• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN FAAL PARU VEP 1 DAN KVP PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2016 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN FAAL PARU VEP 1 DAN KVP PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2016 SKRIPSI"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN FAAL PARU VEP

1

DAN KVP PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2016

SKRIPSI

Oleh :

NADIA KEMALASARI 140100013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

GAMBARAN FAAL PARU VEP

1

DAN KVP PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2016

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

NADIA KEMALASARI 140100013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan terhadap Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaraan Faal Paru VEP1 dan KVP Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Periode 2016”.

Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, yaitu :

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Amira Permatasari Tarigan, M.Ked (Paru), Sp.P(K) selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk dapat memberikan bimbingan, saran, motivasi serta semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. dr. Beby Syofiani Hasibuan, M.Ked(Ped), Sp.A dan dr. Ahmad Yafiz Hasby, M.Ked(An), Sp.An selaku Ketua penguji dan Anggota Penguji yang telah memberikan saran dan nasehat dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

4. dr. Ayodhia Pitaloka Pasaribu, M.Ked (Ped), Sp.A, PhD selaku dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan dukungan terhadap saya.

5. Rasa cinta dan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua saya, Ayahanda Ir. Erwin Razali, MM dan Ibunda Maya Soraya S.SOS M.SP yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada saya. Dan juga kedua adik saya yaitu Sri Ayuni dan Raka Ardiansyah Hasibuan.

6. Teman teman seperjuangan di FK USU. Dia Asri, Khairun Nisa, Dessy Andriyanti, Anita Sari, Febry Permata Sari Nasution, Khairunnisa Sinulingga, Hendra Pranata, Rianda Putra, Dendy Fitra Lesmana, Abdul Rahman Pulungan, Difan Nasuha Yuzar, Amirul Fitrah, M.Ichsan Aulia S, Haznur

(5)

Ikhwan, Raja Putra Dwi Kalisa, M. Ralfi Irsan, Faturrahmi Burhan, Salvilia Fitri Dyastini Putri, dan Jennifer Tiosanna.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari segi kesempurnaan, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, penulisi mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.

Medan, 6 Desember 2017 Penulis

Nadia Kemalasari NIM : 1401000013

(6)

ABSTRAK

Latar Belakang. Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang persisten. Hambatan aliran udara dapat diukur dengan melakukan tes fungsi paru menggunakan spirometri. VEP1/KVP yang dibawah 80% menunjukkan adanya obstruksi pada saluran napas. Tujuan. Untuk mengetahui gambaran nilai faal paru VEP1 dan KVP pada penderita PPOK. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain cross sectional. Sampel dari penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosis PPOK yang didapat dari RSUP H. Adam Malik, Medan yang memenuhi keriteria inklusi (total sampling). Nilai VEP1 dan KVP didapatkan melalui rekam medik. Hasil. Dari hasil penelitian terhadap 205 pasien dengan diagnose PPOK, didapatkan gambaran nilai faal paru VEP1 dan KVP pada kategori berat banyak terdapat pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki, selain itu didapatkan pada pasien dengan kategori usia ≥ 50 tahun, pada pasien yang bekerja. Nilai faal paru VEP1 dan KVP yang terberat juga didapatkan pada pasien dengan riwayat penyakit TB paru dan tumor paru.

Kesimpulan. Berdasarkan penelitian, nilai VEP1 dan KVP pada kategori berat terdapat pada laki- laki, kategori usia ≥ 50 tahun, bekerja, dan dengan riwayat penyakit TB paru dan tumor paru.

Kata kunci:PPOK, nilai VEP1, nilai KVP

(7)

ABSTRACT

Background. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is characterized by persistent airflow resistance. Airflow resistance can be measured by performing lung function tests using spirometry. FEV1 / FVC below 80% indicates obstruction of the airflow. Aim. To determine the characteristics of lung physiological value of FEV1 and FVC in patients with COPD. Method. This study was descriptively conducted within cross sectional study design. The samples of this study were all patients diagnosed having COPD at Adam Malik Hospital that met the inclusion criteria (total sampling). FEV1 and FVC values were obtained through medical records. Results. From the study of the 205 patients with COPD, it was found out that the heaviest lung physiological values of FEV1 and FVC were in patients with male gender, and then in the age group of ≥ 50 years, in patients who work. The heaviest values of FEV1 and FVC lung function were also obtained in patients with a history of pulmonary tuberculosis and lung tumors. Conclusion. Based on the study, FEV1 and FVC values in the heaviest category were found in men, age group ≥ 50 years, work, and with history of pulmonary tuberculosis and lung tumor.

Keywords: COPD, FEV1 values, FVC values

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Gambar ... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Singkatan ... x

Daftar Lampiran ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1. Tujuan Umum ... 2

1.3.2. Tujuan Khusus... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Paru ... 4

2.1.1. Anatomi Paru ... 4

2.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ... 5

2.2.1. Definisi ... 5

2.2.2. Epidemiologi ... 6

2.2.3. Faktor Risiko ... 7

2.2.4. Patogenesis dan Patofisiologi ... 10

2.2.5. Diagnosa ... 11

2.2.6. Penatalaksanaan ... 17

2.2.7. COPD Assesment Test ... 19

2.2.8. Komplikasi ... 20

2.3. Kerangka Teori... 22

2.4. Kerangka Konsep ... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1. Jenis Penelitian ... 24

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

3.3.1. Populasi Penelitian ... 24

3.3.2. Sampel Penelitian ... 24

3.3.3. Kriteria Inklusi ... 25

(9)

