• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa data

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

IV.1.3. Diagnostik MMSE terhadap GPCOG

Dari penelitian ini didapatkan bahwa MMSE sensitifitas 0,90, spesifisitas 0,72, Nilai Duga Positif 0,80, Nilai Duga Negatif 0,86, Rasio Kemungkinan Positif 3,21, Rasio Kemungkinan Negatif 0,13 dan akurasi 0,82. Data lengkap mengenai nilai diagnostik CPS terhadap GPCOG dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil Penelitian Diagnostik MMSE terhadap GPCOG GPCOG Total Positif ≤7 Negatif >7 MMSE Positif ≤23 40 10 50 Negatif >23 4 26 30 44 36 80

Analisa dengan uji diagnostik

Sensitifitas = a : (a+c) = 40 : 44 = 0,90 Spesifisitas = d : (b+d)

Nilai Duga Positif = a : (a+b) = 40 : 50 = 0,80

Nilai Duga Negatif = d : (c+d) = 26 : 30 = 0,86

Rasio Kemungkinan Positif = sensitifitas : (1-spesifisitas) = 0,90 : (1-0,72) = 3,21 Rasio Kemungkinan Negatif = (1-sensitifitas) :spesifisitas

= (1-0,90) : 0,72 = 0,13 Akurasi = (a+d) / N

= (40+26) / 80 = 66/80 = 0,82

Dari hasil perhitungan di atas didapati akurasi CPS 0,86 dan MMSE 0,82. Untuk menilai perbedaan akurasi antara CPS dan MMSE apakah bermakna atau tidak, maka perlu dicari nilai p. Dalam mencari nilai p, sebelumnya harus dicari terlebih dahulu nilai Z, yang diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :

Z = p – P √P.Q/N = 0,86 – 0,82 √ 0,82 . 0,18/80 Z = 0,93124 p = 0,323

sehingga disimpulkan bahwa terdapat perbedaan akurasi yang tidak bermakna antara CPS dan MMSE (p = 0,32).

IV.2. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan tujuan untuk melihat perbandingan akurasi diagnostik antara CPS dan MMSE terhadap GPCOG dalam menilai fungsi kognitif pada usia lanjut.

Pada penelitian ini populasi yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan CPS dan MMSE dan GPCOG.

Pada penelitian ini dari 80 orang subjek penelitian ditemukan usia subjek yang terbanyak adalah usia 60 – 74 tahun (62,5%) dan jumlah perempuan lebih banyak yaitu 46 orang (57,5%) dibandingkan pria yang berjumlah 34 0rang (42,5%). Hal ini sesuai dengan data World Health Organization (WHO) tahun 2003 yang mendapatkan bahwa jumlah usia lanjut yang berusia 60 tahun atau lebih ada sekitar 10 % dari seluruh populasi dan dari antara yang berusia lanjut ditemukan jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki – laki. Hal ini disebabkan angka harapan hidup perempuan lebih tinggi daripada laki – laki. Hal ini sesuai dengan penelitian Carpenter tahun 2006 tentang gangguan kognitif dimana dari seluruh subjek penelitiannya, ditemukan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki – laki. Penelitian Zhang Z, 2006, pada penduduk China yang berusia lanjut ditemukan juga bahwa perempuan memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami gangguan kognitif dibandingkan

dengan pria. Menurut penelitian Sjahrir, 2001, ditemukan bahwa semakin meningkatnya usia, maka fungsi kognitifnya akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan Berg, 2006, yang menyatakan bahwa semakin tinggi usia maka fungsi kognitif juga semakin menurun. Hal ini diakibatkan penurunan volume otak, terjadinya white matter lesion dan brain infarct. Tabel 6. Perbandingan nilai MMSE berdasarkan usia

Usia Median scores

Sjahrir Tedjasuk Crum Bleecker Sibarani (n=473) (n=204) (n=18.056) (n=194) (n=80) (n=80)

>60 21 26 27 29 23

Perbandingan nilai median MMSE berdasarkan usia, antara penelitian ini dibandingkan dengan 4 penelitian lainnya ditemukan bahwa nilai median MMSE tertinggi ditemukan pada penelitian Bleecker dan nilai median terendah ditemukan pada penelitian Sjahrir.

