• Tidak ada hasil yang ditemukan

BONE LOSS

3.3 Diagnosis banding

Beberapa penyakit dapat menyebabkan terjadinya penurunan densitas massa tulang dan patah tulang. Oleh karena itu, bila terdapat penderita dengan penurunan densitas massa tulang dan atau patah tulang harus dicari penyakit yang mendasarinya. Beberapa penyakit yang menyebabkan penurunan densitas massa tulang dapat dijadikan diagnosis banding. Anamnesis dan pemeriksaan fisik berdasarkan gejala klinik masih sangat dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, termasuk penyakit yang mendasari terjadinya osteoporosis (osteoporosis sekunder). Pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding penyakit/kondisi penyebab sekunder osteoporosis. Adapun beberapa penyakit atau kondisi kronis yang sering menyebabkan osteoporosis adalah sebagai berikut :10,13

1. Sindroma Cushing atau disebut dengan hiperkortisolism.

Sindroma cushing adalah suatu keadaan gangguan hormonal yang disebabkan kadar hormon kortisol yang tinggi dalam jaringan tubuh untuk waktu yang lama. Dari anamnesis, pada sindroma cushing didapatkan riwayat pemakaian glukokortikoid atau steroid dalam jangka waktu lama, seperti pada penderita asma, reumatoid arthitis, lupus dan penyakit inflamasi lain. Dari pemeriksaan didapatkan obesitas, muka bulat (moon’s face), peningkatan lemak pada lingkar leher, striae pink pada abdomen, paha, panggul, lengan dan dada. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan kadar free cortisol urine 24 jam (sindroma cushing bila kadar kortisol > 50-100 g/hari), pengukuran midnight

plasma cortisol dan late-night salivary cortisol (sindroma cushing bila kadar

kortisol plasma > 50 nmol/L), dexamethasone suppression test, dan pemeriksaan serum ACTH.22

2. Multiple myeloma.

Multiple myeloma (MM) ditandai oleh lesi litik tulang, penimbunan sel plasma dalam sumsum tulang, dan adanya protein monoklonal dalam serum dan urine.

MM harus difikirkan pada pasien diatas 40 tahun dengan anemia yang sulit diketahui penyebabnya, disfungsi ginjal atau adanya lesi tulang (hanya < 2% pasien berusia < 40 tahun). Pasien MM biasanya datang dengan gejala anemia, nyeri tulang, fraktur patologik, tendensi perdarahan, dan atau neuropati perifer. Kelainan ini akibat dari tekanan massa tumor atau sekresi protein atau sitokin oleh sel tumor, atau sel-sel dari produk tumor. Diagnostik MM ditegakkan mulai dari trias klasik (sel plasma, biasanya > 10% + M protein + lesi litik). Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis MM adalah albumin-globulin, elektroforesis protein serum, protein Bence-Jones urine, hiperkalsemia, peningkatan ureum-kreatinin dan sel plasma abnormal tampak dalam film darah pada 15% pasien.26

3. Hiperparatiroid

Hiperparatiroidisme terdapat dalam dua bentuk : primer dan sekunder. Bentuk primer adalah karena fungsi yang berlebihan dari kelenjar paratiroid, biasanya adalah adenoma. Hiperparatiroidisme primer mempunyai konsentrasi serum hormon paratiroid tinggi, serum kalsium tinggi, dan serum ion kalsium tinggi. Hiperparatiroidisme sekunder adalah produksi hormon paratiroid yang berlebihan karena rangsangan produksi yang tidak normal. Hiperparatiroidisme sekunder adalah hiperplasia kompensatorik keempat kelenjar yang bertujuan untuk mengoreksi penurunan kadar kalsium serum. Kebanyakan pasien dengan hiperparatiroidisme adalah asimtomatik. Manifestasinya terutama pada ginjal dan tulang. Kelainan pada ginjal terutama nefrolitiasis yang rekuren, obstruksi traktus urinarius, infeksi, gagal fungsi ginjal. Nefrolitiasis juga menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan retensi fosfat. Pemeriksaan laboratorium : peningkatan kadar serum hormon paratiroid, serum kalsium tinggi, fosfat rendah, fosfatase alkali tinggi, kalsium dan fosfat urin tinggi, 25 hidroksivitamin D rendah, test fungsi ginjal. Pada rontgen : tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi, cystic-cystic dalam tulang.

