TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3. Patofisiologi Manifestasi Klinis
2.1.4.2. Menilai Gejala
Menilai gejala dapat dilakukan memakai COPD Assessment Test (CAT), atau skala sesak napas Medical Research Council (MRC). Berdasarkan GOLD, skor CAT lebih dipilih karena CAT merupakan satu-satunya kuesioner yang tervalidasi, singkat dan sederhana untuk menganalisa seberapa besar dampak PPOK yang dirasakan pasien; dapat membantu dan meyakinkan pasien dan dokter dalam melakukan penanganan yang optimal; dan membantu mengetahui progresivitas penyakit dan terapi.
Gambar 2.2. Penilaian gejala PPOK dengan CAT dan mMRC Dyspnoe scale (Sumber: GOLD, 2013).
Menilai Gejala Eksaserbasi
Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala saluran pernafasan pasien, di luar dari batas normal variasi harian dan membutuhkan perubahan tatalaksana. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antarindividu. Eksaserbasi akut dapat dipicu oleh hal-hal seperti keadaan peningkatan simpatis misalnya kecemasan, flu (common cold), kelelahan, bernapas berlebihan, maupun infeksi saluran napas, dan merupakan suatu kondisi gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera (SKDI, 2012). Kriteria eksaserbasi adalah:
Tiga gejala utama eksaserbasi : 1. Sesak napas bertambah 2. Dahak berubah warna 3. Volume dahak bertambah Gejala tambahan:
1. Demam
2. Batuk bertambah 3. Mengi bertambah
4. Infeksi Saluran Napas atas 5 hari terakhir 5. Denyut jantung meningkat 20% dari biasanya Tipe eksaserbasi dinilai dari gejalanya:
• tipe I (Berat) Tiga gejala utama • tipe II (Sedang) Dua gejala utama
• tipe III (Ringan) Satu gejala utama ditambah satu gejala tambahan. 2.1.4.3. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak memiliki kelainan. 2.1.4.3.1. Inspeksi
• Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
• Barrel chest (diameter antero - posterior sama dengan diameter transversal)
• Penggunaan otot bantu napas • Hipertropi otot bantu napas • Pelebaran sela iga
• Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema pada tungkai
• Penampilan pink puffer atau blue bloater
2.1.4.3.2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar. 2.1.4.3.3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
2.1.4.3.4. Auskultasi
• Suara napas vesikuler normal, atau melemah
• Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
• Ekspirasi memanjang
• Bunyi jantung terdengar jauh
Pink Puffer
“Pink Puffer” adalah istilah untuk pasien dengan emfisema sebagai penyebab utama muncul PPOK-nya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, emfisema merupakan keadaan yang dapat menyebabkan kemampuan alveolus untuk mengembang saat inspirasi menurun akibat destruksi permukaan alveolus. Dan secara bertahap juga dapat merusak kapiler pembuluh darah sehingga terjadi penurunan aktivitas difusi. Oleh karena itu, pasien harus berkompensasi dengan cara hiperventilasi (puff berarti terengah-engah atau mengepul). Jika
dibandingkan dengan “Blue Bloater” maka pasien ini akan memiliki corak warna kulit lebih kemerahan (pink) dikarenakan mekanisme kompensasi yang dilakukan untuk memenuhi oksigen jaringan (tidak terjadi hipoksemia) (Allen, 2009).
Blue Bloater
Sementara itu, “Blue Bloater” adalah istilah untuk pasien dengan bronkitis kronis sebagai penyebab utama PPOK-nya. Bronkitis kronis ialah kondisi yang disebabkan produksi mukus berlebihan serta penyempitan bronkus akibat metaplasia kelenjar goblet dan proses inflamasi kronis pada dinding bronkus. Berbeda dengan emfisema, tidak terjadi destruksi kapiler, maka respon tubuh terhadap obstruksi ini adalah dengan mengurangi ventilasi dan meningkatkan cardiac output. Hipoksemia akan terjadi lebih berat dibandingkan pada kondisi “Pink puffer” sebagai akibat ventilation-perfusion mismatch. Keadaan hipoksemia ini semakin lama akan menyebabkan sianosis yang tampak pada warna kulit kebiruan (Allen, 2009).