Tingkat pendidikan yang terbanyak pada penelitian ini adalah Sekolah Dasar (SD) yaitu 29 orang (36,3%) diikuti Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) 28 orang (35,0%) kemudian Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) 19 orang (23,8%) dan Perguruan Tinggi 3 orang (3,8%) serta Akademi 1 orang (1,3%). Dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan rata-rata subjek lanjut usia yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan masih rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Dufouil C,

2003, menemukan bahwa tingkat pendidikan yang rendah berhubungan secara signifikan dengan fungsi kognitif yang rendah juga. Menurut Sjahrir, 2001, menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka nilai MMSE juga semakin tinggi. Menurut Kochhann R, 2009, menemukan pendidikan dan usia berhubungan dengan skor MMSE, dimana individu yang pendidikan yang tinggi dan usia yang lebih muda mempunyai skor MMSE yang lebih tinggi. Kierzynka, 2011, menemukan bahwa tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan hasil tes fungsi kogniitif yang buruk. Yaffe, 2011, pada penelitian fungsi kognitif wanita usia tua mendapatkan bahwa gangguan kognitif lebih sering dijumpai pada wanita dengan pendidikan yang rendah.

Tabel 7. Perbandingan nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan Median scores

Sjahrir Tedjasuk Crum Sibarani (n=473) (n=204) (n=18.056) (n=80) 0-6 tahun 24 26 22 21 7-9 tahun 26 29 26 23 10-12 tahun 26 29 29 26 >12 tahun 28 30 29 24

Perbandingan nilai median MMSE berdasarkan tingkat pendidikan pada penelitian ini dibandingkan dengan 3 penelitian lainnya ditemukan bahwa umumnya apabila tingkat pendidikan semakin tinggi, maka nilai median MMSE juga akan semakin meningkat juga. Namun nilai median MMSE untuk lama pendidikan >12 tahun pada penelitian inii, ditemukan bahwa nilai median MMSE nya lebih rendah dibandingkan dengan lama

pendidikan 10-12 tahun. Hal ini kemungkinan diakibatkan pada penelitian ini, jumlah subjek yang menjalani pendidikan >12 tahun hanya 4 subjek dan keempat subjek tersebut mempunyai nilai MMSE yang sangat bervariasi.

Pada penelitian ini dari 80 orang subjek penelitian ditemukan suku subjek penelitian yang terbanyak adalah suku Jawa 30 orang (37,5%) diikuti suku Cina 28 orang (35%), suku Batak 19 orang (23,8%), suku Banten 2 orang (2,5%) dan suku NTT 1 orang (1,3%).

Berbagai faktor resiko diduga berhubungan dengan fungsi kognitif. Pada penelitian ini terdapat faktor resiko hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, stroke, merokok dan dislipidemia. Dari berbagai faktor resiko tersebut yang terbanyak adalah hipertensi yaitu 23 orang (28,75%) dan yang kedua adalah diabetes melitus yaitu 18 orang (22,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian Reitz, 2007, menemukan bahwa riwayat hipertensi berhubungan dengan meningkatnya resiko gangguan kognitif. Penelitian Cheng, 2012, menemukan bahwa subjek diabetes melitus merupakan faktor resiko terjadinya gangguan kognitif dan demensia. Lopez, 2003, mendapatkan bahwa penyakit serebrovaskular merupakan faktor resiko terjadinya gangguan fungsi kognitif. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2013 prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan

lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, kemungkinan akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik.

