TESIS
PERBANDINGAN AKURASI DIAGNOSTIK ANTARA
COGNITIVE PERFORMANCE SCALE DAN MINI MENTAL
STATE EXAMINATION TERHADAP GENERAL
PRACTIONER ASSESSMENT OF COGNITION UNTUK
MENILAI FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT
OLEH
RITA MAGDA HELENA SIBARANI
NIM 117112006
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN USU /
RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN
PERBANDINGAN AKURASI DIAGNOSTIK ANTARA
COGNITIVE PERFORMANCE SCALE DAN MINI MENTAL
STATE EXAMINATION TERHADAP GENERAL
PRACTIONER ASSESSMENT OF COGNITION UNTUK
MENILAI FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinis Spesialis Saraf Pada Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Oleh
RITA MAGDA HELENA SIBARANI
NIM 117112006
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN USU /
RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN
PERNYATAAN
PERBANDINGAN AKURASI DIAGNOSTIK ANTARA
COGNITIVE PERFORMANCE SCALE DAN MINI MENTAL
STATE EXAMINATION TERHADAP GENERAL
PRACTIONER ASSESSMENT OF COGNITION UNTUK
MENILAI FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang
sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 2014
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : PERBANDINGAN AKURASI DIAGNOSTIK
ANTARA COGNITIVE PERFORMANCE SCALE
DAN MINI MENTAL STATE EXAMINATION
TERHADAP GENERAL PRACTIONER
ASSESSMENT OF COGNITION UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF PADA USIA LANJUT
Nama : Rita Magda Helena Sibarani
NIM : 117112006
Program Studi : Ilmu Penyakit Saraf
Menyetujui,
Pembimbing
dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) dr. Aida Fithrie, Sp.S
NIP 19660524 199203 1 002 NIP 19780912 200912 2 002
Mengetahui / Mengesahkan,
Ketua Departemen Studi / SMF Ketua Program Studi / SMF
Ilmu Penyakit Saraf Ilmu Penyakit Saraf
FK USU / RSUP HAM Medan FK USU / RSUP HAM Medan
dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)
Telah diuji pada
Tanggal : 10 Juni 2014
PANITIA TESIS MAGISTER
1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) 2. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K) 3. dr. Darlan Djali Chan, Sp.S
4. dr. Yuneldi Anwar Sp.S(K) (PENGUJI)
5. dr. Rusli Dhanu Sp.S(K) (PENGUJI)
6. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K) (PENGUJI) 7. dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K)
8. dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS 9. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S 10. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S 11. dr. Cut Aria Arina, Sp.S 12. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S 13. dr. Alfansuri Kadri Sp.S 14. dr. Aida Fithrie Sp.S
15. dr. Irina Kemala Nasution Sp.S 16. dr. Haflin Soraya Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa,
atas berkat, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan
untuk menyelesaikan penulisan tesis magister kedokteran klinik ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian
program magister kedokteran klinik pada Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan
penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara dan Ketua TKP PPDS-I Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis
kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran
Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
2. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) selaku Guru Besar Tetap
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membimbing, mengoreksi
dan mengarahkan penulis mulai penulisan proposal sampai penyelesaian
tesis ini.
3. dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), Ketua Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang banyak memberikan
masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), Ketua Program Studi Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang banyak memberikan
masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
5. dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) dan dr. Aida Fithrie, Sp.S selaku
mengarahkan dengan sepenuh hati mulai dari pembuatan proposal,
pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
6. Guru-guru penulis : Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K); dr. Darlan
Djali Chan, Sp.S; dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K); dr. Iskandar
Nasution, Sp.S, FINS ; dr. Irwansyah, Sp.S (Alm) ; dr. Puji Pinta O.
Sinurat, Sp.S; dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S; dr. Cut Aria Arina, Sp.S; dr.
Kiki M. Iqbal, Sp.S; dr. Alfansuri Kadri Sp.S; dr. Irina Kemala Nasution
Sp.S; dr. Haflin Soraya Sp.S; dr. Fasihah Irfani, M.Ked(Neu) Sp.S; dr.
R.A.D. Pujiastuti, M.Ked(Neu) Sp.S, dr. Antun, Sp.S dan guru lainnya
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik.
7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Rumah Sakit
TK II Putri Hijau Medan dan Rumah Sakit Haji Mina Medan yang telah
memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga penulis dapat mengikuti
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
8. DR. Ir. Erna Mutiara, M. Kes, selaku pembimbing statistik yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan
penulis dalam pembuatan tesis ini.
9. Rekan – rekan sejawat PPDS-I Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan
dan dorongan yang membangkitkan semangat penulis dalam
penyelesaian tesis ini.
10. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah
bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran
Klinik serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program
Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
11. Semua Kelompok Usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai-Medan dan Panti Jompo Karya Kasih
12. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus – tulusnya
penulis ucapkan kepada orangtua saya, P.O. Sibarani (alm) dan R. br
Simanjuntak (alm) yang telah membesarkan saya dengan sepenuh hati
dan kasih sayang.
13. Teristimewa kepada suamiku tercinta Edwin M. Manurung, SP yang
selalu dengan penuh sabar dan pengertian, mendampingi dengan cinta
dan kasih sayang dalam suka maupun duka, memberikan dukungan
moril, materil, nasehat serta doa agar penulis tetap sabar dan tegar dalam
menjalani pendidikan ini sampai selesai, saya ucapkan terima kasih yang
setulus – tulusnya.
14. Ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada anak – anakku
tersayang, Jocelyn Aurel Manurung dan Jovanna Haraito Manurung, yang
telah memotivasi, mendoakan dan mendampingi penulis untuk dapat
menjalani pendidikan ini dengan sabar dan tegar.
14. Ucapan terima kasih kepada Bapak/Ibu mertua saya, A. Manurung
(alm) dan B. Br Sinaga, yang selalu memberikan dorongan, semangat dan
nasehat serta doa yang tulus agar penulis dapat mengikuti pendidikan ini
sampai selesai.
15. Kepada seluruh keluarga, rekan dan sahabat yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang senantiasa membantu, memberi dorongan,
pengertian dan doa dalam penyelesaian pendidikan ini, penulis ucapkan
terimakasih.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua jasa dan budi baik
mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan
cita – cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan
tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 2014
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : dr. Rita Magda Helena Sibarani
Tempat/tgl lahir : Pematangsiantar, 24 Mei 1979
Agama : Kristen Protestan
Nama Ayah : P.O. Sibarani (alm)
Nama Ibu : R.br Simanjuntak (alm)
Nama Suami : Edwin Manahara Manurung, SP
Nama Anak : 1. Jocelyn Aurel Manurung
2. Jovanna Haraito Manurung
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar di SD Kalam Kudus Pematangsiantar tamat tahun 1991.
2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Kalam Kudus Pematang siantar
tamat tahun 1994.
3. Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Pematangsiantar tamat
tahun 1997.
4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2004.
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Tahun 2005 - 2007 : Staf Kesehatan Daerah Militer II /
Sriwijaya, Palembang.
