• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Hewan Coba

Gambar 3 menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya perubahan yang berarti pada pola grafik bobot badan tikus kelompok yang diberi perlakuan dengan kelompok kontrol. Demikian juga apabila dibandingkan dengan masa adaptasi (P>0.05). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberian angkak tidak mempengaruhi bobot badan hewan coba. Selain pengamatan bobot badan, gejala klinis yang diamati meliputi nafsu makan, tingkah laku, keadaan mata dan keadaan bulu. Gejala klinis hewan coba menunjukkan bahwa nafsu makan semua hewan coba baik

kelompok perlakuan maupun kontrol tidak menunjukkan perubahan (Tabel 5). Pengamatan terhadap keadaan mata, tingkah laku, dan keadaan bulu tidak menunjukkan adanya perubahan selama perlakuan dan adaptasi. Saat perlakuan, pada kelompok perlakuan fesesnya berwarna kemerah- merahan. Feses yang berwarna merah tersebut diamati dengan mikroskop yang menunjukkan bahwa warna merah yang tampak berasal dari sisa pencernaan angkak setelah diserap di usus, dan dosis yang diberikan cukup besar menyebabkan serat kasar angkak mewarnai feses.

Selama perlakuan, tidak ditemukan hewan coba yang mati. Kelompok kontrol, 2.5 g/kg BB, 5g/kg BB, 10 g/kg BB, dan 15 g/kg BB angkak tidak menunjukkan adanya hewan coba yang mati selama 24 jam pertama hingga 5 hari setelah percobaan.

0 50 100 150 200 250 300 350 -50 -40 -30 -20hari ke--10 0 10 20 bobot ba da n ( gr am ) kontrol 2.5 g/kg BB 5 g/kg BB 10 g/kg BB 15 g/kg BB

Gambar 3 Bobot badan tikus Sprague-Dawley selama adaptasi dan perlakuan dengan berbagai dosis.

Tabel 5 Gejala klinis hewan coba selama perlakuan Kelompo k nafsu maka n keadaa n mata keadaa n bulu feses Kontrol - - - hita m 2.5g/kgB B - - - mera h 5 g/kg BB - - - mera h 10g/kgB B - - - mera h 15g/kgB B - - - mera h keterangan (-) : tidak ada kelainan

Gambar 4 Feses tikus yang diamati dengan mikroskop.

Pengaruh Angkak Terhadap Aktivitas Enzim AST dan ALT

Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan aktivitas enzim ALT sebesar 30.87±10.68 U/L dan AST sebesar 63.00±20.99 U/L. Menurut Girindra (1984), kisaran normal aktivitas enzim AST tikus sebesar 45.7-80.8 U/L sedangkan aktivitas ALT sebesar 17.0-30.2 U/L. Jadi, aktivitas enzim ALT dan AST tikus sebelum perlakuan masih dalam keadaan normal. Kelompok kontrol tidak digunakan untuk menganalisis karena serumnya mengalami hemolisis.

Gambar 5 menunjukkan bahwa aktivitas enzim AST pada semua kelompok perlakuan meningkat secara signifikan pada H+1 dan H+5 terhadap H-1 (P>0.05). Aktivitas enzim AST pada semua kelompok perlakuan pada H+5 naik tidak signifikan terhadap H+1. Perbandingan aktivitas enzim AST ditunjukkan pada Tabel 7, yang menunjukkan bahwa aktivitas enzim AST pada H+1 dan H+5 pada dosis 2.5 g/kg BB, 5 g/kg BB, dan 10 g/kg BB berbeda secara signifikan dengan dosis 15 g/kg BB (P>0.05).

Gambar 6 menunjukkan bahwa aktivitas enzim ALT pada semua kelompok perlakuan meningkat secara signifikan pada H+1 (P>0.05). Aktivitas enzim ALT pada semua kelompok perlakuan pada H+5 naik tidak signifikan terhadap H+1. Perbandingan aktivitas enzim ALT ditunjukkan pada Tabel 8, yang menunjukkan bahwa pada H+1 ada perbedaan yang signifikan pada semua dosis (P>0.05). Sedangkan pada H+5, kelompok 2.5 g/kg BB, 10 g/kg BB, dan 15 g/kg BB menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan dosis 5 g/kg BB (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa dosis berpengaruh pada kerusakan sel-sel hati.

