• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERKEMBANGAN PARADIGMA TEORI ADMINISTRASI

B. Paradigma Administrasi Negara

1. Old Public Administration (OPA)

Untuk menguraikan berbagai perspektif dan orientasi pandangannya dengan merujuk kepada perkembangan paradigmaa ilmu administrasi publik. Dalam berbagai pandangan yang tegas antara politik dan administrasi publik. Pandangan pertama menyatakan bahwa ilmu administrasi publik terpisah dan berbeda dengan ilmu politik (Henry, 1975; Wilson, 1889; Goodnow dalam Henry, 1995; Goodnow, 1990; white, 1926; Waldo, 1953; Kumorotomo, 2008; Toha 2007f), Pandangan kedua menyatakan bahwa administrasi publik sebagai ilmu politik (Henry, 1975, Dimock and Dimock dan Koening, 1960; Allen Schick dalam Toha, 2002;) dan pandangan ketiga menyatakan bahwa ilmu administrasi publik dan politik memiliki hubungan yanga sangat erat dan tidak dapat dipisahkan bahkan ilmu administrasi memiiliki cakupan, lingkup, cabang, pendekatan, peran, fungsi dan orientasi politik (Roseblom dan Goldman, 1989; Henry, 1995; RiGgs, 1997; Nigro dan Nigro, 1988; Azhar Kasim, 1993; dan Jon Piere, 1995; Dimock and Dimock, 1992; Fredericson, 2003; Denhardt and Denhardt, 2003; dan Denhardt, 2008). Walaupun dalam menjalankan peran dan fungsi dijalankan oleh aktor yang berbeda, demikian juga memiliki struktur yang berbeda pula.

Pandangan bahwa ilmu administrasi publik berbeda dan terpisah dari ilmu politik merupakan pendapat (pandangan) dari teori yang mendasari paradigma Old Publik Administration (OPA) yang juga sejalan dengan paradigma ilmu administrasi oleh Henry (1975) berdasarkan pada

pergeseran focus kepentingan dan lokus dimana secara institusional administrasi dipraktekan. Paradigma ilmu administrasi publik terdiri atas lima paradigma dimana salah satu paradigmaanya (paradigma pertama) adalah paradigma dikotomi poltik dan administrasi (1900-1926) dengan tokoh-tokohnya Wodroow Wilson, Leonard D. White, Frank J. Goodnow, dan Dwigt Waldo. Paradigma dikotomi politik-administrasi ini menginginkan subtansi politik danya meliputi masalah-masalah politik, pemerintahan dan kebijaksanaan, sementara subtansi ilmu administrasi pada masalah-masalah organisasi, kepegawaian, dan penyusunan anGgaran dalam system birokrasi pemerintah.

Wilson (1887) menegaskan bahwa eksistensi administrasi publik sebagai ilmu yang merupakan bidang pengetahuan yang murni dan berada diluar masalah politik. Selanjutnya Goodnow dalam Henry (1995;43) dengan idenya memperkuat paradigma dikotomi politik dan administrasi sebagaimana karyanya yang berjudul Political and administration mengatakan bahwa politik berkaitan dengan kebijakan atau berbagai masalah yang berhubungan dengan tujuan Negara, sedangkan administrasi berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut.

Goodnow (1990)) mengungkapkan bahwa politik harus memusatkan perhatian terhadap kebijakan dari kehendak rakyat. Pemisahan administrasi dan politik dimanifestasikan oleh pemisah antara badan legislative yang bertugas mengespresikan kehendak rakyat, badan

