• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Karsinoma Nasofaring

2.2.4. Etiologi dan faktor predisposisi

a. Faktor Genetik

Penyelidikan pertama tentang adanya kelainan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Disimpulkan dalam penelitian itu bahwa adanya HLA A2 dan HLA Bsin2 pada alel yang sama merupakan faktor resiko terjadinya KNF. Lebih lanjut dilaporkan HLA Aw19, Bw46 dan B17 berhubungan dengan peningkatan kejadian KNF, sedangkan HLA A11 berhubungan dengan kejadian sebaliknya (Hu, 1996). Pada keluarga dengan KNF, haplotipe HLA yang sama ditemukan 21 kali lipat pada penderita dengan keluarga KNF (Zimmermann et al, 2006).

Penelitian sitogenetika, genetika molekuler dan penggunaan teknik untuk menganalisis loss of heterozygosity (LOH) melaporkan adanya berbagai defek kromosom

misalnya kromosom 1,3,9,11,12, dan 14 (Huang, 1998; Pathmanan, 1998). Kelainan kromosom yang paling sering dijumpai adalah kelainan kromosom 3p dengan 3 lokus utama, yaitu 50% pada lokus 3p25, 50% pada 3p14.1-14.3 dan 3p13 (Hu, 1996). Peneliti lain melaporkan kelainan kromosom 3p pada 67-100% kasus KNF. Pada lokasi tersebut kemudian dapai diidentifikasi adanya TSG FHIT. Dilaporkan juga adanya defek pada 3p26, yang ternyata juga merupakan lokasi TSG lainyya. Dengan kekerapan yang lebih rendah dilaporkan juga adanya kelainan pada 11q dan 14q (54% dan 33%). Pada lokasi spesifik 11q13.3-22 dan 11q22-24 sekurang-kurangnya terdapat dua jenis TSGs. Selain itu dilaporkan juga adanya keterlibatan satu jenis ATM (ataxia telangiectasis malformation) yang berlokasi di 14q31 (Huang, 1998). Disamping adanya berbagai delesihomozigot dilaporkan juga adanya proses metilasi abnormal gen p15 dan 16 yang berlokasi di kromosom 9p21. Protein p16 merupakan protein inhibitor siklin/cdk kinase yang secara potensial berperan pada kontrol negatif masuknya sel ke fase S melalui induksi gen p53. Gangguan fungsi gen p16 akan berpengaruh pada fungsi gen p53, yaitu tidak diekspresikannya protein p53 bila ada kerusakan DNA. Akibatnya siklus sel tidak terhenti pada fase G1 sehingga replikasi DNA yang rusak akan berlangsung terus menerus. Selain itu gangguan fungsi gen ini akan mempertahankan keadaan protein rb tidak terfosforilasi, sehingga faktor transkripsi E2F tetap bebas dab akan menggiring sel terus menerus masuk ke fase S (Huang, 1998).

b. Faktor Lingkungan

1. Infeksi Virus Epstein Barr (VEB)

Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1964 dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu,

mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan guanin-plus-sitosin sebesar 59%. VEB dapat bereplikasi pada sel epitel orofaring dan kelenjar parotis, kemudian menyebar lewat ludah dan menular melalui berciuman. Melalui tempat replikasinya di orofaring, VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap pada penderita yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti (Notopuro et al, 2005).

Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi keganasan. Berbagai antigen yang disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam nukleus, sitoplasma dan membran sel terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear antigen) yang diekspresikan pada infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten. Protein laten adalah LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi VEB mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan bahwa virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada sel T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik terhadap antigen tersebutlah yang dapat memperantarai penolakan terhadap tumor tersebut secara invivo. Jadi untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respon imun seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi respon imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas (Notopuro et al, 2005).

2. Faktor Makanan

Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan yang merupakan makanan kegemaran penduduk Cina Selatan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini didasarkan atas insiden KNF yang tinggi pada masyarakat nelayan tradisional di Hongkong yang mengkonsumsi ikan yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar. Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250 penderita KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi ikan asin semenjak usia dibawah 10 tahun. Kebiasaan makan ikan yang diasinkan ini juga terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke negara lain seperti Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin juga didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan, Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi (Ahmad, 2002).

Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya KNF pada usia dewasa (Ward, 2000).

3. Sosial Ekonomi, Lingkungan dan Kebiasaan Hidup

Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF masih belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan penderita KNF. Kebiasaan merokok lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar daripada yang bukan perokok (Yu et al, 1990). KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain bezopyrenen, benzo

anthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan (Ahmad, 2002).

4. Radang Kronis

Beberapa peneliti lain melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara adanya infeksi kronis di hidung seperti rhinitis, sinusitis, atau polip nasi dan infeksi kronis di telinga tengah dengan timbulnya KNF. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (Ahmad, 2002)

Dokumen terkait