• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagram alir kerja penelitian 9 2 Ekstraksi angkak

perlakuan 11 10 Pengaruh pemberian angkak terhadap kadar urea darah

1 Diagram alir kerja penelitian 9 2 Ekstraksi angkak

3 Pembuatan sediaan histopatologi ... 21

4 Pewarnaan Hematoksilin Eosin. ... 22

5 Prosedur pengukuran aktivitas AST (Aspartat Amino Transferase) ... 23

6 Prosedur pengukuran aktivitas ALT (Alanin Amino Transferase) ... 23

7 Prosedur pengukuran konsentrasi urea darah ... 24

8 Bobot badan tikus Sprague-Dawley selama adaptasi dan perlakuan ... 25

9 Aktivitas enzim ALT ... 26

10 Aktivitas enzim AST ... 27

11 Kadar urea darah ... 28

12 Analisis data statistik ... 29

PENDAHULUAN

Pemanfaatan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk melalui fermentasi sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Awalnya fermentasi banyak digunakan untuk memproduksi makanan dan minuman seperti roti, minuman beralkohol, tape, dan lain-lain. Saat ini, selain untuk memproduksi makanan dan minuman, teknologi fermentasi juga banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan senyawa- senyawa yang merupakan metabolit primer maupun sekunder. Senyawa yang dihasilkan tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda, salah satunya sebagai senyawa obat.

Angkak adalah produk fermentasi beras oleh kapang galur Monascus sp. tertentu. Angkak dikenal dengan nama yang berbeda di beberapa negara, misalnya hong-qu (Cina), bheni-koji, aga koji, red koji (Jepang), red fermented rice atau red yeast rice (Inggris), ang-quac, Zhi Tai, Xue Zhi Kang dan anka. Angkak menghasilkan beberapa pigmen antara lain merah, kuning dan ungu (Suwanto 1985). Pigmen yang dihasilkan mempunyai kestabilan yang lebih baik bila disimpan pada pH yang netral maupun alkali. Selain itu, angkak juga menghasilkan metabolit sekunder yaitu monakolin K atau lovastatin yang dapat meningkatkan sirkulasi darah serta menurunkan biosintesis kolesterol pada penderita penyakit jantung dan komplikasi lain dari arterosklerosis.

Angkak sudah digunakan secara luas di negara-negara Asia terutama Cina, Jepang, Taiwan, Thailand dan Filipina sebagai pewarna alami, yang memberikan warna merah yang menarik dan sedikit aroma pada produk-produk fermentasi tertentu, seperti minuman anggur merah, keju kedelai merah pasta ikan, dan kecap ikan (Hesseltine 1979). Angkak juga digunakan sebagai bahan dalam pengawetan daging, mempertahankan kualitas daging dan ikan karena adanya aktivitas antibakteri yaitu dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan perusak berspora seperti Bacillus cereus dan Bacillus stearothermophilus. (Wong & Koehler 1981). Selain itu digunakan dalam berbagai kepentingan medis misalnya mengobati beberapa penyakit yaitu asma, masalah pencernaan (diare, desentri), mabuk laut, luka memar, obat anti ngompol, serta meningkatkan jumlah trombosit penderita penyakit demam berdarah (Wong & Koehler 1981).

Kapang yang mampu menghasilkan pigmen merah gelap hanya kapang dari Monascus sp. Beberapa galur yang dapat

memproduksi pigmen tersebut adalah M

purpureus, M. angka, M. barkeri, M. major, serta M. rubroprunctus (Carels & Shepherd 1977). Akan tetapi, tidak semua Monascus sp sesuai untuk memproduksi angkak. Dari berbagai spesies ini, yang paling sering

digunakan ialah Monascus purpureus

(Hesseltine 1965).