eksekutif yang bertugas mengekspresikan kehendak rakyat, badan eksekutif yang mengimplementasikan kehendak rakyat, badan yudikatif membantu legislative menentukan tujuan dan merumuskan kebijakan. Berbeda dengan yang dikemukakan White tentang kedudukan bidang administrasi publik, bahwa eksistensi administrasi publik hanya efektif apabila dapat diintegrasikan diantara ilmu pemerintahan dan ilmu administrasi. Administrasi publik dipandang memiliki karakteristik yang universal, yaitu dapat diimplementasikan pada semua tatanan administrasi tanpa mempedulikan kebudayaan, fungsi lingkungan, misi dan kerangka institusi, asalkan prinsip-prinsip yang ada didalamnya harus diterapkan, sedangkan Waldo (1953) memberikan pandangan administrasi publik yang berhasil membebaskan administrasi publik dari ilmu politik, dengan menyatakan bahwa “Publik administration is the organization and management of men and materials to achive the purpose of government” walaupun disadari bahwa terjadi keterbatasan gerak administrasi publik apabila hanya berorientasi pada focus dan tidak focus suatu tatanan administrasi.

Oleh karena itu kalau administrasi publik ingin efektif, maka implementasi administrasi publik harus diorientasikan pada birokrasi pemerintahan dan masalah masalah publik.

Administrasi publik dapat dilihat pada dua sudut pandang, yaitu; (a) sebagai organisasi dan manajemen guna mencapai tujuan-tujuan

pemerintah, dan (b) sebagai seni dan ilmu tentang manajemen yang digunakan untuk mengatur urusan Negara (Dwigh Waldo, 1996;17).

Adminsitrasi publik sebagai administrasi organisasi yang bersifat publik (kenegaraan atau antar kenegaraan) dengan tujuan kepentingan publik dapat tercapai. Dalam menGgerakkan organisasi yang bersifat publik merupakan keseluruhan operasi yang bertujuan untuk melaksanakan atau menegakkan kebijakan publik.

Menurut Levine, Peters, dan Thompson (1990 :3) administrasi publik berfokus pada kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang terlihat dari pertanGgung jawaban eksekutif. Sedangkan Perry dan Keller dalam Bingham, et all., (1991 : 4) menyatakan administrasi publik sebagai kegiatan penyediaan pelayanan publik yang kompleks, yang terdiri kegiatan-kegiatan proses administrasi sehari-hari sampai proses pembuatan kebijakan publik. Lane (1986 ;15) menyatakan administrasi publik sebagai studi mengenai aktifitas-aktifitas dan dampak dari birokrasi pemerintah. Administrasi berhubungan dengan manajemen program publik dan dapat mengekomodasi semua aspek kehidupan dalam masyarakat dan kemudian mengatur, mengawasi dan merealisasikan kepentingan-kepentingan publik.

Selanjutnya, pandangan yang menyatakan bahwa administrasi publik sebagai ilmu politik, juga ditemukan dalam paradigmaa ilmu adminsitrasi publik (paradigma ketiga) Henry (1975) yaitu paradigmaa administrasi publik sebagai ilmu politik (1950-1970), dengan tokoh-tokohnya adalah

Chaster Bernard, Herbert Simon, Allen Schick, Frederick Mosher, Robert Dahl, dan Dwigh Waldo. Disini terjadi pertentangan antara anGgapan mengenai Value-Free administration (bebas nilai administrasi) disatu pihak dengan anGgapan akan Value-Laden politics (sarat nilai politik) dilain pihak dalam prakteknya Value-Laden politics yang berlaku. Karena itu teori adminsitrasi publik juga teori politik. Dimana lokusnya adalah birokrasi pemerintah, sementara fokusnya kabur karena administrasi publik banyak kelemahannya. Eksistensi administrasi publik sebagai bagian dari ilmu politik karena administrasi publik pada dasarnya mengabdi kepada kekuasaan dan memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan pengabdiannya dalam membantu penguasa dalam memerintah secara lebih efisien. Selanjutnya, Dimock, Dimock dan Koening (1960) menyatakan bahwa adminsitrasi pada hakekatnya memiliki mengurusi organisasi dan manajemen pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan politiknya, termasuk dalam proses penentuan kebijaksanaan politik. Dimock, Dimock dan Koening mengatakan bahwa “.. administration makes policy, initiates legislation, amplifies legislation, represent pressure group, acts as a pressure group itself, and is caugh up in many ways in the tug of war between two political parties”. Hal ini didukung pula oleh Allen Schick dalam Toha (2002 :33) yang berkeyakinan bahwa administrasi publik pada dasarnya mengabdi kepada kekuasaan dan memiliki kekuasaan penuh untuk membantu penguasa dalam memerintah secara lebih efisien.

