-apa.

Meskipun pada saat itu aku tidak memiliki cita-cita serius tentang profesi apa yang akan kuraih nanti, aku sangat bersimpati atas karir yang telah diraih ayahku. Aku percaya pada bakat orasiku yang berkembang dalam bentuk argumentasi yang kasar itu, aku tunjukan kepada teman-teman disekolahku. Aku pun telah mampu menjadi seorang pemimpin dari sekelompok anak-anak sepermainanku. Di sekolah, aku dengan mudah bisa mengikuti semua mata pelajaran, dan di waktu luang aku pun mendapatkan pelajaran bernyanyi di sebuah biara di Lambach, tapi di sisi lain aku terkenal sebagai murid yang sangat nakal dan susah diatur.

{Semangat akan perang}

Aku sangat beruntung sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mengikuti parade dalam sebuah acara festival gereja dengan sangat meriahnya. Saat itu aku tampak seperti seorang biarawan suci dan bagaikan seorang pendeta desa, yang mana menjadi seorang pendeta merupakan cita-cita luhur seperti yang pernah dicita-citakan ayahku dulu. Disinilah letak masalahnya, ayahku akhirnya terbukti tak mampu membantu mengembangkan bakat orasiku. Seorang anak yang suka berkelahi ini tak kuasa untuk membuat keputusan seperti yang ayahku harapkan tentang masa depanku sendiri. Saking ayahku tak mampu memahami ide-ideku itu, akhirnya dia tak bisa berkata apa-apa lagi. Dengan penuh ambisius, dia tetap mencoba untuk memahami konflik ini. Dan ketika konflik ini benarbenar terjadi, cita-citaku untuk bisa memperoleh profesi yang kuidam-idamkan sebagai seorang orator itu akhirnya pudar dalam waktu yang singkat. Hal ini tentu saja membuatku berubah menjadi seorang anak yang temperamental.

Ketika pada suatu hari aku menggeledah perpustakaan ayahku, disana aku menemukan berbagai macam buku militer yang diantaranya terdapat edisi yang cukup populer mengenai perang Franco-Jerman3 tahun 1870-1871. Buku-buku tersebut terdiri dari dua bundel edisi majalah bergambar dari tahun-tahun tersebut yang sekarang menjadi bahan bacaan favoritku sebelum akhirnya aku mengalami perjuangan heroik secara langsung. Dari sanalah aku menjadi lebih antusias lagi mengenai apapun yang ada hubungannya dengan perang, dalam hal ini khususnya tentang keprajuritan.

Hal ini menjadi sangat penting bagiku karena untuk pertama kalinya, dalam

keadaaan bimbang dan ragu menggangguku, sebuah pertanyaan tengah mengusik kesadaranku: Apakah ada perbedaan antara orang-orang Jerman yang bertempur dalam kancah peperangan dengan orang-orang Jerman yang tidak ikut bertempur? Mengapa Austria tidak ikut terlibat dalam perang? Mengapa pula ayahku dan yang lainnya tidak ikut bertempur? Bedakah kita dengan orang–orang Jerman yang lain itu? Bukankah kita ini adalah satu? Untuk pertama kalinya masalah ini mulai mengganggu pikiran kecilku.

Mein Kampf volume I | 39 {Pilihan pekerjaan}

Dengan hati-hati aku mempertanyakan hal itu dan dengan penuh rasa cemas, akhirnya aku telah mendapatkan jawaban bahwa tidak semua orang Jerman bisa beruntung berada dalam naungan Kekaisaran Bismarck. Aku masih tak dapat memahami semua ini.

Aku harus sekolah!!

Keputusanku sudah bulat bahwa aku harus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Dari seluruh sifatku, bahkan keseluruhan temperamenku itu, ayahku percaya dan menarik kesimpulan bahwa Gymnasium4 humanistik mampu mewakili konflik yang berkaitan dengan bakatbakatku. Sebuah Realschule5 tampaknya lebih cocok buatku, itupun menurut pandangan ayahku. Pendapat ini diperkuat atas dasar kemampuanku yang mahir dalam menggambar, dimana pelajaran ini menurutnya akan diabaikan oleh Gymnasium Austria. Faktor lain adalah bahwa karir yang dibangun dengan susah payah tersebut membuat ilmu humanistik tak terlihat menarik lagi baginya. Dengan mengungkapkan maksud dan pendapatnya yang beralasan tersebut, aku harus tetap menjadi pegawai negeri. Menurut