3.3.4. Kriteria Eksklusi ... 25

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 25

3.5. Pengolahan dan Analisa Data... 25

3.6. Definisi Operasional... 25

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 27

5.1. Hasil Penelitian ... 27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

6.1. Kesimpulan ... 34

6.2. Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 39

LAMPIRAN ... 41

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1 Anatomi Paru ... 4

2.2 Risiko PPOK terkait dengan berat beban partikel yang dihirup... 8

2.3 Patogenesis PPOK ... 10

2.4 Perbedaan Patogenesis Asma dan PPOK ... 11

2.5 Spirometri Tracing... 15

2.6 Kerangka Teori ... 21

2.7 Kerangka Konsep ... 22

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

2.1 Skala Sesak British Medical Research Council (MRC) ... 12

2.2 Level dampak PPOK pada Status Kesehatan ... 19

3.1 Definisi Operasional ... 26

4.1 Distribusi Frekuensi VEP1 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 28

4.2 Distribusi Frekuensi KVP Berdasarkan Jenis Kelamin ... 28

4.3 Distribusi Frekuensi VEP1 Berdasarkan Kelompok Usia .... 29

4.4 Distribusi Frekuensi KVP Berdasarkan Kelompok Usia ... 30

4.5 Distribusi Frekuensi VEP1 Berdasarkan Pekerjaan ... 30

4.6 Distribusi Frekuensi KVP Berdasarkan Pekerjaan ... 31

4.7 Distribusi Frekuensi VEP1 Berdasarkan Riwayat Penyakit ... 32

4.8 Distribusi Frekuensi KVP Berdasarkan Riwayat Penyakit .. 32

(12)

DAFTAR SINGKATAN

BOLD : Burden of Obstructive Lung Disease CARA : Chronic Aspesific Respiratory Affection CAT : COPD Assesment Test

CNSLD : Chronic Non Spesific Lung Disease CO2 : Karbon Dioksida

COPD : Chronic Obstructive Pulmonary Disease Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia FEF : Forced Expiratory Flow

FEV1 : Forced expiratoy volume in one second FVC : Forced Vital Capacity

GOLD : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease KVP : Kapasitas Vital Paksa

MMEF : Maximal Mid-Expiratory Flow

O2 : Oksigen

PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PEF : Peak Expiratory Flow

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga SUSENAS : Survei Sosial Ekonomi Nasional VEP1 : Volume Ekspirasi Paksa

WHO : World Health Organization

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul

1 Biodata Penulis 2 Lembar Orisinalitas 3 Surat Izin Survey Awal 4 Ethical Clearance 5 Surat Izin Penelitian 6 Data Induk Penelitian 7 Data Statistik SPSS

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial (PDPI, 2010). Sedangkan menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan gejala pernapasan gigih dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan saluran napas atau kelainan alveolar yang disebabkan oleh paparan dari partikel atau gas (GOLD, 2017).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa PPOK akan menjadi penyebab kematian ke-2 di Dunia. Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 11,8% pada laki-laki dan perempuan 8,5%. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%) (Oemiati, 2013).

Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok yang banyak dipastikan memiliki prevalensi PPOK yang tinggi (Oemiati, 2013). WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat (Senior RMet al., 2008 ; Clinical respiratory medicine, 2008). Merokok merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya (Riyanto dan Hisyam, 2006).

Pemeriksaan faal paru pada PPOK mempunyai beberapa manfaat, yaitu membantu menegakkan diagnosis, melihat perkembangan dan perjalanan penyakit, menilai hasil pengobatan serta untuk menentukan prognosis penyakit.

Gangguan faal paru ada dua, yaitu restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah gangguan pengembangan paru, sedangkan obstruksi adalah hambatan aliran

(15)

2

udara ekspirasi (Alsagaff dan Mukty, 2005). Gangguan faal paru pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah obstruksi.

Pemeriksaan faal paru dilakukan dengan menilai fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi darah paru dan transport gas O2 dan CO2 dalam peredaran darah (Alsagaff dan Mukty, 2005). Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan untuk mendiagnosis PPOK (Health Partners, 2011). Uji fungsi paru yang sederhana adalah ekspirasi paksa. Volume ekspirasi paksa detik pertama per kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) adalah perbandingan antara volume gas yang dikeluarkan dalam satu detik pertama melalui ekspirasi paksa sesudah inspirasi penuh dan volume total gas yang dapat dikeluarkan setelah inspirasi penuh (West, 2003). Rasio VEP1/KVP dijadikan ukuran dasar untuk menentukan beratnya obstruksi saluran napas pada PPOK (James et al, 2007).

Akhir-akhir ini PPOK semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat (Riyanto dan Hisyam, 2006). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka disusunlah penelitian gambaran nilai faal paru VEP1 dan KVP pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di RSUP H. Adam Malik periode 2016.

1.2.RUMUSAN MASALAH

Membahas bagaimana gambaran nilai faal paru VEP1 dan KVP pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik periode 2016?

1.3.TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. TUJUAN UMUM

Untuk mengetahui gambaran faal paru VEP1 dan KVP pada penderita PPOK di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan periode 2016.

(16)

1.3.2. TUJUAN KHUSUS

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik demografi PPOK di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan periode 2016.

2. Untuk mengetahui karakteristik VEP1 dan KVP.

3. Untuk mengetahui jenis gangguan faal paru (gangguan obstruktif, retriksi, dan campuran) pada pasien PPOK.

4. Untuk mengetahui derajat berat pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Memberikan informasi kepada pihak Rumah Sakit dalam upaya peningkatan pelayanan pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang dirawat jalan di RSUP H. Adam Malik, Medan.

2. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti di bidang penelitian dan mengasah daya analisa peneliti.

3. Mengetahui nilai faal paru pada penderita PPOK yang dirawat jalan di RSUP H. Adam Malik, Medan.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PARU

2.1.1. ANATOMI PARU

Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus-alveolus di paru melalui sistem kapiler (Sherwood, 2011).

Gambar 2.1. Anatomi Paru.

Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus-lobusnya antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Pada paru kiri hanya terdapat lobus superior dan lobus inferior. Namun pada paru kiri terdapat satu bagian di lobus superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru kanan, yakni disebut sebagai lingula pulmonis. Di antara lobus-lobus paru kanan terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua (Susan, 2009).

(18)

Masing-masing paru mempunyai puncak (apeks) yang tumpul, yang menonjol ke atas dalam leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula; dasar (basis) yang konkaf yang terletak di atas diafragma; facies kostalis yang konveks yang disebabkan oleh dinding toraks yang konkaf yang memisahkan paru-paru kanan dari lobus kanan hati, dan paru-paru kiri dari lobus kiri hati, lambung, dan limpa; facies mediastinalis yang konkaf yang merupakan cetakan pericardium; dan alat-alat mediastinum lainnya (Snell, 2012).