Pandangan ketiga menyatakan bahwa ilmu administrasi publik dan ilmu politik memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan bahkan ilmu administrasi publik memilki cakupan, lingkup, cabang, pendekatan, peran, dan orientasi politik. Hal ini diungkapkan oleh Rosenbloom dan Goldman (1989 :5) yang menyimpulkan definisi administrasi publik bahwa administrasi publik terlibat dalam beragam kegiatan, berkenaan dengan politik dan pembuatan kebijakan, terkonsentrasi pada Executive Branch dalam pemerintahan, berbeda dengan organisasi sector privat dan berkenaan dengan implementasi hokum. Administrasi publik. “ is the use of managerial, political, and legal theories and processto fulfill legislative, executive, and judicial governmental mandates for the provision of regulatory and service function for the society as whole or for some segmen of it ” terdapat tiga peran administrasi publik yaitu :

a. Adanya fungsi eksekutif dengan menggunakan pendekatan manajerial dengan kepentingan utamanya adalah efisiensi. Wilson dalam Denhardt (1999 ; 4) menjelaskan bahwa manajemen dalam sector publik tidak berbeda dengan manajemen dalam sector privat. b. Fungsi yang berkaitan dengan legislative dengan pendekatan politik,

dimana pelaksanaan konstitusi merupakan hal yang paling dipentingkan dengan kepentingan utama adalah efektifitas dan responsiveness.

c. fungsi yudisial dengan pendekatan hukum yang berkepentingan pada penegakan hukum. Definisi administrasi publik lebih lengkap diungkap oleh Nigro dan Nigro (1988) menyetakan sebagai suatu kerjasama kelompok dalam pemerintahan, mencakup tiga cabang yaitu eksekutif, legislative dan yudikatif serta hubungan diantara mereka, mempunyai peranan yang penting dalam formulasi kebijakan dan bagian dari proses politik, berhubungan dengan berbagai macam kelompok swasta dan perorangan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan beberapa perbedaan yang penting dengan administrasi privat.

Adapun administrasi publik menurut Azhar kasim (1993 ;22) adalah studi tentang seluruh proses, organisasi dan individu yang bertindak berdasarkan peran dan jabatan resmi dalam melaksanakan peraturan Per-UU-an yang dikeluarkan oleh lembaga legislative, eksekutif dan peradilan. Secara implicit, definisi administrasi publik terlibat dalam keseluruhan proses kebijakan publik. Administrasi publik merupakan salah satu aspek kegiatan pemerintahan. Lebih lanjut Azhar kasim mengemukakan aspek kunci dalam administrasi publik, yaitu (a) perubahan dan transformasi publik, dan (b) reformasi administrasi publik.

Selain kepentingan keberadaan administrasi publik yang diungkap oleh Rosenbloom dan Goldman, Nigro dan Nigro, Azhar Kasim diatas, RiGgs (1997) mengemukakan nilai lain yaitu kepentingan publik (publik interst) dan keadilan (Equity) yang disebut demokrasi. Bahkan dalam

perkembangannya demokrasi menjadi nilai yang semakin lama semakin penting dalam kaitannya dengan eksistensi administrasi publik.