Peningkatan aktivitas enzim AST dan ALT pada semua kelompok perlakuan angkak disebabkan karena pemberian angkak dengan dosis besar akan mengakibatkan hepatolisis sehingga enzim akan keluar, dan jumlah

dalam serum meningkat. Hal itu didukung dengan adanya sel hepatosit yang mengalami nekrosa pada analisa histopatologis. Hal itu sesuai dengan Girindra (1984) yang menyatakan bahwa peningkatan aktivitas enzim AST dan ALT di dalam darah disebabkan adanya perubahan fisiologis hati, sehingga konsentrasi enzim tersebut di dalam darah meningkat. Turun atau naiknya konsentrasi enzim dalam darah dapat diakibatkan oleh kerusakan enzim-enzim parenkim hati atau gangguan permeabilitas membran sel hati sehingga enzim bebas ke luar sel. Hal ini menyebabkan enzim yang masuk ke dalam pembuluh darah melebihi normal sehingga kadarnya dalam darah meningkat, sehingga terjadi peningkatan kadar enzim dalam darah, serta sintesisnya dalam hati menurun karena adanya kerusakan hepatoseluler sehingga aktivitasnya dalam darah menurun.

Tabel 6 Rata-rata aktivitas enzimatik pada tikus Sprague-Dawley sebelum perlakuan

Parameter AST (U/L) ALT(U/L) N = 25 N = 25 Rataan 63.00±20.99 30.87±10.68 Tabel 7 Pengaruh pemberian angkak

terhadap rataan aktivitas enzim AST Kelompok N=25 H+1 (U/L) H+5 (U/L) 2.5g/kgB B 159.2352±27.16 a 150.6216±30.90a 5g/kg BB 172.5048±14.44 a b 151.0872±25.80a 10g/kgBB 175.9968±24.69 a b 164.8224±46.53 a b 15g/kgBB 213.3612±31.99c 196.134±45.10b

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 8 Pengaruh pemberian angkak terhadap rataan aktivitas enzim ALT Kelompok N=25 H+1 (U/L) H+5 (U/L) 2.5 g/ kgBB 66.46±7.63a 63.5544±18.25b 5 g/ kg BB 89.28±29.72b 52..4964±14.49a 10 g/ kg BB 75.18±26.22ab 61.3428±11.70ab 15 g/ kg BB 104.6±25.03c 67.8612±19.41b

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>0.05)

0 50 100 150 200 250 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 ha ri ke - 2.5 g/kg BB 5 g/kg BB 10 g/kg BB 15 g/kg BB

Gambar 5 Perbandingan aktivitas AST perlakuan pemberian angkak pada H-1, H+1, dan H+5. 0 20 40 60 80 100 120 -2 0 2 4 6 8 A k tiv ita s e n zi m A L T ( U/ L ) 2.5 g/kg BB 5 g/kg BB 10 g/kg BB 15 g/kg BB

Gambar 6 Perbandingan aktivitas ALT perlakuan pemberian angkak pada H-1, H+1, dan H+5.

Pengaruh Angkak Terhadap Kadar Urea Darah

Tabel 9 menunjukkan bahwa kadar urea darah tikus sebesar 19.639±2.143 mg/dL. Menurut Malole dan Pramono (1989) kadar urea darah tikus normal berkisar antara 15.0- 21.0 mg/dL. Jadi, kadar urea darah tikus percobaan sebelum perlakuan masih dalam kisaran normal.

Perbandingan kadar urea darah pada (H-1), (H+1), dan (H+5) terdapat pada Gambar 7, yang menunjukkan bahwa kadar urea darah pada semua kelompok perlakuan meningkat secara signifikan pada H+1 (P>0.05). Kadar urea darah pada semua kelompok perlakuan pada H+5 naik tidak signifikan terhadap H+1. Tabel 9 menunjukkan bahwa perbandingan kadar urea dalam darah pada H+1 dosis 5 g/kg BB dan 15 g/kg BB berbeda secara signifikan dengan 2.5 g/kg BB dan 10 g/kg BB. Pada H+5 antara dosis 2.5 g/kg BB dan 5 g/kg BB

menunjukkan nilai yang berbeda secara signifikan dengan dosis 10 g/kg BB dan 15 g/kg BB (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa dosis berpengaruh pada kerusakan sel- sel ginjal.

