Oleh:
LASTRI HILLARY HUTAPEA 110100238
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KARYA TULIS ILMIAH INI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH KELULUSAN
SARJANA KEDOKTERAN
Oleh:
LASTRI HILLARY HUTAPEA 110100238
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN MAHASISWA T.A. 2013/2014
Judul : Gambaran EKG Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2012
Nama : Lastri Hillary Hutapea NIM : 110100238
Pembimbing Penguji I
(dr. Asnawi Arif, Sp.PD) (dr. Iman Helmi Effendi, M.Ked (OG), Sp.OG(K)) NIP:19641006 1999031 001 NIP: 140344041
Penguji II
(dr. Widiraharjo, Sp.P (K)) NIP: 02010120 065560 001
Medan, Desember 2014
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP: 19540220 1980111 001
ABSTRAK
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit pada saluran pernapasan yang menyebabkan gangguan aliran udara di paru dan menyebabkan keadaan hipoksia pada jaringan tubuh. PPOK merupakan penyakit ketiga penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia serta menyebabkan kesakitan yang bersifat seumur hidup pada penderitanya. Elektrokardiogram (EKG) adalah alat yang digunakan untuk merekan aktivitas listrik jantung dengan prinsip perbedaan potensial listrik. PPOK dapat menyebabkan kelainan pada perekaman EKG karena gangguan aliran oksigen menuju dan dari paru akan menyebabkan manifestasi pada aktivitas jantung. Pemeriksaan EKG sangat bermakna bagi pasien PPOK karena kelainan yang muncul akan menunjukkan seberapa besar telah mempengaruhi fungsi kerja jantung. Kelainan pada perekaman EKG inilah yang ingin dilihat dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan metode penelitian deskriptif. Populasi penelitian adalah pasien PPOK yang dilakukan pemeriksaan EKG selama periode Januari – Desember 2012. Sampel penelitian ini berjumlah 82 orang yang diperoleh dari metode total sampling. Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan gambaran elektrokardiogram pasien PPOK meliputi gelombang P Pulmonal (14.6%), P mitral (9.8%), blokade irama (15.9%), pembesaran ventrikel kanan (11%), dan pembesaran ventrikel kiri (23.2%). Sementara itu terdapat 46.3% yang menunjukkan gambaran normal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh derajat keparahan penyakit dan masing-masing gambaran memiliki makna sendiri dan penting dalam hal manajemen pasien.
ABSTRACT
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease of the respiratory system where the airflow is disturbed and thus causing disturbance in oxygen delivery, giving rise to tissue hypoxia. COPD is the third leading cause of death worldwide. Patients with this disease will suffer their whole life. The electrocardiogram (ECG) is a device used to record electrical activity of the heart with the principle of electrical potential differences. COPD can cause abnormalities in the ECG recording due to the interruption of oxygen flow to and from the lungs manifesting through the activity of the heart. ECG is very meaningful for patients with COPD because the abnormality found with it will show how much it has affected the functioning of the heart. The purpose of this study was to identify the abnormality on ECG recording found on COPD patients hospitalized in RSUP Haji Adam Malik Medan . This study was conducted using descriptive method. The study population was patients with COPD who performed an ECG recording during the period of time of January to December 2012. Sample size was 82, obtained by the total sampling method. From the study, it was concluded that there was pulmonary P wave (14.6%), P mitral (9.8%), blockade of rhythm (15.9%), right ventricular hypertrophy (11%), and left ventricular hypertrophy (23.2%). Meanwhile, there was 46.3% showing a normal result. It is highly related by the severity of the disease and each result has its own significance and importance in terms of patient management.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkatNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan lancar dan tanpa kendala yang berarti. Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Gambaran Elektrokardiogram Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis di RSUP Haji Adam Malik tahun 2012” ini merupakan syarat kelulusan dalam program studi pendidikan kedokteran.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki dalam penyajian karya tulis ilmiah ini, oleh karena itu penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, penulis ingin berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatNya yang telah mamberikan kesehatan, kekuatan, dan kemampuan untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH
3. dr. Asnawi Arif, Sp. PD selaku dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan, masukan, maupun dukungan-dukungan yang berarti kepada penulis selama pembuatan karya tulis ini.
4. dr. Iman Budi Helmi, Sp. OG(K) dan dr. Widiraharjo, Sp. P(K) selaku dosen penguji.
5. Dosen-dosen Ilmu Kedokteran Komunitas yang telah membuka wawasan mengenai penulisan karya tulis ilmiah.
6. Kedua orangtua penulis A.J. Hutapea dan R. Simanjuntak serta keluarga besar yang tiada henti mendukung dan memberi motivasi sejak awal sampai menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran.
7. Seluruh teman-teman dan pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
sangat mengharapkan masukan dan kritikan dari semua pihak. Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melindungi kita serta karya tulis ini dapat menjadi sumbangan pemikiran yang berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 10 Desember 2014 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ... i
Abstrak ……….………... ii
Abstract ……….……….. iii
Kata Pengantar ………... iv
Daftar Isi ... vi
Daftar Tabel ... x
Daftar Gambar ... xi
Daftar Singkatan ... xii
Daftar Lampiran ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ... 6
2.1.1. Definisi, Etiologi, dan Faktor Risiko ... 6
2.1.2. Patogenesis ... 7
2.1.3. Patofisiologi Manifestasi Klinis ... 9
2.1.4. Diagnosis ... 10
2.1.4.1. Anamnesis ... 10
2.1.4.2. Menilai Gejala ... 11
2.1.4.3. Pemeriksaan Fisik ... 13
2.1.4.3.1. Inspeksi ... 13
2.1.4.3.2. Palpasi ... 14
2.1.4.3.4. Auskultasi ... 14
2.1.4.4. Pemeriksaan Penunjang ... 15
2.1.4.4.1. Spirometri ... 15
2.1.4.4.2. Uji Bronkodilator ... 18
2.1.4.4.3. Radiologi ... 18
2.1.4.4.4. Pemeriksaan Penunjang Lainnya ... 19
2.1.4.4.4.1. Faal Paru ... 19
2.1.4.4.4.2. Uji Latih Kardiopulmoner ... 20
2.1.4.4.4.3. Analisa Gas Darah ... 20
2.1.4.4.4.4. Elektrokardiografi ... 20
2.1.4.4.4.5. Ekokardiografi ... 20
2.1.4.4.4.6. Pemeriksaan Bakteriologi ... 20
2.1.4.4.4.7. Pemeriksaan Kadar α1-antitripsin 20 2.1.5. Diagnosis Banding ... 20
2.1.6. Penatalaksanaan ... 22
2.1.6.1. Penghentian Merokok ... 22
2.1.6.2. Bronkodilator ... 22
2.1.6.3. PPOK Eksaserbasi ... 24
2.1.7. Follow-up, Komplikasi, dan Indikasi Rujuk ... 25
2.1.7.1. Follow-up ... 25
2.1.7.2. Komplikasi dan Indikasi Merujuk ... 26
2.2. Elektrokardiografi ... 27
2.2.1. Fisiologi Sistem Konduksi Jantung ... 27
2.2.2. Sistem Kerja Elektrokardiograf ... 29
2.2.2.1. EKG Normal ... 31
2.2.2.2. EKG Abnormal ... 34
2.3. EKG Pada PPOK ... 34
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 37
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 37
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 39
4.1. Jenis Penelitian ... 39
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 39
4.3. Populasi dan Sampel ... 39
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 40
4.5. Analisis Data ………... 40
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ………... 40
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………... 40
5.1.2. Karakteristik Populasi ... 41
5.1.3. Hasil Analisis Data ... 41
5.2. Pembahasan ... 44
5.2.1. Gambaran Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Usia ... 44
5.2.2. Gambaran Karakteristik Sampel Berdasarkan Hasil EKG ……….... 45
5.2.3. Distribusi Karakteristik Sampel Berdasarkan Gelombang P Pulmonal ………...… 45
5.2.4. Distribusi Karakteristik Sampel Berdasarkan Gelombang P Mitral ………...…. 46
5.2.5. Distribusi Karakteristik Sampel berdasarkan Blokade Irama Jantung ………... 46
5.2.6. Distribusi Sampel berdasarkan Pembesaran Ventrikel Kanan ………...………. 47
5.2.7. Distribusi Sampel berdasarkan Pembesaran Ventrikel Kiri ……….……..………. 47
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Tabel Perbedaan Antara “pink puffer” dan “blue bloater” ... 15