pandangannya, sangatlah lumrah bahwa kehidupan yang keras di masa muda akan turut meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang, khususnya karena hal tersebut dihasilkan dari usaha dan keinginan yang gigih. Merupakan kebanggaan bagi seorang laki-laki yang bisa membangun dirinya sendiri dan menginginkan anaknya mampu mendapatkan posisi yang sama dengannya dalam kehidupan atau bahkan lebih tinggi lagi jika hal itu memungkinkan. Karena hidup ayahku yang berada dalam lingkungan industri, dimana dia berpikir bahwa dia akan mampu memfasilitasi seluruh perkembangan dan kebutuhanku sebisa mungkin.

Baginya sulit dipercaya bahwa pada akhirnya aku menolak apa yang telah menjadi inti dari keberhasilan hidupnya. Akibatnya sudah pasti dan cukup jelas, dan

keputusan itu begitu sederhana. Itupun masih menurut pandangannya tentang apa yang aku maksudkan. Akhirnya, sepanjang hidupnya dia membiarkan dirinya dalam perjuangan hidup yang getir. Hal ini telah menjadikannya seseorang yang memiliki sifat suka mendominasi. Tampaknya keputusanku ini tak lagi dapat ditolerir olehnya dengan membiarkan masalah ini dibebankan pada seorang anak yang belum cukup berpengalaman dan juga tidak memiliki rasa tanggung jawab.

{Aku tak ingin menjadi pegawai negeri}

Terlebih lagi, hal ini merupakan sebuah dosa dan kelemahan yang patut dicela dalam mencoba menjalankan perannya sebagai orangtua yang bertanggung jawab bagi masa depan anaknya dan seperti itu pula, hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Tapi ternyata keadaan berubah menjadi sebaliknya.

Baru berumur sebelas tahun saja, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku dipaksa untuk berseberangan argumentasi. Begitu keras dan kukuhnya ayahku dalam membuat rencana tersebut, ketika menghadapi anaknya yang keras hati dan keras kepala ini dalam menolak ide yang tak membuat ayahku kagum sama sekali terhadapku. Aku tetap tidak ingin menjadi pegawai negeri!

Mein Kampf volume I | 40 Bujukan atau penjelasan serius yang dilontarkan ayahku tetap tak mengesankan pembangkanganku. Aku tetap tak mau menjadi pegawai negeri, tidak dan sekali lagi tetap tidak! Segala iming-iming dari ayahku tentang senangnya bekerja dalam profesi ini, yang ditambah ceritacerita tentang keberhasilan hidup ayahku tetap tidak mengubah apapun. Aku merasa teramat sangat muak sampai-sampai perutku sakit ketika mendengarnya. Dengan membayangkan hanya duduk di sebuah kantor, tercerabut dari kebebasan, mengalah untuk menjadi tuan bagi waktuku dan dipaksa untuk mengabdikan seluruh hidupku untuk sebuah tempat kosong yang harus diisi. Lalu pikiran seperti apa yang mampu membangkitkan minat seorang anak kecil yang dalam kenyataannya kebebasan adalah segalanya, kecuali menjadi ‘baik’ dalam hal arti yang umum?

Pelajaran sekolah yang terasa begitu gampang, telah membuatku memiliki banyak waktu luang sehingga matahari pun lebih sering menatapku daripada dinding kamarku sendiri. Ketika sekarang musuh-musuh politikku mengarahkan

perhatiannya untuk menguji hidupku, aku cukup hanya menarik saja pikiranku ke masa-masa kecilku dulu dan akhirnya membuat mereka merasa lega mengetahui banyaknya olok-olok yang ‘Hitler’ mainkan ini. Bahkan di masa mudaku dulu, -Aku berterimakasih kepada surga- bahwa sebagian ingatan dari hari-hari yang

membahagiakanku itu ternyata masih ada bersamaku hingga kini. Bagiku, hutan dan hamparan rumput adalah lapangan tempur dimana setiap ‘konflik’ bisa saja terjadi dan kehidupan harus tetap dilanjutkan. Dalam hal ini, kehadiranku di Realschule yang sekarang sedang kujalani, ternyata hanya membuat sedikit perubahan kecil saja.

