• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SOUND GOVERNANCE

D. Dimensi-Dimensi dalam Sound Governance

Kata dimensi di sini penting untuk mengatakan istilah ‘indikator’. Sebab sebagaimana dalam Good Governance dan konsep konsep hegemonik lainnya, indikator keberhasilan adalah sebuah prasyarat mutlak bagi sebuah ide agar dapat dikatakan implementatif. Sebab sebuah ide yang implementatif adalah ide yang bisa diimplementasikan, dan dapat diukur sampai sejauh mana kinerjanya dapat dicapai di lapangan. Tidak ada yang salah dengan pemahaman seperti itu, utamanya bila kita hendak menelorkan sebuah ide yang akan diterapkan di tataran mikro.

Akan tetapi hal ini akan menjadi masalah besar ketika hendak diterapkan pada proses epistemoligis pada konsep makro, terlebih global. Indikator yang digunakan sebagai alat ukur keberhasilan serta merta akan berubah menjadi awal kegagalan besar. Sebab indikator akan mengabaikan kompleksnya variasi yang ada di lapangan serta mengabaikan fitrah kehidupan yang tak tunggal. Keindahan tidak harus satu bentuk. Oleh karena Sound Governance tidak ingin mengulang

kesalahan-kesalahan konseptual yang sama, maka SG lebih mengedepankan dimensi ketimbang indikator.

Dengan konsep dimensi, keleluasaan dalam wilayah implementasi, keragaman serta kreatifitas pelaku-pelaku di lapangan menjadi dapat terekspresikan secara luas, tanpa harus menjadi chaos. Sebab dimensi tetap memiliki standar ideal, meski sangat normatif yang bisa diukur meski tidak harus dikuantifikasi.

Di dalam SG terdapat sepuluh dimensi yang diharapkan dapat menjadi peta dalam pelaksananaan reformasi administrasi publik. Istilah peta di sini digunakan sebab sepuluh hal yang ada ini bukan merupakan harga mati dan keharusan. Ibarat sebuah peta, tentu kita akan dapat melihat berbagai pilihan alternatif jalan untuk menuju satu tempat. Jalan mana yang hendak dipilih tentulah sangat tergantung pada pertimbangan dan keadaan masingmasing yang kontekstual. Dimensi-dimensi tersebut adalah:

1. Proses

Proses di sini artinya adalah hubungan dan interaksi antara berbagai elemen yang ada dalam proses tata pemerintahan. Dalam hal ini berarti termasuk pula elemenelemen yang ada dalam GG (negara, swasta dan masyarakat sipil) dan juga ditambakan satu aktor dalam SG yaitu aktor-aktor internasional. Yang hendaknya dilakukan dalam dimensi ini adalah mencapai dan mencermati kualitas proses dari interaksi antar elemen tersebut. Sehingga tidak seperti dalam GG yang indicator interaksi antar

aktornya hanya penuh dengan lembar kehadiran dan tanda tangan dari para peserta rapat, lengkap dengan kolom asal insitusinya. SG tidak melihat melulu pada aspek permukaan itu, melainkan proses seperti apa yang terjadi atas hubungan empat aktor yang ada di tiap-tiap daerah, dicari sebabnya dan arah perbaikan sesuai dengan konteks lokal.

Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah SG tidak hanya terfokus pada proses internal, tapi juga eksternal dan struktur dari proses itu sendiri. Proses eksternal yang dimaksudkan di sini adalah berangkat dari kenyataan tentang dunia yang saling terkoneksi. Maka ketika kita melihat proses interaksi empat aktor di satu lokus tertentu, jangan lupa bahwa ada proses di lokus yang lain yang mungkin juga berpengaruh terhadap formasi tersebut.

Ibarat menikmati keindahan ikan, SG tidak melihatnya di dalam sebuah akuarium, melainkan melihat ikan-ikan tersebut langsung dari dasar lautan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘struktur dari proses’ adalah distribusi kuasa yang terbangun di dalamnya. Sebab dalam proses interaksi yang polisentris, disadari bahwa hubungan antar elemen itu selalu terkait dengan besaran kuasa (Shohat and Stam, 1994). Nah tugas SG adalah untuk mencermati hal itu dan berupaya untuk mengegaliterkannya.