Penggunaan angkak semakin berkembang di masyarakat, terutama untuk kepentingan medis. Akan tetapi, toksisitas dan efektivitas angkak masih perlu diteliti. Penggunaan angkak untuk berbagai keperluan harus diteliti toksisitasnya secara serius terutama pengaruhnya terhadap metabolisme di dalam tubuh. Obat yang digunakan untuk jangka panjang harus aman, jadi harus lolos uji toksisitas akut, subkronis dan kronis terhadap binatang percobaan. Angkak dinyatakan sebagai senyawa obat yang aman dikonsumsi oleh masyarakat. Akan tetapi, senyawa- senyawa yang mungkin berbahaya di dalam angkak yang menimbulkan efek samping bahkan adanya gejala keracunan belum banyak diteliti. Selain itu pengaruh angkak terhadap perubahan fungsi organ-organ tubuh belum banyak diketahui.

Penelitian toksisitas angkak sebelumnya mengunakan metode injeksi peritoneal tikus putih menunjukkan bahwa angkak mempunyai nilai Lethal Dose 50 (LD50) sebesar 7 gram/kg berat badan (BB), serta dalam uji keracunan subakut tidak menimbulkan gejala yang abnormal pada organ tubuhnya (Steinkraus 1983). Tetapi menurut Su dan Wong (1977), mengkonsumsi angkak dengan dosis 18 gram/kg BB secara oral tidak menyebabkan kematian dan tidak menyebabkan keracunan, dilihat dari uji kecepatan pertumbuhan, efisiensi protein, DNA dan RNA.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan toksisitas akut angkak pada tikus putih galur Sprague-Dawley yang dilanjutkan dengan analisis biokimia dan analisa histopatologis terhadap organ hati dan ginjal untuk memastikan tingkat keamanan angkak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dosis aman bagi tubuh.

TINJAUAN PUSTAKA

Produksi Angkak

Angkak berasal dari negara China. Pembuatan pertama pada masa Dinasti Tang, 800 M. Gambaran yang lengkap dan rinci tentang produksi angkak ditemukan pada

farmakopedia Cina kuno (The Ancient

Chinese Pharmacopoeia), Ben Coo Gang Mu dan Shi Bu Yi, telah mempublikasikan angkak sebelum Dinasti Ming (1364-1644 M). Berabad-abad yang lalu, angkak digunakan untuk mewarnai dan memberikan aroma pada makanan (John & Stuart 1991; Chen and John 1993).

Pigmen merah angkak terbentuk karena keluarnya cairan granular melewati ujung- ujung hifa M. purpureus. Ketika kultur masih muda, cairan ekstrusinya tidak berwarna, tetapi secara bertahap terjadi perubahan menjadi kemerahan. Hal ini terjadi karena pada waktu kultur masih muda, semua nutrisi dipakai untuk pertumbuhan dan setelah dewasa sebagian nutrisi digunakan untuk membentuk pigmen angkak (Carels & Shepherd 1977). Komponen utama dari pigmen yang dihasilkan oleh M. purpureus adalah rubropunktatin (merah), monaskorubrin (merah), monaskin (kuning), ankaflavin (kuning), dan rubropunktamin (ungu) Suwanto (1985) dan Maolinang et al (2001).

Kondisi fermentasi yang berpengaruh terhadap pigmen yang dihasilkan sudah dipelajari secara menyeluruh. Misalnya optimum pada suhu 30 ºC, pH 6, fermentasi selama 9 sampai 10 hari, kecepatan aerasi 1.5 rpm, dan kecepatan agitasi 300 rpm (Su 1978; Wong et al. 1982; Lin & Demain 1991; Chen & John 1993). Pigmen dari M. purpureus sangat stabil dan cocok untuk digunakan sebagai bahan tambahan makanan (Fink- Gremmels et al. 1991; Fabre et al. 1993; Juzvola et al. 1996).

Angkak juga mengandung metabolit yang digunakan untuk kepentingan medis yaitu Monakolin K atau Lovastatin (Juzvola et al. 1996). Monakolin merupakan metabolit penting yang sudah diidentifikasi dari Monascus sp (Endo 1979) dan digunakan sebagai senyawa yang menghambat sintesis kolesterol (Albert et al. 1980; Endo et a.l 1986). Angkak dapat meningkatkan sirkulasi darah dan dapat menurunkan kadar kolesterol sebesar 11-32% dan kadar trigliserida sebesar 12-19%. Penurunan kadar kolesterol merupakan pencegahan primer dan sekunder

terhadap penyakit jantung dan komplikasi lain dari arterosklerosis (Endo et a.l 1986).