Di sekitar pertengahan facies mediastinalis terdapat hilus pulmonis, yaitu suatu cekungan di mana bronkus, pembuluh darah, dan saraf yang membentuk radiks pulmonis masuk dan keluar dari paru (Susan, 2009). Kecekungan dasar paru kanan lebih dalam dari yang di sebelah kiri, karena ruang diafragma (base) tergantung dengan permukaan cembung diafragma dimana di sebelah kanan lebih cekung karena adanya hati.

2.2. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK 2.2.1 DEFINISI

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) menurut GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan gejala pernapasan gigih dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan saluran napas atau kelainan alveolar yang disebabkan oleh paparan dari partikel atau gas. (GOLD, 2017).

Menurut National Collaborating Centre for Chronic Conditions (2004), PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan obstruksi aliran udara, bersifat irrevesibel, dan sebagian besar disebabkan karena merokok (Barnett dan Margaret, 2006).

PPOK menurut PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia) 2003 adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (PDPI, 2003). Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi (PDPI, 2010).

(19)

6

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, dan tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (Kumar Vet al., 2004) (Price SA dan Wilson LM, 2003).

Banyak istilah yang dipakai untuk Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) antara lain Emphysema and Chronic Bronchitis Syndrome, Chronic Obstructive Broncho Pulmonary Disease, Chronic Airways Obstructive, Chronic Obstructive Lung Disease, Chronic Aspesific Respiratory Affection (CARA), Chronic Non Spesific Lung Disease (CNSLD), dan pada tahun 1970 menjadi Chronic Obstructive Pulmonary Disease ( COPD) (Amin dan Muhammad, 1996).

2.2.2 EPIDEMIOLOGI

Data dari studi BOLD menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan (Buist ASet al.,2007).

Penderita PPOK lebih tinggi pada laki-laki, namun di beberapa negara Eropa tidak ada perbedaan yang menonjol antara penderita laki-laki dengan penderita perempuan. Pada usia 45−65 tahun terjadi peningkatan angka prevalensi sebesar 2% dan pada usia di atas 75 tahun terjadi peningkatan sebesar 7% pada laki-laki.

WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang hingga berat (WHO, 2016). PPOK merupakan penyebab kematian keempat pada tahun 2010 dan diperkirakan menjadi penyebab kematian ketiga di dunia pada tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2005, yang setara dengan 5% dari semua kematian secara global. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun ke atas, dengan rerata sebesar 6,3%, di mana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terrkecil yaitu 3,5%, dan Vietnam dengan angka prevalensi terbesar yaitu 6,7% (PDPI, 2011).

(20)

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kornik, dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Depkes RI. 2000).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7% dengan prevalensi tertinggi PPOK terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7%. Dan untuk Sumatera Utara, prevalensi penderita PPOK adalah 3,6% (RISKESDAS, 2013).

2.2.3 FAKTOR RISIKO

Ada beberapa faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya PPOK, diantaranya sebagai berikut (GOLD, 2011):

1. Genetika

PPOK merupakan penyakit poligenik dan juga merupakan contoh klasik dari interaksi genetika. Genetik sebagai faktor risiko yang pernah ditemukan adalah defisiensi berat antitripsin alfa-1 (Stoller JKet al.,2005), yang merupakan inhibitor dari sirkulasi serin protease. Walaupun defisiensi antitripsin alfa-1 hanya relevan pada sedikit populasi di dunia dan umumnya jarang terdapat di Indonesia, ini sudah menggambarkan interaksi antara genetik dan paparan lingkungan dapat menyebabkan PPOK. Risiko keluarga yang signifikan terhadap obstruksi aliran udara telah diamati pada saudara kandung yang merokok dari pasien dengan PPOK hebat yang bisa menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya PPOK (McCloskey SCet al., 2001). Studi asosiasi genetik telah melibatkan beragam gen dalam patogenesis PPOK. Termasuk mengubah growth factor beta 1 (TGF-β1) (Wu Let al.,2004), microsomal epoxide hydrolase 1 (mEPHX1) (Smith CA et al.,1997), dan nekrosis tumor factor alpha (TNFα) (Huang SLet al.,1997).

(21)

8

2. Paparan Inhalasi

Setiap individu pasti pernah terhirup partikel dengan jenis yang berbeda-beda selama hidupnya.Setiap jenis partikel, tergantung dengan ukuran dan komposisinya berpengaruh pada perbedaan derajat risikonya (Becklake MR, 1989).

Gambar 2.2. Risiko PPOK terkait dengan berat beban partikel yang dihirup.

Sumber: The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD).

a. Riwayat merokok

Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Perokok pipa dan cerutu memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dari yang tidak merokok, tapi tetap lebih rendah dari perokok tembakau (US Surgeon General, 1984). Paparan pasif terhadap asap rokok (perokok pasif) juga dapat berkontribusi ke sindroma respirasi (The Health Consequences of Involuntary Exposure to Tobacco Smoke, 2006) dan PPOK (Eisner MDet al., 2005). Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah dia perokok aktif, perokok pasif, ataupun bekas perokok. Dan juga diperhatikan besarnya derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (PDPI, 2011).

(22)

b. Paparan lingkungan kerja

Paparan lingkungan kerja seperti debu organik dan anorganik, bahan kimia, dan juga asap dari bahan kimia tidak begitu dipermasalahkan sebagai faktor risiko PPOK. Hubungan yang konsisten antara paparan lingkungan kerja dan PPOK tersebut sudah diobservasi dengan penelitian epidemiologi multipel berkualitas tinggi (GOLD, 2011).

c. Polusi udara

Tingginya tingkat polusi udara perkotaan berbahaya bagi individu dengan penyakit jantung atau paru-paru. Penelitian cohort longitudinal menunjukkan bukti kuat tentang hubungan polusi udara dan penurunan pertumbuhan fungsi paru di usia anak dan remaja. Hal ini menunjukkan hal yang masuk akal secara biologi bagaimana peran polusi udara terhadap penuruan perkembangan fungsi paru.

