• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epstein Barr Nuclear Antigen-1 (EBNA-1) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Di Rsup H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Epstein Barr Nuclear Antigen-1 (EBNA-1) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Di Rsup H. Adam Malik Medan"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

EPSTEIN BARR NUCLEAR ANTIGEN-1 (EBNA-1) PADA PENDERITA

KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh:

Siti Masliana Siregar

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

MEDAN

(2)

EPSTEIN-BARR NUCLEAR ANTIGEN (EBNA-1) PADA PENDERITA

KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

ABSTRAK

Latar Belakang:

Kesulitan diagnosis dini pada karsinoma nasofaring (KNF) sampai

saat ini masih menjadi masalah, hal ini disebabkan gejala dini penyakit yang tidak

khas, letak tumor yang tersembunyi sehingga sulit diperiksa. Etiologi karsinoma

nasofaring sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori telah

dikemukakan sebagai dugaan faktor penyebab terjadinya kanker ini, seperti implikasi

dari infeksi virus, faktor ras dan keturunan serta faktor lingkungan dan adat

kebiasaan. Virus Epstein Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini

dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya peningkatan konsentrasi antibodi anti EBV

jenis IgG dan IgA pada penderita karsinoma nasofaring. Beberapa penelitian

menunjukkan tingginya titer EBNA-1 pada penderita Karsinoma Nasofaring

menunjukkan adanya infeksi virus Epstein-Barr yang merupakan factor resiko

terjadinya karsinoma nasofaring.

Tujuan:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya peningkatan EBNA-1

pada penderita Karsinoma Nasofaring.

Metodologi

; Studi deskriptif untuk mengetahui titer EBNA-1 pada 34 orang

penderita Karsinoma Nasofaring, yang dilakukan di departemen THT-KL RSUP H

Adam Malik Medan, secara consecutive sampling mulai Oktober 2009.

Hasil Penelitian

: Hasil EBNA-1 positif dijumpai pada 13 subjek (38.2%).Dijumpai

pada penelitian ini jenis histopatologi terbanyak WHO tipe III. Nilai EBNA-1

terbanyak dijumpai pada jenis Histopatologi WHO Tipe III sebesar 38,2%.

Kesimpulan

: Terdapat peningkatan titer EBNA-1 positif pada karsinoma nasofaring,

selain itu tidak dijumpai perbedaan hasil EBNA-1 pada tiap jenis histopatologi.

Sehingga dari hasil penelitian peningkatan titer EBNA-1 pada karsinoma nasofaring

dapat dijadikan sebagai seromarker karsinoma nasofaring.

(3)

EPSTEIN-BARR NUCLEAR ANTIGEN-1 (EBNA-1) IN THE NASOPHARYNX

CARCINOMA PATIENTS IN THE ADAM MALIK HOSPITAL MEDAN

ABSTRACT

Background

: Early diagnosis for the nasopharynx carcinoma patient is difficult until

now and become a serious problem, it is caused by uncharacterized early symptoms

of the disease, and the location of the tumour behind the nose, it makes difficult on

the physical examination. Until nowadays, the etiologies of the carcinoma

nasopharynx still unclear. Many etiologies have been described such as, viral

infection, genetic and environment. Epstein-barr virus can cause nasopharynx

carcinoma. The IgA and IgG development in the serum of the patient has been

showed in Epstein-barr infection in the nasopharynx carcinoma patients. Review

literature shown increases of the EBNA-1 has indicated of the Epstein-barr infection

at the past time of the nasopharynx carcinoma patients.

Purpose

: This study to examination the development of EBNA-1 increases in the

nasopharynx carcinoma patients.

Study Design and Methods

: This is a descriptive study, performed in ENT HN

department of the Medical School University of North Sumatera/ H. Adam Malik

Hospital. Sample was collected by consecutive sampling, starting from October

2009.

Results

: Thirteen of thirtyfour subject (38,2%) have EBNA-1 positive in the

nasopharynx carcinoma, and in this study has shown the most common

histopathology is WHO type III. And the most common EBNA-1 value has been

shown in the histopathology type III.

Conclusion

: There is an increases of EBNA-1 in the nasopharynx carcinoma, and

there is no association between EBNA-1 and the histopathology of the nasopharynx

carcinoma. The increases of EBNA-1 as a seromarker of the Nasopharynx

Carcinoma.

Keywords

:

EBNA-1, Nasopharyngeal Carcinoma.

 
(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

ABSTRAK………. viii

ABSTRACT……….. ix

DAFTAR ISI……….. x

DAFTAR GAMBAR………. xiii

DAFTAR TABEL………. xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……….……….... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi... 5

(5)

2.1.2. Batas-batas nasofaring... 5

2.1.3. Jaringan lunak yang membentuk nasofaring... 6

2.1.4. Perdarahan dan persyarafan... 8

2.1.5. Sistem Limfatik Nasofaring……… 9

2.2. Karsinoma Nasofaring………... 10

2.2.1. Hubungan struktur anatomi dengan jalan penyebaran tumor... 11

2.2.2. Patologi karsinoma nasofaring... 12

2.2.3. Epidemiologi ... 16

2.2.4. Etiologi dan faktor predisposisi... 18

2.2.5. Gejala Klinis karsinoma nasofaring... 23

2.2.6. Diagnosis ... 26

2.2.7. Stadium ... 31

2.2.8. Diagnosa Banding ... 34

2.2.9. Terapi……... 34

2.2.10 Prognosa... 38

2.3. Virus Epstein Barr... 38

2.3.1. Gambaran Molekuler Virus Epstein-Barr………. 39

2.3.2. Gambaran Virus Epstein-Barr……… 40

2.3.3. Epstein-Barr Nucelar Antigen (EBNA-1)………. 44

(6)

BAB 3 KERANGKA KONSEPSIONAL……….. 47

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian... 48

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

4.2.1. Lokasi Penelitian ... 48

4.2.2. Waktu Penelitian ... 48

4.3. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 48

4.3.1. Populasi ... 48

4.3.1.1. Populasi Target... 48

4.3.1.2. Populasi Terjangkau... 48

4.3.2. Sampel ... 49

4.3.3. Besar Sampel ... 49

4.3.4. Teknik Pengambilan Sampel... 49

4.4. Definisi Batasan Operasional... 50

4.5. Alat dan Bahan Penelitian ... 51

4.5.1. Alat... 51

4.5.2. Bahan... 51

4.6. Cara Kerja ... 52

4.7. Kerangka Kerja ... 53

4.8. Cara Analisis Data ... 53

BAB 5 HASIL PENELITIAN... 54

BAB 6 PEMBAHASAN... 61

(7)

7.1. Kesimpulan... 68

7.2. Saran... 68

DAFTAR PUSTAKA... 69

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring……….. 8

Gambar 2.2. Pendarahan Nasofaring……….