2. Tahun 2007 - 2011 : Staf kesehatan Daerah Militer I / Bukit
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN iii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR SINGKATAN xi
DAFTAR LAMBANG xii
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
Abstrak xv
Abstract xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Rumusan Masalah 5
I.3. Tujuan Penelitian 5
I.3.1. Tujuan Umum 5
I.3.2. Tujuan Khusus 6
I.4. Hipotesis 7
I.5. Manfaat Penelitian 8
I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian 8 I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan 8 I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9
II.1. FUNGSI KOGNITIF 9
II.1.1. Definisi 9
II.1.2. Domain Fungsi Kognitif 9 II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif 13 II.2. TES UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF 16 II.2.1. Cognitive Performance Scale 17 II.2.2. Mini Mental State Examination 20 II.2.3. General Practitioner Assessment of Cognition 23
II.3. KERANGKA TEORI 25
II.4. KERANGKA KONSEP 26
BAB III METODE PENELITIAN 27
III.1. TEMPAT DAN WAKTU 27
III.2. SUBYEK PENELITIAN 27
III.2.1. Populasi Sasaran 27
III.2.2. Populasi Terjangkau 27
III.2.4. Kriteria Inklusi 28
III.2.5. Kriteria Eksklusi 28
III.3. BATASAN OPERASIONAL 31
III.4. RANCANGAN PENELITIAN 30
III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN 30
III.5.1. Instrumen 30
III.5.2. Pengambilan Sampel 31
III.5.3. Kerangka Operasional 32
III.5.4. Variabel yang Diamati 33
III.5.5. Analisa Statistik 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 35
IV.1. HASIL PENELITIAN 35
IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian 35 IV.1.2. Diagnostik CPS terhadap GPCOG 37 IV.1.3. Diagnostik MMSE terhadap GPCOG 38
IV.2. PEMBAHASAN 40
IV.2.1. Keterbatasan Penelitian 48
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 49
V.1. KESIMPULAN 49
V.2. SARAN 50
DAFTAR PUSTAKA 51
DAFTAR SINGKATAN
CAMCOG : Cambridge Cognitive CAMCOG-R : CAMCOG Revised CI : Confidence Interval
CPS : Cognitive Performance Scale DM : Diabetes Melitus
GPCOG : General Practioner Assessment of Cognition IQ : Intelligence Quetients
LR : Likehood Ratio
MMSE : Mini Mental State Examination NDN : Nilai Duga Negatif
NDP : Nilai Duga Positif
NLR : Negative Likehood ratio NPV : Negative Predictive Value PLR : Positive Likehood Ratio PPV : Positive Predictive Value R-CAMCOG : Rotterdam CAMCOG
RK : Rasio Kemungkinan
DAFTAR LAMBANG
d : presisi penelitian N : besar sampel p : tingkat kemaknaan P : prevalensi penyakit
sen : sensitivitas yang diinginkan dari indeks Zα : deviat baku alpha
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Nilai MMSE berdasarkan usia
Tabel 2. Nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 4. Hasil penelitian diagnsotik CPS terhadap GPCOG Tabel 5. Hasil penelitian diagnsotik MMSE terhadap GPCOG Tabel 6. Perbandingan nilai MMSE berdasarkan usia
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK
PENELITIAN
LAMPIRAN 2 PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) LAMPIRAN 3 LEMBAR PENGUMPULAN DATA
LAMPIRAN 4 MINI MENTAL STATE EXAMINATION LAMPIRAN 5 COGNITIVE PERFORMANCE SCALE LAMPIRAN 6 KUISONER CPS
LAMPIRAN 7 QUICK QUIDE TO THE SCORING RULES CPS
LAMPIRAN 8 GENERAL PRACTIONER ASSESSMENT OF
COGNITION
ABSTRAK
Latar Belakang : Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan penilaian fungsi kognitif yang paling luas dipakai. Pada MMSE berbagai domain yang dinilai meliputi orientasi waktu dan tempat, atensi, memori, bahasa dan konstruksi visual. Dahulu skala Cognitive Performance Scale (CPS) dihubungkan secara erat dengan skor MMSE, meskipun tidak ada studi tentang akurasi standar diagnostik yang membandingkan CPS dan MMSE dengan gold standard yang telah digunakan.
Tujuan : Untuk mengetahui perbandingan akurasi diagnostik CPS dan MMSE terhadap General Practioner Assessment of Cognition (GPCOG) dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut.
Metode : Studi cross sectional dengan 80 subjek yang berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai-Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan. Semua subjek dilakukan pemeriksaan CPS, MMSE dan GPCOG.
Hasil : Nilai diagnostik untuk nilai CPS ≥ 2 dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut didapatkan sensitifitas = 0,84; spesifisitas = 0,88; NDP= 0,90; NDN= 0,82, RKP = 7, RKN = 0,18 dan akurasi = 0,86. Nilai diagnostik untuk nilai MMSE ≤ 23 dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut didapatkan sensitifitas = 0,91; spesifisitas = 0,72; NDP = 0,80; NDN= 0,86, RKP = 3,21, RKN = 0,13 and akurasi = 0,82.
Kesimpulan : Terdapat perbedaan akurasi yang tidak bermakna antara CPS dan MMSE dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut. (p = 0,32)
ABSTRACT
Background : The Mini-Mental State Exam (MMSE) (Folstein et al., 1975) is probably the most widely used screening measure of cognitive functioning. In the past, the Cognitive Performance Scale (CPS) corresponded closely with scores generated by the MMSE. However, no standard diagnostic accuracy study, comparing both CPS and MMSE with a gold standard, is yet available.
Objective : The objective of this study was to compare the diagnostic accuracy of the CPS and the MMSE for the detection of cognitive impairment. The General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) was used as the reference standard.
Methods : This cross sectional study with > 80 subjects more than 60 years old living in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai-Medan and Panti Jompo Karya Kasih Medan. All subjects examined for CPS, MMSE and GPCOG.
Results : The diagnostic values of a CPS score of 2 or more for the detection of cognitive impairment were : sensitivity = 0,84; specificity = 0,88; PPV= 0,90; NPV= 0,82, LR + = 7, LR - = 0,18 and accuracy = 0,86. The diagnostic values of a MMSE score of 23 or less for the detection of cognitive impairment were : sensitivity = 0,91; specificity = 0,72; PPV= 0,80; NPV= 0,86, LR + = 3,21, LR - = 0,13 and accuracy = 0,82.
Conclusion : There is insignificant difference between CPS and MMSE accuracy to detect cognitive impairment. (p= 0,32)
ABSTRAK
Latar Belakang : Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan penilaian fungsi kognitif yang paling luas dipakai. Pada MMSE berbagai domain yang dinilai meliputi orientasi waktu dan tempat, atensi, memori, bahasa dan konstruksi visual. Dahulu skala Cognitive Performance Scale (CPS) dihubungkan secara erat dengan skor MMSE, meskipun tidak ada studi tentang akurasi standar diagnostik yang membandingkan CPS dan MMSE dengan gold standard yang telah digunakan.
Tujuan : Untuk mengetahui perbandingan akurasi diagnostik CPS dan MMSE terhadap General Practioner Assessment of Cognition (GPCOG) dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut.
Metode : Studi cross sectional dengan 80 subjek yang berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai-Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan. Semua subjek dilakukan pemeriksaan CPS, MMSE dan GPCOG.