31

penatalaksanaan osteoporosis dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, mencegah terjadinya komplikasi serta menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat osteoporosis. Penatalaksanaan osteoporosis meliputi tindakan pencegahan dan pengobatan yang dilakukan secara dini, dengan demikian akan mencegah komplikasi fraktur fragilitas tulang. Tindakan yang dapat dilakukan berdasarkan T-score dapat dilihat pada tabel di bawah ini.1,7

Tabel 10. Tindakan berdasarkan hasil T-score1

T-score Risiko

fraktur Tindakan

 +1 Sangat

rendah

- Tidak ada terapi

- Ulang densitometri bila ada indikasi. 0 s/d +1 Rendah - Tidak ada terapi

- Ulang densitometri setelah 5 tahun -1 s/d 0 Rendah - Tidak ada terapi

- Ulang densitometri setelah 2 tahun -1 s/d -2,5 Sedang - Tindakan pencegahan osteoporosis - Ulang densitometri setelah 1 tahun -1 s/d -2,5

dengan terapi steroid selama ≥ 3 bulan

Sedang - Tindakan pengobatan osteoporosis - Tindakan pencegahan dilanjutkan - Ulang densitometri setelah 1 tahun < -2,5

tanpa fraktur

Tinggi - Tindakan pengobatan osteoporosis - Tindakan pencegahan dilanjutkan - Ulang densitometri dalam 1-2 tahun < -2,5

dengan fraktur

Sangat tinggi

- Tindakan pengobatan osteoporosis - Tindakan pencegahan dilanjutkan - Tindakan bedah atas indikasi

- Ulang densitometri dalam 6 bulan - 1 tahun Pencegahan didefinisikan sebagai pencegahan primer, yaitu, pencegahan kehilangan massa tulang pada wanita di awal pasca menopause tanpa ditetapkan menderita osteoporosis (dengan T-score BMD antara -1 dan -2,5). Pengobatan

didefinisikan sebagai upaya mengurangi risiko patah tulang pada wanita pasca menopause yang ditetapkan menderita osteoporosis (BMD T-score di bawah -2,5 dengan atau tanpa riwayat fraktur sebelumnya). Biasanya, risiko fraktur fragilitas jauh lebih tinggi pada pengobatan populasi wanita tua di akhir pascamenopause yang memungkinkan penilaian dari efikasi anti-fraktur.7

Penggunaan glukokortikoid jangka lama (≥ 3 bulan) merupakan salah satu faktor presdiposisi terjadinya osteoporosis yang harus diwaspadai dan ditatalaksana dengan baik dan tepat. Algoritma managemen osteoporosis akibat glukokortikoid dapat dilihat di bawah ini (gambar 9).

Sumber : Compston JE et al. Royal College of Physicians Guidelines, London 2002. Gambar 9. Algoritma managemen osteoporosis akibat glukokortikoid pada pria dan wanita.

Management of glucocorticoid-induce

osteoporosis in men and women

Fragility fracture

Defined as a fracture occurring on minimal trauma after age 40 years and includes forarm, spin, hip, ribs and pelvis.

1) concider treatment depending on age and fracture probability

2) treaments listed in alphabetical order. Vitamin D and calcium are generally regarded as adjuncts to treatment. HRT: oestrogen in postmenopausal women and testosteron in man. (L) indicates that the agent is licensed for glucocorticoid-induced osteporosis

DEVELOPED BY The Bone and Tooth Society The National Osteoporosis Society Royal College of Physicians PACE APROVED JUNE 2003

Commitment or exposure to oral glucocorticoid for ≥ 3 months

Measure BMD (DXA scan, hip + spine)

Previous fragility fracture or incident fracture during glucocorticoid therapy No previous

fragility fracture

Age < 65 years Age ≥ 65 years

Investigations (see over page)

T score above 0 General measures Advise treatment : (2) Alendronate (L) Alfacalcidol Calcitonin Calcitriol Clodronate Cyclic etidronate (L) HRT Pamidronate Risedronate (L) T score -1.5 or lower (1) T score between 0 and -1,5 General measures Reassure General measures Repeat BMD not indicated unless very high dose of glucocorticoids required Repeat BMD in 1 – 3 yr. If glucocorticoids continued

Dokumen terkait