9

Gambar 2.3. Persarafan Nasofaring……… 10

Gambar 2.4. Siklus Hidup Epstein-Barr Virus……… 42

   

           

           

(9)

 

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Karakteristik Jenis Histopatologi WHO dari berbagai Penelitian... 16

Tabel 2.2. Karakteristik Umur Penderita KNF dari berbagi Penelitian………….. 17

Tabel 2.3. Karakteristik Jenis Kelamin penderita KNF dari berbagai Penelitian. 18

Tabel 2.4. Karakteristik berdasarkan Gejala Hidung penderita KNF dari berbagai

penelitian………. 24

Tabel 2.5. Penelitian sebelumnya tentang Karakteristik Gejala Hidung Penderita

KNF……….. 25

Tabel 2.6. Penelitian sebelumnya tentang stadium KNF………

33

Tabel 2.7. Penelitian sebelumnya tentang EBNA-1 pada Penderita Karsinoma

Nasofaring………. 44

Tabel

5.1.1. Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, dan Suku……… 54

Tabel

5.1.2. Sebaran Karakteristik Subjek berdasarkan Keluhan Telinga

Berdengung……….. 55

Tabel

5.1.3. Sebaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan keluhan

pendengaran

berkurang 55

Tabel

5.1.4. sebaran karateristik subjek penelitian berdasarkan lama keluhan di

telinga

56

Tabel

5.1.5. sebaran karateristik subjek penelitian berdasarkan keluhan

epistaksis

56

Tabel 5.1.6. sebaran

karateristik

subjek penelitian berdasarkan keluhan

hidung

tersumbat 56

Tabel

5.1.7

sebaran karateristik subjek penelitian berdasarkan keluhan

(10)

Tabel 5.1.8. sebaran

karateristik

subjek penelitian berdasarkan keluhan

parese

orbita

57

Tabel 5.1.9. sebaran

karateristiksubjek penelitian berdasarkan pembesaran

kelenjer

getah

bening

58

Tabel 5.1.10.

sebaran

penelitian subjek penelitian berdasarkan metastase

organ

58

Tabel 5.1.11.

sebaran

karateristik

subjek penelitian berdasarkan jenis

histopatologi

59

Tabel 5.1.12.

sebaran

karateristik subjek penelitian berdasarkan stadium klinis

59

Tabel 5.1.13.

Tabel

nilai EBNA-1 pada subjek penelitian

KNF

59

Tabel

5.1.14.

Distribusi jenis histopatologi KNF pada EBNA-1

60

Tabel 5.1.15 Distribusi

stadium

Tumor

pada

EBNA-1

60

           

           

(11)

EPSTEIN-BARR NUCLEAR ANTIGEN (EBNA-1) PADA PENDERITA

KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

ABSTRAK

Latar Belakang:

Kesulitan diagnosis dini pada karsinoma nasofaring (KNF) sampai

saat ini masih menjadi masalah, hal ini disebabkan gejala dini penyakit yang tidak

khas, letak tumor yang tersembunyi sehingga sulit diperiksa. Etiologi karsinoma

nasofaring sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori telah

dikemukakan sebagai dugaan faktor penyebab terjadinya kanker ini, seperti implikasi

dari infeksi virus, faktor ras dan keturunan serta faktor lingkungan dan adat

kebiasaan. Virus Epstein Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini

dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya peningkatan konsentrasi antibodi anti EBV

jenis IgG dan IgA pada penderita karsinoma nasofaring. Beberapa penelitian

menunjukkan tingginya titer EBNA-1 pada penderita Karsinoma Nasofaring

menunjukkan adanya infeksi virus Epstein-Barr yang merupakan factor resiko

terjadinya karsinoma nasofaring.

Tujuan:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya peningkatan EBNA-1

pada penderita Karsinoma Nasofaring.

Metodologi

; Studi deskriptif untuk mengetahui titer EBNA-1 pada 34 orang

penderita Karsinoma Nasofaring, yang dilakukan di departemen THT-KL RSUP H

Adam Malik Medan, secara consecutive sampling mulai Oktober 2009.

Hasil Penelitian

: Hasil EBNA-1 positif dijumpai pada 13 subjek (38.2%).Dijumpai

pada penelitian ini jenis histopatologi terbanyak WHO tipe III. Nilai EBNA-1

terbanyak dijumpai pada jenis Histopatologi WHO Tipe III sebesar 38,2%.

Kesimpulan

: Terdapat peningkatan titer EBNA-1 positif pada karsinoma nasofaring,

selain itu tidak dijumpai perbedaan hasil EBNA-1 pada tiap jenis histopatologi.

Sehingga dari hasil penelitian peningkatan titer EBNA-1 pada karsinoma nasofaring

dapat dijadikan sebagai seromarker karsinoma nasofaring.

(12)

EPSTEIN-BARR NUCLEAR ANTIGEN-1 (EBNA-1) IN THE NASOPHARYNX

CARCINOMA PATIENTS IN THE ADAM MALIK HOSPITAL MEDAN

ABSTRACT

Background

: Early diagnosis for the nasopharynx carcinoma patient is difficult until

now and become a serious problem, it is caused by uncharacterized early symptoms

of the disease, and the location of the tumour behind the nose, it makes difficult on

the physical examination. Until nowadays, the etiologies of the carcinoma

nasopharynx still unclear. Many etiologies have been described such as, viral

infection, genetic and environment. Epstein-barr virus can cause nasopharynx

carcinoma. The IgA and IgG development in the serum of the patient has been

showed in Epstein-barr infection in the nasopharynx carcinoma patients. Review

literature shown increases of the EBNA-1 has indicated of the Epstein-barr infection

at the past time of the nasopharynx carcinoma patients.

Purpose

: This study to examination the development of EBNA-1 increases in the

nasopharynx carcinoma patients.

Study Design and Methods

: This is a descriptive study, performed in ENT HN

department of the Medical School University of North Sumatera/ H. Adam Malik

Hospital. Sample was collected by consecutive sampling, starting from October

2009.

Results

: Thirteen of thirtyfour subject (38,2%) have EBNA-1 positive in the

nasopharynx carcinoma, and in this study has shown the most common

histopathology is WHO type III. And the most common EBNA-1 value has been

shown in the histopathology type III.

Conclusion

: There is an increases of EBNA-1 in the nasopharynx carcinoma, and

there is no association between EBNA-1 and the histopathology of the nasopharynx

carcinoma. The increases of EBNA-1 as a seromarker of the Nasopharynx

Carcinoma.

Keywords

:

EBNA-1, Nasopharyngeal Carcinoma.

 
(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesulitan diagnosis dini pada karsinoma nasofaring (KNF) sampai saat ini masih

menjadi masalah, hal ini disebabkan gejala dini penyakit yang tidak khas, letak tumor yang

tersembunyi sehingga sulit diperiksa. Disamping itu pemeriksaan serologi dan histopatologi

yang belum memadai seperti pewarnaan immunohistokimia serta hampir seluruh penderita

datang pada stadium lanjut, bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang

jelek. Selain itu KNF dikenal sebagai tumor yang berpotensi tinggi untuk mengadakan

metastasis regional maupun jauh. Keadaan inilah yang menyebabkan penatalaksanaan KNF

belum memberikan hasil yang memuaskan (Soetjipto, 1993; Mulyarjo, 2002).

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara

tumor ganas di bidang THT di Indonesia yang dapat mengenai semua golongan umur

(Sastrowijoto,1995).

KNF merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak ditemukan di

Indonesia dan menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan setelah tumor ganas

mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi pada semua golongan usia, insiden

meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada usia 40-50 tahun (Hulu et al,

1999; Fachiroh et al, 2004). Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk

pertahun (Fachiroh et al, 2004).

Etiologi karsinoma nasofaring sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.

Beberapa teori telah dikemukakan sebagai dugaan faktor penyebab terjadinya kanker ini,

seperti implikasi dari infeksi virus, faktor ras dan keturunan serta faktor lingkungan dan adat

(14)

Beberapa faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah

faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar.