2.2. Tabel Klasifikasi Tingkat Keparahan PPOK ... 17
2.3. Tabel Tipe Pasien PPOK dari Penilaian Kombinasi ... 17
2.4. Tabel Diagnosis Banding PPOK ... 20
5.1. Tabel Distribusi Frekuensi Karakteristik Populasi berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Usia ... 41
5.2. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Hasil EKG ... 42
5.3. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Gelombang P Pulmonal ... 42
5.4. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Gelombang P Mitral ... 42
5.5. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Blokade Irama Jantung ……. 43
5.6. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Pembesaran Ventrikel Kanan (RVH) ………... 43
5.7. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Pembesaran Ventrikel Kiri (LVH) ………... 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Patogenesis PPOK ... 9
2.2. Penilaian gejala PPOK dengan CAT dan mMrc Dyspnoe scale ... 12
2.3. Foto toraks bronkitis kronis ... 18
2.4. Foto toraks emfisema ... 19
2.5. Sistem konduksi jantung ... 29
2.6. Konfigurasi EKG ... 30
DAFTAR SINGKATAN
AGDA Analisa Gas Darah Arteri
APE Arus Puncak Ekspirasi
ATT Alfa Antitripsin
AV Atriovenosus
cAMP cyclic Adenosine Monophosphate
CAT COPD Assessment Test
CCL Chemokine (C-C motive) Ligand
CD8⁺ Cluster of Differentiation 8⁺
CO Carbon monoxide
CO2 Carbon Dioxide
COPD Chronic Obstructive Pulmonary Disease
CRP C-Reactive Protein
CT Computed Tomography
CXCL Chemokine (C-X-C motive) Ligand
DLCO Diffusing Capacity of the Lung for CO
FEC Forced Expiratory Capacity
FEV1 Forced Expiratory Volume in One Second
FVC Forced Vital Capacity
GOLD Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease
IFN-γ Interferon-gamma
IL Interleukin
IPD Ilmu Penyakit Dalam
KPT Kapasitas Paru Total
KRF Kapasitas Residu Fungsional
LAD Left Axis Deviation
LVH Left Ventricle Hypertrophy
MMP Matrix Metalloproteinase
NSTEMI/STEMI Non- ST Elevation Myocardial Infarction
PDE-4 Phosphodiesterase-4
PDEi Phosphodiesterase inhibitor
PDPI Persatuan Dokter Paru Indonesia
PTM Penyakit Tidak Menular
RAD Righ Axis Deviation
RAE Right Atrial Enlargement
RBBB Right Bundle Branch Block
RVH Right Ventricle Hypertrophy
SA Sinoatrial
SVT Supraventricular Tachycardia
TC T-Cytotoxic
TH T-Helper
TGF-β Tumor Growth Factor-beta
TNF-α Tumor Necrosis Factor-alpha
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Riwayat Hidup Penulis
Lampiran 2 Ethical Clearance
ABSTRAK
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit pada saluran pernapasan yang menyebabkan gangguan aliran udara di paru dan menyebabkan keadaan hipoksia pada jaringan tubuh. PPOK merupakan penyakit ketiga penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia serta menyebabkan kesakitan yang bersifat seumur hidup pada penderitanya. Elektrokardiogram (EKG) adalah alat yang digunakan untuk merekan aktivitas listrik jantung dengan prinsip perbedaan potensial listrik. PPOK dapat menyebabkan kelainan pada perekaman EKG karena gangguan aliran oksigen menuju dan dari paru akan menyebabkan manifestasi pada aktivitas jantung. Pemeriksaan EKG sangat bermakna bagi pasien PPOK karena kelainan yang muncul akan menunjukkan seberapa besar telah mempengaruhi fungsi kerja jantung. Kelainan pada perekaman EKG inilah yang ingin dilihat dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan metode penelitian deskriptif. Populasi penelitian adalah pasien PPOK yang dilakukan pemeriksaan EKG selama periode Januari – Desember 2012. Sampel penelitian ini berjumlah 82 orang yang diperoleh dari metode total sampling. Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan gambaran elektrokardiogram pasien PPOK meliputi gelombang P Pulmonal (14.6%), P mitral (9.8%), blokade irama (15.9%), pembesaran ventrikel kanan (11%), dan pembesaran ventrikel kiri (23.2%). Sementara itu terdapat 46.3% yang menunjukkan gambaran normal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh derajat keparahan penyakit dan masing-masing gambaran memiliki makna sendiri dan penting dalam hal manajemen pasien.
ABSTRACT
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease of the respiratory system where the airflow is disturbed and thus causing disturbance in oxygen delivery, giving rise to tissue hypoxia. COPD is the third leading cause of death worldwide. Patients with this disease will suffer their whole life. The electrocardiogram (ECG) is a device used to record electrical activity of the heart with the principle of electrical potential differences. COPD can cause abnormalities in the ECG recording due to the interruption of oxygen flow to and from the lungs manifesting through the activity of the heart. ECG is very meaningful for patients with COPD because the abnormality found with it will show how much it has affected the functioning of the heart. The purpose of this study was to identify the abnormality on ECG recording found on COPD patients hospitalized in RSUP Haji Adam Malik Medan . This study was conducted using descriptive method. The study population was patients with COPD who performed an ECG recording during the period of time of January to December 2012. Sample size was 82, obtained by the total sampling method. From the study, it was concluded that there was pulmonary P wave (14.6%), P mitral (9.8%), blockade of rhythm (15.9%), right ventricular hypertrophy (11%), and left ventricular hypertrophy (23.2%). Meanwhile, there was 46.3% showing a normal result. It is highly related by the severity of the disease and each result has its own significance and importance in terms of patient management.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit yang memiliki gejala heterogen dan kompleks dengan tanda terhambatnya aliran udara pada jalan napas yang dapat bersifat progresif dan permanen atau tidak permanen (PDPI, 2003). Berdasarkan GOLD (2014), PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang umumnya ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang persisten atau terus-menerus, yang biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronis pada saluran napas dan paru karena partikel atau gas berbahaya. Penyakit ini ditandai dengan emfisema atau bronkitis kronis ataupun keduanya. Gejala utamanya adalah gangguan pernapasan seperti sesak napas yang kadang dapat ditandai dengan adanya mengi saat ekspirasi.
PPOK merupakan penyakit yang umum dan telah menjadi permasalahan besar di seluruh dunia. Ditemukan 6-8% dari populasi yang menderita penyakit ini (Banker dan Verma, 2013). Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2020, PPOK menjadi penyakit kelima dengan prevalensi tertinggi di seluruh dunia, serta cukup menakutkan karena angka kematiannya semakin meningkat setiap tahun. Disebutkan juga bahwa prevalensi untuk kategori sedang-berat terjadi paling banyak pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3% di seluruh dunia. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir PPOK diberi perhatian khusus oleh lembaga dan komunitas kesehatan, penyakit ini masih belum dikenal dan cenderung diabaikan oleh masyarakat.
kematian ketiga terbanyak di dunia setelah penyakit jantung dan pembuluh darah, dan keganasan (Reilly, et al., 2012), serta merupakan penyakit yang insidensinya meningkat setiap tahun. PPOK termasuk ke dalam kelompok penyakit sistem respirasi kronis dan tercatat membunuh rata-rata lebih dari empat juta orang per tahun dalam satu negara dan menyisakan kesakitan pada ratusan ribu lainnya.
Penyebaran penyakit ini sangat luas terutama di kawasan negara perindustrian karena timbulnya dapat disebabkan oleh paparan polusi udara seperti asap pabrik, dan dapat juga disebabkan oleh asap kendaraan bermotor, debu, atau asap hasil bakaran rumah tangga (Mannino, 2006). Namun, faktor risiko terbesar yang dapat menyebabkan penyakit ini ialah oleh asap rokok baik yang dihirup oleh perokok aktif maupun pasif. Di samping itu, asma yang tidak terkontrol juga dapat menjadi penyebab penyakit ini. Sampai saat ini prevalensi masyarakat yang merokok masih sangat tinggi dikarenakan pola hidup masyarakat yang masih menganggap merokok adalah tren sehingga banyak orang yang telah mengalami ketergantungan sehingga sangat besar peluangnya menderita PPOK di kemudian hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi paru sudah menurun banyak.