Penilaian fungsi kognitif terhadap 80 orang subjek penelitian digunakan pemeriksaan CPS, MMSE dan GPCOG. Dengan menggunakan CPS didapati 41 orang (51,25%) mengalami gangguan fungsi kognitif dengan cut-off point ≥ 2, dengan menggunakan MMSE didapati 50 orang (62,5%) mengalami gangguan fungsi kognitif dengan cut-off point ≤ 23 dan dengan menggunakan GPCOG didapati 44 orang (55,0%) mengalami gangguan fungsi kognitif dengan cut-off point ≤ 7.

Pada penelitian ini didapatkan nilai sensitifitas CPS lebih rendah dibandingkan MMSE, dimana sensitifitas CPS 0,84 dan sensitifitas MMSE 0,90. Kemampuan MMSE untuk menghasilkan hasil yang positif pada pasien yang positif menderita gangguan kognitif lebih tinggi daripada CPS. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, mendapatkan sensitifitas CPS lebih rendah dibandingkan dengan MMSE. Dimana sensitifitas CPS 0,81 sedangkan sensitifitas MMSE 0,97. Penelitian Wellens, 2012, mendapatkan bahwa dengan menggunakan MMSE sebagai gold standard, CPS memilki sensitifitas yang lebih rendah, namun spesifisitasnya memuaskan. Penelitian Travers, 2013, mendapatkan sensitifitas CPS sedikit lebih rendah dibandingkan dengan MMSE yaitu sensitifitas CPS 0,68 dan MMSE 0,75.

Spesifisitas CPS yaitu 0,88 lebih tinggi bila dibandingkan dengan spesifisitas MMSE yaitu 0,72. Kemampuan CPS untuk menghasilkan hasil

negatif pada pasien yang tidak menderita gangguan kognitif lebih tinggi dibandingkan MMSE. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, mendapatkan bahwa CPS memiliki spesifisitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan MMSE. Dimana spesifisitas CPS 0,80 dan MMSE 0,59. Penelitian Travers, 2013, mendapatkan spesifisitas CPS lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE yaitu spesifisitas CPS 0,92 dan MMSE 0,82.

Nilai Duga Positif (NDP) CPS lebih tinggi dibandingkan MMSE dimana nilai NDP untuk CPS yaitu 0,90 dan untuk MMSE yaitu 0,80. Pada pemeriksaan CPS, hasil pemeriksaan yang positif dan benar – benar positif 90% sedangkan MMSE 80%. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, mendapatkan bahwa NDP CPS lebih tinggi dibandingkan dengan NDP MMSE yaitu NDP CPS 0,92 dan NDP MMSE 0,88. Penelitian Travers, 2013, medapatkan bahwa NDP CPS lebih tinggi daripada MMSE yaitu NDP CPS 0,70 dan NDP MMSE 0,48.

Nilai Duga Negatif (NDN) CPS yaitu 0,82 yang sedikit lebih rendah dibandingkan MMSE yang nilainya 0,86. Pada pemeriksaan CPS,hasil pemeriksaan yang negatif dan benar-benar negatif 82% dan MMSE 86%. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, mendapatkan bahwa nilai NDN CPS lebih rendah bila dibandingkan dengan MMSE yaitu NDN CPS 0,57 dan NDN MMSE 0,85. Penelitian Travers, 2013, medapatkan bahwa NDN CPS lebih rendah dibandingkan dengan MMSE yaitu NDN CPS 0,92 dan NDN MMSE 0,93.