3. Jenis Kelamin

Di masa lalu, sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa prevalensi dan mortalitas penderita PPOK laki-laki lebih besar daripada wanita (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2004 ;Mannino DMet al., 2002).

4. Asma

Ada hubungan antara asma kronik dengan obstruksi jalan napas dan percepatan penurunan fungsi paru. Dalam sebuah laporan dari sebuah kelompok longitudinal dari Tucson Epidemiological Study Penyakit Obstruksi Airway, orang dewasa dengan asma ditemukan memiliki risiko dua belas kali lebih tinggi untuk menderita PPOK dari waktu ke waktu dibandingkan mereka yang tidak menderita asma (Silva GEet al., 2004).

(23)

10

2.2.4 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Merokok merupakan faktor risiko yang paling utama dari PPOK. Komponen- komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas dan menyebabkan peradangan yang menyebabkan edema jaringan dan timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2011).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps, sehingga dapat terjadi sesak nafas (GOLD, 2011).

Gambar 2.3. Patogenesis PPOK.

Sumber: The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD).

(24)

Meskipun COPD dan asma dikaitkan dengan peradangan kronis pada saluran pernapasan, tetapi ada perbedaan dalam sel inflamasi dan mediator pada kedua penyakit tersebut di mana akan ada aperbedaan pada efek fisiologis, gejala, dan respon terhadap terapi (Thomson NCet al., 2004).

Gambar 2.4. Perbedaan Patogenesis Asma dan PPOK.

Sumber: PDPI, Juli 2011.

2.2.5 DIAGNOSA

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, lalu pemeriksaan penunjang dimana dapat menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

1. Anamnesis

PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis (Jindal dan Gupta, 2004).

(25)

12

Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut (COPD Health Center, 2010):

a. Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari (GOLD, 2011).

b. Berdahak kronik

Berdahak kronik disebabkan karena peningkatan produksi sputum.

Terkadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.

c. Sesak napas

Sesak napas terjadi terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.

Tabel 2.1 Skala Sesak British Medical Research Council (MRC).

Skala sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat 2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit 4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Sumber: British Medical Research Council (MRC)

d. Mengi

Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh penyempitan saluran pernapasan dengan aposisi dinding saluran pernapasan. Karena secara umum saluran pernapasan lebih sempit pada saat ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase ekspirasi. Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi.

(26)

Mengi polifonik merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien PPOK (Sylvia dan Lorraine, 2006).

e. Ronkhi

Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup–letup yang terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi ronkhi meskipun bukan gejala khas dari PPOK (Sylvia dan Lorraine, 2006).

f. Penurunan aktivitas

Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis (Sylvia dan Lorraine, 2006).

Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat.

Merokok merupakan faktor risiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80%

kematian pada penyakit ini berkaitan dengan merokok dan orang yang merokok memiliki risiko yang lebih tinggi (12-13kali) dari yang tidak merokok. Tidak hanya rokok, faktor risiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus PPOK (Jindal dan Gupta, 2004).

Dinyatakan PPOK secara klinis apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua (Sciurba, 2004).

2. Pemeriksaan Fisik

Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi paru yang signifikan (Badgettet al., 2003). Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan cara

(27)

14

bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut (PDPI, 2010):

1. Inspeksi

a. Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )

b. Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup) c. Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas d. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis

leher dan edema tungkai.

2. Palpasi

a. Fremitus melemah b. Sela iga melebar.

3. Perkusi

a. Hipersonor.

4. Auskultasi

a. Fremitus melemah

b. Suara napas vesikuler melemah atau normal c. Ekspirasi memanjang

d. Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) e. Ronkhi.

3. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Spirometri

Uji faal paru bertujuan untuk mengetahui apakah fungsi paru seseorang individu dalam keadaan normal atau abnormal. Pemeriksaan faal paru biasanya dikerjakan berdasarkan indikasi atau keperluan tertentu, misalnya untuk menegakkan diagnosis penyakit paru tertentu, evaluasi pengobatan asma, evaluasi rehabilitasi penyakit paru, evaluasi fungsi paru bagi seseorang yang akan mengalami pembedahan toraks atau abdomen bagian atas, penderita penyakit paru obstruktif menahun.

Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara objektif kapasitas fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis.

Alat yang digunakan disebut spirometer (Miller etal., 2005).

(28)

Pasien dengan curiga PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometri (PDPI, 2010). The National Heart, Lung, and Blood Institute merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua (The National Heart, Lung, and Blood Institute, 2000).

Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan antara lain:

a. Kapasitas Vital Paksa (KVP) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara paksa setelah inspirasi maksimal, dan di ukur dalam liter.

b. Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik (VEP1) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik, di ukur dalam liter. Bersama dengan FVC merupakan indikator utama fungsi paru.

c. VEP1/KVP merupakan rasio VEP1/SCV. Pada orang sehat nilai normalnya sekitar 75-80%.

d. Arus Puncak Ekspirasi (APE) merupakan kecepatan pergerakan udara keluar dari paru pada awal ekspirasi, di ukur dalam liter/detik.

Langkah pemeriksaan spirometri yaitu: Siapkan alat spirometri, dan kalibrasi harus dilakukan sebelum pemeriksaan pasien harus dalam keadaan sehat, tidak ada flu atau infeksi saluran napas bagian atas dan hati-hati pada penderita asma karena dapat memicu serangan asma. Pasien harus menghindari mamakai pakaian ketat dan makanan berat dalam rentang waktu 2 jam. Selain itu dilarang mengonsumsi alkohol dalam 4 jam dan merokok dalam 1 jam. Masukkan data yang diperlukan, yaitu umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan ras untuk mengetahui nilai prediksi.

Demonstrasikan manuver pada pasien, yaitu pernafasan melalui mulut tanpa ada udara lewat hidung dan celah bibir yang menghisap mouth piece. Pasien dalam posisi duduk atau berdiri. Lakukan pernapasan biasa tiga kali berturut- turut dan langsung menghisap sekuat dan sebanyak mungkin udara kedalam paru-paru, lalu dengan cepat dan kuat dihembuskan udara melalui mouth piece. Manuver bisa dilakukan 3 kali untuk mendapatkan hasil terbaik.