2. Struktur

Kalau proses adalah tentang bagaimana pemerintahan bekerja, struktur menunjukkan dan memandu arah pada proses tersebut. Arahan yang diberikan oleh struktur ini berada pada keseluruhan sistem tata pemerintahan, tetapi dapat pula berada di masing-masing elemen yang ada dalam tata pemerintahan. Sehingga tiap-tiap elemen yang ada, dengan struktur yang ada di dalam dirinya, tahu apa yang harus diperbuat dan kemana harus melangkah sesuai dengan tujuan kolektif yang telah ditetapkan. Sehingga, yang dimaksud struktur di sini adalah tubuh konstitutif dari elemen, aktor, peraturan, regulasi, prosedur, sistem pengambilan keputusan dan otoritas (Farazmand, 2004). Hal ini merupakan aturan atas peranan yang harus dimainkan masing-masing hal tersebut.

Contohnya harus ada konstitusi yang jelas yang mengatur tentang sejauh mana otoritas yang dimiliki seorang pejabat publik utamanya dalam proses pengambilan keputusan. Atau struktur yang mengatur tentang regulasi, utamanya menyangkut kaitan antara satu regulasi dengan regulasi lainnya serta alasan-alasan mengapa regulasi tersebut harus berbentuk demikian.

Dengan demikian, SG berharap setiap tata pemerintahan dapat mengidentifikasi struktur dari elemen-elemen yang ada di dalamnya. Hal ini bertujuan agar tata pemerintahan yang ada benar-benar mengerti dan

mengenali elemen-elemen yang dimilikinya, tahu cara memanfaatkannya dengan baik dan memperbaiki dengan segera bila terdapat kesalahan.

3. Kesadaran dan Nilai

Nilai demokrasi harus disandarkan sebagai kebutuhan, bukan dipaksakan sebagai proyek. Hal inilah yang kerap kali menjadi kesalahan dalam program-program demokratisasi di dalam pemerintahan. Banyak birokrat dan politisi yang tidak menginternalisasi demokrasi dengan baik. Mereka menggunakan kata-kata itu hanya untuk kebutuhan kampanye dalam pidato-pidato formal. Tetapi ketika diantara mereka sedang berbicara, mereka sering kali tertawa lebar setelah mengucapkan kata-kata ‘demokrasi’. Sebab demokrasi bagi mereka bukanlah sesuatu yang konkret, akan tetapi hanyalah wacana. Dan mereka beranggapan bahwa pekerjaan sebagai birokrat dan politisi bukanlah pekerjaan yang berurusan dengan wacana, melainkan sesuatu yang konkret. Wacana adalah menu bagi dosen dan para aktivis mahasiswa belaka, termasuk wacana tentang pentingnya demokrasi. Hal ini terjadi karena selama ini internalisasi nilai tidak dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya nilai itu. Demokrasi selalu saja dikaitkan tentang hal-hal yang sifatnya jangka panjang. Belum dapat diturunkan ke dalam sesuatu yang pragmatis.

Internalisasi terhadap demokrasi yang dipaksakan oleh lembaga-lebaga donor juga makin terkikis kedigdayaannya oleh standar ganda dari lembaga-lembaga keuangan tersebut. Sebab, di beberapa tempat ternyata lembagalebaga internasional ini juga menyokong

pemerintahanpemerintahan yang anti-demokrasi. Banyak kasus rezim yang otoriter tapi disokong dan keberadaannya tergantung pada dukungan internasional hanya karena terjadi transaksi bisnis yang saling menguntungkan di antara mereka. Artinya, segala macam proyek tentang demokratisasi yang ada itu tidak hanya bermasalah di tingkatan penerima tapi juga di tingkatan pemberi. Kesadaran akan pentingnya nilai demokrasi tidak hanya tidak dipahami oleh penerima, tetapi juga tidak dihayati oleh para penganjur proyek demokratisasi itu sendiri.