Hal ini menjadi bagian dari proses modernisasi yang terjadi terutama di Negara-negara demokratis. Modernisasi yang terjadi adalah bagaimana administrasi publik (birokrasi) yang menguasai masyarakat diubah menjadi dibawah control masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendekatan governance berupaya mewujudkan penyelenGgaraan pemerintah yang mengedepakan nilai-nilai demokrasi, efektivitas dan efisiensi, Frederikson (1997:8) menyatakan bahwa : Governance is a word and concept that performs a kind of rhetorical distancing of publik administration from politics, government, and bureaucracy. Pendekatan governance ini berdasarkan pada pendapat Osborne dan Geabler yang melibatkan sector institusi non pemerintah dalam bentuk pola interaksi sebagai sebuah system. Dalam penerapan pendekatan governance ini juga perlu didukung oleh institusi politik dan administrasi yang kuat agar penyelenGgaraan pemerintahan daerah dapat tetap mengedepankan kepentingan masyarakat.

Hasil studi Jon Piere (1995:205) tentang administrasi publik di berbagai Negara, mengatakan terdapat 3 (tiga) aspek penting dalam studi administrasi publik yaitu :

Pertama, hubungan antara policy-makers, dalam hal ini para politisi dan lembaga legislative dengan birokrasi, isu yang sering didiskusikan antara lain pola dan model hubungan yang sebaiknya terbentuk. Apakah

policy-makers mendominasi birokrasi ataukah sebaliknya berada pada posisi sejajar. Terdapat tiga pola hubungan antara lembaga legislative dan birokrasi, yaitu ; (a) birokrasi mendominasi lembaga lembaga legislative, keadaan ini banyak ditemui dinegara-negara berkembang dan disebut dengan bureaucratic polity (RiGgs, 1971:399). (b) birokrasi memiliki kedudukan yang sejajar dengan administrasi legislative, (c) legislative mendominasi birokrasi.

Kedua, dinamika organisasi publik sendiri. Isu yang sering kali muncul antara lain adalah profesionalisme birokrasi, birokrasi tidek efisien dan tidak efektif, kultur birokrasi yang yang menyebabkan turunya produktifitas, kolusi korupsi dan nepotisme (KKN), dan modenrnisasi birokrasi serta penyediaan pelayanan publik. Profesionalisme birokrasi berkaitan dengan kompetensi para birokrat dalam menjalankan tugasnya serta bagaimana para birokrat dikelola dalam suatu system kepegawaian atau civil service system yang berkaitan dengan rekruitmen, penenpatan, penGgajian, system kepangkatan, promosi dan mutasi, rencana karir dan pensiunnya.

Ketidakefisienan dan keefektifan berkaitan dengan berbagai aspek organisasi dalam birokrasi. Peran birokrasi dalam dalam penyediaan pelayanan publik berkaitan dengan sberapa besar atau seberapa banyak pelayanan publik yang disediakan versus yang harus disediakan oleh pasar. Ketiga, hubungan birokrasi dengan masyrakat yang dilayani dengan civil society secara umum. Hal ini selalu menjadi isu utama adalah

kualitas, kuantitas dan akses pada pelayanan publik. Partisipasi civil society dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik serta control masyarakat terhadap birokrasi juga menjadi isu yang sangat penting dalam konteks ini, terutama terhadap munculnya hal hal yang berkaitan dengan akuntabilitas dan transparansi birokrasi.

2) New Public Management (NPM)

Dalam perkembangan ilmu administrasi publik selanjutnya, yakni paradigma New Publik Management (NPM) di tahun 1980-an dan menguat di tahun 1990 sampai sekarang. Menjelankan administrasi publik sebagaimana menggerakan sector bisnis (run government like a business atau market as solution to the ills in publik sector).

Strategi ini perlu dijalankan agar birokrasi model lama yang lamban, kaku dan birokratis siap menjawab tantangan era globalisasi. Paradigma NPM ini juga dikenal dengan berbagai macam sebutan seperti managerialism, NPM, reinventing government, dan sebagainya.