(29)

16

Spirometri normal spirometri penyakit obstruktif

Gambar 2.5. Spirometri Tracing.

Sumber: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2017.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2017, mengklasifikasikan derajat PPOK sebagai berikut (GOLD, 2017):

1. Derajat I (PPOK ringan)

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.

Spirometri :VEP1/KVP< 70%, VEP1 ≥ 80%.

2. Derajat II (PPOK sedang)

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).

Spirometri :VEP1/KVP< 70%; 50% < VEP1< 80%.

3. Derajat III (PPOK berat)

Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4. Eksaserbasi lebih sering terjadi.

Spirometri :VEP1/KVP< 70%; 30% < VEP1< 50%.

4. Derajat IV (PPOK sangat berat)

Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.

Spirometri :VEP1/KVP< 70%; VEP1< 30%.

(30)

4. Pemeriksaan penunjang Lain

Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK. Namun beberapa tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis.

Hitung darah lengkap harus 15 dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia. Hal ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan (PDPI, 2010).

2.2.6 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (PDPI, 2010).

Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.

Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit (GOLD, 2017)

Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan merupakan pilihan utama adalah bronkodilator. Bronkodilator adalah obat- obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau mengubah variabel spirometri lainnya. Mereka bertindak dengan mengubah saluran napas otot halus dan perbaikan dalam aliran ekspirasi mencerminkan pelebaran saluran udara

(31)

18

bukan perubahan dalam paru-paru recoil elastis. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release) atau obat berefek panjang (long acting) (PDPI, 2010) (Tashkin D.Pet al., 2008).

Jenis-jenis bronkodilator antara lain:

1. Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, di samping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).

2. Golongan β– 2 agonis

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.

Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

3. Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.

Di samping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

4. Golongan Xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

(32)

2.2.7 COPD Assesment Test (CAT)

COPD Assesment Test (CAT) merupakan kuesioner yang sudah tervalidasi dan terstandarisasi yang digunakan untuk menilai status kesehatan pasien PPOK. CAT terdiri dari 8 item pertanyaan yang mudah dimengerti dan dijawab oleh pasien. CAT memiliki skor dari 0-40. CAT harus diisi sendiri oleh pasien tanpa bantuan praktisi kesehatan. Dengan 8 item pertanyaan, CAT sudah dapat menunjukkan efek yang jelas terhadap status kesehatan dan kehidupan sehari-hari pasien (Jones et al., 2011).

CAT bukan merupakan alat diagnostik seperti spirometri. Namun CAT dapat digunakan bersama-sama dengan spirometri dalam penilaian klinis pasien PPOK untuk mengetahui apakah penatalaksanaan sudah optimal. CAT juga tidak dapat menggantikan terapi PPOK, tetapi dapat membantu dalam memonitor efek terapi (Doddet al., 2011).

Kuesioner CAT yang sudah dilengkapi dapat membantu dalam menyusun langkah penatalaksanaan pasien. CAT Development Steering Group and GOLD menyarankan agar pasien mengisi kuesioner CAT setiap 2 -3 bulan untuk menilai perubahan (CAT, 2012).

Tabel 2.2. Level dampak PPOK pada Status Kesehatan.

Skor CAT Level Gambaran Klinis Akibat PPOK

>30 Tinggi sekali Kondisi penderita menghentikannya melakukan apapun yang mereka inginkan dan mereka tidak pernah baik setiap harinya. Jika mereka dapat mandi, akan membutuhkan waktu yag lama. Mereka tidak dapat keluar rumah atau melakukan pekerjaan rumah. Mereka sering tidak dapat bangun dari kursi atau tempat tidur.

Mereka menjadi merasa tidak berguna

20-30 Tinggi PPOK menghentikan mereka melakukan hampir semua yang mereka inginkan. Mereka sesak napas ketika berjalan di sekitar rumah dan berpakaian. Mungkin juga sesak ketika berbicara. Mereka letih karena batuk dan gejala yang ada mengganggu tidur hamper setiap malam. Mereka merasa olahraga tidak aman untuknya sehingga menjadi panik dan takut.

(33)

20

Lanjutan Tabel 2.2. Level dampak PPOK pada Status Kesehatan.

Skor CAT Level Gambaran Klinis Akibat PPOK

10-20 Sedang Pasien mengalami hari yang baik dalam seminggu, tetapi batuk berdahak hamper di setiap hari dan mengalami ekserbasasi 1-2 kali dalam setahun.Mereka sesak hampir setiap hari dan biasanya bangun dengan dada yang berat atau mengi. Mereka sesak ketika membungkuk dan hanya dapat menaiki tangga perlahan.

Mereka dapat melakukan pekerjaan perlahan atau berhenti untuk istirahat.

<10 Rendah Hampir setiap hari baik, tetapi dapat berhenti melakukan beberapa aktivitas yang diinginkan. Pasien biasanya batuk beberapi hari dalam seminggu dan sesak ketika berolahraga dan membawa barang berat. Mereka harus perlahan atau berhenti ketika mendaki atau ketika terburu-buru turun. Mereka mudah lelah.

Sumber: CAT, 2012

2.2.8 KOMPLIKASI

1. Kor Pulmonal (gagal jantung kanan)

Komplikasi ini terjadi karena adanya peningkatan tekanan dan desakan dari ventrikel kanan (disebabkan perbesaran sel ventrikular kanan). Peningkatan resistensi pembuluh darah paru sebagai akibat dari penyempitan pembuluh darah hipoksia paru menyebabkan desakan pada sisi kanan jantung. Pada akhirnya terjadi hipertrofi dan kegagalan ventrikel kanan. Berdasarkan penelitian Puspita (2007) di RS Dr. Kariadi Semarang dari 72 penderita gagal jantung terdapat 9,7% PPOK sebagai komorbid gagal jantung (Dewi dan Kusuma Puspita, 2007).