Hasil : Nilai diagnostik untuk nilai CPS ≥ 2 dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut didapatkan sensitifitas = 0,84; spesifisitas = 0,88; NDP= 0,90; NDN= 0,82, RKP = 7, RKN = 0,18 dan akurasi = 0,86. Nilai diagnostik untuk nilai MMSE ≤ 23 dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut didapatkan sensitifitas = 0,91; spesifisitas = 0,72; NDP = 0,80; NDN= 0,86, RKP = 3,21, RKN = 0,13 and akurasi = 0,82.
Kesimpulan : Terdapat perbedaan akurasi yang tidak bermakna antara CPS dan MMSE dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut. (p = 0,32)
ABSTRACT
Background : The Mini-Mental State Exam (MMSE) (Folstein et al., 1975) is probably the most widely used screening measure of cognitive functioning. In the past, the Cognitive Performance Scale (CPS) corresponded closely with scores generated by the MMSE. However, no standard diagnostic accuracy study, comparing both CPS and MMSE with a gold standard, is yet available.
Objective : The objective of this study was to compare the diagnostic accuracy of the CPS and the MMSE for the detection of cognitive impairment. The General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) was used as the reference standard.
Methods : This cross sectional study with > 80 subjects more than 60 years old living in UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai-Medan and Panti Jompo Karya Kasih Medan. All subjects examined for CPS, MMSE and GPCOG.
Results : The diagnostic values of a CPS score of 2 or more for the detection of cognitive impairment were : sensitivity = 0,84; specificity = 0,88; PPV= 0,90; NPV= 0,82, LR + = 7, LR - = 0,18 and accuracy = 0,86. The diagnostic values of a MMSE score of 23 or less for the detection of cognitive impairment were : sensitivity = 0,91; specificity = 0,72; PPV= 0,80; NPV= 0,86, LR + = 3,21, LR - = 0,13 and accuracy = 0,82.
Conclusion : There is insignificant difference between CPS and MMSE accuracy to detect cognitive impairment. (p= 0,32)
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Peningkatan prevalensi penyakit kronik degeneratif yang
berhubungan dengan usia merupakan outcome utama akibat
pertambahan usia yang progresif pada populasi penduduk dunia. Diantara
berbagai penyakit tersebut, demensia merupakan salah satu penyakit
yang cukup penting. Dari berbagai studi epidemiologi didapatkan bahwa
pada negara yang berkembang dan sedang berkembang ditemukan
bahwa prevalensi demensia meningkat 2 kali lipat setiap 5 tahun pada
usia di atas 65 tahun. Pemeriksaan neurofisiologi yang sensitif dapat
mengidentifikasi gangguan kognitif preklinik dan mengkateristikkan fungsi
kognitif dengan memori yang terganggu. Banyak faktor yang
mempengaruhi fungsi kognitif, seperti usia, genetik, tingkat sosiokultural,
intelligence quotients (IQ) dan pekerjaan. Disamping itu latar belakang
pendidikan memainkan peranan penting dalam melakukan penilaian
fungsi kognitif ( Paquay dkk. 2007).
Akibat gaya hidup rata – rata yang semakin meningkat terhadap
perawatan medis, maka terdapat keinginan yang semakin besar untuk
mengetahui faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup
pada usia lanjut. Usia berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif,
mekanisme yang mendasari hubungan antara usia dan fungsi kognitif
belum sepenuhnya diketahui. Namun usia yang dihubungkan dengan
inflamasi sepertinya memainkan peranan penting (Simen dkk. 2011).
Penelitian Hartmaeir SL. dkk. tahun 1995 didapatkan bahwa
Cognitive Performance Scale (CPS) menunjukkan persamaan yang
substansial dengan Mini Mental State Examination (MMSE) dalam
mengidentifikasi gangguan kognitif, dengan sensitifitas 94 (95%
confidence interval [CI]: .0,90 - 0,98) dan spesifisitas 94 (95% CI: 0,87–
0,96) dan akurasi diagnostik 0,96 (95% CI: 0,88 – 1,0) (Hartmaeir dkk.
1995).
Pemeriksaan CPS pada awalnya dibuat untuk menilai fungsi
kognitif pada orang yang dirawat dalam jangka waktu yang panjang di
berbagai tempat tinggal. Kemudian CPS ini juga digunakan pada populasi
yang mendapatkan perawatan di rumah. Pada penelitian Bula C.J. dan
Wietlisbach V. tahun 2009 didapatkan bahwa subjek dengan nilai CPS
yang abnormal, mempunyai resiko kematian yang meningkat. Dan
menariknya, subjek dengan nilai CPS abnormal mempunyai resiko
kematian yang meningkat hanya bila subjek tersebut mempunyai nilai
MMSE yang abnormal juga. Kombinasi CPS dan MMSE dapat
memberikan informasi prediksi tambahan dalam menilai fungsi kognitif
(Bula dkk. 2009).
Penelitian Jones dkk. tahun 2010 didapatkan bahwa nilai CPS
CPS dihubungkan dengan semakin meningkatnya gangguan fungsional
dan semakin meningkatnya prevalensi diagnosis demensia, dibandingkan
dengan nilai CPS yang rendah ( Jones dkk. 2010).
Penelitian Wellens dkk. tahun 2012 didapatkan bahwa skor rata –
rata MMSE berbeda secara signifikan antara grup dengan skor CPS yang
rendah dibandingkan dengan grup dengan skor CPS yang tinggi (p<0,05).
Dengan skor MMSE di bawah 24 menjadi gold standard, akurasi
diagnostik CPS didapati moderate (area under curve = 0,73) dengan
sensitifitas yang rendah, tapi spesifisitasnya memuaskan. Apabila cutoff
MMSE diturunkan menjadi kurang dari 18 dan terfokus pada pasien
dengan gangguan kognitif yang berat, maka sensitifitas CPS meningkat
tapi spesifitasnya menurun (Wellens dkk. 2012).
Penilaian gangguan kognitif dengan menggunakan CPS
mengklasifikasikannya menjadi 7 tingkat kemampuan kognitif yaitu mulai
dari nilai 0 (intak) sampai nilai 6 (gangguan fungsi kognitif sangat berat)
(Carpenter dkk. 2006).
Mini Mental State Examination (MMSE) kemungkinan merupakan
penilaian fungsi kognitif yang paling luas dipakai. Pada MMSE berbagai
domain yang dinilai meliputi orientasi waktu dan tempat, atensi, memori,
bahasa dan konstruksi visual. Dimana nilai maksimumnya adalah 30, yang
menunjukkan bahwa fungsi kognitifnya sangat baik. Dahulu skala CPS
tentang akurasi standar diagnostik yang membandingkan CPS dan MMSE
dengan gold standard yang telah digunakan (Paquay dkk. 2007).
Pada penelitian Tangalos E.G., dkk. tahun 1996 ditemukan bahwa
dengan cutoff score MMSE ≤ 23 memiliki sensitifitas 69% dan spesifisitas
99%. Penggunaan cutoff score yang spesifik sesuai usia dan pendidikan,
meningkatkan sensitifitas menjadi 82% tanpa penurunan spesifisitas
(Tangalos dkk. 1996).
The Cambridge Examination for Mental Disorders of the Elderly
(CAMDEX) merupakan suatu struktur interview dan pemeriksaan yang
terstandarisasi untuk mendiagnosa gangguan mental secara umum.
