• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.5. Diagnosis Banding

Berdasarkan GOLD (2014), yang menjadi diagnosis banding dari PPOK adalah asma, gagal jantung kongestif, bronkiektasis, tuberkulosis, bronkiolitis, dan panbronkiolitis difusa.

Tabel Perbedaan PPOK dan Diagnosis Bandingnya PPOK Onset usia dewasa (biasanya >35 tahun)

Perkembangan gejala lambat namun progresif Adanya riwayat merokok

Asthma Onset usia muda (biasanya anak-anak) Gejala bervariasi

Muncul pada waktu-waktu tertentu (malam/pagi hari) Alergi, rhinitis, dan/atau ekzema

Adanya riwayat keluarga yang asthma

Gagal jantung kongestif Foto toraks menunjukkan dilatasi jantung, edema paru

Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan keterbatasan volume, bukan hambatan jalan napas

Bronkiektasis Volume sputum besar

Umumnya berhubungan dengan infeksi

Foto toraks menunjukkan dilatasi, dan penebalan dinding bronkus

Tuberculosis (TB) Onset: semua usia

Foto toraks menunjukkan adanya infiltrasi pada lapangan paru Diagnosis pasti: pemeriksaan mikrobiologi

Muncul di daerah dengan prevalensi tinggi Bronkiolitis obliteratif Onset pada usia muda, tidak merokok

Dapat memiliki riwayat rheumatoid arthritis, atau paparan gas kronis

Panbronkiolitis difusa Umumnya ditemukan pada orang Asia

Sebagian besar pasiennya adalah pria dan tidak merokok Hampir semua pasien memiliki sinusitis kronis

Foto toraks menunjukkan hiperinflasi dan sentrilobular nodular opak yang kecil

Tabel 2.4. Diagnosis banding PPOK (Sumber: GOLD 2010 updated dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012:2151-2160)

2.1.6. Penatalaksanaan

PPOK merupakan penyakit progresif yang akan memburuk seiring dengan waktu, sehingga prinsip penanganannya ialah bukan untuk mengembalikan keadaan paru ke keadaan normal namun untuk meningkatkan kualitas hidup dengan meminimalkan frekuensi serangan dan keluhan yang dirasakan (NHLBI, 2014).

2.1.6.1. Penghentian Merokok

Langkah intervensi awal yang harus diterapkan pada pasien PPOK ialah berhenti merokok (Reilly, et al., 2012). Sebagai faktor risiko utama yang melatarbelakangi munculnya penyakit ini, merokok harus dihentikan karena terapi lain tidak akan berhasil apabila hal ini tidak dilakukan.

2.1.6.2. Bronkodilator

Bronkodilator inhalasi adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK, dan bertujuan sebagai pencegahan/mengurangi gejala yang akan timbul. Bronkodilator inhalasi kerja lama (long-acting) lebih efektif dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat (Buist, et al., 2014).

Bermacam-macam bronkodilator yang dapat digunakan yaitu: - Golongan agonis beta-2

Digunakan untuk mengatasi sesak. Beta-2 agonis bekerja dengan cara merelaksasi otot polos dengan cara meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) intraseluler. Pada penggunaan yang lebih banyak dapat mengindikasikan serangan

eksaserbasi akut. Untuk pemeliharaan, dapat dipergunakan bentuk tablet yang berefek lebih panjang (PDPI,2003). Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Saat ini sediaan yang tersedia adalah salbutamol yang bekerja cepat, formoterol (Foradil) dan salmeterol (Serevent) yang bekerja lama.

- Antikolinergik

Antikolinergik bekerja pada postganglionik reseptor kolinergik dan dapat mengurangi sesak dengan menimbulkan efek bronkodilatasi. Obat ini ada yang bersifat kerja cepat, contohnya ipratropium bromida (Atrovent) dan kerja lambat contonya tiotropium bromida (Spiriva)

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita (PDPI, 2003)

- Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh golongan xantin adalah teofilin. Teofilin merupakan phosphodiesterase inhibitor (PDEi) yang saat ini penggunaannya sebagai terapi adjuvant dibatasi karna memiliki efek samping signifikan seperti kecemasan, tremor, gangguan tidur, mual, gangguan irama jantung (aritmia) dan kejang (Mosenifar, 2014). Maka pada penggunaan panjang perlu dimonitor kadar aminofilin darah.

- Selektif Phosphodiesterase-4 (PDE4)

Dapat mengurangi sesak, dan pada pasien PPOK berat dapat meningkatkan fungsi paru (Mosenifar, 2014). Contoh obatnya adala

- Kortikostreoid inhalasi

Kortikosteroid berfungsi mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada saluran napas. Contohnya budesonide, fluticasone, beclomethasone.

2.1.6.3. PPOK Eksaserbasi

Untuk PPOK eksaserbasi akut, manajemen di rumah sakit dapat diberikan bronkodilator kerja cepat: beta-2 agonis dan antikolinergik dosis tinggi; steroid oral atau intravena; antibiotik, dan dapat dipertimbangkan pemberian ventilator mekanik invasif (IPD, 2009). Eksaserbasi PPOK diakibatkan oleh (Sethi, et al., 2002, dalam Miravitlles et al., 2004).