2. Polisitemia

Pada tingkat kronis jumlah oksigen semakin rendah sehingga untuk menyeimbangkan dengan kebutuhan terjadi peningkatan jumlah sel darah merah. Peningkatan sel darah merah berguna untuk meningkatkan hemoglobin untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Mekanisme ini meningkatkan viskositas darah, sehingga darah lebih sulit dipompa kedalam jaringan, dan mengurangi pengiriman oksigen.

(34)

3. Pneumotoraks

Komplikasi ini terjadi pada penderita emfisema. Bulla yang terdapat pada emfisema tahap lanjut bisa saja pecah sehingga udara yang terdapat di dalam bulla masuk ke dalam rongga pleura. Gejala yang muncul yaitu nyeri dada dan sesak yang meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan foto sinar X. Pada tahap ringan tidak menunjukkan gejala sehingga dapat sembuh sendiri.

4. Eksaserbasi

Eksaserbasi terjadi karena produksi sputum yang berlebihan sehingga memudahkan bakteri tumbuh dan akan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik imunitas tubuh mulai menurun, hal ini ditandai dengan menurunnya kadar limfosit di dalam darah.

(35)

22

2.3. KERANGKA TEORI

Gambar 2.6. Kerangka Teori.

Diagnosa:

1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan

penunjang:

a. Pemeriksaan Spirometri 1.VEP1 2.KVP 3.VEP1/KVP 4.APE

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Paru

Anatomi

COPD Assesment

Test

Definisi

Epidemiologi

Faktor Risiko

Patogenesis dan Patofisiologi

Tatalaksana

komplikasi

(36)

2.4. KERANGKA KONSEP

Gambar 2.7. Kerangka Konsep.

Pasien PPOK

Demografi:

1. Jenis Kelamin 2. Kelompok Usia 3. Pekerjaan Klinis:

1.Riwayat Penyakit

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. JENIS PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian potong lintang, dimana peneliti mencari gambaran nilai faal paru VEP1

dan KVP pada pasien dengan diagnosis PPOK.

3.2. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji AdamMalik Medan.Waktu pengambilan dan pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Desember 2017.

3.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 POPULASI PENELITIAN

Populasi pada penelitian ini adalah data seluruh pasien dengan diagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di RSUP H. Adam Malik Medan mulai 1 Januari 2016-31 Desember 2016.

3.3.2 SAMPEL PENELITIAN

Sampel adalah bagian dari populasi yang mewakili populasi yang akan diambil. Besar sampel yang digunakan ialah dengan metode total sampling, di mana sampel yang digunakan adalah semua populasi yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian.

(38)

3.3.3 KRITERIA INKLUSI

Kriteria inklusi subjek penelitian adalah:

1. Data pasien dengan diagnosa PPOK dimana terdapat hasil spirometri yang dirawat jalan di RSUP H. Adam Malik periode 2016.

3.3.4 KRITERIA EKSKLUSI

Kriteria eksklusi subjek penelitian adalah:

1. Data rekam medik yang tidak lengkap.

3.4. METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pencatatan pada rekam medik pasien dengan diagnosis PPOK di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.

3.5. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

Pengolahan dan analisa data dibagi dalam beberapa tahap, yaitu pengumpulan data, pengolahan data,penyajian data, analisis/interpretasi data dan pengambilan kesimpulan. Data yang diperoleh dideskripskan dengan menggunakan program berbasis komputer.

3.6. DEFINISI OPERASIONAL

Sesuai dengan masalah, tujuan dan model penelitian, maka yang menjadi vaiabel dalam penelitian berserta definisi operasionalnya masing-masing dengan yang dicatat oleh petugas rumah sakit sebagai berikut:

1. Jenis kelamin adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis pada pasien PPOK yang tercatat dalam rekam medik di RSUP. Haji Adam Malik periode 2016.

2. Usia adalah lama hari hidup respon yang tercatat dalam rekam medik di RSUP. Haji Adam Malik periode 2016.

(39)

26

3. Pekerjaan adalah jenis pekerjaan pada pasien PPOK yang tercatat dalam rekam medik di RSUP. Haji Adam Malik periode 2016.

4. Riwayat penyakit adalah penyakit yang menyertai atau selain penyakit utama yang didapat pada pasien PPOK yang tercatat dalam rekam di RSUP. Haji Adam Malik periode 2016. Komorbiditas dibatasi dengan asma bronkial, hipertensi, TB paru, dan tumor paru.

5. VEP1 adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detikyang didapat pada pasien PPOK yang tercatat dalam rekam di RSUP. Haji Adam Malik periode 2016.

6. KVP adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara paksa setelah inspirasi maksimal yang didapat pada pasien PPOK yang tercatat dalam rekam di RSUP. Haji Adam Malik periode 2016.

Tabel 3.1. Definisi Operasional.

Variabel Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala ukur Jenis

Kelamin

Data rekam medik

Melihat data rekam medik

1. Laki-laki 2. Perempuan

Nominal

Usia Data rekam

medik

Melihat data rekam medik

1. 30-39 tahun 2. 40-49 tahun 3. >50 tahun

ordinal

Pekerjaan Data rekam medik

Melihat data rekam medik

1. Bekerja 2. Tidak Bekerja

Nominal Riwayat

Penyakit

Data rekam medik

Melihat data rekam medik

1. Asma Bronkial 2. Hipertensi 3. TB Paru 4. Tumor Paru

Nominal

VEP1 Data rekam

medik

Melihat data rekam medik

1. Normal: ≥80%

2. Ringan: 60-

<80%

3. Sedang: 40-

<60%

4. Berat: <40%

ordinal

KVP Data rekam

medik

Melihat data rekam medik

1. Normal: ≥80%

2. Ringan: 60-79%

3. Sedang: 30-59%

4. Berat: <30%

ordinal

(40)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengambilan sampel dan penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu mulai bulan September 2017 sampai November 2017. Penelitian dilakukan di instalasi rekam medik RSUP Haji Adam Malik Medan. Terdapat 205 buah rekam medik pasien dengan PPOK yang memenuhi kriteria untuk dimasukkan sebagai sampel.

Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Medan Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan. RSUP Haji Adam Malik merupakan Rumah Sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes NO.335/Menkes/SK/VIII/1990. Di samping itu, RSUP Haji Adam Malik adalah Rumah Sakit Rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau.

Secara umum, karakteristik pasien PPOK lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa PPOK berhubungan dengan kebiasaan merokok. Berdasarkan hasil SUSENAS tahun 2001, sebanyak 54,5%

penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merokok perokok (PDPI, 2011).

Diperkirakan satu dari empat laki-laki dan satu dari enam perempuan tanpa PPOK akan datang pada usia 55 tahun akan menjadi PPOK (Spyratos et al, 2012).

Karakteristik pasien PPOK juga lebih dominan pada kelompok usia di atas 50 tahun dikarenakan PPOK merupakan penyakit yang muncul setelah terpapar dengan berbagai macam iritan dalam waktu yang lama. Gejala PPOK juga lebih sering muncul pada usia di atas 50 tahun (Djojodibroto dan R Darmanto, 2009).

Pasien PPOK juga dominan kepada yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja. Karena GOLD menyatakan bahwa PPOK bisa terjadi karena adanya paparan dari lingkungan kerja (GOLD, 2011).

Dari hasil observasi terhadap rekam medik, didapatkan 205 pasien yang didiagnosis dengan PPOK yang di rawat jalan periode Januari 2016 sampai

(41)

28

Desember 2016. Karakteristik yang diamati adalah jenis kelamin, umur, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, riwayat penyakit, serta nilai VEP1 dan KVP.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi VEP1 Berdasarkan Jenis Kelamin

JENIS KELAMIN

NILAI VEP1

TOTAL Normal Ringan Sedang Berat

F % F % F % F % F %

Laki-laki 3 1,7 26 14,4 51 28,3 100 55,6 180 100 Perempuan 1 4,0 0 0 7 28,0 17 68,0 25 100 Total 4 2,0 26 12,7 58 28,3 117 57,1 205 100 Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa nilai VEP1 kategori normal pada laki- laki sebanyak 3 orang (1,7%). Nilai VEP1 kategori ringan sebanyak 26 orang (14,4%). Nilai VEP1 kategori sedang sebanyak 51 orang (28,3%). Nilai VEP1

kategori berat sebanyak 100 orang (55,6%). Pada perempuan, nilai VEP1 kategori normal sebanyak 1 orang (4%). Nilai VEP1 kategori ringan sebanyak 0. Nilai VEP1 kategori sebanyak 7 orang (28%). Nilai VEP1 kategori berat pada perempuan sebanyak 17 orang (68%).

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi KVP Berdasarkan Jenis Kelamin

JENIS KELAMIN

NILAI KVP

TOTAL Normal Ringan Sedang Berat

F % F % F % F % F %

Laki-laki 8 4,4 26 14,4 98 54,4 48 26,7 180 100 Perempuan 1 4,0 2 8,0 11 44,0 11 44,0 25 100 Total 9 4,4 28 13,7 109 53,2 59 28,8 205 100 Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa nilai KVP kategori normal pada laki- laki sebanyak 8 orang (4,4%). Nilai KVP kategori ringan sebanyak 26 orang (14,4%). Nilai KVP kategori sedang sebanyak 98 orang (54,4%). Nilai KVP kategori berat sebanyak 48 orang (26,7%). Pada perempuan, nilai KVP kategori normal sebanyak 1 orang (4%). Nilai KVP kategori ringan sebanyak 2 orang (8%). Nilai KVP kategori sedang sebanyak 11 orang (44%). Nilai KVPkategori berat pada perempuan sebanyak 11 orang (44%).

Berdasarkan data tersebut, maka didapatkan bahwa laki-laki lebih banyak didiagnosa dengan PPOK dibandingkan perempuan. Hal ini banyak dikaitkan dengan kebiasaan merokok yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan

(42)

perempuan, di mana rokok merupakan salah satu faktor risiko yang sangat berperan dalam terjadinya PPOK. Penelitian mengenai distribusi frekuensi PPOK dengan jenis kelamin juga dilakukan oleh National Heart Lung and Blood Institute pada tahun 2004 dimana prevalensi dan mortalitas penderita PPOK pada laki-laki lebih besar dibandingkan wanita (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2004 ; Mannino DMet al., 2002). Hasil penelitian tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shinta di RSU dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2006 dengan desain case series bahwa proporsi jenis kelamin penderita PPOK tertinggi adalah laki-laki 84,8% dari 46 penderita (Shinta, 2008).

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi VEP1 Berdasarkan Kelompok Usia

USIA

NILAI VEP1

TOTAL Normal Ringan Sedang Berat

F % F % F % F % F %

30 – 39 tahun 0 0 1 20,0 1 20,0 3 60,0 5 100 40 – 49 tahun 1 4,3 1 4,3 6 26,1 15 65,2 23 100 Di atas 50 tahun 3 1,7 24 13,6 51 28,8 99 55,9 177 100 Total 4 2,0 26 12,7 58 28,3 117 57,1 205 100

Berdasarkan tabel 4.3 nilai VEP1 kategori normal pada rentang usia 30-39 tahun sebanyak 0. Nilai VEP1 kategori ringan sebanyak 1 orang (20%). Nilai VEP1 kategori sedang sebanyak 1 orang (20%). Nilai VEP1 kategori berat sebanyak 3 orang (60%). Nilai VEP1 kategori normal pada rentang usia 40-49 tahun sebanyak 1 orang (4,3%). Nilai VEP1 kategori ringan sebanyak 1orang (4,3%). Nilai VEP1 kategori sedang sebanyak 6 orang (26,1%). Nilai VEP1

kategori berat sebanyak 15 orang (65,2%). Nilai VEP1 kategori normal pada rentang usia di atas 50 tahun sebanyak 3 orang (1,7%). Nilai VEP1 kategori ringan sebanyak 24 orang (13,6%). Nilai VEP1 kategori sedang sebanyak 51 orang (28,8%). Nilai VEP1 kategori berat pada rentang usia di atas 50 tahun sebanyak 99 orang (55,9%).