Kadar urea darah yang meningkat kemungkinan disebabkan karena kerusakan pada sel-sel ginjal. Hal itu didukung pada analisa histopatologis bahwa di dalam lumen tubulus terdapat akumulasi protein dan nekrosa di sel tubulinya. Menurut Ganong (2002), kenaikan kadar urea darah tinggi menunjukkan bahwa jumlah protein di dalam tubuh tinggi serta tidak adanya faktor penghambat pembentukan urea dalam darah.

Tabel 9 Rata-rata kadar urea darah pada tikus Sprague-Dawley sebelum perlakuan

Rata-rata Kadar urea darah (mg/dL) 19.639±2.143 Tabel 10 Pengaruh pemberian angkak terhadap kadar urea darah

Kelompok N=25 H+1 (mg/dL) H+5 (mg/dL) 2.5 g/ kg BB 24.2530±3.70a 25.8554±3.93a 5 g/ kg BB 32.0964±8.17b 30.6024±12.57ab 10 g/ kg BB 38.1807±7.19c 41.2771±12.55cd 15 g/ kg BB 30.7952±6.54b 48.3133±13.35d 0 10 20 30 40 50 60 -2 0 2 Hari ke- 4 6 8 K ad ar U re a da ra h ( m g/ dL ) 2.5 g/kg BB 5 g/kg BB 10 g/kg BB 15 g/kg BB

Gambar 7 Perbandingan kadar urea darah perlakuan pemberian angkak pada H-1, H+1, dan H+5.

Gambaran Histopatologis Hati dan Ginjal Pengamatan terhadap organ hati dan ginjal tikus setelah dinekropsi dilakukan secara makroskopis (dengan mata secara langsung) maupun secara mikroskopis (histopatologis). Berdasarkan hasil pemeriksaan makroskopis organ hati dan ginjal tikus akibat pemberian angkak secara oral tidak ditemukan kelainan

yang spesifik pada kelompok kontrol dan perlakuan.

Lesio secara mikroskopis yang ditemukan di hati yaitu perubahan pada sel hepatosit dan interstitium. Hasil pengamatan histopatologis jaringan hati ditunjukkan pada Gambar 8, 9, 10, dan 11. Pada kelompok kontrol, interstitiumnya banyak ditemukan adanya kongesti, sedangkan pada sel hepatosit banyak ditemukan degenerasi lemak dan nekrosa. Begitu pula pada kelompok perlakuan terjadi lesio yang serupa.

Gambar 8 juga menunjukkan adanya kongesti. Kongesti adalah pembendungan secara berlebihan oleh darah di pembuluh darah suatu jaringan tertentu. Pada umumnya, kongesti hati terjadi di vena sentralis dan sinusoid-sinusoid di sekelilingnya Hal ini menyebabkan sinusoid mengalami dilatasi. Perubahan tersebut merupakan respon umum pembuluh darah akibat penggunaan bahan anestesi kloroform ataupun eter sebelum nekropsi karena eter dan kloroform merupakan anestesik kuat yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah (Ganiswara 1995). Oleh karena itu, kongesti tidak digunakan sebagai kategori kerusakan hati akibat perlakuan pada evaluasi histopatologis.

Gambar 9 menunjukkan adanya degenerasi lemak. Degenerasi merupakan gangguan metabolisme pada sel, sehingga kehilangan struktur dan fungsi normalnya. Degenerasi terjadi pada sel yang hidup dan bersifat reversibel. Sel yang mengalami degenerasi ditandai dengan adanya pengumpulan produk metabolisme seperti molekul lemak, protein dan glikogen dalam jumlah yang abnormal. Degenerasi menunjukkan adanya gangguan biokimiawi sel yang disebabkan karena metabolisme abnormal dan zat kimia yang toksik (Spector 1993). Degenerasi lemak secara mikroskopis terlihat droplet-droplet lemak pada lobulus hati terutama daerah perilobuler (Benirschke 1978; Lawrence 1992). Faktor-faktor penyebab degenerasi misalnya bahan toksik, kekurangan oksigen, atau pakan banyak mengandung lemak.