80% dari eksaserbasi disebabkan infeksi

o 40-50% oleh

Haemophilus influenzae

Moraxella catarrhalis

Streptococcus pneumoniae o 5–10% oleh bakteri atipikal

Chlamydia pneumoniae

Mycoplasma pneumonia

o Terkadang dapat juga disebabkan oleh  Haemophilus parainfluenzae

Pseudomonas aeruginosa

Staphylococcus aureus

Enterobacteriaceae o 30% oleh virus

20% dari eksaserbasi bukan infeksi

o Faktor lingkungan

o Ketidakpatuhan minum obat Antibiotik yang dapat digunakan adalah: a. Lini I : - Amoksisilin

- Makrolid

- Ko-trimoksasole b. Lini II : - Amoksisilin klavulanat

- Kuinolon - Makrolid baru - Oksigen (di rumah sakit)

Jika saat eksaserbasi pasien berada di rumah sakit, maka dapat diberikan penanganan oksigen pada keadaan hipoksia. Terapi oksigen dengan cara yang tepat adekuat.

-Ventilasi mekanik

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik: ventilasi alveolar tidak adekuat, paru kurang mengembang, hipoksemia,kelelahan otot pernapasan, kerja napas yang berlebihan. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara:

- ventilasi mekanik dengan intubasi

- ventilasi mekanik tanpa intubasi (PDPI, 2003) Tambahan:

• Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein.

Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

• Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronis, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

• Antitusif

Diberikan dengan hati-hati (PDPI, 2003)

2.1.7. Follow-up, Komplikasi, dan Indikasi Merujuk 2.1.7.1. Follow-up

Follow-up dapat dilakukan dalam 4-6 minggu pasca keluar dari rumah sakit. Berdasarkan GOLD (2014), kriteria pasien dipulangkan dari rumah sakit:

1. Menggunakan bronkodilator tidak lebih tiap 4 jam 2. Mampu berjalan keluar kamar

3. Bisa makan minum sendiri tanpa gangguan sesak 4. Stabil 12-24 jam pasca terapi parenteral

5. AGDA stabil dalam 24 jam

6. Pasien dapat menggunakan obat obat sendiri

7. Follow-up dan observasi saat di RS sudah lengkap (contoh: perawatan oleh perawatan, oksigen yang diberi, makanan)

8. Pasien, keluarga, dan relative sudah yakin dapat menangani saat berada di rumah.

Yang dinilai selama proses follow-up adalah: 1. Mampu beraktivitas seperti orang lain

2. Menilai nilai VEP1

3. Menilai cara memakai inhaler 4. Mengerti regimen pengobatan

5. Menilai kembali kebutuhan oksigen atau nebulizer di rumah 6. Menilai gejala dengan CAT atau mMRC

7. Status komorbiditas

2.1.7.2. Komplikasi dan Indikasi Merujuk

Komplikasi yang dapat ditimbulkan PPOK adalah: 1. Gagal Napas 2. Infeksi Berulang 3. Kor Pulmonale 4. Pneumotoraks 5. Bronkiektasis 6. osteoporosis

7. Depresi, gangguan tidur, dan gangguan kecemasan Rujukan ke spesialis paru dilakukan apabila:

1. Timbul pada usia muda 2. Sering mengalami eksaserbasi 3. Memerlukan terapi oksigen 4. Memerlukan terapi bedah paru 5. Sebagai persiapan terapi pembedahan 6. PPOK dengan komplikasi

7. PPOK tipe C atau D

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah, maka penting untuk diketahui bagaimana pencegahan dan edukasi perburukan gejalanya. Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah merokok, atau bagi perokok dengan usia yang masih relative muda (<30 tahun) frekuensi dan intensitas merokok dapat dikurangi. Hal ini dapat secara signifikan menurunkan angka kejadian terjadinya penyakit ini.

Sementara edukasi dapat diberikan pada masa rehabilitasi pasien. Hal yang dapat dilakukan adalah:

Exercise training seperti berjalan, menggunakan treadmill ataupun bersepeda, dapat dilakukan selama 10-45 menit setiap sesi yang bertujuan untuk meningkatan konsumsi oksigen, meningkatkan denyut jantung, dan kemampuan paru menggunakan oksigen. Menurut GOLD 2010, keefektifan training ini tergantung pada kemampuan pasien dan tingkat keparahan penyakitnya, dengan lama training sekitar 6-10 minggu.

Nutrition counseling perlu diperhatikan dalam manajemen PPOK. Berat badan berlebih ataupun kurang dapat menjadi permasalahan dalam mendapatkan perbaikan. Kelebihan berat badan lebih menyulitkan untuk mendapat perbaikan dibanding yang kurang, untuk itu penurunan indeks massa tubuh pada pasien overweight dan obese dapat menurunkan angka mortalitas.

2.2. ELEKTROKARDIOGRAFI

Pada setiap detakan, jantung berdepolarisasi untuk membangkitkan kontraksi. Aktivitas ini merupakan aktivitas listrik yang ditransmisikan ke seluruh tubuh dan dapat dideteksi di permukaan kulit (Ashley dan Niebauer, 2006). Elektrokardiograf adalah alat yang merekan aktivitas listrik jantung, sedangkan elektrogradiogram adalah hasil perekaman tersebut.

EKG dapat digunakan sebagai alat diagnosis adanya kelainan ritme jantung, perubahan konduksi listrik, dan adanya iskemi atau infark jaringan otot jantung. Aktivitas listrik yang terjadi di jantung terekam dalam bentuk gelombang, dan terbentuk mengikuti fisiologi jantung, terdiri dari gelombang depolarisasi dan repolarisasi (Thaler, 2009).

Dokumen terkait