4. Konstitusi

Pada prisipnya konsitusi adalah dokumen yang memberikan blue printdari pemerintahan. Namun demikian dalam sistem yang lemah, atau organsasi yang buruk dan tidak kuat –jika ini disebut sebagai sistem– konstitusi tidak lebih dari dokumen formal. Ini diabaikan dan diterobos oleh sebagian besar orang dan waktu serta digunakan secara selektif untuk melayani kepentingan kekuasaan khusus.Ini adalah ‘formalisme’ atau dualitas dalam proses tata pemerintahan di seluruh dunia yang sangat dipengaruhi atau didikte oleh struktur kekuasaan globalisasi eksternal.

Formalisme terjadi ketika aturan dan regulasi formal dilengkapi oleh norma dan perilaku informal dan tidak resmi dalam politik, tata pemerintahan, dan administrasi untuk melayani tujuan khusus, tetapi mereka diaplikasikan secara kaku (Farazmand, 1989).

Konstitusi di dalam SG tidak diposisikan dalam konteks tersebut. Penyakit formalisme konsitusi seperti itu juga melanda negara-negara

industrialisasi sangat maju dari Barat dan problem tersebut lebih kronis dalam negaranegara berkembang dan negara-negara kurang maju (Riggs, 1966). Sebuah tingkat formalisme tinggi telah mengikis legitimasi sistem. Sebuah konstitusi berfungsi sebagai sumber legitimasi paling penting atas sistem tata pemerintahan. Sebuah konstitusi kerja juga memberikan kontribusi terhadap kekuatan pemerintahan pada level nasional.

5. Organisasi dan Institusi

SG adalah sebuah konsep yang sangat mengedapankan implementasi. Bukan hanya sebuah kumpulan nilai-nilai ideal yang abstrak. Dalam administrasi pemerintahan, organisasi dan institusi adalah alat untuk membuat sebuah tujuan dan cita-cita kolektif menjadi kenyataan. Apapun namanya, perencanaan strategi jangka panjang, menengah maupun pendek tidak mungkin bisa tercapai bila perangkat fisik untuk mencapainya tidak memadai.

Organisasi dan institusi adalah peralatan pokok yang harus dimiliki guna mencapai tujuan sebuah pemerintahan. Namun demikian, sekali lagi, SG tidak mematok organisasi dan institusi seperti apa yang bisa dibilang baik atau buruk. Sebab hal ini sangatlah kontekstual. Panduan yang bisa dipakai adalah kesesuaian kondisi organisasi dengan tujuan dan konteks lokal. Organisasi adalah wujud konkret dari institusi. Institusi berisi tugas-tugas dan alasan kenapa organisasi tertentu diperlukan. Insitusi adalah jiwa dan organisasi adalah tubuhnya.

Sehingga untuk mencapai kondisi organisasi yang baik bukanlah dengan mendaftar sekian banyak indikator dan mencocokkan apakah kondisi organiasi dan institusi yang ada sudah cocok dengan indikator tersebut atau belum. Tetapi dengan mengajukan pertanyaan misalnya tentang apa saja organisasi yang ada dalam pemerintahan? Dan bagaimana mereka bekerja? Sehingga dalam hal ini tidak ada penghakiman yang bersifat langsung terhadap organisasi-organisasi yang ada. Kita harus melihat organisasi-organisasi yang ada di dalam pemerintahan dalam kaca mata yang utuh. Tidak mencari siapa yang salah atau siapa yang benar dalam menilai kualitas organisasi. Melainkan yang harus dicari adalah apa yang salah dan bagaimana cara memperbaikinya. Sekali lagi, mengontrol kondisi setiap jengkal organisasi dan insitutsi yang ada di dalam sebuah sistem pemerintahan adalah hal yang sangat penting di dalam SG. Tanpa institusi tidak akan ada tata pemerintahan, dan insitusi tanpa organisasi akan rapuh.