Pemeriksaan ini telah tervalidasi dalam berbagai bahasa. The Cambridge
Cognitive Examination (CAMCOG) merupakan bagian dari CAMDEX,
yang mengevaluasi gangguan fungsi kognitif. Pemeriksaan CAMCOG
merupakan uji klinis yang banyak digunakan dan dipertimbangkan sebagai
pengukuran yang sensitif untuk mendeteksi demensia pada tahap awal
(Moreira dkk. 2009).
Terdapat berbagai bentuk alternatif dari CAMCOG yaitu Revised
CAMCOG (CAMCOG-R), Rotterdam CAMCOG (R-CAMCOG) dan
General Practioner Assessment of Cognition (GPCOG).
Pada penelitian Brodaty dkk. tahun 2002 didapatkan bahwa
GPCOG reliable dan superior terhadap MMSE dengan sensitifitas 0,85
Pada penelitian Thomas dkk. tahun 2006 didapatkan bahwa
GPCOG dalam mendiagnosa demensia memiliki sensitifitas 96%,
spesifisitas 62% , positive predictive value 83% dan negative predictive
value 90%. Pemeriksaan GPCOG akurat dan merupakan instrumen yang
mudah diterima dalam melakukan skrining demensia (Thomas dkk. 2006).
Pada penelitian Ebell tahun 2009 didapatkan bahwa pemeriksaan
GPCOG memiliki sensitifitas 82% dan spesifitas 70% dengan cut-off point
≤ 7 (Ebell dkk. 2009).
I.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian–penelitian terdahulu seperti
yang telah diuraikan di atas dirumuskanlah masalah sebagai berikut :
Bagaimana perbandingan akurasi Cognitive Performance Scale
(CPS) dan Mini Mental State Examination (MMSE) terhadap General
Practioner Assessment of Cognition (GPCOG) untuk menilai gangguan
fungsi kognitif pada usia lanjut ?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan :
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan akurasi CPS dan MMSE terhadap
I.3.2. Tujuan Khusus
I.3.2.1. Untuk menilai fungsi kognitif usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti
Jompo Karya Kasih Medan dengan CPS, MMSE dan GPCOG.
I.3.2.2. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas CPS dalam menilai
gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti
Jompo Karya Kasih Medan.
I.3.2.3. Untuk mengetahui Nilai Duga Positif (NDP) atau Positive Predictive
Value (PPV) dan Nilai Duga Negatif (NDN) atau Negative Predictive
Value (NPV) CPS dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada
usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.
I.3.2.4. Untuk mengetahui Rasio Kemungkinan Positif (RKP) atau Positive
Likehood Ratio (LR +) dan Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) atau
Negative Likehood Ratio (LR -) CPS dalam menilai gangguan
fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya
Kasih Medan.
I.3.2.5. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas MMSE dalam
menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan
I.3.2.6. Untuk mengetahui Nilai Duga Positif (NDP) atau Positive Predictive
Value (PPV) dan Nilai Duga Negatif (NDN) atau Negative Predictive
Value (NPV) MMSE dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada
usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.
I.3.2.7. Untuk mengetahui Rasio Kemungkinan Positif (RKP) atau Positive
Likehood Ratio (LR +) dan Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) atau
Negative Likehood Ratio (LR -) MMSE dalam menilai gangguan
fungsi kognitif pada usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya
Kasih Medan.
I.3.2.8. Untuk mengetahui perbandingan akurasi CPS dan MMSE
terhadap GPCOG dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada
usia lanjut di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.
I.3.2.9. Untuk mengetahui karakteristik demografi usia lanjut di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai -
Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.
I.4. HIPOTESIS
Terdapat perbedaan akurasi CPS dan MMSE terhadap GPCOG
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian
selanjutnya dalam pengembangan untuk membuat skala yang lebih
baik lagi dalam menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut.
I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan
Dengan mengetahui perbandingan akurasi CPS dan MMSE dalam
menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut, maka diharapkan
penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk
menggunakan skala yang lebih tepat dalam menilai gangguan
fungsi kognitif pada usia lanjut dan dapat membuat keputusan klinis
pada pasien.
I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat
Dengan mengetahui perbandingan akurasi CPS dan MMSE dalam
menilai gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut maka dapat
diketahui skala mana yang lebih tepat dalam menilai gangguan
fungsi kognitif sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk
meningkatkan kewaspadaan dalam perawatan pasien dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. FUNGSI KOGNITIF
II.1.1. Definisi
Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar
seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi
kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan,
pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan,
menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub dkk. 2000).
II.1.2. Domain Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehavior PERDOSSI,
2008)
a. Atensi
Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau
memperhatikan satu stimulus dengan mampu mengabaikan
stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil
hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks
sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan
mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi
merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam
mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan
fungsi eksekutif.
b. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan
modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika
terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori
verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak
dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu :
1. Kelancaran
Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk
menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi
yang normal. Metode yang dapat membantu menilai
kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien
menulis atau berbicara secara spontan.
2. Pemahaman
Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk
memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan
dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
perintah tersebut.
3. Pengulangan
Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu
4. Penamaan
Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai
suatu objek beserta bagian-bagiannya.
Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal
maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi
otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa
karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi
neuroanatomi.
c. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan
penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses
mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga proses
tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi
dalam tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu
antara stimulus dengan recall, yaitu :
1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu
antara stimulus dengan recall hanya beberapa detik.
Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk
mengingat (attention)
2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama
yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.
3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya
Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan pasien. Istilah amnesia secara umum merupakan efek
fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah
brain insult disebut amnesia anterograd. Sedangkan amnesia
retrograd merujuk pada amnesia pada yang terjadi sebelum brain
insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah
memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan
memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas
sering mengalami kesulitan memori. Istilah amnesia psikogenik jika
amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan
tidak dijumpai defek pada recent memory.
d. Visuospasial
Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan
konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam
gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok.
Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus
parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan.
Menggambar jam sering digunakan untuk skrining
kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan
dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.
e. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu
persoalan baru. Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan
suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan
/ mencari jalan keluar suatu persoalan.
II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif
Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri
dalam menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut
sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus
talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus,
formasio hipokampus dan korpus mamilare. Alveus, fimbria, forniks,
traktus mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras
penghubung sistem ini (Waxman, 2007).
Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran,
motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin dan aktivitas otonom. Struktur otak
berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik
1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada
hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan
tidak sadar, dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar
emosi pada saat sadar.
2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka
panjang, pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses
3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori
spasial.
4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung,
tekanan darah dan kognitif yaitu atensi.
5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary
bodies dan septal nuclei. Adapun forniks berperan dalam
memori dan pembelajaran.
6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui
produksi dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut
jantung, lapar, haus, libido dan siklus tidur / bangun, perubahan
memori baru menjadi memori jangka panjang.
7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon
membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus
sebagai pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks
serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat
pengaturan fungsi kognitif di otak / sebagai stasiun relay ke
korteks serebri.
8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan
pembelajaran.
9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.
10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan
Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara
lain :
1. Lobus frontalis
Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian,
bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa
dan sintesis. Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan
sebagai bagian sistem limbik, karena banyaknya koneksi
anatomik dengan struktur limbik dan adanya perubahan emosi
bila terjadi kerusakan.