Gangguan fungsi kerja jantung yang tidak terdiagnosis sering kali menjadi faktor yang meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien PPOK. Namun hal ini menjadi permasalahan di daerah masih berkembang karena keterbatasan fasilitas dan sarana-prasarana diagnostik sehingga penanganan pasien-pasien PPOK belum optimal.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat isu ini menjadi suatu penelitian guna mengetahui bagaimana gambaran EKG yang direkam pada pasien-pasien PPOK. Hal-hal yang akan diteliti dapat beragam, meliputi gelombang P pulmonal, pembesaran jantung kanan maupun blok cabang berkas kanan (right bundle branch block/RBBB). Keabnormalitasan hasil EKG dapat menjadi indikasi telah terdapat penyakit jantung sebagai komorbid penyakit ini. Pada umumnya tingkat obstruksi sejalan terhadap hasil EKG yang ditunjukkan (Huiart, 2006 dalam McAllister, et al., 2012). Oleh karena itu pemeriksaannya harus dipertimbangkan juga saat melakukan penegakan diagnosis penyakit ini agar dapat dilakukan penanganan yang lebih terintegrasi oleh divisi paru dan jantung, sehingga diharapkan dapat memberi hasil yang lebih baik.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran EKG pasien PPOK yang dirawat inap di RS Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012?”
1.3. Tujuan Penelitian A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran EKG pada pasien PPOK
B. Tujuan Khusus
2. Untuk melihat insidensi pasien PPOK yang memiliki kelainan EKG.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa manfaat penelitian ini adalah:
Manfaat bagi klinisi:
1. Agar ke depannya pemeriksaan EKG dapat dilakukan sebagai salah satu uji diagnostik PPOK yang rutin karena memiliki makna yang cukup penting.
2. Sebagai bahan masukan atau sumbangan pemikiran yang dapat digunakan pelayan kesehatan dalam menegakkan diagnosis dan untuk pertimbangan penanganan PPOK.
Manfaat bagi peneliti dan mahasiswa:
1. Sebagai bahan acuan dan sumber ilmu bagi peneliti masa yang akan datang yang ingin mempelajari lebih jauh gambaran EKG pada pasien PPOK.
Manfaat bagi masyarakat:
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis 2.1.1. Defenisi, Etiologi, dan Faktor Risiko
Penyakit pada paru secara garis besar dibagi dalam 2 kelompok, yaitu penyakit paru restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah keterbatasan kemampuan paru untuk mengembang dan mengempis sesuai aliran udara yang masuk dan keluar. Restriksi paru dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya fibrosis, debris atau sisa infeksi (pneumonitis) maupun gangguan pada neuromuskular (Caronia, 2014). Sementara, obstruksi adalah sumbatan saluran napas (dalam hal ini ialah paru). Sumbatan ini dapat disebabkan oleh fibrosis, cairan, partikel solid ataupun benda lain yang bisa berada di dalam paru. PPOK termasuk ke dalam kelompok penyakit paru obstruksi.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit inflamasi kronis yang bersifat sistemik dan dapat memengaruhi fungsi pasien, kualitas hidup, penurunan tingkat fungsi paru-paru, dan meningkatkan komorbiditas penyakit lain. Penyakit ini menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat kronis dan rekuren. Obstruksi ini biasanya bersifat progresif, dapat disertai dengan adanya hiperaktivitas mukosa saluran napas, dan sebagian dapat kembali ke keadaan semula (Porth, 2007).
Selain merokok, faktor paparan lain yang dapat menyebabkan PPOK adalah polusi udara dari hasil rumah tangga seperti asap dapur, terutama pada dapur dengan ventilasi buruk dan yang terkena terutama ialah wanita. Debu dan iritan lain seperti asap juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini dengan paparan yang lama dan sering. Asap kendaraan bermotor juga diduga dapat menjadi penyebab karena partikel-partikelnya dapat mengganggu dan meningkatkan beban kerja paru, meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (GOLD, 2014).
Prevalensi kejadian PPOK lebih banyak pada laki-laki karena pada umumnya perokok lebih banyak ialah laki-laki serta lebih sering terpapar pada polutan udara lainnya dibanding perempuan, meskipun tingkat perokok perempuan juga meningkat dan kerentanan paru perempuan juga lebih tinggi (Chapman, et al., 2014). Faktor penjamu (host) lain meliputi usia, gen (defisiensi α1-antitripsin/ATT), hiperaktivitas bronkus, dan gangguan tumbuh kembang paru seperti riwayat infeksi dan sosial ekonomi (Reilly, et al., 2012).
2.1.2. Patogenesis
Patogenesis atau mekanisme terjadinya PPOK melibatkan banyak faktor.
Meski selama ini ditetapkan merokok merupakan faktor penyebab utama
terjadinya penyakit ini, namun hasil studi epidemiologi telah menunjukkan bukti
yang konsisten bahwa pada pasien yang bukan perokok dapat terjadi keterbatasan
aliran udara seperti halnya yang terjadi pada PPOK (Behrendt, et al., 2005, dalam GOLD 2014). Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronis mencakup emfisema dan
bronkhitis kronis.
Emfisema ditandai dengan hilangnya elastisitas paru dan destruksi dinding
alveolus dan kapiler. Destruksi ini menyebabkan alveolus tidak dapat bergerak
elastis saat inspirasi dan ekspirasi. Alveolus akan cenderung mengembang
sehingga meningkatkan kapasitas total paru. Ada 2 hal yang dapat menyebabkan
emfisema dapat disebabkan 4 proses yang saling berkaitan: (1)paparan kronis asap rokok menyebabkan akumulasi mediator inflamasi di paru; (2)mediator ini akan mensekresi elastolytic proitenases yang dapat merusak matriks ekstrasel; (3)hilangnya matriks ekstrasel memicu kematian sel (apoptosis); (4)terjadi perbaikan yang tidak efektif oleh elastin dan komponen matriks ekstrasel lainnya sehingga menyebabkan pelebaran alveolus.
Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya:
1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan meluas
ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat
kebiasaan merokok yang telah lama.
2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal
dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah. Emfisema
tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi α1-antitripsin.
3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura (PDPI,
2003).
Sementara itu, dalam bronkitis kronis, hambatan saluran napas disebabkan
oleh reaksi inflamasi. Terdapat edema dan hiperplasia kelenjar submukosa
sehingga terjadi sekresi mukus yang berlebihan (Porth, 2007).
Iritan yang terhirup akan menyebabkan akumulasi mediator-mediator
inflamasi seperti netrofil, CD8⁺, limfosit T, sel B, dan makrofag. Ketika
diaktifkan, mediator ini akan memulai kaskade yang akan memicu pengeluaran
mukus yang berlebihan dapat menimbulkan obstruksi total. Fibrosis juga dapat ditemukan pada mukosa yang nantinya juga memicu sekresi mukus yang berlebih pula sehingga akan memperparah kondisi hambatan (Reilly, et al., 2012).
Gambar 2.1. Patogenesis PPOK (Sumber: Barnes, P.J., Nat Rev Immunol 2008; 8:183-92)
2.1.3. Patofisiologi Manifestasi Klinis
Pada tahap awal perjalanan PPOK, pemeriksaan fisik kemungkinan besar
akan memberi hasil dalam batas normal (Reilly, et al., 2012).
Batuk kronis. Batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh untuk membuang atau
membersihkan saluran napas dari benda asing seperti dahak yang disekresi secara
berlebih oleh kelenjar mukus. Biasanya gejala yang pertama kali muncul adalah
batuk yang seringkali diabaikan karena pada umumnya bagi perokok, batuk
waktu, gejala ini akan secara progresif berkembang sampai dapat menyebabkan
kesulitan bernapas yang kemudian akan meresahkan penderitanya (Kenny, 2014).
Produksi Sputum. Menurut GOLD (2014), sebagai gejala dari bronkitis kronis,
produksi sputum teratur dan menetap selama 3 bulan dalam 2 tahun
berturut-turut. Namun, hal ini dapat berubah-ubah sehingga tidak ada kisaran volume
sputum yang pasti untuk diagnosis PPOK.
Dyspnea. Dyspnea diartikan sebagai kesulitan bernapas, dapat disertai suara
mengi (wheezing) saat ekspirasi. Dyspnea muncul akibat produksi lendir/mukus
pada saluran pernapasan dalam jumlah besar sehingga menyebabkan hambatan
jalan napas. Pasien akan tampak memiliki frekuensi pernapasan diatas normal
(hiperventilasi) sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Pada
PPOK berat, dapat dijumpai gejala sianosis pada pasien (Kenny, 2014).