6. Manajemen dan Performa

Manajemen adalah sebuah proses yang berjalan di dalam organisasi. Bila instisusi adalah jiwa dari organsasi yang membuat organisasi memiliki karakter, manajemen adalah bagaimana organisasi mengatur hidupnya dan mengekspresikan dirinya. Oleh karenanya banyak organisasi yang memiliki insitusi yang sama tetapi menajemennya berbeda. Misalnya, organisasi di satu tempat yang pekerjaannya adalah membuat perencanaan tidak harus sama manajemennya dengan

organisasi perencanaan di tempat lain. Masalah manajenen yang penting untuk diperhatikan di dalam SG bukanlah terletak pada manajemen gaya apa yang dipakai tetapi fokusnya adalah manajemen yang dipilih itu harus dapat mengantarkan organisasi pada dampak yang diinginkan.

Apa dampak yang diinginkan? Tentu sangat tergantung dari fungsi dasar organisasi itu, kontribusi apa yang diharapkan dapat diberikannya pada masyarakat. Inilah yang disebut dengan performa. Performa merupakan alat ukur utama dalam SG untuk melihat kualitas manajemen dalam sebuah prses pemerintahan.

Oleh karenanya, manajemen harus dinamis dan mengikuti teknologi dan ilmu terbaru. Ini pulalah yang membuat SG tidak mendukung adanya stagnasi dalam sebuah proses pemerintahan. Selama ini birokrasi selalu malas bahkan takut untuk melakukan perubahan. Kita bisa melihat dimana-mana di seluruh kantor pemerintahan di tanah air sebuah alur atau prosedur tertentu yang usianya sangat tua masih terpampang di dinding kantor. Beberapa malah ada yang masih ditulis dengan ejaan yang belum disempurnakan.

Tidak hanya itu, para pemimpin dan birokrat di lapangan juga hanya mengekor pada kebiasaankebiasaan yang selama ini sudah berlangsung. Ada kemalasan yang masif untuk mempelajari perkembangan perkembangan dan ilmu terbaru tentang manajenen untuk coba diterapkan di kantornya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya. Keterpisahan antara dunia kerja dengan dunia wacana begitu terbentang

luas. Bekerja dan berpikir menjadi dua aktifitas yang saling berbenturan. Birokrat dan politisi yang dibayangkan hanya berkutat pada sesuatu yang bersifat kerja konkrit dan jarang berpikir.

Sementara di sisi yang berseberangan, aktifis dan intelektual selalu dibayangkan dengan kerja-kerja wacana pemikiran yang abstrak dan tidak riil. Manajemen dalam SG adalah ditandai dengan tidak adanya lagi dikotomi itu. Sebab, dalam rangka memperbaiki performanya, birokrat harus selalu membaca dan mendiskusikan hal-hal baru dalam mana-jemen sebagai bekal dalam melakukan pekerjaan riil.

7. Kebijakan

Kebijakan memberi arah dan kendali pada proses, struktur dan menejemnen dari sebuah pemerintahan. Dari situ semakin tegas bahwa orientasi dari studi kebijakan publik itu adalah kepentingan publik. Dimana dengan demikian dapat diartikan pula bahwa studi ini pada tataran konseptual harus memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan masyarakat, dan berorientasi pada pelayanan kepentingan tersebut. Sebab seperti telah sering diungkap di muka bahwa studi kebijakan publik adalah sebuah formula problem solver. Sementara problem yang sesungguhnya itu ada di tengah-tengah riil kehidupan bermasyarakat. Artinya, problem kebijakan itu tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Dan oleh karena itulah ia juga tumbuh bersama dengan kepentingan publik itu sendiri (Putra, 2001). Yang harus diingat adalah ketika dikatakan bahwa studi kebijakan publik itu berorientasi pada kepentingan publik. Itu berarti

ia juga berorientasi pada berbagai kepentingan yang beragam di masyarakat. Dan lebih jauh dari itu, studi kebijakan publik juga berbasis pada proses dialogis dari berbagai kepentingan tersebut. Yang kemudian hasil persepakatan proses dialog demokratik itulah yang menjelma menjadi sebuah kebijakan publik.