Managerialism didasarkan pada teknik dan sector swasta dan digunakan lalu dipopulerkan oleh teori publik choice dan teori pasar. Managerialism bertujuan utama pada peningkatan efisiensi, sedangkan desentralisasi dan swastanisasi merupakan sejumlah strategi yang dipakainya (Ingraham, 1994 : 326) secara makro, Petter Self (1993:59-61) mengatakan bahwa pendekatan NPM berorientasi pada slimming the state antara lain melalui swastanisasi dan contracting out. Sedangkan secara mikro, menurut Hughes (1994 : 68-69) dapat dilihat pada

penerapan management strategic, perencanaan strategic, manajemen kinerja (performance management), anGgaran kinerja (performance based budgeting), serta penerapan system kompetisi pada proses penyediaan pelayanan publik.

NPM dapat dibedakan menjadi beberapa model dengan penekanan yang berbeda-beda setiap modelnya, yaitu :

a) NPM model pertama didorong oleh tujan untuk melakukan efisiensi (the efficiency drive) dengan asumsi yang dipakai bahwa birokrasi bersifat wasteful, overbureaucratic, dan underperforming. Usaha yang dilakuka adalah menjadikan birokrasi lebih bussines-like yang didorong oleh nilai efisiensi. Praktek praktek yang muncul antara lain control keuangan yang semakin ketat, marginalisasi serikat buruh, melakukan empowerment terbatas dengan menekankan entrepreneurial management tetapi tetap dengan pertanggung jawaban secara hierarki yang ketat. Pada model pertama ini sifat hirarki dan rigid untuk mengontrol efisiensi terasa sangat kental. b) Model NPM kedua adalah downsizing dan Desentralization dengan

tujuan utama keluwesan dalam organisasi dan efisiensi dengan melakukan organizational unbundling dan downsizing. Memerangi vertical integrated organization yang masif dalam birokrasi. Mengurangi high degree of standardization, meningkatkan desentralisasi terhadap tanGgung jawab yang bersifat strategis dan terhadap pengelolaan anGgaran, meningkatkan contracting out,

serta memisahkan bagian kecil yang bersifat strategis (pembuatan kebijakan) dan bagian lainnya yang lebih besar dan bersifat operasional. Model ini dikenal juga dengan istilah management by contract dan meninGgalkan Management by hierarcky (Ewan Ferlie, 1996 : 11-12).

c) NPM model ketiga adalah in search of excellence yang berkaitan dengan gelombang the excellence dengan menerapkan human relations school yang menekankan pada peranan nilai dan budaya dalam organisasi. Terdapat kepedulian yang tinggi bagaimana organisasi menata perubahan dan inovasi (how organization manage change and innovation) (Ewan Ferlie, 1996 : 13-14).

d) NPM model keempat adalah Publik service orientation. Model ini memunculkan kembali total quality management dalam sector publik dan kepedulian yang tinggi kepada pemakai pelayanan publik. Model ini menginginkan kembalinya kekuasaan dari appointed pada elected local bodies, serta bersikap skeptis terhadap pperan pasar dalam penyediaan pelayanan publik. (ewan Ferlie, 1996 : 14-15).

Model pemikiran semacam NPM juga dikemukakan oleh Osborne dan Geabler (1992) dalam konsep Reinfenting Government dengan menyuntikan semangat wirausaha kedalam system administrasi publik. Birokrasi publik harus lebih menggunakan cara sterring (mengarahkan) daripada Rowing (mengayuh). Dengan cara Stering, pemerintah tidak langsung bekerja memberikan pelayanan publik, melainkan sedapat

mungkin menyerahkan kemasyarakat. Peran Negara lebih sebagai fasilitator atau supervisor penyelenggara urusan publik. Model birokrasi yang hierarkis-formalistis menjadi tidak lagi relevan untuk menjawab problem publik di era global.