2. Lobus parietalis
Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan
visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual,
auditori, taktil) dari area sosiasi sekunder. Karena menerima
input dari berbagai modalitas sensori sering disebut korteks
heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensorik (cross
modal association). Sehingga manusia dapat menghubungkan
input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau
pegang.
3. Lobus temporalis
Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran,
penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan
4. Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer,
visuospasial, memori dan bahasa (Markam, 2003).
II.2. TES UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF
II.2.1. Cognitive Performance Scale (CPS)
Pemeriksaan Cognitive Performace Scale ini pertama sekali
diperkenalkan oleh Morris pada tahun 1994, dengan 5 bentuk
pengukuran. Dimana bentuk – bentuk pengukuran tersebut meliputi status
koma (comatose status), kemampuan dalam membuat keputusan
(decision making), kemampuan memori (short – term memory), tingkat
pengertian (making self understood) dan makan (eating). Tiap kategori
dibagi dalam 7 grup, dimana pada skala nol (0) dinyatakan intact sampai
skala enam (6) dinyatakan sebagai gangguan fungsi kognitif yang sangat
berat (very severe impairment). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa
CPS memberikan penilaian fungsi kognitif yang akurat dan penuh arti
pada populasi dalam suatu institusi (Hartmaier dkk. 1995 ).
Skor CPS didasarkan pada :
(a) Apakah seseorang itu koma
(b) Kemampuannya dalam membuat keputusan
(c) Kemampuannya untuk membuat dirinya sendiri mengerti
(d) Apakah terdapat gangguan pada short-term memory atau
(e) Apakah terdapat ketergantungan dalam self performance dalam
hal makan (eating)
Skor CPS :
(a) Nol : jika tidak terdapat gangguan dalam kemampuan membuat
keputusan, membuat dirinya sendiri mengerti dan recent
memory.
(b) Satu : jika terdapat satu dari kriteria di bawah ini
(i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified
independence atau moderately impared
(ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri
mengerti, biasanya, kadang – kadang, jarang/tidak pernah
mengerti atau
(iii) Terdapat gangguan recent memory
(c) Dua : jika terdapat dua dari kriteria di bawah ini
(i) Apabila kemampuan dalam membuat keputusan modified
independence atau moderately impared
(ii) Apabila kemampuan untuk membuat dirinya sendiri
mengerti, biasanya, kadang – kadang, jarang/tidak pernah
mengerti atau
(d) Tiga : jika terdapat paling tidak dua dari kriteria (b) dan satu dari
kriteria di bawah ini
(i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately
impaired atau
(ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti,
kadang – kadang atau jarang/tidak pernah mengerti
(e) Empat : jika kedua kriteria berikut terpenuhi
(i) Kemampuan dalam membuat keputusan moderately
impaired dan
(ii) Kemampuan untuk membuat dirinya sendiri mengerti,
kadang – kadang atau jarang/tidak pernah mengerti
(f) Lima : jika kemampuan membuat keputusan severely impaired
(g) Enam : jika satu dari kriteria berikut terpenuhi
(i) Kemampuan dalam membuat keputusan severely impaired
dan terdapat ketergantungan penuh dalam hal makan atau
(ii) Keadaan koma
Kemampuan dalam membuat keputusan maksudnya adalah kemampuan
membuat keputusan setiap hari tentang tugas atau aktivitas hidup
sehari-hari, dibagi atas 4 yaitu :
a. Independent : keputusan tentang rutinitas sehari-hari konsisten
b. Modified independence : aktivitas sehari-hari terorganisir, mampu
membuat keputusan dalam situasi yang sudah biasa namun terdapat
kesulitan dalam membuat keputusan apabila dihadapkan dengan tugas
atau situasi yang baru.
c. Moderately impaired : dibutuhkan peringatan, isyarat dan
pengawasan dalam merencanakan dan memperbaiki rutinas sehari-hari.
d. Severely impaired : pengambilan keputusan sangat terganggu,
tidak pernah/sangat jarang membuat keputusan.
Kemampuan membuat dirinya sendiri mengerti dibagi atas 4, yaitu :
a. Mengerti : dapat menyatakan ide secara jelas.
b. Biasanya mengerti : terdapat kesulitan dalam menemukan kata
yang tepat dalam berkomunikasi sehingga responnya terlambat.
c. Kadang–kadang mengerti : terdapat kemampuan yang terbatas
tetapi dapat menyatakan permintaan yang berhubungan dengan
kebutuhan dasar (seperti makanan, minuman, tidur, toilet).
d. Jarang/tidak pernah mengerti: terdapat bunyi atau bahasa tubuh
yang spesifik yang dimengerti secara terbatas oleh orang yang merawat
II.2.2. Mini Mental State Examination ( MMSE)
Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya
dikembangkan untuk skrining demensia, namun sekarang digunakan
secara luas untuk pengukuran fungsi kogntif secara umum. Pemeriksaan
MMSE kini adalah instrumen skrining yang paling luas digunakan untuk
menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut (Kochhann dkk.
2009, Burns dkk. 2002).
Sebagai satu penilaian awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang
paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah
tes yang paling sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal
30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognitif, menetapkan data
dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu tertentu. Skor
MMSE normal 24 – 30. Bila skor kurang dari 24 mengindikasikan
gangguan fungsi kognitif (Folstein dkk. 1975, Asosiasi Alzheimer
Indonesia, 2003).
Pada penelitian MMSE di Medan, yang dilakukan pada 473 orang
sehat dengan rentang usia 16 – 75 tahun dan dengan berbagai latar
belakang pendidikan dan pekerjaan didapatkan nilai yang berbeda untuk
Tabel 1. Nilai MMSE berdasarkan usia
Dikutip dari : Sjahrir H.,Ritarwan K.,Tarigan S.,Rambe AS., Lubis ID., Bhakti I. The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level. Neurol J Southeast Asia.2001;6:19-22.
Tabel 2. Nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan
[image:40.595.123.499.510.662.2]Pada penelitian Sjahrir, 2001, tabel 1 menunjukkan median, kuartil
atas dan kuartil bawah skor MMSE sesuai usia dan pada tabel 2
menunjukkan median, kuartil atas dan kuartil bawah skor MMSE sesuai
dengan tingkta pendidikan. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan
yang signifikan antara usia dan skor MMSE namun terdapat hubungan
antara skor MMSE dengan tingkat pendidikan, dimana skor yang semakin
tinggi ditemukan pada subjek dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
juga, dengan nilai korelasi +0.36, p < 0,05. Namun pada penelitian ini
ditemukan perbedaan yang tidak signifikan antara skor MMSE dengan
jenis kelamin. Skor MMSE rata-rata untuk pria 27,0 dan wanita 26,8
(Sjahrir dkk. 2001).
Instrumen ini disebut “mini” karena hanya fokus pada aspek kognitif
dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood,
fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State
Examination (MMSE) menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang
dan waktu, working and immediate memory, atensi dan kalkulasi,
penamaan benda, pengulangan kalimat, pelaksanaan perintah,
pemahaman dan pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan
pelaksanaan perintah verbal, perencanaan dan praksis. Instrumen ini
direkomendasikan sebagai screening untuk penilaian kognitif global oleh
American Academy of Neurology (AAN) (Kochhann dkk. 2010).
Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) dijadikan
umum MMSE berkorelasi baik dengan berbagai pemeriksaan fungsi
kognitif lainnya. Nilai cut-off yang bervariasi menyokong nilai sensitifitas
dan spesifisitas yang maksimal pada populasi yang berbeda. Skor nya
dapat mengalami bias oleh karena dasar tingkat pendidikan, bahasa dan
kultur, yang mana pasien dengan tingkat pendidikan yang rendah dapat
diklasifikasikan sebagai demensia dan pasien lainnya dengan tingkat
pendidikan yang tinggi dapat terlupakan. Skor ≤ 23 dengan tingkat
pendidikan sampai high school, dan skor ke ≤ 25 dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi sering kali digunakan sebagai indikasi
terdapat gangguan fungsi kognitif secara signifikan. Nilai MMSE secara
umum menurun seiring dengan pertambahan usia. Meskipun skor rata –
rata yang rendah pada orang usia lanjut dapat mengakibatkan prevalensi
demensia yang semakin meningkat pada kelompok usia lanjut. Skor 30
tidak selalu berarti fungsi kognitifnya normal dan skor 0 tidak berarti
secara mutlak bahwa fungsi kognitifnya tidak ada (Woodford dkk. 2007).
II.2.3. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG)
Pemeriksaan General Practitioner Assessment of Cognition
(GPCOG) merupakan salah satu bentuk dari Cambridge Cognitive
(CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG merupakan bagian tersendiri untuk
pemeriksaan fungsi kognitif dari Cambridge Examination for Mental
Disoreders of the Elderly (CAMDEX). Cambridge Cognitive (CAMCOG)
tingkat demensia dan untuk menilai tingkat gangguan kognitif. Pengukuran
ini menilai orientasi, bahasa, memori, atensi, kemampuan berpikir abstrak,
persepsi dan kalkulasi. Akibat adanya berbagai bentuk CAMCOG untuk
menilai fungsi kognitif dalam berbagai tingkat kesulitan maka salah satu
kelebihannya adalah kemampuannya untuk mendeteksi gangguan kognitif
yang ringan (Burns dkk. 2002, Huppert dkk. 1995).
Pemeriksaan GPCOG ini dipublikasi tahun 2002, yang terdiri 9 item
cognitive dan 6 item informasi, yang diperoleh dari Cambridge Cognitive
Examination, Psychogeriatric Assesssment Scale. General Practitioner
Assessment of Cognition (GPCOG) memerlukan waktu 4 – 5 menit dalam
melakukan penilaian dan memiliki akurasi diagnostik yang sama dengan
MMSE dalam mendeteksi demensia (Brodaty dkk. 2002).
Bentuk CAMCOG lainnya yaitu Revised CAMCOG (CAMCOG-R)
dan Rotterdam CAMCOG (R-CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG-R
dipublikasi pada tahun 1999 oleh Roth, Huppert, Mountjoy dan Tym.
Revised CAMCOG (CAMCOG-R) meningkatkan kemampuan menilai
dalam menentukan berbagai bentuk demensia dan untuk membuat
diagnosa klinis yang berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV. Sedangkan
R-CAMCOG dipublikasikan tahun 2000, R-R-CAMCOG merupakan versi yang
lebih singkat dari CAMCOG yang terdiri dari 25 item. Diperlukan 10 – 25
menit dalam melakukan penilaian ini dan sama akuratnya dengan
II.4. KERANGKA TEORI
GPCOG
MMSE
CPS
FUNGSI KOGNITIF
Jones K.dkk (2010) Skor CPS yang semakin tinggi berhubungan dengan gangguan fungsional dan demensia yang semakin besar dibandingkan dengan skor CPS yang lebih rendah.
Bula CJ. dkk (2009) Pasien dengan CPS abnormal memiliki resiko kematian yang semakin tinggi hanya apabila disertai dengan nilai MMSE yang abnormal juga.
Wellens dkk (2012) Skor MMSE<24 memiliki nilai akurasi CPS yang moderate dengan sensitivitas yang rendah dan spesifitas yang memuaskan, namun skor MMSE<18 memiliki skor CPS dengan sensitivitas yang tinggi dan spesifitas yang rendah.
Paquay dkk (2007) Skala CPS dihubungkan erat dengan skor MMSE,meskipun tidak ada studi tentang akurasi standar diagnostik yang membandingkan CPS dan MMSE dengan gold standard yang telah digunakan.
Brodaty dkk. tahun 2002 didapatkan bahwa GPCOGreliable dan superior terhadap MMSE dengan sensitifitas 0,85 dan spesifitas 0,86.
Usia lanjut
II.5. KERANGKA KONSEP
Usia lanjut
MMSE
CPS
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak
Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan dari
11 s/d 18 September 2013.
III.2. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian diambil dari populasi UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo
Karya Kasih Medan. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut
metode sampling non random secara konsekutif.
III.2.1. Populasi Sasaran
Semua populasi yang berusia ≥ 60 tahun yang memenuhi kriteria
inklusi.
III.2.2. Populasi Terjangkau
Semua populasi yang berusia ≥ 60 tahun yang memenuhi kriteria
inklusi yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak
Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih
III.2.3. Besar Sampel
Dihitung dengan rumus : (Dahlan, 2009)
N = Zα 2
d
sen (1-sen)
2
Dimana :
P
N = besar sampel
sen = sensitifitas yang diinginkan dari indeks, ditetapkan peneliti
d = presisi penelitian
Zα = deviat baku alpha
ditetapkan sebesar 5% → Zα = 1,96
P = prevalensi penyakit
Sehingga
N = 1,962
0,1
x 0,81 x 0,19
2
N = 78,82
x 0,75
Dibutuhkan sampel minimal 80 sampel
III.2.4. Kriteria Inklusi
1. Usia 60 tahun ke atas
2. Dapat berbahasa Indonesia
3. Dapat membaca dan menulis
4. Memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian
III.2.5. Kriteria Eksklusi
III.3. BATASAN OPERASIONAL
1. Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas. Menurut WHO, usia lanjut dibagi atas :
a. usia lanjut (elderly) yaitu usia 60 - 74 tahun
b. lanjut usia tua (old) yaitu usia 75 – 90 tahun
c. usia sangat tua (very old) yaitu usia lebih dari 90 tahun (Nugroho,
2012)
2. Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti
berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif
juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan,
pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti
merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi (Strub
dkk. 2000).
3. Cognitive Performance Scale (CPS) merupakan suatu pengukuran
fungsi kognitif yang pertama sekali diperkenalkan oleh Morris pada
tahun 1994, dengan 5 bentuk pengukuran. Dimana bentuk – bentuk
pengukuran tersebut meliputi status koma (comatose status),
kemampuan dalam membuat keputusan (decision making),
kemampuan memori (short – term memory), tingkat pengertian
(making self understood) dan makan (eating). Tiap kategori dibagi
dalam 7 grup, dimana pada skala nol (0) dinyatakan intact sampai
skala enam (6) dinyatakan sebagai gangguan fungsi kognitif yang
4. Mini Mental State Examination (MMSE) adalah suatu pengukuran
kognitif yang pertama kali diperkenalkan oleh Folstein. Skor mulai dari
0 sampai 30 (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
5. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) merupakan
salah satu bentuk dari CAMCOG, yang terdiri 9 item cognitive dan 6
item informasi, yang diperoleh dari Cambridge Cognitive Examination,
Psychogeriatric Assesssment Scale (Brodaty dkk. 2002).