{Menjadi seorang pelukis}

Sekarang, muncul konflik baru yang harus kulawan. Selama maksud ayahku untuk tetap menjadikanku seorang pegawai negeri, hal itu hanya akan menemui

kebencianku saja pada profesi itu. Konflik tersebut masih dapat kutahan. Sejauh ini, sampai pada tingkatan tertentu aku masih bisa menyimpan konflik batinku, yaitu aku tak harus selalu berbeda pendapat dengan ayahku secara langsung. Keinginanku yang kuat untuk tidak menjadi pegawai negeri itulah yang memberikan kedamaian dalam diriku. Dan keputusan ini tetap akan menjadi keputusan yang abadi. Masalah menjadi kian lebih sulit lagi ketika aku membuat keputusan yang berseberangan dengan ayahku. Hal ini terjadi tepat pada saat aku berumur duabelas tahun.

Bagaimana ini bisa terjadi aku sendiri tidak tahu pasti. Tapi suatu hari telah menjadi jelas bagiku bahwa aku akan menjadi seorang pelukis terkenal! Tak ada keraguan pada diriku sedikitpun atas bakat melukisku itu. Dan hal itulah yang menjadikan satu alasan kenapa aku dikirim ke Realschule. Tapi tak pernah sekalipun juga ayahku mengijinkan aku untuk mengikuti pelatihan secara profesional dalam bidang seni lukis ini. Dilain pihak, sekali lagi aku tetap menolak tegas maksud ambisius ayahku itu. Aku kemudian ditanyai tentang apa yang akan menjadi cita-citaku suatu hari nanti, dan tanpa berpikir panjang lagi akupun mengungkapkan apa yang sebenarnya aku cita-citakan itu. Ayahku untuk sesaat tak bisa berkata apapun.

Mein Kampf volume I | 41 Ayahku menganggap aku sudah gila. Tapi ketika dia sudah paham akan

masalahnya dan khususnya setelah ayahku melihat gelagat keseriusanku, dia masih tetap saja menentangnya dengan semua sifat keras kepalanya itu. Dengan

pertimbangan yang sudah kupikirkan secara matang akan kemampuan yang kumiliki itu, begitu mudahnya dia melecehkan cita-citaku!

“Menjadi seniman? Tidak akan pernah kuijinkan selama aku masih hidup!” Ujarnya, tapi tampaknya akupun mewarisi sifat keras kepala ayahku, jawabanku masih tetap sama. Kecuali untuk hal-hal lain diluar melukis, aku diperbolehkan.

{Nasionalis muda}

Dan kemudian situasi saling tetap bersikukuh terjadi di kedua belah pihak. Ayahku tak pernah beranjak dari sikap ‘Tidak akan pernah!’-nya, sementara akupun akan terus gigih mengatakan ‘Oh ya!’ akibatnya keadaan menjadi tidak menyenangkan. Ayahku sangat kecewa terhadapku sebagaimana akupun sangat mencintainya. Dia tetap melarangku untuk menumbuhkan harapan walau sedikit untuk mempelajari seni. Aku melangkah lebih jauh lagi dan menyatakan bahwa jika itu masalahnya, aku akan berhenti belajar tentang apapun. Sebagai hasil dari ‘keputusan’ itu tentu saja aku mulai berani mengambil keputusan yang tegas, namun ayahku terus berusaha mencegahku sebisa mungkin. Menghadapi itu aku hanya bisa diam terpaku, tetapi sikap keras ayahku itu ternyata mampu membuat pembangkanganku menjadi semakin nyata. Aku pikir jika dia melihatku yang hanya membuat sedikit prestasi saja di Realschule, dia hanya akan membiarkan diriku tetap bermimpi, entah dia suka atau tidak. Aku tidak tahu apakah perhitungan ini benar adanya atau tidak. Tapi pada kenyataannya hal ini memang benar-benar terjadi: Aku kurang sukses di

sekolah! Karena hanya pelajaran yang membuatku senang saja yang khusus aku pelajari, terutama yang berhubungan dengan apa yang senang kupelajari sebagai seorang pelukis.

Bagiku, apa yang kuanggap tidak penting atau tidak menarik aku abaikan semuanya. Walhasil, laporan hasil belajarku pada waktu itu tergantung pada mata pelajarannya, dan perkiraanku pada pelajaran-pelajaran itu tak menunjukan apapun kecuali

sesuatu yang tidak begitu signifikan. Dengan nilai yang ‘patut dipuji’, ‘bagus’, ‘cukup’ bahkan ’tak memuaskan’. Sejauh ini nilai terbaikku hanya ada pada pelajaran

geografi dan sejarah dunia. Karena itu adalah pelajaran-pelajaran favoritku, dan akupun memiliki peringkat teratas di kelas karena pelajaran itu. Jika sekarang, setelah beberapa tahun aku memeriksa kembali hasil belajar dimasa itu, aku menyimpulkan ternyata ada dua fakta yang cukup penting; Pertama aku menjadi seorang nasionalis dan kedua aku mulai mempelajari dan memahami apa arti sebuah sejarah. Dan, Austria lama adalah negara nasionalis.