Produksi pigmen oleh M. purpureus

biasanya menggunakan substrat beras sebagai sumber karbon. Substrat lain yang dapat digunakan sebagai sumber karbon selain beras adalah gandum, tapioka, kentang, suweg, ubi jalar, dan gaplek. Akan tetapi intensitas warna yang dihasilkan tidak sebaik pada beras. Berbagai beras dapat digunakan untuk membuat angkak. Banyak penelitian menunjukkan bahwa beras biasa memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan beras ketan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan Monascus sp. terhalang oleh melekatnya butiran ketan yang satu dengan yang lain. Beras dengan kandungan amilosa yang lebih tinggi dan amilopektin yang lebih rendah merupakan substrat yang lebih baik untuk produksi angkak dibandingkan dengan beras dengan kandungan amilosa rendah Santoso & Satiawiharja (1985). Komposisi kimiawi angkak dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimiawi angkak

Kandungan Jumlah (%) Air 7.0 - 10.0 Pati 53.0 - 60.0 Nitrogen 2.4 - 2.6 Protein Kasar 15.0 -16.0 Lemak Kasar 6.0 - 7.0 Abu 0.9 -1.0 Pigmen/zat warna 1.6 -19.0 Sumber : Suwanto (1985)

Gambar 1 Gambaran fisik angkak yang menghasilkan pigmen berwarna merah.

Monascus purpureus

M. purpureus adalah sejenis kapang yang digunakan sebagai pewarna makanan yang dikenal sebagai angkak. Alexopulus (1979),

mengklasifikasikan M. purpureus divisi

Amastigomyta, subdivisi Ascomycotyna, kelas Ascomycetes, subkelas Pletomycetes,

ordo Eurotiales, famili Monascaceae, genus Monascus, dan spesies M. purpureus.

M. purpureus termasuk dalam kelas Ascomycetes. Jamur dalam kelas Ascomycetes telah ditemukan kurang lebih 30.000 spesies. Anggota kelas ini dicirikan memiliki askus. Askus adalah tipe spesial dari sporangium yang biasanya berisi delapan askospora. Askus yang muda memiliki dua inti haploid, yang selanjutnya mengalami meiosis menghasilkan delapan inti haploid. Miselium

dari kelas Ascomycetes bercabang, sel

individualnya mengandung satu sampai beberapa inti (Ingold 1984).

Spesies M. purpureus tidak banyak

ditemukan di alam, sebagian besar ditemukan pada produk makanan. Mikrob ini menghasilkan warna yang khas. Propagulnya tipis, tumbuh menyebar dengan miselium yang berwarna merah atau ungu, namun dapat menjadi keabu-abuan jika konidia sedang tumbuh akan tetapi akan kembali berwarna merah keunguan serta tumbuh baik pada suhu 27-32 ºC.

Senyawa karbon merupakan sumber energi dalam pembentukan sel kapang dan pigmen. M. purpureus mempunyai aktivitas sakarifikasi dan proteolitik. Oleh karena itu dapat tumbuh baik pada medium yang mengandung pati dan protein. Selain enzim

amilase dan protease, Monascus juga

menghasilkan enzim maltase, invertase, lipase, oksidase, dan ribonuklease (Steinkraus 1983).

Tikus Sprague-Dawley

Hewan yang paling banyak digunakan untuk keperluan evaluasi atau penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus), mencit (Mus muculus), tikus hitam (Rattus rattus). Tikus yang sering digunakan ialah tikus Sprague-Dawley.