Faktor lain yaitu non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar dan

asap dupa (kemenyan). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma

nasofaring (Zachreni, 1999; Portis et al, 2004). Virus Epstein-barr (VEB/ EBV) terbukti dapat

menyebabkan karsinoma nasofaring. Oleh karena pada virus Epstein-barr mempunyai dua

siklus hidup yaitu siklus litik dan siklus laten, pada siklus laten inilah dihasilkan protein virus

seperti Epstein-barr Nuclear Antigen (EBNA) dan dua protein laten membrane (LMP).

Sehingga pada penderita karsinoma nasofaring sel yang terinfeksi oleh VEB akan

menghasilkan protein tertentu yang dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam

mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A, dan LMP-2B. Hal

ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya peningkatan konsentrasi antibodi anti VEB

jenis IgG dan IgA pada penderita karsinoma nasofaring. Chang dkk (2007) pada penelitian

yang dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa dari 156 penderita karsinoma nasofaring

terdapat 134 penderita (85,9 %) dengan VEB IgA yang meningkat. Hal ini dibuktikan juga

oleh Mungerson et al (2003) dengan ditemukannya LMP-1 pada 50% serum penderita

karsinoma nasofaring, sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien

karsinoma nasofaring. Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Krisna et al (2004) terhadap

suku india asli bahwa VEB DNA di dalam serum penderita nasofaring dapat dipakai sebagai

biomarker pada penderita karsinoma nasofaring primer. Keterkaitan infeksi VEB dalam

patogenesis KNF telah banyak dikemukakan, yang dikarakteristikkan dengan adanya respon

antibodi terhadap VEB yang ditunjukkan adanya peningkatan titer IgG dan IgA pada pasien

KNF terhadap VEB viral capsid antigen (VCA), dan antigen yang berhubungan dengan

replikasi yang disebut early antigen (EA). Hal ini berhubungan dengan tumor primer, remisi

dan rekurensi (Traub, 2002).

Pemeriksaan terhadap karsinoma nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa

(15)

immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi dengan menggunakan teknik Enzyme

Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Simanjuntak, 2002).

Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi Epstein Barr virus dinyatakan

oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini (Obernder et al, 1989). Pada

pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti Epstein-barr virus

(EBNA-1) di dalam serum plasma dimana EBNA-1 merupakan suatu protein nuklear yang

berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang (2003) dalam penelitiannya,

mengemukakan keberadaan VEB DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma

nasofaring.

Dengan adanya penelitian-penelitian dari berbagai sentra tersebut tentang

peningkatan titer EBNA-1 pada penderita KNF, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang kadar EBNA-1 pada penderita KNF di RSUP. H. Adam Malik Medan,

melalui pemeriksaan immunoassay.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun masalah dalam penelitian ini yang ingin diketahui adalah bagaimana titer nilai

EBNA-1 pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Mengetahui kadar titer nilai EBNA-1 dalam serum penderita karsinoma

nasofaring.

(16)

a. Untuk mengetahui kadar antibodi anti Epstein-barr virus (EBNA-1) dari penderita

karsinoma nasofaring.

b. Untuk mengetahui karakteristik penderita karsinoma nasofaring dari segi umur,

jenis kelamin dan suku.

c. Untuk mengetahui distribusi histopatologi karsinoma nasofaring.

d. Untuk mengetahui distribusi stadium karsinoma nasofaring.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai data untuk mengetahui

kadar antibodi terhadap antigen Epstein-barr virus (EBNA-1).

1.4.2. Dapat digunakan untuk mengetahui salah satu penyebab karsinoma

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang

rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm,

lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga tengah melalui koana dan

tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan

masuknya saraf otak dan pembuluh darah (Neel dan Witte, 1998).

2.1.2 Batas-batas nasofaring

Dinding depan (anterior), dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga

koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan

dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Diameter

vertikal rata-rata sebesar 2,5 cm sedangkan diameter transversal 1,2 cm.

Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas

dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding belakang dibentuk oleh fasia

faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua. Kelenjar

limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi

kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius. Pada bagian

tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas muskulus konstriktor superior terdapat

lekukan berbentuk kantong kecil yang disebut bursa faring. Kantong ini sering membentuk

(18)

sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia, pertumbuhan ini menjadi lebih cepat pada usia

3-5 tahun dan sering menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung dan tuba

eustachius. Setelah usia 5 tahun besarnya relatif menetap dan akan mengalami involusi

setelah masa pubertas, akan tetapi jaringan limfoid masih tetap ada.

Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan

berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang

disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting,

dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring

superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan

tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller

atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang

menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor

faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum.

Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen

spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis, dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting

diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (Gustafson dan Neel,

1989).

2.1.3 Jaringan Lunak yang Membentuk Rongga Nasofaring

a. Selaput Lendir (mukosa) Nasofaring

Selaput lendir yang meliputi rongga nasofaring permukaannya tidak rata tetapi

mempunyai lekukan dan tonjolan. Pada orang dewasa luasnya kurang lebih 50 sentimeter

persegi. Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva.

Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke bagian lateral kelenjar

(19)

spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat bervariasi dan terdiri dari

epitel skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia dan epitel tak beraturan. Selama

masa kehidupan janin terdapat perubahan secara bertahap dari epitel saluran nafas bersilia

sampai epitel skuamosa di bagian bawah dan belakang nasofaring.

Kira-kira 60% dari seluruh epitel nasofaring merupakan epitel skuamosa bertingkat.

Di sekitar koana dan atap nasofaring diliputi oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian

atap nasofaring terdiri dari kumpulan epitel skuamosa dan epitel bersilia bercampur dengan

pulau-pulau kecil epitel, transisional. Dinding belakang sebagian besar terdiri dari epitel

skuamosa.

Berbeda dengan selaput lendir saluran nafas lainnya, selaput lendir nasofaring

mengandung banyak sekali jaringan limfoid yang terletak didalam dan dibawah epitel yang

merupakan kumpulan sel limfosit tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan

pusat germinal tanpa kapsul. Struktur limfoid ini banyak terdapat di dinding lateral terutama

di sekitar muara tuba Eustachius, dinding posterior dan bagian nasofaring di paltum molle.

Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari cincin Waldeyer (Gustafson dan

Neel,1989; Chew, 1997).

b. Jaringan Submukosa Nasofaring

Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2) aponeurosis

faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot dinding nasofaring

tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdir atas 2 lapisan yaitu, mukosa

dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini disebut sinus morgagni

(20)

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

2.1.4 Pendarahan dan Persarafan

Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu

arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal

arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak dibawah selaput lendir nasofaring dan

berhubungan dengan pleksus pterigoid diatas dan vena jugularis interna dibawah.

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal diatas otot konstriktor faringeus

media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut

motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar

saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior

nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang

faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1)

(21)

Gambar 2.2. Perdarahan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

2.1.5 Sistem Limfatik Nasofaring

Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah

anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Setelah melalui fasia faringeal, aliran

limfe dari sisi kanan dan kiri akan menuju ke kelenjar limfe retrofaringeal. Beberapa aliran

limfe dari masing-masing sisi akan menuju ke kelenjar yang terletak paling proksimal dari

rantai kelenjar spinal dan jugularis interna. Pada dinding lateral, terutama di daerah tuba

Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya juga berjalan ke arah

anteroposterior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling

proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, dimana rantai

kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosesus mastoid.

Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial

(22)

Gambar 2.3. Persarafan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

2.2 Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel

nasofaring (Gustafson dan Neel, 1989). Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring

(fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding

lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta

metastasis ke kelenjar limfe leher (Gustafson dan Neel, 1989). KNF pertama kali dilaporkan

secara terpisah oleh Regaud dan Schminke pada tahun 1921 (Brennan, 2006).

(23)

Tumor ganas mempunyai kemampuan menginvasi dan merusak sistem barier yang

ada. Tumor yang tumbuh di garis tengah nasofaring dapat menyebar ke salah satu sisi atau

sering bilateral. Jalan yang paling sering dilalui oleh penyebaran tumor yaitu.

a. Lumen/ Ruang Nasofaring

Jalan ini sering terjadi pada tumor yang sangat besar dan akan masuk dalam

orofaring atau kavum nasi. Kadang-kadang dapat masuk ke sinus maksila atau

orbita, tetapi sangat jarang masuk ke tuba Eustachius.

b. Ruang Retrofaring

Walaupun sering melalui jalan anatomis (retroparotidian), kadang-kadang

tumor dapat langsung masuk ke ruang retrofaring dengan mengadakan kompresi

atau infiltrasi ke ruang retrostiloid atau merusak bagian lateral vertebra servikais

pertama (vertebra atlas).

c. Ruang Parafaring

1. Ruang kecil prestiloid, tumor yang tumbuh di dinding lateral atau di daerah

fossa Rosenmuller dapat menjalar ke ruang kecil ini yang terletak di atasnya

dan akan mengenai serabut motorik dan sensorik saraf trigeminus (V). Tumor

dapat menginvasi otot pterigoid dan menyebabkan trismus atau menginfiltrasi

otot levator sehingga menyebabkan asimetri palatum mole. Tumor juga dapat

mengenai palatum durum, kelenjar parotis fisura pterigomaksila dan ke fossa

infratemporal. Pada tumor yang sangat besar dapat menginvasi sinus maksila

dan frontalis.

2. Ruang kecil retrostiloid, ruang kecil ini berisi selubung karotis dan isinya,

kelenjar limfe servikal dalam atas, saraf-saraf kranial terakhir (saraf IX,X,XI,XII)

dan cabang saraf simpatis servikalis. Ruang ini disebut juga ruang

retroparotidian yang selain dapat terinvasi melalui jalan anatomis (melalui aliran

(24)

dalam ruang parafaring. Dari ruang ini pula tumor dapat menyebabkan erosi

dasar tengkorak.

d. Intrakranial

Perluasan tumor ke intrakranial biasanya melalui foramen laserum dan ovale

atau melalui sinus kavernosus dan ganglion gaseri dan mengenai saraf kranial otot

bola mata, yaitu saraf III,IV,VI (penyebarab secara petrosfenoid) tetapi dapat juga

melalui erosi dasar kanalis karotis dan melalui arteri karotis interna masuk ke dalam

sinus kavernosus, juga dapat akibat tumor mendestruksi sinus sfenoid.

e. Tumor menyebar langsung ke sinus etmoid, selanjutnya mengenai sinus frontalis,

maksila, dan rongga orbita.

f. Metastasis jauh

Metastasis jauh dapat melalui aliran darah atau sistem limfatik dan mengenai

hati, tulang, dan paru (Gustafson dan Neel, 1989).

2.2.2 Patologi Karsinoma Nasofaring

a. Maskroskopis

Secara makroskopis pertumbuhan tumor dapat dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu,

1. Bentuk Ulseratif

Bentuk ini paling sering dijumpai pada dinding posterior atau di daerah fossa

Rosenmuller. Kadang-kadang terdapat di dinding lateral di depan tuba Eustachius

dan di atap nasofaring. Lesi ini biasanya kecil disertai jaringan nekrotik dan sangat

mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Penjalaran ke intrakranial

sangat mudah terjadi melalui daerah lemah foramen laserum dan ovale. Penjalaran

(25)

beserta saraf-saraf kranial di sekitarnya. Tumor cepat membesar, meluas dan

merusak foramen-foramen di basis kranii dan masuk kedalam fossa kranii media.

2. Bentuk noduler/ lobuler

Bentuk ini paling sering timbul didaerah tuba Eustachius, sehingga cepat

menyebabkan sumbatan tuba. Tumor ini biasanya berbentuk seperti anggur atau

polipoid tanpa ada ulserasi kecil dibandingkan dengan besarnya tumor yang terlihat.

Tumor ini mula-mula mengadakan infiltrasi di sekitar tuba Eustachius dan meluas

masuk ke dalam ruang maksilofaring dan mengadakan kompresi cabang mandibular

saraf trigeminus (V2), tumor dapat menjalar ke bawah mendesak palatum mole dan

mudah menyebar ke daerah petrosfenoid di basis kranii. Walaupun saraf-saraf

kranial berada di sekitar tumor dan pertumbuhan tumor sangat cepat, tetapi kompresi

saraf-saraf kranial baru timbul setelah terjadi erosi basis kranii dan masuk ke dalam

fossa serebri media. Pada stadium lanjut tumor dapat mengadakan invasi ke dalam

rongga orbita melalui fissura orbita inferior dan melalui sinus etmoid masuk ke sinus

maksila.

3. Bentuk eksofitik

Bentuk ini biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak terdapat ulserasi,

kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor ini tumbuh dari atap

dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor dapat mendorong palatum mole ke

bawah, tumbuh ke arah koana dan masuk ke kavum nasi. Tumor bentuk ini cepat

mencapai sinus maksila dan rongga orbita sehingga menyebabkan eksophtalmus

unilateral atau menonjol ke luar nares anterior. Di daerah tuba Eustachius tumor

lebih cenderung, tumbuh secara submukosa ke arah basis kranii (Ackerman dan Del

(26)

b. Mikroskopis (Histopatologi)

Menurut WHO (1979) KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:

1. Tipe I. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi

Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus

aerodigestif. Ditandai dengan adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa

atau sebagian sel mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel

terutama pada sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya

jembatan intersel (intercellular bridges). Sebanyak 25% KNF merupakan karsinoma

tipe I di Amerika Serikat, namun hanya 1-2% di populasi endemik (Neel dan Witte,

1989; Lin et al, 2003).

2. Tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi

Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa,

namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan

masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun teratur/

berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel

tumor yang jernih/ terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel,

serta tidak terdapat musin atau defferensiasi dari kelenjar (Lin et al, 2003).

3. Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi

Sesuai pada reklasifikasi WHO (1991). Ditandai dengan susunan sel tumor

yang berbentuk sinsitial, batas sel yang satu dan lainnya sulit dibedakan, sel tumor

berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleolus (inti) yang hiperkromatik

dan sel ini sering bersifat dominan, sel tumor tidak memproduksi musin. KNF WHO

(27)

dipopulasi risiko rendah seperti pada populasi kulit putih Amerika Utara hanya

ditemukan sebanyak 60% (Neel dan Witte, 1998; Lin et al, 2003; Zimmermann et

al,2006).

Kebanyakan kasus KNF pada anak-anak dan remaja adalah KNF WHO tipe

3, hanya beberapa yang tipe 2. pada KNF WHO tipe 2 dan 3 ditemui titer VEB yang

tinggi, tetapi tipe 1 tidak mempunyai hubungan dengan titer VEB. Pada KNF tipe 2

dan 3 dapat disertai dengan infiltrasi sel-sel radang seperti limfosit, sel plasma dan

eosinofil yang sangat banyak sehingga muncul terminologi “limfoepitelioma”

(Brennan, 2006).

