TELAAH PUSTAKA DAN HIPOTESIS
B. Brand Equity
2. Dimensi Brand Equity
Brand equity merupakan sebuah konsep multidimensi dan fenomena yang kompleks. Keller (2002) membagi brand equity menjadi dua komponen: awareness dan association. Sedangkan Aaker (2008) mengelompokkan brand equity ke dalam lima komponen: perceived quality, brand loyalty, brand awareness, brand association, dan other
commit to user
xxxi
proprietary brand assets seperti hak paten, trademarks, dan channel relationships. Di antara lima dimensi brand equity, empat pertama merupakan evaluasi pelanggan dan reaksi terhadap merek yang dapat
dengan mudah dipahami oleh konsumen. Singkatnya, brand equity yang kuat berarti bahwa pelanggan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap
brand-name, mempertahankan citra merek yang menguntungkan, menganggap bahwa merek tersebut adalah kualitas tinggi, dan loyal
terhadap merek tersebut.
a. Brand awareness
Brand awareness merupakan komponen penting dalam brand equity. Hal ini mengacu pada kemampuan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat merek sebagai anggota dari suatu
kategori produk tertentu (Aaker, 2008). Menurut Keller (1993)
brand awareness terdiri dari dua sub-dimensi: brand recall dan recognition. Brand recognition merupakan langkah dasar dalam mengkomunikasikan tugas merek, di mana perusahaan
mengkomunikasikan atribut produk hingga brand-name terbentuk untuk diasosiasikan.
Keller (1993) menyebutkan bahwa brand recognition berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk mengkonfirmasi
paparan sebelum merek ketika diberi merek sebagai petunjuk. Dengan kata lain, brand recognition merupakan isyarat bahwa konsumen dapat membedakan merek yang telah mereka dengar dan
lihat. Sedangkan brand recall berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk mengingat merek ketika diberi kategori produk, kebutuhan dipenuhi oleh kategori, atau beberapa jenis penyelidikan
lain sebagai petunjuk. Dengan kata lain, brand recall mensyaratkan bahwa konsumen dapat membangkitkan merek dari ingatan mereka.
Aaker (1991) dalam Widjaja et al., (2007) menggambarkan tingkatan brand awareness dalam suatu piramida yang disebut The Awareness Pyramid (Piramida Kesadaran Merek).
Gambar II.1
The Awareness Pyramid Sumber: Widjaja et al., 2007
Piramida ini menggambarkan tingkatan awal sejak konsumen belum
menyadari keberadaan suatu merek hingga merek tersebut menjadi
top of mind dibenak mereka. b. Brand association
Pengelolaan brand equity menekankan bahwa sebagian besar brand equity didukung oleh asosiasi yang dibuat konsumen terhadap
commit to user
xxxiii
merek. Asosiasi di sini kemungkinan berkaitan dengan atribut
produk, seorang juru bicara selebriti, atau simbol tertentu (Aaker, 2008). Secara garis besar, brand association merupakan segala sesuatu "terkait" dalam memori konsumen terhadap merek (Aaker,
1991 dalam Tong dan Hawley, 2009). Brand association dapat dilihat di segala bentuk dan mencerminkan fitur dari produk atau aspek
independen dari produk itu sendiri. Brand association juga menciptakan nilai bagi perusahaan dan pelanggan dengan membantu
proses / mengambil informasi, membedakan merek, membuat sikap
yang positif atau perasaan, memberikan alasan untuk membeli, dan
menyediakan dasar untuk ekstensi (Aaker, 2008).
Terdapat beberapa jenis brand association yang membentuk brand equity, seperti atribut yang terkait dengan produk atau atribut yang tidak terkait dengan produk, manfaat fungsional, pengalaman,
atau simbolis, dan sikap merek secara keseluruhan. Asosiasi-asosiasi
ini dapat bervariasi menurut keuntungan (favorability), kekuatan
(strength), dan keunikan (uniqueness) (Keller, 1993).
Favorability of brand associations. Terdapat perbedaan asosiasi, tergantung dari seberapa menguntungkan mereka dievaluasi.
Keberhasilan program pemasaran tercermin dalam penciptaan
asosiasi merek yang menguntungkan, yaitu konsumen percaya bahwa
keinginan mereka sehingga sikap positif akan merek secara
keseluruhan terbentuk.
Strength of brand associations. Asosiasi juga dapat ditandai olek kekuatan sambungan ke brand node. Kekuatan asosiasi tergantung tentang bagaimana informasi yang masuk memori
konsumen (encoding) dan bagaimana hal itu dipertahankan sebagai bagian dari brand image (penyimpanan). Kekuatan adalah fungsi dari kedua jumlah atau kuantitas pengolahan informasi yang diterima di
encoding dan sifat atau kualitas pengolahan informasi yang diterima di encoding.