(43)

30

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi KVP Berdasarkan Kelompok Usia

USIA

NILAI KVP

TOTAL Normal Ringan Sedang Berat

F % F % F % F % F %

30 – 39 tahun 1 20,0 0 0 2 40,0 2 40,0 5 100 40 – 49 tahun 3 13,0 2 8,7 9 39,1 9 39,1 23 100

Di atas 50 tahun

5 2,8 26 14,7 98 55,4 48 27,1 177 100 Total 9 4,4 28 13,7 109 53,2 59 28,8 205 100

Berdasarkan tabel 4.4 nilai KVP kategori normal pada rentang usia 30 – 39 tahun sebanyak 1 orang (20%). Nilai KVP kategori ringan sebanyak 0. Nilai KVP kategori sedang sebanyak 2 orang (40%). Nilai KVP kategori berat sebanyak 2 orang (40%). Nilai KVP kategori normal pada rentang usia 40 – 49 tahun sebanyak 3 orang (13%). Nilai KVP kategori ringan sebanyak 2 orang (8,7%). Nilai KVP kategori sedang sebanyak 9 orang (39,1%). Nilai KVP kategori berat sebanyak 9 orang (39,1%). Nilai KVP kategori normal pada rentang usia di atas 50 tahun sebanyak 5 orang (2,8%). Nilai KVP sebanyak 26 orang (14,7%). Nilai KVP kategori sedang sebanyak 98 orang (55,4%). Nilai KVP kategori berat pada rentang usia di atas 50 tahun sebanyak 48 orang (27,1%).

Berdasarkan data di atas, maka didapatkan bahwa kelompok usia di atas 50 tahun lebih banyak didiagnosa dengan PPOK karena PPOK merupakan penyakit yang muncul setelah terpapar dengan berbagai macam iritan dalam waktu yang lama. Gejala PPOK juga lebih sering muncul pada usia di atas 50 tahun (Djojodibroto dan R Darmanto, 2009). Umumnya penderita PPOK kebanyakan berusia lanjut, karena terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas pada system pernapasan dan menurunnya aktifitas fisik pada kehidupan sehari-hari (Hisyam, dkk.., 2001).

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi VEP1 Berdasarkan Pekerjaan

PEKERJAAN

NILAI VEP1

TOTAL Normal Ringan sedang Berat

F % F % F % F % F %

Bekerja 4 2,3 23 13,2 48 27,6 99 56,9 174 100 Tidak Bekerja 0 0 3 9,7 10 32,3 18 58,1 31 100 Total 4 2,0 26 12,7 58 28,3 117 57,1 205 100

(44)

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa nilai VEP1 kategori normal pada pasien yang bekerja sebanyak 4 orang (2,3%). Nilai VEP1 kategori ringan sebanyak 23 orang (13,2%). Nilai VEP1 kategori sedang sebanyak 48 orang (27,6%). Nilai VEP1 kategori berat sebanyak 99 orang (56,9%). Pada pasien yang tidak bekerja nilai VEP1 kategori normal sebanyak 0. Nilai VEP1 kategori ringan sebanyak 3 orang (9,7%). Nilai VEP1 kategori sedang sebanyak 10 orang (32,3%). Nilai VEP1 kategori berat pada pasien yang tidak bekerja sebanyak 18 orang (58,1%).

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi KVP Berdasarkan Pekerjaan

PEKERJAAN

NILAI KVP

TOTAL Normal Ringan sedang Berat

F % F % F % F % F %

Bekerja 8 4,6 23 13,2 92 52,9 51 29,3 174 100 Tidak Bekerja 1 3,2 5 16,1 17 54,8 8 25,8 31 100 Total 9 4,4 28 13,7 109 53,2 59 28,8 205 100 Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa nilai KVP kategori normal pada pasien yang bekerja sebanyak 8 orang (4,6%). Nilai KVP kategori ringan sebanyak 23 orang (13,2%). Nilai KVP kategori sedang sebanyak 92 orang (52,9%). Nilai KVPkategori berat sebanyak 51 orang (29,3%). Pada pasien yang tidak bekerja nilai KVP kategori normal sebanyak 1 orang (3,2%). Nilai KVP kategori ringan sebanyak 5 orang (16,1%). Nilai KVP kategori sedang sebanyak 17 orang (54,8%). Nilai KVP kategori berat pada pasien yang tidak bekerja sebanyak 8 orang (25,8%).

Berdasarkan data di atas, maka didapatkan orang yang bekerja lebih banyak didiagnosa PPOK dibandingkan yang tidak bekerja. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Dalam hal ini GOLD menyebutkan bahwa itu terjadi karena adanya paparan dari lingkungan kerja. Serta hubungan yang konsisten antara paparan lingkungan kerja dan PPOK tersebut sudah diobservasi dengan penelitian epidemiologi multipel berkualitas tinggi (GOLD, 2011).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menyampaikan informasi, Sekolah TARUNA TERPADU BOGOR masih menggunakan cara yang manual, hal ini yang mendorong penulis untuk melakukan penulisan ilmiah mengenai Pembuatan

Dari 70 sampel ini, diperoleh prevalensi dan faktor resiko penyakit ginjal kronik adalah hipertensi sebanyak 21 orang (30%) dan ini merupakan penyebab yang

Ekonomi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu economy .Sementara kata ekonomy itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikonomike yang berarti pengelolahan

2.3 Sensor-corrected products without image distortion On ZY3-02, multi TDI (Time Delay and Integration) CCD units are mounted on the focal plane of the cameras to achieve a

Dengan observasi, siswa mampu melakukan refleksi kebiasaan peduli dan melestarikan sumber daya alam dan lingkungan dalam bentuk tabel dengan sistematis2. Mengarang cerita

After image filtering, object features were detected using different parameters of two detection algorithms Maximally Stable Extremal Regions (MSER) and Speeded Up

Yang dimaksud dengan pembawa kayu bakar pada surat Al Lahab ayat ke empat adalah.... Penyebar

Therefore, we present two relative orientation methods by using corresponding image points only: the first method will use quasi ground control information, which is generated