6. Penderita dengan gangguan kesadaran adalah penderita dengan
tingkat kesadaran confusion (apatis), somnolen, sopor, dan koma
(Thefee dictionary, 2011).
III.4. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan metode
pengambilan data secara potong lintang dengan sumber data primer yang
diperoleh dari semua populasi laki – laki dan perempuan yang berusia ≥
60 tahun yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak
Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan.
III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN
III.5.1. Instrumen
- Cognitive Performance Scale (CPS)
- Mini Mental State Examination (MMSE)
III.5.2. Pengambilan Sampel
Semua populasi yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih
Medan, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, mengisi
kuisoner, dilakukan pemeriksaan CPS, MMSE dan GPCOG, kemudian
menandatangani surat persetujuan ikut penelitian.
Penilaian gangguan fungsi kognitif berdasarkan cut-off point
penelitian Paquay dkk., 2007, dimana untuk CPS ≥ 2 , MMSE ≤ 23
mengalami gangguan kognitif. Sedangkan cut-off point untuk GPCOG
bredasarkan penelitian Ebell M,2009, dimana untuk GPCOG ≤ 7
III.5.3. Kerangka Operasional
Pasien usia lanjut di
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti JompoKarya Kasih Medan.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Kriteria Inklusi
Kriteria eksklusi
CPS, MMSE
dan
GPCOG
Analisa data
III.5.4. Variabel Yang Diamati
Variabel bebas : CPS, MMSE
Variabel terikat : GPCOG
III.5.5. Analisa Statistik
Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan
bantuan program komputer . Analisa dan penyajian data dilakukan
sebagai berikut :
III.5.5.1. Analisa deskriptif digunakan untuk melihat karakteristik subjek
penelitian.
III.5.5.2. Untuk mengetahui nilai akurasi CPS terhadap GPCOG dalam
menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo
Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.
III.5.5.3. Untuk mengetahui nilai akurasi MMSE terhadap GPCOG dalam
menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo
Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.
III.5.5.4. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifitas CPS dalam menilai
fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut
Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya
III.5.5.5. Untuk mengetahui Nilai Duga Positif (NDP) dan Nilai Duga
Negatif (NDN) CPS dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai -
Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.
III.5.5.6. Untuk mengetahui Rasio Kemungkinan Positif (RKP) dan Rasio
Kemungkinan Negatif (RKN) CPS dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut
yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan
uji diagnostik.
III.5.5.7. Untuk mengetahui sensitifitas dan spesifitas MMSE dalam
menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo
Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.
III.5.5.8. Untuk mengetahui Nilai Duga Positif (NDP) dan Nilai Duga
Negatif (NDN) MMSE dalam menilai fungsi kognitif usia lanjut yang tinggal
di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai -
Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan uji diagnostik.
III.5.5.9. Untuk mengetahui Rasio Kemungkinan Positif (RKP) dan Rasio
Kemungkinan Negatif (RKN) MMSE dalam menilai fungsi kognitif usia
lanjut yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya Kasih Medan digunakan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. HASIL PENELITIAN
IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Dari keseluruhan populasi yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo
Karya Kasih Medan terdapat 80 orang subjek usia lanjut yang memenuhi
kriteria inklusi sehingga diikutkan dalam penelitian ini. Subjek terdiri dari
35 (43,75%) tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Wilayah Binjai – Medan dan 45 (56,25%) tinggal di Panti Jompo Karya
Kasih Medan.
Dari 80 orang subjek usia lanjut yang dianalisa, terdiri dari 34 laki -
laki (42,5%) dan 46 perempuan (57,5%). Usia terbanyak adalah usia 60 –
74 tahun yaitu sebanyak 50 orang (62,5%). Suku terbanyak adalah suku
Jawa yaitu 30 orang (37,5%). Lama pendidikan terbanyak adalah 0-6
tahun sebanyak 29 orang (36,3%). Dari 80 subjek penelitian, mayoritas
memiliki faktor resiko hipertensi yaitu sebanyak 23 orang (28,75%).
Hasil pemeriksaan fungsi kognitif terhadap 80 orang subjek
penelitian didapati yang mengalami gangguan fungsi kognitif berdasarkan
penillaian dengan menggunakan MMSE berjumlah 50 orang (62,5%)
dengan cut-off point ≤ 23, dengan menggunakan CPS berjumlah 41
GPCOG berjumlah 44 orang (55%) dengan cut-off point ≤7. Data lengkap
[image:55.595.122.515.196.735.2]mengenai karakteristik subjek penelitian ini disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik subjek penelitian
n %
Usia
60-74 tahun 50 62,50
75-90 tahun 29 36,25
>90 tahun 1 1,25
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 34 46 42,50 57,50 Suku Banten Batak Cina Jawa NTT Pendidikan SD SLTP SLTA Akademi Perguruan Tinggi 2 19 28 30 1 29 28 19 1 3 2,50 23,80 35,00 37,50 1,30 36,30 35,00 23,80 1,30 3,80 Faktor Resiko Hipertensi DM Jantung Stroke Dislipidemia Merokok Lain-lain Nilai
CPS < 2 CPS ≥ 2 MMSE >23 MMSE ≤ 23 GPCOG >7 GPCOG ≤ 7
IV.1.2. Diagnostik CPS terhadap GPCOG
Dari penelitian ini didapatkan bahwa CPS memiliki sensitifitas 0,84,
spesifisitas 0,88, Nilai Duga Positif 0,90, Nilai Duga Negatif 0,82, Rasio
Kemungkinan Positif 7, Rasio Kemungkinan Negatif 0,18 dan akurasi
0,86. Data lengkap mengenai nilai diagnostik CPS terhadap GPCOG
[image:56.595.107.518.328.504.2]dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil Penelitian Diagnostik CPS terhadap GPCOG GPCOG
Total Positif
≤7 Negatif >7 CPS Positif
≥2 37 4 41
Negatif <2
7 32 39
44 36 80
Analisa dengan uji diagnostik
Sensitifitas = a : (a+c)
= 37 : 44 = 0,84
Spesifisitas = d : (b+d)
= 32 : 36 = 0,88
Nilai Duga Positif = a : (a+b)
= 37 : 41 = 0,90
Nilai Duga Negatif = d : (c+d)
= 32 : 39 = 0,82
Rasio Kemungkinan Positif = sensitifitas : (1-spesifisitas)
Rasio Kemungkinan Negatif = (1-sensitifitas) :spesifisitas
= (1- 0,84) : 0,88 = 0,18
Akurasi = (a+d) / N
= (37+32) / 80
= 69/80 = 0,86
IV.1.3. Diagnostik MMSE terhadap GPCOG
Dari penelitian ini didapatkan bahwa MMSE sensitifitas 0,90,
spesifisitas 0,72, Nilai Duga Positif 0,80, Nilai Duga Negatif 0,86, Rasio
Kemungkinan Positif 3,21, Rasio Kemungkinan Negatif 0,13 dan akurasi
0,82. Data lengkap mengenai nilai diagnostik CPS terhadap GPCOG
[image:57.595.108.518.446.620.2]dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil Penelitian Diagnostik MMSE terhadap GPCOG GPCOG
Total Positif
≤7 Negatif >7 MMSE Positif
≤23 40 10 50
Negatif >23
4 26 30
44 36 80
Analisa dengan uji diagnostik
Sensitifitas = a : (a+c)
= 40 : 44 = 0,90
Spesifisitas = d : (b+d)
Nilai Duga Positif = a : (a+b)
= 40 : 50 = 0,80
Nilai Duga Negatif = d : (c+d)
= 26 : 30 = 0,86
Rasio Kemungkinan Positif = sensitifitas : (1-spesifisitas)
= 0,90 : (1-0,72) = 3,21
Rasio Kemungkinan Negatif = (1-sensitifitas) :spesifisitas
= (1-0,90) : 0,72 = 0,13
Akurasi = (a+d) / N
= (40+26) / 80
= 66/80 = 0,82
Dari hasil perhitungan di atas didapati akurasi CPS 0,86 dan MMSE 0,82.