Tabel 2.1. Karakteristik jenis histopatologi WHO dari berbagai peneliti

Peneliti Tahun dan Tempat Hasil penelitain

Munir

Fachiroh et al

Takashita et al

Chien et al

2007, RSUP HAM Medan

2006, Jokjakarta

1999, Jepang dan Rio de Janeiro

2001, Taiwan

WHO tipe III terbanyak dijumpai sebesar 54,545%

WHO tipe III terbanyak dijumpai

WHO tipe II terbanyak dijumpai

WHO tipe III sebesar 78,4%

2.2.3 Epidemiologi

KNF merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak

(28)

dan urutan ke-4 dari seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas mulut rahim,

payudara, dan kulit, dapat terjadi pada semua golongan usia, insiden meningkat pada

dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada usia 40-50 tahun (Hulu et al, 1999; Fachiroh

et al, 2004). Perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1 sampai 4:1 (Hadi dan Kusuma,

1999). Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun (Fachiroh et al,

2004).

Di RSUP H. Adam Malik Medan selama tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita

KNF dari 1370 penderita baru onkologi kepala dan leher (Lutan,2003). Dari data rekam

medik jumlah penderita KNF yang datang berobat dari tahun 2002- Agustus 2007 ditemukan

924 orang laki-laki berjumlah 630 orang dan perempuan 294 orang, dengan rentang usia

15-82 tahun.

Pada populasi kulit putih Amerika Utara, Eropa, dan Jepang, KNF relatif jarang,

dengan insiden 1 tiap 100.000 penduduk. Insiden ini meningkat pada keturunan Afrika,

Afrika Utara, Indian, dan Polynesia menjadi 2-4 per 100.000. Ras Mongoloid merupakan

faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina

Selatan sebesar 30 per 100.000 orang. Insiden tertinggi ditemukan pada Guangdong dan

kota-kota besar sekitarnya, termasuk Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Keturunan

generasi pertama emigrasi dari Cina Selatan ke daerah dengan insidensi rendah mengalami

penurunan insiden KNF menjadi 15 per 100.000. Sumatera Utara merupakan ras Mongoloid

(Marzuki, 2001). Dari data ini menunjukkan kombinasi faktor genetik dan lingkungan

berperan terhadap meningkatnya kemungkinan terkena KNF (Neel dan Witte, 1998;

Fachiroh et al,2004). KNF terutama mengenai orang dewasa dengan puncaknya pada usia

40-60 tahun. Perbandingan antara pria dan wanita sekitar 3:1 (Thompson, 2005).

(29)

Peneliti Tahun dan Tempat Hasil penelitain

Lutan

Lee et al

Abdi

Henny

Suryanto

2003, RSUP HAM Medan

2003, Hongkong

2005, RSUP HAM Medan

2006, RSUP HAM Medan

2006, RSCM Jakarta

Dari 924 kasus (2002-agust 2007) dengan perbandingan perempuan: laki-laki= 2,1:1 dengan rentang usia 15-82 tahun

Kelompok usia terbanyak 50-59 tahun

Kelompok usia terbanyak 40-49 tahun (35,2%)

Kelompok usia terbanyak 41-50 tahun (44,1%)

Kelompok usia terbanyak 30-50 tahun (70,0%)

Tabel 2.3. Karakteristik Jenis kelamin penderita KNF dari berbagai penelitian

Peneliti Tahun dan Tempat Hasil penelitain

Armiyanto 1993, RSCM Jakarta

1996, RSUP Adam Malik

Perbandingan perempuan: laki-laki= 2,3:1

(30)

Adnan

Chien et al

Lin et al

Simanjuntak

Suryanto

Medan

2001, Taiwan

2003, Colorado

2004, RSUP HAM Medan

2006, RSCM Jakarta

laki-laki= 3,67:1

Perbandingan perempuan dan laki-laki= 2,6:1

Perbandingan perempuan dan laki-laki= 3:1

Perbandingan perempuan dan laki-laki= 3:1

Perbandingan perempuan dan laki-laki= 2,3:1

2.2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi

a. Faktor Genetik

Penyelidikan pertama tentang adanya kelainan genetik pada ras Cina yang

dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen

(HLA). Disimpulkan dalam penelitian itu bahwa adanya HLA A2 dan HLA Bsin2 pada alel

yang sama merupakan faktor resiko terjadinya KNF. Lebih lanjut dilaporkan HLA Aw19,

Bw46 dan B17 berhubungan dengan peningkatan kejadian KNF, sedangkan HLA A11

berhubungan dengan kejadian sebaliknya (Hu, 1996). Pada keluarga dengan KNF, haplotipe

HLA yang sama ditemukan 21 kali lipat pada penderita dengan keluarga KNF (Zimmermann

et al, 2006).

Penelitian sitogenetika, genetika molekuler dan penggunaan teknik untuk

(31)

misalnya kromosom 1,3,9,11,12, dan 14 (Huang, 1998; Pathmanan, 1998). Kelainan

kromosom yang paling sering dijumpai adalah kelainan kromosom 3p dengan 3 lokus

utama, yaitu 50% pada lokus 3p25, 50% pada 3p14.1-14.3 dan 3p13 (Hu, 1996). Peneliti

lain melaporkan kelainan kromosom 3p pada 67-100% kasus KNF. Pada lokasi tersebut

kemudian dapai diidentifikasi adanya TSG FHIT. Dilaporkan juga adanya defek pada 3p26,

yang ternyata juga merupakan lokasi TSG lainyya. Dengan kekerapan yang lebih rendah

dilaporkan juga adanya kelainan pada 11q dan 14q (54% dan 33%). Pada lokasi spesifik

11q13.3-22 dan 11q22-24 sekurang-kurangnya terdapat dua jenis TSGs. Selain itu

dilaporkan juga adanya keterlibatan satu jenis ATM (ataxia telangiectasis malformation)

yang berlokasi di 14q31 (Huang, 1998). Disamping adanya berbagai delesihomozigot

dilaporkan juga adanya proses metilasi abnormal gen p15 dan 16 yang berlokasi di

kromosom 9p21. Protein p16 merupakan protein inhibitor siklin/cdk kinase yang secara

potensial berperan pada kontrol negatif masuknya sel ke fase S melalui induksi gen p53.

Gangguan fungsi gen p16 akan berpengaruh pada fungsi gen p53, yaitu tidak

diekspresikannya protein p53 bila ada kerusakan DNA. Akibatnya siklus sel tidak terhenti

pada fase G1 sehingga replikasi DNA yang rusak akan berlangsung terus menerus. Selain

itu gangguan fungsi gen ini akan mempertahankan keadaan protein rb tidak terfosforilasi,

sehingga faktor transkripsi E2F tetap bebas dab akan menggiring sel terus menerus masuk

ke fase S (Huang, 1998).

b. Faktor Lingkungan

1. Infeksi Virus Epstein Barr (VEB)

Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1964

dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus

DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang

(32)

mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom DNA

VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan guanin-plus-sitosin sebesar

59%. VEB dapat bereplikasi pada sel epitel orofaring dan kelenjar parotis, kemudian

menyebar lewat ludah dan menular melalui berciuman. Melalui tempat replikasinya di

orofaring, VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada

sel ini, menetap pada penderita yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit

yang berarti (Notopuro et al, 2005).

Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan

protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis

infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam

sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi

keganasan. Berbagai antigen yang disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam

nukleus, sitoplasma dan membran sel terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi

respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear antigen) yang diekspresikan pada

infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten. Protein laten adalah

LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi VEB

mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan bahwa

virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada

sel T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami

transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral

terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik

terhadap antigen tersebutlah yang dapat memperantarai penolakan terhadap tumor

tersebut secara invivo. Jadi untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respon imun

seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi respon imun seluler, dapat

mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas

(33)

2. Faktor Makanan

Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan yang

merupakan makanan kegemaran penduduk Cina Selatan kemungkinan sebagai

salah satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini didasarkan atas insiden KNF yang

tinggi pada masyarakat nelayan tradisional di Hongkong yang mengkonsumsi ikan

yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur,

dan buah segar. Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250

penderita KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi ikan

asin semenjak usia dibawah 10 tahun. Kebiasaan makan ikan yang diasinkan ini juga

terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke negara lain seperti

Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin juga

didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan,

Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi (Ahmad, 2002).

Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung

nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk

terjadinya KNF pada usia dewasa (Ward, 2000).

3. Sosial Ekonomi, Lingkungan dan Kebiasaan Hidup

Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu,

asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, obat-obatan tradisional,

tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF masih belum dapat

dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan

penderita KNF. Kebiasaan merokok lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali

lebih besar daripada yang bukan perokok (Yu et al, 1990). KNF juga berhubungan

(34)

anthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan

(Ahmad, 2002).

4. Radang Kronis

Beberapa peneliti lain melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara

adanya infeksi kronis di hidung seperti rhinitis, sinusitis, atau polip nasi dan infeksi

kronis di telinga tengah dengan timbulnya KNF. Adanya peradangan menahun di

nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen

penyebab KNF (Ahmad, 2002)

2.2.5 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring

Keluhan penderita KNF berhubungan dengan lokasi tumor primer, derajat, dan arah

penyebarannya (Soetjipto, 1989).

1. Gejala Dini

Menegakkan diagnosis KNF secara dini merupakan hal yang paling penting

dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini berupa:

Gejala Telinga

a. Oklusi tuba Eustachius/ kataralis

Umumnya keluhan berupa rasa penuh di telinga, telinga berdengung

(tinnitus), atau dengan gangguan pendengaran yang biasanya tuli konduktif dan

bersifat unilateral. Gejala ini disebabkan karna pertumbuhan atau infiltrasi tumor

(35)

oklusi dapat menjadi permanen, jika tumor menyebar dan menyumbat muara

tuba.

b. Gangguan pendengaran

Sering bersifat tuli konduktif dan unilateral. Gejala ini disebabkan karena otitis

media serosa akibat gangguan fungsi tuba. Tuli saraf mungkin terjadi pada

penderita KNF sebagai efek radioterapi dan jarang akibat penyebaran langsung

tumor ke saraf VIII.

c. Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani

Penyebabnya adalah sumbatan muara tuba Eustachius oleh massa tumor.

d. Tinnitus

Sering dijumpai pada penderita KNF, dapat mengganggu dan sulit diobati.

Gejala ini juga disebabkan gangguan fungsi tuba.

e. Otalgia

Gejala ini jarang ditemukan dan bila ada menunjukkan bahwa tumor telah

[image:35.595.64.533.605.731.2]

menginfiltrasi daerah parafaring dan mengerosi dasar tengkorak.

Table 2.4. Karakteristik berdasarkan gejala hidung penderita KNF dari berbagai penelitian

Peneliti Tahun dan Tempat Hasil Penelitian

Lee et al 1997, Hongkong Keluhan telinga pada

penderita KNF sebesar

(36)

Gejala Hidung

a. Epistaksis

Umumnya berupa ingus bercampur darah yang dapat terjadi berulang-ulang

dan biasanya jumlahnya sedikit. Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh

sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi perdarahan.

b. Obstruksi hidung

Gejala ini biasanya menetap dan bertambah berat. Gejala ini akibat

pertumbuhan massa tumor menutupi koana. Gejala ini kadang-kadang disertai

gangguan penciuman. Bila terjadi obstruksi hidung total menunjukkan stadium

[image:36.595.63.531.459.585.2]

yang lanjut dari KNF.

Tabel 2.5. Penelitian sebelumnya tentang karakteristik gejala hidung penderita KNF

Peneliti Tahun dan Tempat Hasil Penelitian

Suryanto 2006, RSCM Jakarta Keluhan Hidung tersumbat

sebesar 60,0% dan

epistaksis sebesar 56,7%

2. Gejala Lanjut

a. Limfadenopati servikal

Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan

penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Dapat terjadi unilateral atau bilateral.

Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama penyebaran sel

(37)

yang khas penyebaran KNF ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus

mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), dibawah angulus mandibula, di dalam otot

sternocleidomastoid, konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan

terutama bila sel tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot

dibawahnya.

Lebih dari 40% dari seluruh kasus KNF, keluhan adanya tumor di leher ini

yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang berobat

(Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002).

b. Gejala Neurologis

Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui

foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii media sehingga mengenai saraf

kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II

paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese

saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan kelumpuhan

otot levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis, dan

parese saraf III, IV, dan IV menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf

tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan

keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral (Neel dan Witte,

1998).

3. Gejala Metastase Jauh

Metastase jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat

mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal, dan limfa. Metastase

jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%), paru-paru (27%), hepar (11%)

(38)

prognosis yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah

diagnosis ditegakkan (Chiesa dan De Paoli, 2001).

2.2.6 Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Limfadenopati servikal

pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita KNF

berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita KNF

(Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002).

b. Pemeriksaan

1. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter

Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan

dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar

akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002).

2. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter

Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan dan kiri.

Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar,

(39)

ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi

luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak

dengan jelas (Lore dan Medina, 2005).

3. Endoskopi

a. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy)

Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu 0, 30, dan 70

derajat dengan tang biopsi.

Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara:

¾ Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung

¾ Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut (Wei,2006).

b. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy)

Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya yang dilengkapi alat biopsi. Endoskopi

fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap nasofaring, meskipun

masuknya hanya melalui satu sisi kavum nasi. Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan

melihat langsung sasaran. Alat endoskopi fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction

dimana forsep biopsi dapat dimasukkan melaluinya, sehingga biopsi tetap dapat dilakukan

dengan pandangan langsung (Wei, 2006).

4. Biopsi Nasofaring

a. Dengan anestesi lokal

Obat anestesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring. Melalui

(40)

diambil dengan tang biopsi. Biopsi dapat juga dilakukan melalui tuntunan

nasofaringoskopi kaku (Wei, 2006).

b. Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum

Cara ini dapat dilakukan pada hal-hal tertentu, yaitu:

a.1. Jika biopsi dengan anestesi lokal tidak mendapatkan hasil yang positif,

sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri KNF.

a.2. Keadaan umum penderita kurang baik, tidak kooperatif atau faringnya terlalu

sensitif, trismus, dan anak-anak.

5. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya tumor di

daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam

melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan

sekitarnya (Her, 2001).

Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral,

submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitofrontal.

Foto toraks posisi PA, untuk menilai adanya metastase paru (Wei dan Sham,

2005).

CT Scan Nasofaring, pada KNF yang tumbuh secara endofitik/submukosa

dapat dideteksi dengan CT Scan (Her, 2001). Pemeriksaan ini dapat pula

mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan

juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen

ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT Scan dilakukan tanpa zat

(41)

menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah (Wei

dan Sham, 2005).