Gambar 10 menunjukkan adanya nekrosa. Nekrosa adalah kematian sel yang umum setelah sel terpapar stimulus eksogen, seperti rangsangan kimia yang menyebabkan pembengkakan sel, selanjutnya sel pecah, terjadi denaturasi dan koagulasi sitoplasma serta hancurnya sel (Sudiono et al. 2003). Jaringan hati yang mengalami nekrosa dapat sembuh dengan regenerasi sel-sel hati yang masih hidup jika penyebab nekrosa

dihilangkan (Ressang 1984). Secara mikroskopis, nekrosa bersifat koagulatif yang ditandai dengan inti hepatosit berubah menjadi suram dan gelap (pignosis) serta adanya inti hepatosit yang mengalami karioreksis. Karioreksis ditandai dengan penyusutan inti sel dan terjadi peningkatan warna basofilik yang solid dan mengecil. Dalam waktu satu sampai dua hari nukleus akan menghilang total (Sudiono 2003).

Gambar 11 menunjukkan pada kelompok kontrol masih terlihat hepatosit yang masih baik yaitu masih berbentuk lobus yang jelas dengan vena sentralis di tengah. Sitoplasma berwarna merah muda karena mengikat zat warna Eosin dan inti sel berwarna ungu kebiruan karena mengikat zat warna Hematoksilin.

Lesio yang terjadi pada organ hati kemudian dianalisis melalui skoring sehingga diberi nilai sesuai tingkat keparahan. Nilai skoring histopatologis hati ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan hasil pengamatan terhadap kongesti, nekrosa dan degenerasi lemak pada organ hati. Setelah didapatkan nilai skoring histopatologis hati, kemudian nilai tersebut diuji dengan analisis Kruskal-Wallis. Hasil uji histopatologis organ hati yang dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12 menunjukkan bahwa lesio pada organ hati yaitu kongesti dan degenerasi lemak antara kontrol dan perlakuan tidak berbeda secara signifikan (P>0.05) Sedangkan nekrosa yang terjadi semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol. Kerusakan pada hati disebabkan karena hati berfungsi sebagai penyaring darah terutama dari saluran pencernaan melalui vena porta. Darah yang berasal dari vena porta tidak hanya mengandung bahan makanan tetapi kadang-kadang senyawa toksik (Frenkel 1985).

Gambar 8 Gambaran mikroskopis hati tikus yang mengalami kongesti pada kelompok kontrol pewarnaan HE 1 bar 30 µm.

Gambar 9 Gambaran mikroskopis hati tikus yang mengalami degenerasi lemak pada kelompok dosis angkak 15 g/kg BB pewarnaan HE 1 bar 30 µm.

Gambar 10 Gambaran mikroskopis hati tikus daerah yang mengalami nekrosa dengan dosis angkak 15g/kgBB pewarnaan HE1bar50 µm.

Gambar 11 Gambaran mikroskopis hati tikus daerah yang normal pada kontrol pewarnaan HE, 1 bar 50 µm.

Tabel 11 Nilai skoring histopatologis hati Perlakuan (g/ kg BB) Pengamatan Kongesti Akumulasi Lemak Nekrosa Kontrol 0.333 0.400 0.333 2.5 0.267 1.267 0.533 5 0.433 1.267 0.533 10 0.233 1.233 1.000 15 0.333 1.033 0.900 Tabel 12 Hasil Uji Kruskal-Wallis

histopatologis hati Perlakuan (g/ kg BB) Pengamatan Kongesti Degenerasi Lemak Nekrosa Kontrol 5.25a 1.50a 2.50a 2.5 4.50a 6.50a 5.50bc 5 8.25a 7.25a 4.50ab 10 4.00a 7.25a 8.25c 15 5.00a 5.00a 6.75bc

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>0.05) .

Pengamatan organ ginjal dilakukan terhadap lesio pada sel-sel tubulus. Perubahan yang terjadi pada kontrol yaitu pada kapiler antar tubulus terjadi kongesti, sel tubulusnya mengalami nekrosa (inti sel terlihat berwarna gelap dan suram). Selain itu, lumen tubulusnya mengalami akumulasi protein. Akumulasi protein dan nekrosa juga terjadi pada kelompok perlakuan. Perubahan yang terjadi pada ginjal dapat dilihat pada Gambar 12, 13 dan 14.