{Provinsi-provinsi Jerman yang dikuasai Polandia sesudah Perang Dunia ke I } Pada umumnya, masalah kekaisaran Jerman pada waktu itu tak mampu menangkap arti pentingnya masalah ini bagi tiap-tiap individu yang berada dalam keadaan

negara yang seperti itu. Setelah kampanye kemenangan prajurit dalam masa perang Franco-Jerman, orang-orang di luar Jerman telah kehilangan daya tariknya kepada Jerman. Beberapa orang mungkin masih bisa tertarik, sementara yang lain tak mampu mengapresiasikan betapa pentingnya masalah tersebut. Khususnya

orang-Mein Kampf volume I | 42 orang Austria – Jerman. Kekaisaran Jerman yang sedang rapuh ini sudah sering dipusingkan oleh orang-orang yang sebenarnya mampu untuk mengapresiasikan masalah ini ketika mereka menemui kegagalan dalam mengapresiasikannnya. Kalaulah orang-orang Jerman di Austria itu memang ras unggul, mereka tentu tak akan punya kekuatan untuk menginjak sebuah negara yang berpenduduk 52 juta jiwa ini. Bahkan di Jerman sendiri ada pendapat keliru yang mengatakan bahwa Austria adalah salah satu negara bagian dari Jerman. Pernyataan ini tentu saja merupakan pendapat yang absurd dan telah menggemparkan sepuluh juta orang Jerman di Ostmark6.

Hanya segelintir orang di kekaisaran Jerman yang mempunyai sikap pandangan untuk memperjuangkan bahasa Jerman, sekolah Jerman dan cara hidup ala Jerman tanpa pandang bulu. Hanya saja sekarang, ketika kemalangan yang menimpa

kekaisaran Jerman, yang kini berada dibawah aturan dan kebijakan asing, sedang bermimpi ditengah-tengah kerinduan mereka. Setidaknya untuk menjaga kemurnian bahasa ibu mereka. Apakah masyarakat umum menyadari betapa pentingnya arti sebuah perjuangan demi nasionalisme seseorang?

Sekarang mungkin hanya beberapa orang saja yang bisa mengapresiasikan

kebesaran Jerman di bawah Kekaisaran Ostmark tua, yang tidak kepada siapapun kecuali bergantung pada diri mereka sendiri. Selama berabad-abad mereka

melindungi kekaisaran dari serangan yang datang dari bangsa Timur dan akhirnya kita pun melakukan perang gerilya yang sangat melelahkan demi menjaga

perbatasan bangsa Jerman disaat perhatian kekaisaran masih tertuju kepada kolonialisme. Tetapi kekaisaran telah mengabaikan darah dagingnya sendiri yang sekarang berada di ambang pintu negaranya sendiri.

{Perjuangan demi karakter Jerman}

Seperti dimanapun juga di setiap perjuangan, dalam hal ini sikap pandangan untuk memperjuangkan Bahasa di Austria tua, terdapat tiga strata: Para pejuang, pengecut dan pengkhianat. Proses penyaringan itu harus dimulai dari sekolah-sekolah. Fakta yang mengagumkan mengenai sikap pandangan untuk memperjuangkan Bahasa adalah dengan munculnya gelombang perlawanan keras yang ada di sekolah, karena sekolah merupakan tempat penyemaian bibit awal untuk generasi

mendatang. Adalah suatu pergulatan seru bagi jiwa seorang anak ketika mereka dipanggil: “Anak Jerman jangan lupakan bahwa kamu akan menjadi seorang Jerman”, dan, “Gadis kecil, ingatlah bahwa kamu harus menjadi seorang ibu Jerman”.

Siapapun yang berjiwa muda akan paham bahwa mereka bangga dengan panggilan seperti itu. Mereka membuat barisan perlawanan dalam ratusan bentuk cara, salah

Dalam dokumen Adolf Hitler (Halaman 36-52)

Dokumen terkait