Di dalam SG dikenal adanya dua tipe kebijakan. Pertama, kebijakan eksternal kepada individu atau organisasi. Yaitu kebijakan yang diangkat dari aspirasi masyarakat (langsung maupun perwakilan) untuk dijadikan sebagai arah gerak organisasi. Kebijakan pada jenis pertama ini terkait dengan keputusan politik demokratis dari sebuah sistem tata pemerintahan. Yang diangkat dari aspirasi masyarakat politik di luar organisasi untuk diformulasi menjadi kebijakan yang akan mengatur organisasi pemerintahan. Kedua, adalah kebijakan internal. Yaitu kebijakan tentang aturan, regulasi dan prosedur untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga ketika kebijakan pertama (politik) telah ditetapkan, maka berikutnya adalah membuat kebijakan-kebijakan di dalam organiasi pemerintahan yang dibuat untuk, dari dan oleh organisasi itu sendiri.

Dari sini jelas terlihat bahwa pentingnya partispasi dan demokrasi adalah untuk menjamin kualitas kebijakan di level pertama. Tidak hanya itu, dengan transparansi, masyarakat juga dapat melakukan evaluasi tak langsung terhadap kebijakan di level kedua. SG menghendaki hubungan antara kedua level kebijakan ini menjadi seimbang. Sehingga demokrasi dan implementasi pembangunan di titik ini dapat menemukan titik

pragmatisnya. Demokrasi bukan lagi sebatas wacana ilmiah yang tidak membumi dalam pelaksanaan konkret sebuah tata pemerintahan.

8. Sektor

Dalam sebuah pemerintahan, sektor sangatlah penting. Karena ujung tombak dari pelaksanaan pelayanan public ada pada masing-masing sektor ini. SG sangat mengharapkan agar ada keahlian (expertise) yang sangat tinggi dalam sebuah penempatan personalia. Pentingnya Expertise itu salah satunya adalah guna menjaga kualitas sektor-sektor dalam sebuah sistem pemerintahan. Sektor sifatnya juga sangat kontekstual. Kebutuhan sektoral dari satu pemerintahan dengan pemerintahan lain tentunya berbeda-beda. Tidak hanya masalah tempat yang menyebabkan perbedaan sektor ini. Akan tetapi masalah waktu juga bisa menjadi sebab. Karena, dalam waktu tertentu, bisa jadi sebuah sektor diperlukan keberadaannya, namun di waktu lain tidak dibutuhkan. Maka, dinamika organisasi pemerintahan juga akan sangat tinggi di semesta pembicaraan sektor ini.

Sektor-sektor yang umumnya kita kenali di dalam organisasi pemerintahan adalah seperti sektor indusri, agrikultur, pedesaan, budaya, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Membutuhkan pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni dari para birokrat yang ada di dalamnya dalam pengelolaan ini. Akan tetapi SG juga tidak mensyaratkan agar organisasi pemerintahan itu menjadi super bodyyang bisa menangani segala hal. seperti sebisa juga diwujudkan dengan cara

kerja sama antar lembaga. Dalam hal ini keterkaitan yang cair antara organisasi-organisasi pemerintahan di semua sector dengan lembaga atau perseorangan yang memiliki keahlian di sektor tertentu sangatlah dianjurkan. Dan tata aturan birokrasi harus sedapat mungkin menfasilitasi terjadinya hal tersebut, bukan malah menghambat dan mempersulit.

9. Faktor International

Sebagaimana telah berulang kali disampaikan, selama ini peranan Bank Dunia, IMF, WTO dan lembaga-lebaga internasional lainnya memainkan peran yang penting dalam mendefinisikan parameter dari kualitas governace di berbegai negara. Sekarang, dalam zaman peningkatan globalisasi dan interdependensi global, negara, pemerintah dan warga negara semakin ditarik –secara sukarela atau terpaksa– untuk menumbuhkan sekumpulan rezim yang menunjukkan intoleransi terhadap perilaku governance tertentu yang sebelumnya dan secara tradisional dianggap normal dan internal bagi kedaulatan pemerintah (misalnya rezim Apartheid di Afrika Selatan, atau genocide di Afrika). Juga tuntutan implementasi bermacam-macam aturan, regulasi, dan protokol yang disetujui dan didasarkan pada level global dan kolektif.