Pink Puffer Blue Bloater
• Normal atau kurus • Barrel Chest
• Mulut mencucu (pursed lip breathing)
• Penggunaan otot-otot bantu pernapasan
• Perkusi: hipersonor
• Auskultasi : suara pernapasan melemah, ekspirasi memanjang
• Overweight • Batuk • Sputum • Sianosis • Edema perifer • Perkusi : normal
• Auskultasi : mengi, ronki basah
Tabel 2.1. Perbedaan antara “pink puffer” dan “blue bloater” 2.1.4.4. Pemeriksaan Penunjang
Merokok, sebagai faktor risiko utamanya juga tidak mutlak menyebabkan PPOK pada semua orang. Hal ini juga dipengaruhi oleh intensitas pajanan asap rokok, usia penjamu serta fungsi paru si penjamu sendiri. Secara alami, semakin bertambahnya usia maka fungsi paru juga akan menurun. Hal ini dapat
ditunjukkan oleh Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)=Volume
Ekspirasi Pertama (VEP1) dibanding dengan FVC (Forced Vital Capacity)
=Kapasitas Vital Paksa (KVP) yang dihitung melalui spirometri. VEP1 adalah
jumlah udara yang dapat dihembuskan secara paksa dalam 1 detik setelah 1 inspirasi dalam. Spirometri adalah pemeriksaan fundamental dalam diagnosis PPOK. Spirometri digunakan untuk menilai VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP.
• Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
• Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
• VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit (PDPI, 2003)
Tingkat Keparahan Gejala Spirometri
0 Berisiko Batuk kronis
berdahak
Normal
I Ringan Dengan/tanpa
batuk kronis atau produksi sputum
VEP1/KVP <0.7 dan VEP1 ≥ 80% prediksi
II A Sedang Dengan/tanpa
batuk kronis atau produksi sputum
VEP1/KVP <0.7 dan 50%≤VEP1 >80% prediksi
III Berat Dengan/tanpa
batuk kronis atau
VEP1/KVP <0.7 dan 30%≤VEP1 >
produksi sputum 50% prediksi
IV Sangat Berat Dengan/tanpa
batuk kronis atau produksi sputum VEP1/KVP <0.7 dan VEP1<30% prediksi atau VEP1<50% prediksi dengan gagal napas atau adanya tanda gagal jantung kanan
Tabel 2.2. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK (Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012:2151-2160)
Dari nilai gejala dan spirometri dapat digolongkan pasien dalam 4 kelompok:
Pasien Karakteristik Spirometri
Eksa-serbasi/ tahun
CAT mMRC
A Low risk, less
symptoms
I ≤1 0-1 <10
B Low risk, more
symptoms
II ≤1 2+ ≥10
C High risk, less
symptoms
III >2 0-1 <10
D High risk, more
symptoms
Tabel 2.3. Tipe pasien PPOK dari penilaian kombinasi (Sumber: GOLD Revised 2011, tersedia dari goldcopd.org diakses: 20 Mei 2014)
2.1.4.4.2. Uji Bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE (Arus Puncak Ekspirasi) meter.
• Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
• Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil 2.1.4.3.3. Pemeriksaan Radiologi
Radiologi Bronkitis Kronis
• Umumnya normal
• Corakan bronkoalveolar bertambah
Gambar 2.3. Foto toraks bronkitis kronis (Sumber: diakses: 30 Mei 2014)
Radiologi Emfisema Stadium awal normal. Stadium lanjut:
• Tanda-tanda hiperinflasi (radiolusen) • Diafragma mendatar
• Sela iga lebar
• Ruang retrosternal melebar • Jantung pendulum
• Bullae multipel
Gambar 2.4. Foto toraks emfisema menunjukkan peningkatan lusensi, diafragma mendatar dan ruang retrosternal melebar (Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012: 2106) 2.1.4.4.4. Pemeriksaan Lain (Tidak Rutin)
2.1.4.4.4.1. Faal Paru
• Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
• DLCO menurun pada emfisema
• RAW (Airway Resistance) meningkat pada bronkitis kronis • sGaw (Specific Airway Conductance) meningkat
• Sepeda statis (ergocycle) • Jentera (treadmill)
• Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal 2.1.4.4.4.3. Analisa Gas Darah (AGD)
Terutama untuk menilai : • Gagal napas kronis stabil
• Gagal napas akut pada gagal napas kronis 2.1.4.4.4.4. Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
2.1.4.4.4.5. Ekokardiografi
Untuk menilai fungsi jantung kanan. 2.1.4.4.4.6. Pemeriksaan Bakteriologi
Untuk mengetahui infeksi bakteri dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia (PDPI, 2003).
2.1.4.4.4.7. Pemeriksaan Kadar α1-Antitripsin
Defisiensi α1-antitripsin dijumpai pada pasien PPOK emfisema dengan usia muda (herediter). Jarang ditemukan di Indonesia (PDPI,2003).