Gambar 12 menunjukkan adanya nekrosa. Sel-sel tubulus mengalami nekrosa intinya terlihat suram dan mengalami karioreksis. Nekrosa pada sel-sel epitel tubulus terjadi pada semua perlakuan. Nekrosa dapat terjadi karena adanya racun atau toksin, agen kimia, agen biologis, agen fisik, suhu yang ekstrim dan kerentaan (Rumawas 1989; Soleh 1996). Gambar 13 juga terdapat adanya akumulasi protein di lumen tubulus. Keberadaan protein di dalam lumen tubulus dipengaruhi berbagai faktor diantaranya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus sehingga protein yang berukuran besar dapat lolos. Bila epitel tubulus mengalami degenerasi dan nekrosa maka protein yang lolos tidak mampu untuk diserap kembali secara maksimal yang akhirnya tertimbun di dalam lumen (Carlton & Mc Gavin 1995). Akumulasi protein yang berlebihan di lumen tubulus dapat menyebabkan proteinuria. Permeabilitas glomerulus meningkat sehingga protein ditemukan di dalam urin dalam jumlah besar (Ganong 2002). Gambar 14 menunjukkan sel tubulus yang normal. Sel- selnya masih teratur dan lumen kosong. Setelah dilakukan pengamatan terhadap lesio yang terjadi pada organ ginjal kemudian diberi skor dan diberi nilai sesuai tingkat

1 bar

1bar 1 bar

keparahan. Nilai skoring histopatologis ginjal ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13 menunjukkan hasil pengamatan terhadap kelainan pada ginjal yaitu nekrosa dan akumulasi protein. Setelah mendapatkan nilai lesio histopatologis organ ginjal kemudian nilai tersebut diuji dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil uji Kruskal-Wallis histopatologis ginjal ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa akumulasi protein dan nekrosa yang terjadi, berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan (P>0.05). Nekrosa yang terjadi signifikan dengan naiknya dosis. Semakin tinggi dosis yang diberikan mengakibatkan nekrosa yang terjadi juga semakin besar.

Epitel ginjal merupakan bagian yang sensitif terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik. Bahan-bahan toksik yang biasanya masuk ke ginjal melalui aliran darah tersebut dapat menimbulkan perubahan pada ginjal berupa cloudy swelling, degenerasi lemak dan nekrosa. Tingkat perubahan organ tergantung sifat zat toksik (Smith 1974; Thomas 1979). Menurut Lu (1995), tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah mengalami kerusakan akibat zat toksik. Hal itu dapat disebabkan karena karena pada tubulus proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi berbagai zat. Bila terjadi absorbsi bahan toksik pada epitel tubuli akan mengganggu metabolisme dan absorbsi. Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan zat toksik. Jika degenerasi dan nekrosa belum begitu parah, regenerasi sel epitel mungkin terjadi setelah penyebabnya dihilangkan (Smith 1974).

Tabel 13 Nilai skoring histopatologis ginjal Perlakuan (g/ kg BB) Pengamatan Akumulasi Protein Nekrosa Kontrol 5.50 2.40 2.5 6.55 5.60 5 7.00 8.80 10 9.15 7.75 15 11.20 11.50

Tabel 14 Hasil Uji Kruskal-Wallis histopatologis ginjal Perlakuan (g/ kg BB) Pengamatan Akumulasi Protein Nekrosa Kontrol 1.5a 1.5a 2.5 3.5b 3.5b 5 7.5d 5.5c 10 5.5c 7.5d 15 9.5e 9.5e

Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom yang

sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P>0.05).

Gambar 12 Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang mengalami nekrosa pada sel tubulus dengan dosis 15 g/kg BB pewarnaan HE 1bar 50 µm.

Gambar 13 Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang mengalami akumulasi protein dengan dosis 15 g/kg BB pewarnaan HE 1 bar 30 µm.

Gambar 14 Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang normal pewarnaan HE 1 bar 50 µm.

Dokumen terkait