Menurut Dahlan, 2009, bahwa bagi seorang klinis Nilai Duga Positif dan Negatif mempunyai arti yang lebih penting dibandingkan dengan sensitifitas dan spesifisitas. Karena pada akhirnya yang dilakukan seorang klinisi adalah melakukan interpretasi terhadap hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Namun nilai NDP dan NDN ini sangat berfluktuasi, dipengaruhi oleh prevalensi suatu penyakit. Kedua nilai ini akan berbeda apabila dilakukan pada populasi dengan prevalensi penyakit yang berbeda. Parameter diagnostik yang tidak dipengaruhi prevalensi penyakit adalah Rasio Kemungkinan Positif dan Rasio Kemungkinan Negatif. (Dahlan, 2009 ; Pusponegoro, 2007)

Rasio Kemungkinan Positif (RKP) CPS lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE. Dimana RKP CPS didapatkan 7 dan RKP MMSE 3,21. Pada pemeriksaan CPS, perbandingan antara hasil positif pada kelompok yang menderita gangguan kognitif dibandingkan hasil positif pada kelompok yang tidak menderita gangguan kognitif adalah 7 sedangkan untuk MMSE 3,21. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, yang mendapatkan bahwa RKP CPS lebih tinggi yaitu 3,95 dibandingkan dengan RKP MMSE 2,37.

Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) CPS lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE. Dimana RKN CPS didapatkan 0,18 dan RKP MMSE 0,13. Pada pemeriksaan CPS, perbandingan antara hasil negatif pada kelompok yang menderita gangguan kognitif dibandingkan hasil negatif pada kelompok yang tidak menderita gangguan kognitif adalah 0,18 dan

MMSE 0,13. Hal ini sesuai dengan penelitian Paquay, 2007, yang mendapatkan bahwa RKN CPS lebih tinggi yaitu 0,24 dibandingkan dengan RKN MMSE 0,06

Nilai Rasio Kemungkinan (RK) bervariasi antara 0 sampai tak terhingga. Hasil uji diagnostik yang positif kuat memberikan nilai RK yang jauh lebih besar dari 1, hasil uji yang negatif kuat akan memberi nilai RK mendekati nilai 0, sedangkan hasil uji yang sedang memberikan nilai RK di sekitar nilai 1. Pada umumnya nilai RKP di atas 10 dan RKN di bawah 0,1 dianggap mempunyai nilai diagnostik yang baik. (Dahlan, 2009 ; Pusponegoro, 2007)

Akurasi CPS lebih tinggi dibandingkan dengan akurasi MMSE, dimana akurasi CPS yaitu 0,86 dan akurasi MMSE yaitu 0,82. Semakin tinggi nilai sensitifitas dan spesifisitas maka semakin tinggi juga nilai akurasinya. Dari hasil di atas dapat disimpulkan terdapat perbedaan akurasi yang tidak bermakna antara CPS dan MMSE (p = 0,32).

Hasil diagnostik MMSE untuk sensitifitas, NDN dan RKN lebih tinggi daripada CPS. Hal ini kemungkinan disebabkan MMSE memiliki kelebihan dibandingkan CPS, dimana MMSE menilai domain yang lebih banyak meliputi memori, atensi, bahasa, visuospasial dan eksekutif sedangkan CPS hanya menilai domain memori dan eksekutif.

Namun untuk spesifisitas, NDP, RKP dan akurasi yang lebih tinggi pada CPS. Hal ini kemungkinan disebabkan CPS memiliki kelebihan dibandingkan dengan MMSE, dimana pemeriksaan CPS dapat menilai

fungsi kognitif pada status koma, yang mana CPS itu dapat menilai fungsi kognitif mulai dari yang intak sampai dengan yang mengalami gangguan fungsi kognitif yang berat. Kemudian pada pemeriksaan CPS terdapat penilaian kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari – hari (Activity Daily Living-ADL).

Menurut Wellens, 2012, bahwa CPS itu memiliki kelebihan dalam menilai fungdi kognitif subjek yang tinggal di panti jompo (home resident) namun gagal untuk menilai fungsi kognitif geriatrik di rumah sakit. Hal ini juga kemungkinan menjadikan nilai spesifisitas, NDP, RKP dan akurasi yang lebih tinggi pada CPS, karena penelitian ini juga dilakukan di panti jompo.

Dokumen terkait