2.1.4. Diagnosis
2.1.4.1. Anamnesis
Cara mendiagnosis pasien PPOK dapat dimulai dengan anamnesis, yaitu
dengan menanyakan hal-hal berikut ini (PDPI, 2003):
• Adanya riwayat merokok (aktif); atau tidak merokok namun terbiasa
menghirup asap rokok (pasif); atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
• Nilai derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun (Brinkman dan Coates, 1963 dalam Watanabe, et al, 2011): - Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600 - Berat : >600
• Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat bayi lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan berasap rokok dan polusi udara
• Batuk berulang dengan atau tanpa dahak • Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Penting diingat bahwa PPOK merupakan penyakit yang memiliki gejala cukup beragam dan dapat berbeda-beda pada setiap pasien. Oleh karena itu, pasien PPOK dapat saja tidak memiliki manifestasi klinis klasik seperti yang telah diuraikan. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis (Zieliñski et al., 2001, dalam Lynes, 2010).
2.1.4.2. Menilai Gejala
Menilai Gejala Eksaserbasi
Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala saluran pernafasan pasien, di luar dari batas normal variasi harian dan membutuhkan perubahan tatalaksana. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antarindividu. Eksaserbasi akut dapat dipicu oleh hal-hal seperti keadaan peningkatan simpatis misalnya kecemasan, flu (common cold), kelelahan, bernapas berlebihan, maupun infeksi saluran napas, dan merupakan suatu kondisi gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera (SKDI, 2012). Kriteria eksaserbasi adalah:
Tiga gejala utama eksaserbasi : 1. Sesak napas bertambah 2. Dahak berubah warna 3. Volume dahak bertambah Gejala tambahan:
1. Demam
2. Batuk bertambah 3. Mengi bertambah
4. Infeksi Saluran Napas atas 5 hari terakhir 5. Denyut jantung meningkat 20% dari biasanya Tipe eksaserbasi dinilai dari gejalanya:
• tipe I (Berat) Tiga gejala utama • tipe II (Sedang) Dua gejala utama
• tipe III (Ringan) Satu gejala utama ditambah satu gejala tambahan.
2.1.4.3. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak memiliki kelainan.
• Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
• Barrel chest (diameter antero - posterior sama dengan diameter transversal)
• Penggunaan otot bantu napas • Hipertropi otot bantu napas • Pelebaran sela iga
• Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema pada tungkai
• Penampilan pink puffer atau blue bloater
2.1.4.3.2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar. 2.1.4.3.3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
2.1.4.3.4. Auskultasi
• Suara napas vesikuler normal, atau melemah
• Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
• Ekspirasi memanjang
• Bunyi jantung terdengar jauh
Pink Puffer
“Pink Puffer” adalah istilah untuk pasien dengan emfisema sebagai
penyebab utama muncul PPOK-nya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
emfisema merupakan keadaan yang dapat menyebabkan kemampuan alveolus
untuk mengembang saat inspirasi menurun akibat destruksi permukaan alveolus.
Dan secara bertahap juga dapat merusak kapiler pembuluh darah sehingga terjadi
penurunan aktivitas difusi. Oleh karena itu, pasien harus berkompensasi dengan
dibandingkan dengan “Blue Bloater” maka pasien ini akan memiliki corak warna
kulit lebih kemerahan (pink) dikarenakan mekanisme kompensasi yang dilakukan
untuk memenuhi oksigen jaringan (tidak terjadi hipoksemia) (Allen, 2009).
Blue Bloater
Sementara itu, “Blue Bloater” adalah istilah untuk pasien dengan bronkitis
kronis sebagai penyebab utama PPOK-nya. Bronkitis kronis ialah kondisi yang
disebabkan produksi mukus berlebihan serta penyempitan bronkus akibat
metaplasia kelenjar goblet dan proses inflamasi kronis pada dinding bronkus.
Berbeda dengan emfisema, tidak terjadi destruksi kapiler, maka respon tubuh
terhadap obstruksi ini adalah dengan mengurangi ventilasi dan meningkatkan
cardiac output. Hipoksemia akan terjadi lebih berat dibandingkan pada kondisi
“Pink puffer” sebagai akibat ventilation-perfusion mismatch. Keadaan hipoksemia ini semakin lama akan menyebabkan sianosis yang tampak pada warna kulit
kebiruan (Allen, 2009).
Pink Puffer Blue Bloater
• Normal atau kurus
• Barrel Chest
• Mulut mencucu (pursed lip
breathing)
• Penggunaan otot-otot bantu
pernapasan
• Perkusi: hipersonor
• Auskultasi : suara pernapasan
melemah, ekspirasi memanjang
• Overweight
• Batuk
• Sputum
• Sianosis
• Edema perifer
• Perkusi : normal
[image:32.595.108.518.423.648.2]• Auskultasi : mengi, ronki basah
Tabel 2.1. Perbedaan antara “pink puffer” dan “blue bloater”
Merokok, sebagai faktor risiko utamanya juga tidak mutlak menyebabkan
PPOK pada semua orang. Hal ini juga dipengaruhi oleh intensitas pajanan asap
rokok, usia penjamu serta fungsi paru si penjamu sendiri. Secara alami, semakin
bertambahnya usia maka fungsi paru juga akan menurun. Hal ini dapat
ditunjukkan oleh Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)=Volume
Ekspirasi Pertama (VEP1) dibanding dengan FVC (Forced Vital Capacity)
=Kapasitas Vital Paksa (KVP) yang dihitung melalui spirometri. VEP1 adalah
jumlah udara yang dapat dihembuskan secara paksa dalam 1 detik setelah 1
inspirasi dalam. Spirometri adalah pemeriksaan fundamental dalam diagnosis
PPOK. Spirometri digunakan untuk menilai VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP.
• Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
• Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
• VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit (PDPI, 2003)
Tingkat Keparahan Gejala Spirometri
0 Berisiko Batuk kronis
berdahak
Normal
I Ringan Dengan/tanpa
batuk kronis atau produksi sputum
VEP1/KVP <0.7 dan VEP1 ≥ 80% prediksi
II A Sedang Dengan/tanpa
batuk kronis atau produksi sputum
VEP1/KVP <0.7 dan 50%≤VEP1 >80% prediksi
III Berat Dengan/tanpa
batuk kronis atau
produksi sputum 50% prediksi
IV Sangat Berat Dengan/tanpa
[image:34.595.108.519.112.370.2]batuk kronis atau produksi sputum VEP1/KVP <0.7 dan VEP1<30% prediksi atau VEP1<50% prediksi dengan gagal napas atau adanya tanda gagal jantung kanan
Tabel 2.2. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK (Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012:2151-2160)
Dari nilai gejala dan spirometri dapat digolongkan pasien dalam 4
kelompok:
Pasien Karakteristik Spirometri
Eksa-serbasi/
tahun
CAT mMRC
A Low risk, less
symptoms
I ≤1 0-1 <10
B Low risk, more
symptoms
II ≤1 2+ ≥10
C High risk, less
symptoms
III >2 0-1 <10
D High risk, more
symptoms
Tabel 2.3. Tipe pasien PPOK dari penilaian kombinasi (Sumber: GOLD
Revised 2011, tersedia dari goldcopd.org diakses: 20 Mei 2014)
2.1.4.4.2. Uji Bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE (Arus Puncak Ekspirasi) meter.
• Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
• Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2.1.4.3.3. Pemeriksaan Radiologi
Radiologi Bronkitis Kronis
• Umumnya normal
• Corakan bronkoalveolar bertambah
Gambar 2.3. Foto toraks bronkitis kronis (Sumber:
diakses: 30 Mei 2014) Radiologi Emfisema
[image:35.595.128.510.368.645.2]• Tanda-tanda hiperinflasi (radiolusen) • Diafragma mendatar
• Sela iga lebar
• Ruang retrosternal melebar • Jantung pendulum
[image:36.595.139.508.266.484.2]• Bullae multipel
Gambar 2.4. Foto toraks emfisema menunjukkan peningkatan lusensi, diafragma mendatar dan ruang retrosternal melebar (Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012: 2106) 2.1.4.4.4. Pemeriksaan Lain (Tidak Rutin)
2.1.4.4.4.1. Faal Paru
• Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
• DLCO menurun pada emfisema
• RAW (Airway Resistance) meningkat pada bronkitis kronis • sGaw (Specific Airway Conductance) meningkat
• Sepeda statis (ergocycle) • Jentera (treadmill)
• Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal 2.1.4.4.4.3. Analisa Gas Darah (AGD)
Terutama untuk menilai : • Gagal napas kronis stabil
• Gagal napas akut pada gagal napas kronis 2.1.4.4.4.4. Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
2.1.4.4.4.5. Ekokardiografi
Untuk menilai fungsi jantung kanan. 2.1.4.4.4.6. Pemeriksaan Bakteriologi
Untuk mengetahui infeksi bakteri dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia (PDPI, 2003).