Magnetic Resonance Imaging, merupakan sarana pemeriksaan diagnostik

terbaru dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk

menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT Scan, MRI lebih baik dalam

memperlihatkan jaringan lunak nasofaring yang superfisial maupun profunda, dan

membedakan tumor dari jaringan lunak sekitarnya (Wei dan Sham, 2005).

Bone Scintigraphy, jika dicurigai metastase ke tulang, selajutnya diikuti

dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scintigraph (Wei dan

Sham,2005).

6. Pemeriksaan patologi anatomi, yang dapat dilakukan berupa:

a. Sitologi

Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara

seperti melalui kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau

dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Akan

tetapi pemeriksaan ini hasilnya sering meragukan, sehingga pemeriksaan sitologi

ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis KNF.

b. Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Sebagian besar KNF ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher.

Untuk membuktikannya merupakan metastase KNF dilakukan pemeriksaan

biopsi aspirasi. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada massa tumor di

nasofaring (Wei dan Sham, 2005).

(42)

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam

menentukan subtipe histopatologi.

d. Pemeriksaan Imunohistokimia

Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi

substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi

terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan

berikatan dengan antigen yang sesuia. Sistem deteksi digunakan untuk

identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat.

Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat

fluororesens atau suatu enzim yang mengkatalis rekasi lebih lanjut membentuk

produk berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005).

e. Pemeriksaan Serologi

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang

berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini.

Antibodi terhadap VEB baik Ig G dan Ig A penderita KNF meningkat sampai 8-10

kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat

(Notopuro et al, 2005). Titer imunoglobulin A (Ig A) terhadap virus Epstein Barr

spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early

antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah,

sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi kurang sensitif, dan

titernya akan menurun mendekati normal pada KNF stadium lanjut. Titer yang

tinggi dapat merupakan indikator KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk

tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif

(Ahmad, 2002).

(43)

Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga

dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi,

amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri

(Zachreni, 1999).

2.2.7 Stadium

Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Di beberapa negara Asia

digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun 1978 (Ho’s

System), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Commitee on Cancer/

International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium KNF yang terbaru

adalah menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu (Brennan, 2006):

Tumor di nasofaring (T)

Tx : Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor terbatas di nasofaring

T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa

perluasan ke depan parafaring

T2b : Dengan perluasan ke parafaring

(44)

T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Kelenjar limfe regional (N)

Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan

N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional

N1 : Metastase ke KGB unilateral, ukuran ≤ 6cm, terletak di atas fossa

supraklavikula

N2 : Metastase ke KGB bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa

supraklavikula

N3 : Metastase ke KGB:

N3a : Ukuran KGB > 6 cm, diatas fossa supraklavikula

N3b : Terletak pada fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M)

Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan

M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Ada metastasis jauh

Stadium KNF

(45)

I : T1 N0 M0

IIa : T2a N0 M0

IIb : T1-2a N1 M0, T2b N0-1 M0

III : T1-2b N2 M0, T3 N0-2 M0

IVa : T4 N0-2 M0

IVb : Semua T N3 M0

[image:45.595.96.376.70.304.2]

IVc : Semua T N0-3 M1

Tabel 2.6. Penelitian sebelumnya tentang stadium KNF

Peneliti Tahun dan Tempat Hasil Penelitian

Amiyanto

Hadi

Henny

1993, RSCM Jakarta

1999, RSUD dr. Soetomo, Surabaya

2006, RSUP HAM Medan

Stadium III-IV (93,3%) dari 30 kasus KNF

Stadium III-IV (95,25%) dari 129 kasus KNF

Stadium III (50%) dan IV (50%)

2.2.8 Diagnosis Banding

a. Angifibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan, yaitu jaringan

vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan foto

polos didapatkan gambaran massa jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat

digunakan pemeriksaan yang lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi

(46)

b. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mucosal, non ulseratif. Limfoma yang terjadi di

nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat daripada di daerah lain, karena akibat

dari oklusi tuba Eustachius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa.

c. Kordoma, biasanya memiliki komponen intrakranial terutama mengisi sphenoid,

mengandung kalsifikasi ireguler dan dapat melibatkan jaringan retrofaringeal.

d. Rhabdomyosarkoma, yang biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi dasar tengkorak

ditemukan pada 1/3 penderita dan biasanya melibatkan sinus kavernosus.

2.2.9 Terapi

Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi

sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5

tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar penderita datang

dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian datang dengan keadaan yang

sudah jelek (Lin et al, 2003). Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang

berpotensi tinggi untuk mengadakan metastase regional maupun jauh. Keberhasilan terapi

sangat dipengaruhi oleh stadium. Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang

adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan (Mulyarjo, 2002).

1. Radioterapi

Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun

1930-an). Hasil radioterapi untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete response

sekitar 80-100% (Kentjono,2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan

sebesar 25-65%. Kegagalan radioterapi konvensional dalam memberantas sel kanker di

nasofaring maupun anak sebarnya di kelenjar getah bening leher mencapai angka

(47)

akibat lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti

batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga

tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005).

Brachytherapy (Radiasi Internal)

Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi

pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasinya adalah sebagai booster bila

masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh (Marzaini, 2002).

2. Kemoterapi

Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan leher

yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan

kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan respon yang

baik terhadap kemoterapi induksi.

Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi

sebagai terapi standar terapi KNF stadium lanjut (Lin et al, 2003). Indikasi pemberian

kemoterapi adalah untuk KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher,

metastase jauh, dan kasus-kasus residif (Zakifman dan Harryanto, 2002).

Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang

paling efektif dalam penanganan KNF (Wei dan Sham, 2005). Dibandingkan dengan

kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi konkomitan lebih

disukai (Graf et al, 2006).

Menurut Agulnik dan Siu (2005), dosis obat kemoterapi yang paling optimal

(48)

3. Imunoterapi

Imunoterapi dilakukan dengan memberikan vaksin anti virus Epstein-Barr pada

populasi yang rentan sebelum terinfeksi virus Epstein-Barr untuk mencegah terjadinya KNF

(Mauer, 2005).

4. Pembedahan

a. Diseksi leher radikal

Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya

kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.

Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering menjadi sulit untuk

memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis

maupun radiologi (Wei, 2006).

b. Nasofaringektomi

Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam

rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan

selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi

penyakit-penyakit terlokalisir. Berbagai pendekatan pernah digunakan untuk mencapai

nasofaring. Posisi otak dan korda vertebralis membuat pendekatan secara posterior

dan superior menjadi tidak dapat dilakukan. Pendekatan-pendekatan anterior seperti

ini, meskipun mengikutsertakan pematahan palatum durum hanya dapat

memperlihatkan dinding posterior nasofaring sedangkan dinding lateral tidak terlihat.

Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal,

transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk

tumor-tumor yang terletak di tengah dan dinding posterior nasofaring. Secara umum

selama tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka

hasilnya cukup memuaskan (Wei, 2006).

(49)

Tujuan terapi gen adalah untuk mengenalkan materi genetik baru ke dalam sel

kanker yang akan secara selektif membunuh sel kanker tanpa menyebabkan toksik pada

sel-sel yang normal. Terapi gen digunakan untuk mengantar sekuensi DNA ke dalam sel

dan kemudian DNA bergabung sendiri di dalam gen seluler dan menghasilkan protein

yang mempunyai efek terapeutik.