Kelebihan menggunakan hewan coba tikus karena tikus hidup lebih baik sendiri dalam kurungan, mudah pengaturannya, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan peka terhadap pengaruh kolesterol jika diberikan perlakuan terhadap komponen dietnya. Beberapa karakteristik tikus adalah nocturnal (aktif pada malam hari), tidak mempunyai kantong empedu (gall blader), tidak dapat mengeluarkan isi perutnya (muntah) dan tidak pernah berhenti tumbuh, meskipun kecepatannya menurun setelah berumur 100 hari (Muchtadi 1989). Muchtadi (1989) juga menyatakan bahwa zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus

hampir sama dengan manusia yaitu karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin.

Toksisitas Akut

Toksisitas suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas suatu bahan untuk menciderai suatu organisme hidup. Timbulnya keracunan dapat disebabkan oleh dosis dan cara pemberian yang salah. Toksisitas suatu bahan kimia dilakukan dengan mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap binatang percobaan, pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium.

Uji toksisitas digunakan sebagai uji keamanan suatu senyawa yang akan digunakan oleh manusia. Uji toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu toksisitas umum dan toksisitas khusus. Uji toksisitas umum meliputi berbagai pengujian yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan uji. Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, subakut atau subkronik dan kronik. Sedangkan pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, uji kekarsinogenikan, uji reproduksi, kulit, mata, dan perilaku (Loomis 1978).

Toksisitas akut didefinisikan sebagai efek yang ditimbulkan oleh senyawa kimia atau obat terhadap organisme target yaitu dengan memberikan obat atau zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam. Kebanyakan pemeriksaan toksisitas akut diarahkan pada

penentuan LD50 dari suatu bahan kimia

tertentu. Akan tetapi toksisitas akut tidak selalu mendapatkan nilai LD50 (Chan et al 1982). Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu singkat setelah pemejanan atau pemberiannya dengan takaran tertentu. Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak empat dosis, berkisar dari dosis terendah yang hampir tidak atau hampir tidak mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7- 24 hari. Pengamatan tersebut meliputi gejala- gejala klinis seperti nafsu makan, bobot badan, keadaan mata dan bulu, tingkah laku, jumlah hewan yang mati serta histopatologis organ (Loomis 1978).

LD50 adalah dosis dari suatu zat atau obat yang bila diaplikasikan pada sekelompok hewan percobaan dengan cara dan waktu tertentu dengan mematikan 50% dari jumlah hewan percobaan yang digunakan. Pengujian ini juga dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya (Lu 1995). Tingkat keracunan senyawa kimia atau obat berdasarkan nilai LD50nya dan klasifikasi toksisitas akut pada hewan dapat dilihat pada Tabel 2. Syarat percobaan LD50 yaitu efek yang terjadi benar- benar karena senyawa kimia, efek bergantung pada dosis (dosis tinggi maka efek bertambah), efek terkuantifikasi atau bisa dihitung. Sedangkan faktor pendukungnya adalah hewan percobaan harus sehat dan seragam ukuran, umur, dan jenis kelamin, diadaptasi sebelum perlakuan kurang lebih 2 minggu, penimbangan bobot badan, konsumsi makanan, dan gejala-gejala klinis (Loomis 1978; Donatus 1998). Jangka waktu pengamatan biasanya 7-14 hari, akan tetapi pada kasus tertentu bisa lebih lama (Lu 1995; Chan et al. 1986). Nekropsi harus dilakukan pada semua hewan yang mati dan beberapa hewan yang hidup, terutama yang tampak sakit pada akhir masa percobaan. Nekropsi dapat memberikan informasi yang berharga mengenai organ sasaran, terutama bila kematian tidak terjadi segera setelah pemberian zat kimia. Mungkin juga diperlukan pemeriksaan histopatologis organ (Lu 1995).

Tabel 2 Batasan keracunan akut pada manusia berdasarkan klasifikasi Gleason

LD 50 (mg/kg)BB Kategori

<5 Super toksik

5 - 50 Amat sangat toksik

50 - 500 Sangat toksik

500 - 5000 Toksik

5000 - 15000 Toksik ringan

>15000 Praktis non toksik

Sumber : Lu (1995)

Penentuan Kelainan Organ Hati

Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh yaitu sekitar 2-3% dari bobot badan (Weiss 1977; Ressang 1984). Hati berada dalam rongga perut di sebelah kanan, tepat di bawah diafragma berwarna cokelat kemerahan (Kaplan 2002).