Untuk menilai perbedaan akurasi antara CPS dan MMSE apakah
bermakna atau tidak, maka perlu dicari nilai p. Dalam mencari nilai p,
sebelumnya harus dicari terlebih dahulu nilai Z, yang diperoleh dari
perhitungan sebagai berikut :
Z = p – P √P.Q/N
= 0,86 – 0,82
√ 0,82 . 0,18/80
Z = 0,93124
p = 0,323
sehingga disimpulkan bahwa terdapat perbedaan akurasi yang tidak
IV.2. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan tujuan
untuk melihat perbandingan akurasi diagnostik antara CPS dan MMSE
terhadap GPCOG dalam menilai fungsi kognitif pada usia lanjut.
Pada penelitian ini populasi yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo
Karya Kasih Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan
pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan CPS dan MMSE dan
GPCOG.
Pada penelitian ini dari 80 orang subjek penelitian ditemukan usia
subjek yang terbanyak adalah usia 60 – 74 tahun (62,5%) dan jumlah
perempuan lebih banyak yaitu 46 orang (57,5%) dibandingkan pria yang
berjumlah 34 0rang (42,5%). Hal ini sesuai dengan data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 yang mendapatkan bahwa jumlah usia
lanjut yang berusia 60 tahun atau lebih ada sekitar 10 % dari seluruh
populasi dan dari antara yang berusia lanjut ditemukan jumlah perempuan
lebih banyak dibandingkan laki – laki. Hal ini disebabkan angka harapan
hidup perempuan lebih tinggi daripada laki – laki. Hal ini sesuai dengan
penelitian Carpenter tahun 2006 tentang gangguan kognitif dimana dari
seluruh subjek penelitiannya, ditemukan bahwa jumlah perempuan lebih
banyak dibandingkan laki – laki. Penelitian Zhang Z, 2006, pada penduduk
China yang berusia lanjut ditemukan juga bahwa perempuan memiliki
dengan pria. Menurut penelitian Sjahrir, 2001, ditemukan bahwa semakin
meningkatnya usia, maka fungsi kognitifnya akan semakin menurun. Hal
ini sesuai dengan Berg, 2006, yang menyatakan bahwa semakin tinggi
usia maka fungsi kognitif juga semakin menurun. Hal ini diakibatkan
[image:60.595.111.517.289.388.2]penurunan volume otak, terjadinya white matter lesion dan brain infarct.
Tabel 6. Perbandingan nilai MMSE berdasarkan usia
Usia Median scores
Sjahrir Tedjasuk Crum Bleecker Sibarani (n=473) (n=204) (n=18.056) (n=194) (n=80) (n=80)
>60 21 26 27 29 23
Perbandingan nilai median MMSE berdasarkan usia, antara
penelitian ini dibandingkan dengan 4 penelitian lainnya ditemukan bahwa
nilai median MMSE tertinggi ditemukan pada penelitian Bleecker dan nilai
median terendah ditemukan pada penelitian Sjahrir.
Tingkat pendidikan yang terbanyak pada penelitian ini adalah
Sekolah Dasar (SD) yaitu 29 orang (36,3%) diikuti Sekolah Lanjut Tingkat
Pertama (SLTP) 28 orang (35,0%) kemudian Sekolah Lanjut Tingkat Atas
(SLTA) 19 orang (23,8%) dan Perguruan Tinggi 3 orang (3,8%) serta
Akademi 1 orang (1,3%). Dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan
rata-rata subjek lanjut usia yang tinggal di UPT Pelayanan Sosial Lanjut
Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai - Medan dan Panti Jompo Karya
2003, menemukan bahwa tingkat pendidikan yang rendah berhubungan
secara signifikan dengan fungsi kognitif yang rendah juga. Menurut
Sjahrir, 2001, menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka
nilai MMSE juga semakin tinggi. Menurut Kochhann R, 2009, menemukan
pendidikan dan usia berhubungan dengan skor MMSE, dimana individu
yang pendidikan yang tinggi dan usia yang lebih muda mempunyai skor
MMSE yang lebih tinggi. Kierzynka, 2011, menemukan bahwa tingkat
pendidikan yang rendah berhubungan dengan hasil tes fungsi kogniitif
yang buruk. Yaffe, 2011, pada penelitian fungsi kognitif wanita usia tua
mendapatkan bahwa gangguan kognitif lebih sering dijumpai pada wanita
[image:61.595.109.518.452.570.2]dengan pendidikan yang rendah.
Tabel 7. Perbandingan nilai MMSE berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan Median scores
Sjahrir Tedjasuk Crum Sibarani (n=473) (n=204) (n=18.056) (n=80) 0-6 tahun 24 26 22 21 7-9 tahun 26 29 26 23 10-12 tahun 26 29 29 26 >12 tahun 28 30 29 24
Perbandingan nilai median MMSE berdasarkan tingkat pendidikan
pada penelitian ini dibandingkan dengan 3 penelitian lainnya ditemukan
bahwa umumnya apabila tingkat pendidikan semakin tinggi, maka nilai
median MMSE juga akan semakin meningkat juga. Namun nilai median
MMSE untuk lama pendidikan >12 tahun pada penelitian inii, ditemukan
pendidikan 10-12 tahun. Hal ini kemungkinan diakibatkan pada penelitian
ini, jumlah subjek yang menjalani pendidikan >12 tahun hanya 4 subjek
dan keempat subjek tersebut mempunyai nilai MMSE yang sangat
bervariasi.
Pada penelitian ini dari 80 orang subjek penelitian ditemukan suku
subjek penelitian yang terbanyak adalah suku Jawa 30 orang (37,5%)
diikuti suku Cina 28 orang (35%), suku Batak 19 orang (23,8%), suku
Banten 2 orang (2,5%) dan suku NTT 1 orang (1,3%).
Berbagai faktor resiko diduga berhubungan dengan fungsi kognitif.
Pada penelitian ini terdapat faktor resiko hipertensi, diabetes melitus,
penyakit jantung, stroke, merokok dan dislipidemia. Dari berbagai faktor
resiko tersebut yang terbanyak adalah hipertensi yaitu 23 orang (28,75%)
dan yang kedua adalah diabetes melitus yaitu 18 orang (22,5%). Hal ini
sesuai dengan penelitian Reitz, 2007, menemukan bahwa riwayat
hipertensi berhu