Uniqueness of brand associations. Brand association mungkin akan dibagi kepada merek pesaing atau mungkin saja tidak.
Inti dari brand positioning adalah bahwa merek memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan atau "unique selling proposition" yang memberikan konsumen alasan menarik untuk membeli suatu merek
tertentu. Keunikan dari brand association ini berkaitan dengan brand distinctiveness. Brand distinctiveness merupakan seni yang unik dan diinginkan oleh pelanggan (Wong dan Marrilees, 2008). Perusahaan berusaha untuk membuat beberapa bentuk brand distinctiveness untuk menghindari produk mereka yang dipandang sebagai
komoditas (McQuiston, 2004 dalam Wong dan Marrilees, 2008).
commit to user
xxxv
perusahaan. Aaker (2008) menyebutkan bahwa konsumen tidak akan
memiliki dasar untuk memilih merek tertentu jika merek dianggap tidak berbeda dengan yang lain.
c. Perceived quality
Perceived quality bukanlah kualitas produk yang sebenarnya namun persepsi pelanggan tentang keseluruhan kualitas atau
keunggulan produk (atau jasa) dengan tujuan yang dimaksudkan, relatif
terhadap alternatif (Zeithaml, 1988). Aaker (2008) menyebutkan bahwa
perceived quality memberikan nilai ke dalam merek dalam beberapa cara: kualitas tinggi memberikan alasan yang baik kepada konsumen
untuk membeli merek dan memungkinkan merek untuk membedakan
dirinya dari pesaing, untuk menetapkan harga premium, dan memiliki
dasar yang kuat untuk perluasan merek. Senada dengan Aaker,
Zeithaml (1988) mengidentifikasikan perceived quality sebagai komponen brand value, sehingga perceived quality yang tinggi akan mendorong konsumen untuk memilih merek daripada merek pesaing
lainnya. Aaker (2008) mengukur perceived quality dengan skala sebagai berikut:
1. Kualitas unggul vs. kualitas rendah
2. Terbaik dalam kategori vs. terburuk dalam kategori
3. Kualitas yang konsisten vs. kualitas yang tidak konsisten 4. Kualitas terbauk vs.kualitas rata-rata vs. kualitas inferior
Aaker (2008) menganggap brand loyalty sebagai inti dari brand equity. Dari sudut pandang keperilakuan, brand loyalty didefinisikan sebagai tingkatan dalam sebuah unit pembelian, seperti rumah tangga,
konsentrat pembelian dari waktu ke waktu pada merek tertentu dalam
suatu kategori produk (Schoell dan Guiltinan, 1990 dalam Tong dan
Hawley 2009). Sedangkan dari sudut pandang sikap, Oliver (dalam Yoo
et al., 2000) mendifinisikan brand loyalty sebagai sebuah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan pada suatu
produk atau layanan jasa yang disukai di masa mendatang, meskipun
pengaruh situasional dan usaha pemasaran yang berpotensi menyebabkan
perubahan perilaku.
Brand loyalty dapat dilihat dari seberapa sering orang membeli merek itu dibandingkan dengan merek lainnya. Brand loyalty menambahkan nilai yang cukup besar pada merek dan/atau perusahaan
karena menyediakan satu set habitual buyers untuk jangka waktu yang lama (Aaker, 2008). Aaker (dalam Widjaja et al., 2007) menggambarkan tingkatan brand loyalty dalam suatu piramida yang disebut The Loyalty Pyramid.
commit to user
xxxvii
Gambar II.2
The Loyalty Pyramid Sumber: Widjaja et al., 2007
Berikut penjelasan mengenai tingkatan loyalitas terhadap suatu merek:
1. Tingkatan yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal, yang
sama sekali tidak tertarik pada merek tersebut dan bagi
mereka merek apapun dianggap memadai sehingga merek
memainkan peran yang kecil dalam keputusan pembelian.
2. Tingkat kedua adalah para pembeli yang puas dengan produk
atau setidaknya tidak mengalami kepuasan, tipe ini bisa
disebut sebagai pembeli kebiasaan (habitual buyer).
3. Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, namun mereka
memikul biaya peralihan (switching cost) serta biaya berupa waktu, uang atau resiko kinerja berkenaan dengan tindakan
beralih merek, kelompok ini bisa disebut pelanggan yang
4. Tingkat keempat adalah mereka yang sungguh-sungguh
menyukai merek tersebut, preferensinya mungkin dilandasi oleh suatu asosiasi seperti simbol, rangkaian pengalaman
dalam menggunakan atau persepsi kualitas yang tinggi.
5. Tingkat teratas adalah pelanggan yang setia, mereka
mempunyai kebanggaan menjadi pengguna suatu merek,
merek tersebut sangat penting bagi mereka, baik dari segi
fungsinya maupun sebagai ekspresi diri mereka.