Sel hati berbentuk polihedral, berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti

bulat di tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti (Hartono 1992). Pada umumnya hati terbagi dalam beberapa lobus. Secara fungsional unit terkecil hati adalah lobulus. Setiap lobulus hati yang berbentuk heksagonal mempunyai sebuah vena sentral. Dari vena sentral untaian sel-sel hati yang berbentuk balok-balok berderet secara radial ke arah perifer. Sudut-sudut pertemuan antara lobulus disebut segitiga Kiernan yang mengandung tiga unsur yaitu vena sentralis, cabang-cabang arteri hepatika, dan kanalikuli biliaris (Handoko 2003). Sel-sel kuffer yang berada di lumen sinusoid bertindak sebagai makrofag yang mempunyai fungsi fagositik (Ganong 1989). Melalui sinusoid ini darah dari arteri hepatika dan vena porta mengalir dari arah segitiga Kiernan ke vena sentralis sedangkan empedu mengalir dari arah vena sentralis ke segitiga Kiernan (Nabib 1987). Beberapa fungsi hati adalah sebagai tempat pembentukan empedu, penyimpanan dan pelepasan karbohidrat, pembentukan urea, metabolisme lemak, detoksifikasi obat dan toksin. Selain itu juga sebagai tempat pembentukan protein dan metabolisme beberapa hormon polipeptida serta metabolisme kolesterol (Ganong 1998).

Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan (Carlton 1995). Sebagian besar senyawa toksik memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal. Setelah terjadi penyerapan, bahan toksik dibawa oleh vena porta ke hati. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan (Siswandono 1995). Kerusakan hati sangat tergantung dari banyaknya faktor seperti jenis senyawa toksik, dosis, durasi pemberian serta status diet hewan yang dapat menjadi faktor penyebab kerusakan tersebut. Misalnya adanya defisiensi protein dan karbohidrat dapat meningkatkan kepekaan hati terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh zat toksik. Beberapa jenis kerusakan hati akibat senyawa racun adalah pelemakan (steatosis), nekrosa, dan cirhosis (Lu 1995 & Banks 1981). Peradangan hati dapat terjadi secara infeksius maupun noninfeksius. Peradangan noninfeksius secara umum disebabkan oleh toksin. Hepatitis noninfeksius atau toksik dapat terjadi secara akut maupun kronis. Jenis-jenis kelainan hati akibat obat antara lain antara lain berupa pelemakan (steatosis), nekrosa, kolestatis, kerusakan pada vaskuler, dan hepatitis (Wenas 1996).

Sebagai organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan, namun hati sangat

tahan terhadap infeksi virus, bakteri, dan bahan-bahan asing yang masuk melalui penyerapan di usus). Hati mempunyai ambang batas dalam melakukan proses detoksifikasi suatu zat kimia yang masuk ke dalam tubuh, maka akan terjadi kerusakan jika melebihi ambang batas tersebut (Lu 1995). Walaupun hampir 80% sel-sel hati rusak, hati ternyata masih sanggup beregenerasi dan bahkan sembuh sama sekali jika penyebab kerusakannya hilang atau musnah (Girindra 1988).

Kelainan yang terjadi di dalam hati dapat menyebabkan penyimpangan konsentrasi enzim tertentu di dalam darah. Penyimpangan ini dapat ditentukan dengan mengukur aktivitas enzim tersebut secara biokimiawi. Turun atau naiknya konsentrasi enzim di dalam darah dapat diakibatkan oleh kerusakan sel parenkim hati atau gangguan permeabilitas membran sel hati sehingga enzim bebas keluar sel. Hal ini menyebabkan enzim yang masuk ke dalam pembuluh darah melebihi dari biasanya sehingga kadarnya dalam darah meningkat. Di antara enzim yang bisa menunjukkan keadaan itu dan dapat diukur aktivitasnya ialah Alanin Amino Transferase (ALT), Aspartat Amino Transferase (AST), Alkalin Phosphatase (AP), Gamma Glutamil Transferase (GGT), 5’nukleotidase, dan Laktat Dehidrogenase (Girindra 1988 & Kaplan 2002).