2.1.4.4.4.7. Pemeriksaan Kadar α1-Antitripsin
Defisiensi α1-antitripsin dijumpai pada pasien PPOK emfisema dengan usia muda (herediter). Jarang ditemukan di Indonesia (PDPI,2003).
2.1.5. Diagnosis Banding
Berdasarkan GOLD (2014), yang menjadi diagnosis banding dari PPOK adalah asma, gagal jantung kongestif, bronkiektasis, tuberkulosis, bronkiolitis, dan panbronkiolitis difusa.
Perkembangan gejala lambat namun progresif Adanya riwayat merokok
Asthma Onset usia muda (biasanya anak-anak) Gejala bervariasi
Muncul pada waktu-waktu tertentu (malam/pagi hari) Alergi, rhinitis, dan/atau ekzema
Adanya riwayat keluarga yang asthma
Gagal jantung kongestif Foto toraks menunjukkan dilatasi jantung, edema paru
Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan keterbatasan volume, bukan hambatan jalan napas
Bronkiektasis Volume sputum besar
Umumnya berhubungan dengan infeksi
Foto toraks menunjukkan dilatasi, dan penebalan dinding bronkus
Tuberculosis (TB) Onset: semua usia
Foto toraks menunjukkan adanya infiltrasi pada lapangan paru Diagnosis pasti: pemeriksaan mikrobiologi
Muncul di daerah dengan prevalensi tinggi Bronkiolitis obliteratif Onset pada usia muda, tidak merokok
Dapat memiliki riwayat rheumatoid arthritis, atau paparan gas kronis
Panbronkiolitis difusa Umumnya ditemukan pada orang Asia
Sebagian besar pasiennya adalah pria dan tidak merokok Hampir semua pasien memiliki sinusitis kronis
[image:39.595.108.551.110.244.2]Foto toraks menunjukkan hiperinflasi dan sentrilobular nodular opak yang kecil
Tabel 2.4. Diagnosis banding PPOK (Sumber: GOLD 2010 updated dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012:2151-2160)
2.1.6. Penatalaksanaan
PPOK merupakan penyakit progresif yang akan memburuk seiring dengan waktu, sehingga prinsip penanganannya ialah bukan untuk mengembalikan keadaan paru ke keadaan normal namun untuk meningkatkan kualitas hidup dengan meminimalkan frekuensi serangan dan keluhan yang dirasakan (NHLBI, 2014).
2.1.6.1. Penghentian Merokok
Langkah intervensi awal yang harus diterapkan pada pasien PPOK ialah berhenti merokok (Reilly, et al., 2012). Sebagai faktor risiko utama yang melatarbelakangi munculnya penyakit ini, merokok harus dihentikan karena terapi lain tidak akan berhasil apabila hal ini tidak dilakukan.
2.1.6.2. Bronkodilator
Bronkodilator inhalasi adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK, dan bertujuan sebagai pencegahan/mengurangi gejala yang akan timbul. Bronkodilator inhalasi kerja lama (long-acting) lebih efektif dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat (Buist, et al., 2014).
Bermacam-macam bronkodilator yang dapat digunakan yaitu: - Golongan agonis beta-2
eksaserbasi akut. Untuk pemeliharaan, dapat dipergunakan bentuk tablet yang berefek lebih panjang (PDPI,2003). Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Saat ini sediaan yang tersedia adalah salbutamol yang bekerja cepat, formoterol (Foradil) dan salmeterol (Serevent) yang bekerja lama.
- Antikolinergik
Antikolinergik bekerja pada postganglionik reseptor kolinergik dan dapat mengurangi sesak dengan menimbulkan efek bronkodilatasi. Obat ini ada yang bersifat kerja cepat, contohnya ipratropium bromida (Atrovent) dan kerja lambat contonya tiotropium bromida (Spiriva)
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita (PDPI, 2003)
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh golongan xantin adalah teofilin. Teofilin merupakan phosphodiesterase inhibitor (PDEi) yang saat ini penggunaannya sebagai terapi adjuvant dibatasi karna memiliki efek samping signifikan seperti kecemasan, tremor, gangguan tidur, mual, gangguan irama jantung (aritmia) dan kejang (Mosenifar, 2014). Maka pada penggunaan panjang perlu dimonitor kadar aminofilin darah.
- Selektif Phosphodiesterase-4 (PDE4)
Dapat mengurangi sesak, dan pada pasien PPOK berat dapat meningkatkan fungsi paru (Mosenifar, 2014). Contoh obatnya adala
- Kortikostreoid inhalasi
2.1.6.3. PPOK Eksaserbasi
Untuk PPOK eksaserbasi akut, manajemen di rumah sakit dapat diberikan bronkodilator kerja cepat: beta-2 agonis dan antikolinergik dosis tinggi; steroid oral atau intravena; antibiotik, dan dapat dipertimbangkan pemberian ventilator mekanik invasif (IPD, 2009). Eksaserbasi PPOK diakibatkan oleh (Sethi, et al., 2002, dalam Miravitlles et al., 2004).
• 80% dari eksaserbasi disebabkan infeksi
o 40-50% oleh
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Streptococcus pneumoniae
o 5–10% oleh bakteri atipikal
Chlamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumonia
o Terkadang dapat juga disebabkan oleh
Haemophilus parainfluenzae
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus
Enterobacteriaceae
o 30% oleh virus
• 20% dari eksaserbasi bukan infeksi
o Faktor lingkungan
o Ketidakpatuhan minum obat
Antibiotik yang dapat digunakan adalah: a. Lini I : - Amoksisilin
- Makrolid
- Ko-trimoksasole b. Lini II : - Amoksisilin klavulanat
- Kuinolon - Makrolid baru - Oksigen (di rumah sakit)
Jika saat eksaserbasi pasien berada di rumah sakit, maka dapat diberikan penanganan oksigen pada keadaan hipoksia. Terapi oksigen dengan cara yang tepat adekuat.
-Ventilasi mekanik
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik: ventilasi alveolar tidak adekuat, paru kurang mengembang, hipoksemia,kelelahan otot pernapasan, kerja napas yang berlebihan. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara:
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi (PDPI, 2003) Tambahan:
• Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
• Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronis, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
• Antitusif
Diberikan dengan hati-hati (PDPI, 2003)
2.1.7. Follow-up, Komplikasi, dan Indikasi Merujuk 2.1.7.1. Follow-up
1. Menggunakan bronkodilator tidak lebih tiap 4 jam 2. Mampu berjalan keluar kamar
3. Bisa makan minum sendiri tanpa gangguan sesak 4. Stabil 12-24 jam pasca terapi parenteral
5. AGDA stabil dalam 24 jam
6. Pasien dapat menggunakan obat obat sendiri
7. Follow-up dan observasi saat di RS sudah lengkap (contoh: perawatan oleh perawatan, oksigen yang diberi, makanan)
8. Pasien, keluarga, dan relative sudah yakin dapat menangani saat berada di rumah.
Yang dinilai selama proses follow-up adalah: 1. Mampu beraktivitas seperti orang lain
2. Menilai nilai VEP1
3. Menilai cara memakai inhaler 4. Mengerti regimen pengobatan
5. Menilai kembali kebutuhan oksigen atau nebulizer di rumah 6. Menilai gejala dengan CAT atau mMRC
7. Status komorbiditas
2.1.7.2. Komplikasi dan Indikasi Merujuk
Komplikasi yang dapat ditimbulkan PPOK adalah: 1. Gagal Napas
2. Infeksi Berulang 3. Kor Pulmonale 4. Pneumotoraks 5. Bronkiektasis 6. osteoporosis
1. Timbul pada usia muda 2. Sering mengalami eksaserbasi 3. Memerlukan terapi oksigen 4. Memerlukan terapi bedah paru 5. Sebagai persiapan terapi pembedahan 6. PPOK dengan komplikasi
7. PPOK tipe C atau D
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah, maka penting untuk diketahui bagaimana pencegahan dan edukasi perburukan gejalanya. Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah merokok, atau bagi perokok dengan usia yang masih relative muda (<30 tahun) frekuensi dan intensitas merokok dapat dikurangi. Hal ini dapat secara signifikan menurunkan angka kejadian terjadinya penyakit ini.
