• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Karsinoma Nasofaring

2.2.6. Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita KNF berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita KNF (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002).

b. Pemeriksaan

1. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter

Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002).

2. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter

Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini

ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak dengan jelas (Lore dan Medina, 2005).

3. Endoskopi

a. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy)

Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu 0, 30, dan 70 derajat dengan tang biopsi.

Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara:

¾ Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung

¾ Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut (Wei,2006). b. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy)

Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya yang dilengkapi alat biopsi. Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap nasofaring, meskipun masuknya hanya melalui satu sisi kavum nasi. Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran. Alat endoskopi fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction dimana forsep biopsi dapat dimasukkan melaluinya, sehingga biopsi tetap dapat dilakukan dengan pandangan langsung (Wei, 2006).

4. Biopsi Nasofaring

a. Dengan anestesi lokal

Obat anestesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring. Melalui tuntunan rinoskopi posterior dan dapat juga dibantu dengan kateter, massa tumor

diambil dengan tang biopsi. Biopsi dapat juga dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku (Wei, 2006).

b. Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum

Cara ini dapat dilakukan pada hal-hal tertentu, yaitu:

a.1. Jika biopsi dengan anestesi lokal tidak mendapatkan hasil yang positif, sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri KNF.

a.2. Keadaan umum penderita kurang baik, tidak kooperatif atau faringnya terlalu sensitif, trismus, dan anak-anak.

5. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya (Her, 2001).

Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral, submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitofrontal.

Foto toraks posisi PA, untuk menilai adanya metastase paru (Wei dan Sham, 2005).

CT Scan Nasofaring, pada KNF yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT Scan (Her, 2001). Pemeriksaan ini dapat pula mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT Scan dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan kontras bila terdapat kesulitan dalam

menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah (Wei dan Sham, 2005).

Magnetic Resonance Imaging, merupakan sarana pemeriksaan diagnostik terbaru dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT Scan, MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring yang superfisial maupun profunda, dan membedakan tumor dari jaringan lunak sekitarnya (Wei dan Sham, 2005).

Bone Scintigraphy, jika dicurigai metastase ke tulang, selajutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scintigraph (Wei dan Sham,2005).

6. Pemeriksaan patologi anatomi, yang dapat dilakukan berupa: a. Sitologi

Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti melalui kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Akan tetapi pemeriksaan ini hasilnya sering meragukan, sehingga pemeriksaan sitologi ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis KNF.

b. Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Sebagian besar KNF ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher. Untuk membuktikannya merupakan metastase KNF dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada massa tumor di nasofaring (Wei dan Sham, 2005).

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan subtipe histopatologi.

d. Pemeriksaan Imunohistokimia

Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuia. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat fluororesens atau suatu enzim yang mengkatalis rekasi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005).

e. Pemeriksaan Serologi

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik Ig G dan Ig A penderita KNF meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer imunoglobulin A (Ig A) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada KNF stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad, 2002).

Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri (Zachreni, 1999).

Dokumen terkait