2.2.10 Prognosa

a. Faktor usia dan jenis kelamin

b. Subtipe histologi

c. Stadium tumor

d. Genetik

2.3 Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr (VEB) diidentifikasi pertama kali tahun 1964 oleh Anthony

Epstein. Achong dan Yvonne Barr pada cell line dari spesimen Burkit’s lymphoma dengan

menggunakan mikroskop elektron. Kemudian ditemukan Burkit bahwa serum penderita

dengan limfoma, mempunyai titer antibodi lebih tinggi terhadap VEB dibandingkan dengan

kontrol tanpa limfoma (Thomson et al, 2004).

Virus Epstein-Barr (VEB) adalah herpes virus umum yang merupakan penyebab

infeksi mononucleosis akut dan salah satu factor etiologi pada karsinoma nasofaring,

karsinoma gaster, dan limfoma Burkitt. Genom DNA VEB adalah double-stranded,

mengandung 173 kbp dan memiliki kandungan guanine-plus-sitosin sebesar 60%. VEB

mempunyai komponen inti, kapsul dan selaput pembungkus. Didalam inti terdapat DNA, dan

(50)

pembungkus glikoprotein yang disebut envelope (Zurhausen et al, 1970; Pathmanan dan

Raab-Traub, 1999).

VEB merupakan virus yang terdapat dimana-mana dan menyebar melalui penularan

antar manusia. Infeksi primer oleh virus Epstein-Barr terjadi pada masa kanak-kanak,

menimbulkan gejala yang ringan seperti demam dan faringitis dan dapat sembuh dengan

sendirinya. Biasanya virus Epstein-Barr setelah menginfeksi akan hidup secara menetap di

dalam sel induk (Thomson et al, 2004).

Infeksi disertai dengan pembentukan antibodi yang spesifik dan pembentukan imun

yang permanen terhadap infeksi ulang, sehingga hanya sedikit yang menjadi sakit (Nilson et

al, 1971). Pada Negara-negara yang berkembang, 99,9 % dari anak-anak sudah terinfeksi

sejak berusia 3 tahun. Infeksi VEB pada masa kecil ini sangat berhubungan dengan KNF

(Anim et al, 1991). Di Negara maju, infeksi primer ini jarang mengenai anak yang berusia

lebih muda. Namun demikian 80% sampai 90% dari populasi sudah terinfeksi VEB. Apabila

infeksi primer terjadi pada usia dewasa, maka 50% akan terjadi mononucleosis infeksiosa

(Biggar et al, 1978; Anim et al,1991).

2.3.1 Gambaran Molekuler Virus Epstein-Barr

Berdasarkan struktur dan sifat imunologinya virus Epstein-Barr digolongkan ke dalam

keluarga Human Herpes Virus, sub famili Gamma Herpes Virus dan Genus

Lymphokriptovirus. Epstein-Barr Virus (VEB) dimasukkan dalam genus tersebut karena

mempunyai kemampuan untuk menginfeksi dan menetap di sel limfosit hostnya serta

menginduksi proliferasi sel yang terinfeksi secara laten (Paul, 2001). Struktur VEB adalah

toroid, dengan panjang 184 kb, nukleokapsid, protein tegument dan envelop di bagian

luarnya. Protein envelop yang paling banyak adalah bp 350/220. Genom VEB berupa DNA

berbentuk linier dan double stranded dan dapat mengkode kurang lebih 100 macam protein.

(51)

lapisan lipid yang saling berdekatan dan mengandung tiga protein (E1, E2, dan E3). Didalam

kapsid terdapat nukleokapsid dengan 162 kapsomer, tiap-tiap kapsomer terdiri dari protein.

Tegumen terdapat di luar nukleokapsid merupakan lapisan amorf dengan struktur yang

fibrous. Tegumen ini berada diantara nukleokapsid dan envelop. Di luar permukaan envelop

mengandung banyak spike yang terdiri dari glikoprotein (Thomson et al, 2004).

VEB dapat berbentuk linear pada virion yang matur dan bentuk episomal sirkuler

pada sel yang terinfeksi secara laten. Waktu VEB menginfeksi sel, maka DNA sel akan

menjadi bentuk episome sirkuler dengan sejumlah pengulangan pada terminal, tergantung

dari jumlah pengulangan terminal dalam gen induk. Jika infeksi meluas, maka terjadi infeksi

laten tetapi tidak terjadi replikasi (Thompson et al, 2004).

2.3.2 Gambaran virus Epstein-Barr

VEB menginfeksi hanya dua bagian tipe sel utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan

sel darah putih jenis limfosit B. Infeksi VEB pertama berkembang di dalam kelenjar saliva.

Jumlah virus banyak dilepas ke dalam saliva, dan dapat menyebar dari satu orang ke orang

lainnya. Infeksi di dalam sel B mengakibatkan virus berproliferasi. Proses proliferasi sel virus

ini dikontrol oleh sistem imun sel T sitotoksik (CTL). Ini dapat mengakibatkan infeksi

mononukleosis yang biasanya terjadi pada dewasa muda. Jika respon imun bekerja tidak

baik, maka pada individu yang terinfeksi dengan VEB ini merupakan resiko untuk

terbentuknya sel kanker (Margaret, 2001).

Pengetahuan mengenai siklus hidup VEB penting untuk lebih mengerti dan

mengetahui gejala klinis serta diagnostik VEB. Setelah masuk ke dalam tubuh melalui

kontak saliva virus Epstein-barr akan menginfeksi sel B dan virus akan mengalami proliferasi

dan dapat mempertahankan hidupnya di sel B. VEB seperti golongan virus Herpes lainnya

menghasilkan infeksi yang lisis dan juga dapat menetap di dalam tubuh yang terinfeksi

(52)

Gambar

Gambar 2.1.  Anatomi  Nasofaring, dikutip dari Atlas Netter
Gambar 2.2. Perdarahan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter
Gambar 2.3. Persarafan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter
Tabel 2.1. Karakteristik jenis histopatologi WHO dari berbagai peneliti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi bahaya yang memiliki nilai risiko tertinggi sebanyak 3 jenis kecelakaan kerja pada praktikum di Laboratorium SMK

Tujuan penelitian ini terdiri dari: (1) untuk mengetahui aktivitas guru dalam proses pembelajaran dengan penggunaan media flash card untuk meningkatkan kemampuan membaca

Ketentuan pengendalian rencana disusun sebagai bagian proses penyusunan RTBL yang melibatkan masyarakat, baik secara langsung (individu) maupun secara tidak langsung

mengelilingi matahari adalah lebih cepat dibanding planet Mars, sehingga pada titik tertentu gerakan planet mars di langit seperti berbalik arah padahal gerak bumi inilah

Tanah halaman kos Erika mempunyai tekstur lemah untuk dibentuk, pada tangan memberi warna lemah, masih dapat dirasa bagian yang kasar. Jadi hal itu termasuk pada kategori tanah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan di bab sebelumnya baik dari hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara maupun dari hasil observasi,

“Efektivitas Model Mind Mapping (Peta Konsep) dalam Pembelajaran Menulis Teks Cerita Pendek Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Makassar”. Pendidikan Bahasa dan Sastra

Sebelum saya kuliah D-IV Bidan Pendidik USU, saya bertanya kepada atasan tempat saya bekerja tentang informasi D-IV Bidan Pendidik USU.. Sebelum saya kuliah D-IV Bidan Pendidik