Osborne dan Geabler menawarkan 10 (sepuluh) konsep perbaikan pelayanan publik, yaitu;

a) Stering rather than rowing, pemerintah berperan sebagai katalisator yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan, tetapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat dengan mengoptimalkan pembangunan dana dan daya sesuai kepentingan public.

b) Empower communities to solve their own problems rather than merely deliver service, memberdayakan masyarakat agar lebih berperan serta dalam pembangunan melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti LSM, dan lain-lain.

c) Promote and encourage competition rhater than monopolies, dalam bidang pelayanan publik, pemerintah harus menciptakan kompetisi agar sector usaha swasta dan pemerintah bersaing, dan terpaksa bekerja lebih professional dan efisien.

d) Be driven by mission rather than rules, pemerintah harus melakukan aktivitas yang menekenkan pada peraturan-peraturan.

e) Result oriented by funding outcomes rather than outputs, setiap organisasi diberi kelonGgaran untuk menghasilkan sesuatu sesuai

misinya, motivasi haus ditingkatkan dengan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada instansi untuk menunjukan kinerja yang baik.

f) Meet the needs or the costumer rather those of the bureaucracy, pemerintah harus mengutamakan kebutuhan masyarakat dan bukan kebutuhan para birokrat.

g) Concentrate on earning money rather than just spending it, birokrat harus terdiri atas orang-orang yang tahu bagaimana memberikan kontribusi untuk organisasinya, disamping menghemat biaya.

h) Invest in preventing problems rather than build hierarchy, pemerintah harus memperbaiki pola kewenangan, dari berorientasi hirarki ke partisipatif dengan mengembangkan kerjasama tim.

i) Solve problem by influencing market forces rather than treating publik programs, pemerintah harus memperhatikan kekuatan pasar. Kebijakan harus berdasarkan kebutuhan pasar.

Selanjutnya Osborne dan Plastrik (1996), menawarkan paradigma Banishing bureaucracy yang membahas cara penetapan strategi untuk mentransformasikan system dari organisasi birokrasi ke organisasi wirausaha dengan memberikan know how untuk aplikasinya melalui 5 (lima) strategi inovatif. Kelima strategi itu adalah :

a) Cebter strategy, dimaksudkan untuk menata kembali tujuan, peran dan arah organisasi.

b) Consequency strategy, diharapkan dapat mendorong persaingan sehat guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai melalui penerapan reward and punishment dengan memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan.

c) Customer strategy, pola mempertanGgung jawabkan kinerja pelayanan dirubah dari lembaga yang dibentuk pemerintah kepada masyarakat pelanGgan.

d) Control strategy, diharapkan mampu merubah lokasi dan bentuk kendali dalam organisasi. Kendali dialihkan ke lapisan organisasi paling bawah yaitu pelaksana dan masyarakat.

e) Cultural strategy, diharapkan dapat merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsure kebiasaan, emosi dan psikologi, dan merubah budaya organisasi.

Konsep Osborne dan Geabler diatas sejalan dengan pendapat Denhardt dan Denhardt (2003), yang menjelaskan bahwa ide atau prinsip dasar paradigmaa NPM terdiri atas :

(a) Mencoba menggunakan pendekatan bisnis disektor public.

(b) Penggunaan terminology dan mekanisme pasar, dimana hubungan antara organisasi publik dan customer dipahami sebagaimana transaksi yang terjadi dipasar.

(c) Administrator publik ditantang untuk dapat menemukan atanu mengembangkan cara baru yang inovatif untuk mencapai hasil atau

memprivatisasi fungsi-fungsi yang sebelumnya dijalankan pemerintah.

(d) Steer not row artinya birokrat/PNS tidak mesti menjalankan sendiri tugas pelayanan publik, apabila dimungkinkan fungsi itu dapat dilimpahkan ke pihak lain melalui system kontrak atau swastanisasi. (e) Menekankan akuntabilitas pada customer dan kinerja yang tinGgi,

restrukturisasi birokrasi, perumusan kembali misi organisasi, perampingan prosedur, dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan.

3) New Public Service (NPS)

Selanjutnya paradigma New Publik service (NPS) dan Governance dimunculkan oleh Denhardt dan Denhardt (2003) untuk Meng-Counter paradigma administrasi yang menjadi arus utama (manstream) paradigma NPM yang berprinsip run government like a business atau market a solution to the ills in publik sector. Paradigma NPS beranggapan bahwa administrasi pemerintahan tidaklah sama dengan organisasi bisnis. Administrasi publik harus digerakkan sebagaimana menggerakan pemerintah yang demokratis. Misi organisasi publik tidak sekedar memuaskan pengguna jasa (customer) tetapi juga menyediakan pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak dan kewajiban publik.