Di sisi lain, pada saat yang bersamaan juga berkembang trend glocalismsebagai antitesis dari gagasan globalisasi berikut anomali-anomalinya. Interaksi diantara kedua arus besar ini membuat kompleksitas global governancejuga semakin rumit. Ini jugalah yang menjadi agenda penting dalam SG, yang tidak hanya melakukan

perbaikan pada local and national governancemelainkan jauh lebih penting juga melakukan reformasi di tingkatan global governance.

Sikap lembaga donor yang mendikte justru membuat tata pemerintahan di negara-negara berkembang menjadi lemah. Sebab reformasi yang diselenggarakan itu bersifat cangkokan, bukan tumbuh secara alami dan memiliki akar yang kuat menghujam dalam bumi. Urgensi reformasi tata pemerintahan global menjadi semakin mendesak atas adanya situasi semacam ini. Kita bisa menghitung berapa banyak uang dan sumber daya yang selama ini dikeluarkan dalam hal penyelengaraan proyek-proyek dari lembaga donor ini. Dan itu semua masih terus berlangsung hingga kini. Di tengah ketidakefektifan pelaksaannya, kita dengan demikian juga dapat menghitung berapa banyak uang yang telah dihamburkan secara mubazirsetiap harinya.

SG menginginkan reforamsi tata pemerintahan global dilakukan secara segera utamanya adalah agar pemanfaatan dana-dana dari institusi-insitusi pendonor internasional itu tidak terbuang percuma. Lebih dari itu, tidak pula semua itu dilakukan hanya untuk memperkokoh noe-kolonialisme tanpa sedikitpun ada niat untuk memperbaiki kondisi pemerintahan yang ada di negara berkembang.

10. Etika

Meski seringkali dipandang sinis, etika dalam administrasi publik tetaplah merupakan hal yang penting. Kelemahan perbicangan etika dalam administrasi public selama ini terletak pada konsepnya yang terlalu filosofis dan tidak membumi.

SG dengan demikian ingin agar etika dalam adimistrasi publik menjadi sesuatu yang benarbenar hadir dalam realitas. Hal ini juga disadari bahwa stadar etik masing-masing tempat berbeda-beda dan tentu berada dalam konteksnya masing-masing. Proses pembelajaran yang bersifat komparatif sangatlah penting. Misalnya tentang penghormatan atas hak cipta, mengapa di satu tempat dijunjung tinggi dengan sangat sacral sementara di tempat lain tidak begitu dipedulikan.

Mengapa di satu tempat asertifisme dianggap hal yang biasa dan normal sementara di tempat lain dianggap egois dan mementingkan diri sendiri. Artinya, tidak ada yang mutlak dalam etika. Penerimaan dan internalisasi etika adalah masalah pembelajaran. Pandangan konstruktivisme mempercayai bahwa semua hal yang ada di muka ini merupakan proses pembelajaran (Wendt, 1999). Tidak ada satupun hal yang ada memiliki sifat absolut dan tak mungkin diubah. Hanya saja proses perubahan dan pengubahan itu harus dilakukan secara perlahan dan mengedepankan kesadaran ketimbang paksaan.

Demikian pula dalam koteks etika, internalisasi nilai masih sangat mungkin dilakukan asalkan ada strategi yang kuat dan handal. Kekuatan

dan kehadalan strategi dalam internaslisasi nilai-nilai etik di dalam administrasi public tidak ditentukan dari seberapa koersifnya dia, melainkan seberapa mampunya dia menjelmakan nilai etik menjadi kesadaran. Sistem dan struktur juga dapat dibangun untuk menciptakan akuntabilias dan tansparansi sebagai bagian dari upaya internalisasi etika. Etika yang implementatif juga dapat mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, juga mencegah orientasi kerja birokrasi yang hanya murni ekonomis dan administratif semata. Birokrasi bekerja untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, bukan untuk membuat birokasi menjadi berpikiran sempit sebagaimana layaknya kalangan bisnis. Efektivitas dan efisiensi dalam birokrasi itu hanyalah alat, bukan tujuan. Etika yang harus diemban adalah tetap kepentingan public yang berada di atas segalanya. Jadi efektivitas dan efisiensi adalah untuk pelayanan publik, bukannya untuk efektivitas dan efisiensi itu sendiri.

Dokumen terkait