Sementara edukasi dapat diberikan pada masa rehabilitasi pasien. Hal yang dapat dilakukan adalah:
• Exercise training seperti berjalan, menggunakan treadmill ataupun bersepeda, dapat dilakukan selama 10-45 menit setiap sesi yang bertujuan untuk meningkatan konsumsi oksigen, meningkatkan denyut jantung, dan kemampuan paru menggunakan oksigen. Menurut GOLD 2010, keefektifan training ini tergantung pada kemampuan pasien dan tingkat keparahan penyakitnya, dengan lama training sekitar 6-10 minggu.
2.2. ELEKTROKARDIOGRAFI
Pada setiap detakan, jantung berdepolarisasi untuk membangkitkan kontraksi. Aktivitas ini merupakan aktivitas listrik yang ditransmisikan ke seluruh tubuh dan dapat dideteksi di permukaan kulit (Ashley dan Niebauer, 2006). Elektrokardiograf adalah alat yang merekan aktivitas listrik jantung, sedangkan elektrogradiogram adalah hasil perekaman tersebut.
EKG dapat digunakan sebagai alat diagnosis adanya kelainan ritme jantung, perubahan konduksi listrik, dan adanya iskemi atau infark jaringan otot jantung. Aktivitas listrik yang terjadi di jantung terekam dalam bentuk gelombang, dan terbentuk mengikuti fisiologi jantung, terdiri dari gelombang depolarisasi dan repolarisasi (Thaler, 2009).
2.2.1. Fisiologi Konduksi Jantung
Secara anatomi menurut sudut pangang EKG, jantung terdiri dari 3 tipe sel:
1. Sel pacu jantung – sumber tenaga listrik pada jantung 2. Sel penghantar listrik
3. Sel kontraktil
Sel-sel tersebut bekerjasama membentuk sistem konduksi jantung. Sistem tersebut bergerak melalui:
a. Sel pacu jantung (pacemaker) yaitu nodus sinoatrial (SA Node) merupakan sel-sel yang berada pada posterior dinding atrium kanan. Sel-sel ini biasanya mencetuskan impuls listrik pada frekuensi 60-100 kali per menit, namun frekuensi tidak mutlak teratur karena dipengaruhi oleh aktivasi sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis), kadar elektrolit, serta keadaan tubuh akan peningkatan/penurunan curah jantung (aktivitas atau pekerjaan).
b. Internodal pathway yaitu jalur yang menghubungkan antara nodus sinoatrial dan nodus atrioventrikular (AV node). Terletak di atrium kanan. c. Nodus atrioventrikular (AV node) merupakan jaringan yang bekerja
inferior-posterior septum interartrial. Berbeda dengan nodus SA yang berasal dari sel saraf, sel-sel penyusun nodus AV merupakan sel konduksi khusus yang berasal dari sel jantung yang memperlambat impuls menjadi 0.05 m/det impuls listrik di nodus AV.
d. Berkas His terdiri dari kanan (right bundle of His) dan kiri (left bundle of His). Berkas His kanan keluar dari nodus AV menuju ke ventrikel kanan. Berkas His kiri memiliki tiga jalur atau disebut fasikula (Thaler, 2009):
• Fasikula septum yang mendepolarisasi septum antarventrikel (kanan dan kiri)
• Fasikula anterior yang mendepolarisasi bagian anterior ventrikel kiri
• Fasikula posterior yang mendepolarisasi bagian posterior ventrikel kiri
[image:46.595.153.543.409.719.2]e. Serabut purkinje yaitu penghantar listrik ke sel kontraktil atau disebut miokardium (otot jantung) sehingga akhirnya jantung dapat berkontraksi.
2.2.2. Sistem Kerja Elektrokardiograf
EKG bekerja berdasarkan sistem konduksi jantung, yaitu proses depolarisasi-repolarisasi. Terdapat beberapa komponen yang digambarkan di EKG aeperti gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, dan garis lurus mendatar.
Gambar 2.6. Konfigurasi EKG (Sumber: Nibauer, 2006:15-34 )
1. Gelombang P : gelombang kecil yang pertama muncul dan menggambarkan depolarisasi atrium (p: ± 0.06 det; t: 0.2 mV)
2. Interval P-R : adalah waktu antara depolarisasi atrium dan ventrikel 3. Kompleks QRS: depolarisasi seluruh ventrikel (N: 0,06-0,1 det). Terdiri
dari tiga gelombang:
• Gelombang Q kecil menunjukkan depolarisasi septum interventrikel; gelombang Q juga berhubungan dengan bernapas (gelombang kecil dan tipis)
[image:47.595.116.525.248.691.2]• Gelombang S menunjukkan depolarisasi terakhir di bagian dasar ventrikel
4. Segmen S-T : merupakan jarak antara akhir gelombang kompleks QRS dan awal gelombang T yang menunjukkan fase nol (tidak ada potensial aksi) sebelum terjadi repolarisasi
5. Gelombang T : repolarisasi ventrikel (repolarisasi atrium terjadi pada kompleks QRS)
6. Gelombang U : gelombang ini tidak begitu jelas, namun kemungkinan menunjukkan keadaan setelah repolarisasi ventrikel
7. Interval P-R : waktu mulai atrium depolarisasi sampai onset depolarisasi ventrikel (N: 0,12-0,2 det)
8. Durasi QRS : durasi ventrikel depolarisasi
9. Interval Q-T : durasi depolarisasi dan repolarisasi ventrikel (N: 0,32-0,4 det)
10. Interval R-R : durasi siklus kontraksi jantung berdasarkan kontraksi ventrikel
11. Interval P-P : siklus kontraksi atrium 2.2.2.1. EKG Normal
Menurut Ashley dan Niebauer (2006), EKG normal dapat dinilai dari beberapa hal berikut ini:
a. Sinus rhythm (ritme sinus) apabila laju denyut jantung atau heart rate dinilai dari banyaknya gelombang R dalam 1 menit pada orang dewasa terbentuk sebanyak 60-100; interval R-R dan P-P teratur;
Denyut jantung dapat dihitung dengan cara: 1. 1500 / jumlah kotak kecil antara R-R 2. 300 / jumlah kotak besar antara R-R
3. Hitung jumlah gelombang QRS dalam 6 detik, kemudian dikalikan 10 atau dalam 12 detik dikalikan dengan 5
Gambar 2.7. Gelombang normal di 12 sadapan (Sumber:
Setiap sadapan memiliki sudut orientasi yakni sudut pandangnya sendiri terhadap jantung. Keduabelas sadapan diperoleh melalui (Thaler, 2009):
1. Sadapan I dihasilkan dengan menjadikan lengan kiri sebagai kutub positif dan lengan kanan sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah 0°
2. Sadapan II dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub positif dan lengan kanan sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah 60°
3. Sadapan III dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub positif dan lengan kiri sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya 120° 4. Sadapan aVL dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kiri sebagai
kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah -30°
6. Sadapan aVF dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya +90°.
7. V1 ditempatkan di sela iga ke-empat kanan 8. V2 ditempatkan di sela iga ke-empat kiri 9. V3 di antara V1 dan V2
10. V4 ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid klavikularis kiri 11. V5 ditempatkan antara V4 dan V6
12. V6 ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid aksilaris kiri Morfologi normal gelombang pada EKG (Thaler, 2009):
1. Gelombang P berukuran kecil dan biasanya positif pada lateral kiri (I, aVL, V5, V6) dan inferior (II, III, aVF); bifasik di sadapan III dan V1; paling positif pada sadapan II; paling negatif pada sadapan aVR.
2. Kompleks QRS berukuran besar, gelombang R tinggi biasanya terlihat di sadapan lateral kiri dan inferior. Gelombang R semakin meningkat berurutan saat melintasi sadapan V1-V5. Gelombang Q yaitu depolarisasi septum dapat dijumpai pada satu atau beberapa sadapan lateral kiri, dan kadang pada inferior.
3. Gelombang T bervariasi, tetapi biasanya positif pada sadapan dengan gelombang R yang tinggi.
d. Aksis normal
Sumbu jantung (aksis) ditentukan dengan menghitung jumlah resultan defleksi positif dan negatif kompleks QRS rata-rata di sadapan I sebagai sumbu X dan sadapan aVF sebagai sumbu Y. Aksis normal berkisar antara -30° sampai +110°.
Beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan aksis jantung adalah (Ashley dan Niebauer, 2006):
b. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF negatif, jika resultan sadapan II positif: aksis normal. Tetapi jika sadapan II negatif maka deviasi aksis ke kiri (LAD= left axis deviation), berada pada sudut -30° sampai -90°.
c. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF positif, maka deviasi aksis ke kanan (RAD= right axis deviation) berada pada sudut +110° sampai +180°.
d. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF negatif, maka deviasi aksis kanan atas, berada pada sudut -90° sampai +180°.
2.2.2.2. EKG Abnormal
EKG dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya gangguan-gangguan pada jantung. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan fungsi, irama, maupun struktur (Thaler, 2009). Penyakit yang dapat menunjukkan kelainan pada EKG-nya adalah:
1. Aritmia (gangguan irama)
2. Penyakit pada jantung seperti iskemik miokardial akut, gagal jantung, perikarditis, kardiomiopati obstruktif hipertrofi, miokarditis,
3. Penyakit paru seperti PPOK, emboli paru akut.
4. Penyakit sistem saraf pusat seperti perdarahan subarakhnoid, infark serebral.
5. Kondisi lain seperti jantung atlet, gangguan elektrolit, hipotermia, ataupun akibat penggunaan obat-obatan.
2.3. EKG PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
tersebut. Keadaan lain seperti hipoksemia dan hipoksia jaringan yang didukung oleh keadaan inflamasi bronkus akan memperberat kondisi.
Laratta dan Van Eeden (2014) mengatakan bahwa pasien PPOK memiliki risiko yang cukup tinggi untuk mendapat penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke, dan gagal jantung kongestif (kor pulmonal). Faktor risiko lain yang dilaporkan dapat meningkatkan risiko pasien PPOK mengalami manifestasi kardiovaskular adalah adanya hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga, abnormal profil lipid, atau diabetes (O’Donnell, et al., 2008).
Telah banyak dilaporkan bahwa risiko mendapat penyakit kardiovaskular meningkat pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Dalam populasi, pasien dengan infeksi sistem pernapasan dalam 1-2 minggu dapat mengalami miokardiak infark (segmen S-T elevasi/STEMI atau tidak/NSTEMI) dengan risiko 2-3 kali dibanding yang tidak. Selain itu, berdasarkan Huiart, et al. (2009), pasien stabil yang menggunakan kortikosteroid memiliki risiko yang lebih besar mendapat miokardiak infark.
Hasil pemeriksaan EKG pada pasien PPOK dapat menganalisaadanya penyakit jantung seperti iskemia atau aritmia. Pada PPOK stabil biasanya hanya ada perubahan halus/sedikit pada EKG-nya dibanding dengan yang eksaserbasi akut. Kelainan yang dapat terjadi adalah seperti: variasi interval R-R yang berhubungan dengan derajat hipoksemia (Laratta dan Van Eeden, 2014). Studi lain melaporkan variasi interval R-R juga dapat mengindikasikan gangguan irama jantung akibat gangguan simpatis yang biasanya muncul pada pasien PPOK. Kelainan hasil EKG lain dapat meliputi amplitudo gelombang P di sadapan II, III, dan aVF yang lebih tinggi pada pasien PPOK dengan tekanan darah sistolik tinggi (Humagain, et al., 2011), aksis gelombang P ≥ 90° sebagai indikasi adanya hipertrofi ventrikel kanan, aksis kompleks QRS > 90°. Deviasi aksis ke kanan disebabkan oleh paru berekspansi yang memaksa jantung mengubah posisinya lebih vertical sehingga berorientasi semakin ke kanan (Thaler, 2009).
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep berdasarkan gambaran EKG yang ditemukan pada pasien PPOK di RS Haji Adam Malik tahun 2012 adalah:
Skema kerangka konsep penelitian 3.2. Definisi Operasional
Pasien PPOK adalah pasien yang pada rekam medisnya terdiagnosis menderita PPOK, selama tahun 2012.
Elektrokardiogram adalah kertas yang berisi grafik hasil rekaman aktivitas listrik sel di jantung, serta membentuk gelombang dan kompleks yang spesifik. 3.3. Cara Ukur
Cara ukur penelitian ini adalah dengan menganalisis data sekunder berupa hasil EKG pada rekam medis pasien PPOK yang dirawat di RS Haji Adam Malik Medan tahun 2012.
3.4. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan adalah kertas hasil pemeriksaan elektrokardiogram pasien PPOK tahun 2012 di RS Haji Adam Malik Medan yang diperoleh dari rekam medis pasien.
3.5. Hasil Ukur
Hasil pengukuran yang diperoleh adalah gambaran EKG yang menunjukkan manifestasi gangguan pada jantung, baik fungsional maupun anatomi seperti: RAE, RVH, LAE, LVH dan blokade irama.
Gambaran
Elektrokardiogram (EKG) Pasien PPOK di RSUP HAM
3.6. Skala Ukur
Skala ukur yang digunakan adalah sebagai berikut:
• Pasien PPOK menggunakan skala ordinal, yaitu diteliti menurut tingkat keparahan penyakitnya: ringan, sedang atau berat.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana penelitian ini dilakukan hanya satu kali dalam satu waktu pada masa lampau untuk melihat gambaran hasil EKG pasien PPOK yang dirawat di RS Haji Adam Malik Medan. 4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Oktober 2014 di RS Haji Adam Malik Medan instalasi Rekam Medis. RS Haji Adam Malik dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan pusat pelayanan kesehatan pemerintah yang menjadi tempat rujukan utama di kawasan Sumatera Utara sehingga akan lebih memungkinkan untuk mendapat pasien yang representatif.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Yang menjadi populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengidap Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Populasi terjangkaunya adalah pasien PPOK yang dirawat inap di RS Haji Adam Malik pada tahun 2012 dan menjalani pemeriksaan EKG.
4.3.2. Sampel
Besar sampel didapat melalui teknik total sampling, dimana keseluruhan populasi yang memenuhi kriteria dijadikan sebagai sampel penelitian.
Adapun kriteria sampel adalah sebagai berikut ini: 1. Kriteria inklusi
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data akan dimulai setelah mendapat rekomendasi ijin pelaksanaan dari institusi pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Data diperoleh dari EKG data rekam medis pasien PPOK di RS Haji Adam Malik selama tahun 2012.
4.5. Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian akan diolah secara deskriptif menggunakan program komputerisasi yaitu Statistic Package for Survey Solution
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data diri dan hasil rekaman EKG pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) selama tahun 2012 yang tertera pada rekam medis pasien. Hasil tersebut kemudian dianalisis dan hasilnya akan dibahas di bawah ini.
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17 kelurahan Kemenangan Tani, kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A dan merupakan tempat rujukan untuk kawasan pembangunan A yang meliputi wilayah Sumatera Utara, Aceh, Riau, dan Sumatera Barat yang disahkan dengan SK Menkes No. 335/Menkes/VII/1990. Dengan daerah cakupan yang cukup luas maka dapat dijumpai pasien yang bervariasi dirawat di rumah sakitini. Sebagai rumah sakit kelas A, RSUP HAM telah memiliki tenaga kesehatan yang kompeten dalam bidangnya serta dilengkapi fasilitas yang lengkap dan memenuhi standar. Sesuai keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, maka pada tanggal 6 September 1991 dalam SK No. 502/Menkes/IX/1991 RSUP HAM Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5.1.2. Karakteristik Populasi
[image:59.595.115.506.261.422.2]Karakteristik sampel penelitian ini adalah semua pasien PPOK yang dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan selama tahun 2012. Jumlah seluruh pasien PPOK yang dirawat dan melakukan perekaman EKG adalah 82 orang, dengan karakteristik sebagai berikut:
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi karakteristik populasi berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia
Kelompok Usia
Jenis Kelamin
Total Laki-laki Perempuan
N % n % n %
<45 tahun 11 13.4% - - 11 13.4%
45-70 tahun 52 63.4% - - 52 63.4%
>70 tahun 18 22% 1 1.2% 19 23.2%
Total 81 98.8% 1 1.2% 82 100%
Berdasarkan tabel 5.1. dapat diketahui bahwa jumlah sampel berdasarkan jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 81 orang (98.8%), dan perempuan adalah 1 orang (1.2%). Jumlah sampel berdasarkan kelompok usia yang terbanyak adalah pada kelompok usia 45-70 tahun yaitu sebanyak 52 orang (63.4%), kemudian usia >70 tahun yaitu 19 orang (23.2%), dan usia <45 tahun yaitu 11 orang (13.4%). Rata-rata usia sampel adalah 60.82 tahun. Usia terendah adalah 33 tahun dan tertinggi adalah 88 tahun (SD=11.046).