Menurut Girindra (1988) enzim yang sering digunakan untuk menganalisis kerusakan di hati adalah ALT dan AST. Enzim ALT mengkatalis transaminasi alanin dan α-ketoglutarat menjadi piruvat dan glutamat. Reaksinya adalah:

ALT

L-alanin + α-ketoglutarat L-glutamat + piruvat LD

piruvat + NADH + H+ L-laktat + NAD+ Aktivitas AST lebih banyak dijumpai di dalam mitokondria dan sitosol semua sel di dalam plasma. Enzim ini mengkatalis transaminasi aspartat dan α-ketoglutarat menjadi glutamat dan oksaloasetat. Reaksinya adalah:

AST

L-aspartat +α-ketoglutarat L-glutamat + oksaloasetat

LDH

Oksaloasetat+NADH+H+ L-malat+NAD+

Penentuan Kelainan Organ Ginjal

Ginjal adalah alat tubuh yang mempunyai kemampuan menyaring dan menyerap kembali beberapa bahan dari sirkulasi darah dalam tubuh (Ressang 1984). Secara anatomis, ginjal merupakan alat tubuh yang berpasangan, berwarna cokelat, terletak dorsal di dalam rongga perut di sebelah kanan dan kiri tulang punggung yang umumnya berbentuk kacang dengan hilis renalis (tempat masuknya pembuluh darah dan keluarnya ureter) (Hartono 1992). Ginjal berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan susunan darah dengan cara mengeluarkan air yang berlebihan dalam darah, mengeluarkan sisa metabolisme sebagai urea, asam kemih, alantoin dan amonia. Selain itu juga dapat mengeluarkan bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah serta mengeluarkan garam-garam anorganik yang kebanyakan berasal dari makanan (Ressang 1984).

Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme transpor aktif dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.

Sebuah nefron terdiri atas sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula (badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus). Setiap badan Malphigi mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen. Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan filtrat glomerular dari dalam ruang Bowman disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal.

Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis. Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri atas tubulus penghubung, tubulus kolektivus kortikal dan tubulus kolektivus medularis. Tubulus konvulasi distal bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter.

Urin merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar bahan toksik, akibatnya ginjal mempunyai aliran darah yang tinggi mengkonsentrasi bahan toksik pada filtrat, membawa bahan toksik melalui sel tubulus dan mengaktifkan bahan toksik tertentu. Oleh karena itu, ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh bahan toksik (Lu 1995). Perubahan-perubahan pada ginjal dapat berlangsung di dalam glomerulus, tubuli, interstitium dan pembuluh darah (Ressang 1984).

Akibat terjadinya absorbsi dan sekresi aktif tubulus proksimal, kadar bahan toksik pada tubulus proksimal sering lebih tinggi. Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan bahan toksik (Lu 1995). Perubahan-perubahan di ginjal dapat terlihat secara mikroskopik adalah degenerasi epitel sederhana hingga nekrosa. Infiltrasi sedikit- sedikit sel-sel radang di dalam glomerulus atau interstitium dapat mempersulit diagnosis. Urea dalam darah (ureum) merupakan hasil metabolisme protein dengan deaminasi asam amino dan dikeluarkan melalui ginjal. Tahap pembentukannya adalah sebagai berikut: +CO2+ NH2 Ornitin Sitrulin - H2O +H2O Arginin urea

Ada beberapa kelainan yang umum terjadi pada beberapa penyakit ginjal. Sering kali pada beberapa jenis penyakit ginjal ditemukan adanya protein dalam urin, leukosit, sel darah merah dan silinder, yaitu potongan-potongan protein yang mengendap di tubulus dan didorong oleh urin ke vesika urinaria. Akibat penyakit ginjal yang lainnya ialah hilangnya kemampuan pemekatan atau pengenceran urin, uremia (urea dalam darah), asidosis (penurunan kemampuan ginjal untuk

Dokumen terkait