Paradigma NPS memperlakukan publik pengguna layanan publik sebagai warga Negara (citizen) bukan sebagai pelanGgan (cutomer).

Adminsitrasi ublik tidak sekedar bagaimana memuaskan pelanggan tetapi juga bagaimana memberikan hak warga Negara dalam mendapatkan pelayanan publik. Cara pandang NPS ini, menurut Denhardt (2008), diilhami oleh :

(a) Teori politik demokrasi terutama yang berkaitan dengan relasi warga Negara (citizen) dengan pemerintah.

(b) Pendekatan humanistic dalam teori organisasi dan manajemen. Paradigma NPS memandang penting keterlibatan banyak actor dalam penyelenGgaraan urusan publik. Dalam adminsitrasi publik, kepentingan publik dan bagaimana kepentingan publik diwujudkan tidak hanya tergantung pada lembaga Negara. Kepentingan publik harus dirumuskan dan diimplementasikanoleh semua actor baik Negara, bisnis, maupun masyarakat sipil.

Pandangan ini menjadikan paradigmaa NPS disebut juga sebagai paradigma governance. Teori governance berpandangan bahwa Negara atau pemerintah diera Global tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya institusi atau yang mapu secara efisien, ekonomis, dan adil menyediakan berbagi bentuk pelayanan publik. Paradigmaa governance memandang penting kemitraan (partnership) dan jaringan (networking) antar banyak stakeholders dalam penyelenGgaraan urusan publik.

Paradigma Good Governance berorientasi kepada hubungan pada hubunga yang sinergik dan konstruktif diantara pemerintah, sector swastandan nmasyarakat dalam rangka melaksanakan penyelenGgaraan

pemerintah yang baik dan bertanggung jawab. Salah satu standar penilaian kinerja pemerintah adalah prinsip-prinsip (nilai-nilai) Good Governance. Good Governance diperkenalkan dan dipromosikan oleh bebrapa agensy multilateral dan bilateral, diantaranya : JICA, OECD, dan GTZ sejak tahun 1991. Agensi (lembaga-lembaga) ini memberikan tekanan pada beberapa indicator antara lain : (a) demokrasi, desentralisasi, dan peningkatan kemampuan pemerintah, (b) hormat terhadap hak azasi manusia (HAM) dan kepatuhan terhadap hokum yang berlaku, (c) partisipasi masyarakat, (d) efisiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi publik, (e) pengurangan anggaran militer, dan (f) tata ekonomi yang berorientasi pasar (Depdagri otoda dan BAPPENAS (2002:22-23).

UNDP memberikan dua indicator Good Governance, yaitu: (a) desentralisasi untuk meningkatkan pengambilan keputusan ditingkat lokal dengan menekankan perbaikan nilai efisiensi, mempromosikan keadilan dalam pelayanan publik, meningkatkan partisipasi dibidang ekonomi dan politik, dan (b) kerja sama antara antara pemerintah dengan organisasi-organisasi masyarakat (depdagri & bappenas 2000:23).

Dalam kaitannya dengan kondisi Indonesia saat ini, maka nilai-nilai Good Governance yang paling penting sebagai indicator utama penilaian kinerja pemerintahan daerah, meliputi :

(a) Visi strategis: visi yang jelas dan misi untuk mewujudkan visi tersebut.

(b) Transparansi : meyediakan informasi kepublik secara terbuka sehingga publik dapat mempertanyakan tentang mengapa suatu keputusan dibuat dan criteria digunakan. Sehingga masyarakat publik dapat mengontrol, memonitor lembaga-lembaga publik beserta proses kerjanya.

Dokumen terkait