5.1.3. Hasil Analisa Data
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Hasil EKG
Hasil EKG Frekuensi Persentase (%)
Normal 38 46.3%
Tidak Normal 44 53.7%
[image:59.595.109.514.666.745.2]Dari tabel 5.2. didapati bahwa 38 sampel (46.3%) memiliki hasil EKG yang normal, dan 44 (53.7%) memiliki hasil yang tidak normal. Hasil yang tidak normal meliputi berbagai macam gambaran seperti yang dipaparkan berikut ini. Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan gelombang P Pulmonal
P Pulmonal Frekuensi Persentase (%)
Positif 12 14.6%
Negatif 70 85.4%
Total 82 100%
[image:60.595.111.523.389.468.2]Tabel 5.3. menunjukkan terdapat 12 sampel (14.6%) memiliki gelombang P Pulmonal dalam perekaman EKG-nya sementara 70 (85.4%) tidak.
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Gelombang P Mitral
P Mitral Frekuensi Persentase (%)
Positif 8 9.8%
Negatif 74 90.2%
Total 82 100%
[image:60.595.113.526.586.665.2]Pada tabel 5.4. dapat dilihat bahwa terdapat 12 (14.6%) sampel memiliki gelombang P mitral pada hasil EKG-nya, dan 70 (85.4%) memiliki hasil yang negatif gelombang P mitral.
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Blokade Irama Jantung
Blokade Irama Frekuensi Persentase (%)
Positif 13 15.9%
Negatif 69 84.1%
Total 82 100%
Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Pembesaran Ventrikel Kanan (RVH)
RVH Frekuensi Persentase (%)
Positif 9 11%
Negatif 73 89%
Total 82 100%
[image:61.595.111.531.387.459.2]Dari tabel 5.6. diatas, didapati bahwa ada 9 sampel (11%) memiliki pembesaran ventrikel kanan dan 73 (89%) tidak memiliki pembesaran ventrikel kanan dilihat dari hasil EKG-nya.
Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Sampel berdasarkan Pembesaran Ventrikel Kiri (LVH)
LVH Frekuensi Persentase (%)
Positif 19 23.2%
Negatif 63 76.8%
Total 82 100%
Berdasarkan tabel 5.7. terdapat 19 sampel (23.2%) memiliki pembesaran vemtrikel kiri dan 63 (76.8%) tidak memiliki pembesaran ventrikel kiri.
Jika dimuat di dalam satu tabel maka didapatlah hasil temuan-temuan pada sampel sebagai berikut.
Tabel 5.8. Akumulasi Hasil Temuan EKG Sampel
Temuan Frekuensi (n) Persentase (%)
Normal 38 46.3
P Pulmonal 12 14.6
P Mitral 8 9.8
Blokade Irama 13 15.9
RVH 9 11
[image:61.595.112.532.603.730.2]5.2. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran elektrokardiogram pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada data rekam medik pasien yang dirawat selama Januari sampai Desember 2012 didapatkan 82 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Data tersebut dijadikan panduan dalam malakukan pembahasan dan sebagai hasil akhir.
5.2.1. Gambaran Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Usia
Dari hasil penggolongan sampel menurut karakteristik jenis kelamin dan kelompok usianya didapati bahwa lebih banyak pada laki-laki yaitu dengan jumlah 81 sampel (98.8%) dan perempuan hanya 1 (1.2%). Perbedaan ini terlihat sangat signifikan, dan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jitendra Jain, et.al. (2014) yang menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan mencapai perbandingan 5:1. Penelitian lain juga menunjukkan hal yang sama yaitu oleh Ravindran C., et.al. (2008) didapati 98 (98%) laki-laki dan 2 (2%) perempuan. Dari kepustakaan lain juga didapati hal yang mendukung yaitu PPOK terjadi pada laki-laki sebanyak 217 (82.5%) dan perempuan sebanyak 46 (17.5%) (Trisha Wills, et.al., 2013). Hal ini juga sejalan dengan penelitian Nugraha (2012) bahwa pasien PPOK didominasi oleh pria dengan perbedaan yang cukup signifikan. Laki-laki cenderung mendapat penyakit ini dibanding dengan perempuan karena faktor penyebab utama yaitu kebiasaan merokok didominasi oleh laki-laki dibanding perempuan. Menurut Mosenifar (2013), 90% kasus PPOK ditemukan pada pasien perokok. Nilai VEP1 dapat menurun disebabkan oleh rokok, semakin rendah nilainya maka akan semakin berat derajat PPOK yang dimiliki pasien tersebut.
adalah usia 50-60 tahun. Hal ini didukung oleh terjadinya penurunan fungsi paru akibat lamanya merokok.
5.2.2. Gambaran Karakteristik Sampel Berdasarkan Hasil EKG
PPOK merupakan penyakit pada parenkim paru yang menimbulkan obstruksi pada saluran pernapasan sehingga menyebabkan pasiennya mengalami kondisi hipoksia kronis. Keadaan hipoksia ini mempengaruhi aliran darah oleh jantung yang gangguannya dapat dibaca dari perekaman EKG. Pada seluruh populasi sampel didapatkan 44 (53.7%) yang memiliki kelainan pada EKG-nya sementara 38 (46.3%) normal. Kelainan ini cukup beragam, dan seorang pasien dapat memiliki kelainan yang lebih dari satu.
Pola EKG yang normal bisa didapati pada pasien PPOK. Hal ini juga didukung oleh penelitian Patrick Yue, et.al. (2013) yang dilakukan pada 60 sampel didapatkan 43 sampel memiliki hasil EKG yang normal. Namun hasil yang normal ini masih memerlukan ulang (serial EKG) karena keadaan pasien dengan hasil yang normal dapat memburuk seiring berjalannya waktu. Hasil sama ditemukan juga pada penelitian Miriam J. Warnier, et.al. (2013), terdapat 28% dari seluruh populasi sampel yang memiliki hasil EKG normal. Keabnormalitasan hasil EKG pada pasien PPOK ditentukan oleh nilai VEP1 pasien sehingga tidak semua pasien PPOK akan memiliki hasil yang abnormal.
muncul pada 7 sampel (14%) sementara 86% lainnya memiliki kelainan lain yang beragam. Lovely Chabbra, et.al. (2013) menemukan pada 200 sampelnya terdapat 26 sampel (12%) memiliki gelombang P pulmonal pada hasil EKG-nya.
5.2.4. Distribusi Karakteristik Sampel Berdasarkan Gelombang P Mitral Dari tabel 5.4. terdapat 8 sampel (9.8%) memiliki gelombang P mitral sementara 74 sampel (90.2%) tidak. Gelombang P pada EKG menggambarkan depolarisasi dari atrium kanan yang diikuti depolarisasi atrium kiri. Adanya pembesaran pada atrium kiri akan memberikan gambaran gelombang P mitral yaitu gelombang P yang berlekuk (‘notch”) di sadapan I, II, dan/atau aVL. Pembesaran atrium kiri dapat menunjukkan peningkatan tekanan darah (hipertensi) dan merupakan hal yang lazim pada PPOK. Hideki Hayashi dan Minoru Horie (2012) menemukan 4 dari 34 sampel (11.7%) memiliki gelombang P mitral. Hipertensi pada PPOK disebut sebagai hipertensi pulmoner yaitu peningkatan tekanan darah akibat adanya obstruksi pada paru sehingga menyebabkan aliran oksigen menuju ke jantung melalui vena pulmonalis akan menurun. Sebagai kompensasi, atrium kiri akan memompa darah lebih kuat untuk mengalirkan volume darah yang lebih rendah dari normal ini. Dari penelitian Chauoat, et.al. (2008) ditemukan 12 (12%) sampel yang memiliki gelombang P mitral, dan Robert Naeije (2004) menemukan 37 (3.7%) dari 1000 sampel memiliki gelombang P mitral dan 2 diantaranya adalah hipertensi berat.
irama (gangguan konduksi). Gangguan konduksi dapat terjadi akibat hipertensi pulmonal yang menyebabka