• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SOUND GOVERNANCE

F. Inovasi Sebagai Inti Sound Governance

Hal kedua yang sangat menonjol atas kebaruan dari SG adalah pengutamaan adanya inovasi dalam kebijakan dan adminstrasi publik. Dalam konsepsi pemerintahan mutakhir, inovasi dan kreativitas adalah hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh setiap pemerintahan. Sebab, pemerintahan hari ini tidak lagi berhadapan dengan masalah dan realitas yang itu-itu saja. Apel pagi, rapat-rapat rutin, urusan surat-menyurat dan implementasi prosedur sudah bukan merupakan tugas inti dari sebuah pemerintahan. Pada saatnya sistem mekanis akan mengerjakan hal-hal membosankan itu.

Pemerintahan modern berhadapan dengan banyak situasi yang kompleks dan kurang terduga sebagai akibat dari realitas yang makin terkoneksi secara ekstrem. Globalisasi bahkan membuat matrik kehidupan menjadi lebih rumit dari sebelumnya (Farazmand, 2004). “Don’t rock the boat” adalah pepatah yang terlanjur mendarah daging dalam tubuh birokrasi kita. Keadaan yang sudah ada telah membuat semua orang senang dan aman, maka janganlah sekali-kali mencoba untuk menggoyangkan perahu yang sudah tenang mengapung di tengah danau. Tapi ketenangan dan kenyamanan itu membuat perahu diam di tempat, tidak bergerak kemanapun.

Kepentingan para birokrat untuk memperoleh rasa ‘aman’ itulah merupakan tantangan terbesar dalam menumbuhkan inovasi dalam tubuh pemerintahan. Sistem dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar dalam proses birokrasi pemerintahan telah menciptakan resistensi yang sangat kuat bagi datangnya inovasi. Konfigurasi politik juga turut andil dalam proses pengerdilan inovasi. Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana dominasi tokoh-tokoh konservatif dalam kepemimpinan di tanah air.

Kader-kader muda yang diharapkan dapat membawa inovasi tak bisa leluasa muncul ke dalam kancah politik tanpa menggantungkan karirnya pada tokoh-tokoh tua. Kebanyakan tokoh tua juga berperilaku mendikte pilihan dan langkah-langkah politik kaum muda. Kita bisa melihat

betapa partai-partai politik besar hari ini sangat tergantung pada figur tokoh tua dan konservatif yang sangat hegemonik.

Sistem mapan birokrasi dan konfigurasi politik di Indonesia telah membuat banyak inisiatif inovasi mengalami prose penuaan dini dan layu sebelum berkembang. Secara psikis, perilaku politik para inovator ketika memasuki sistem menjadi tak dinamis dan cenderung mengekor pada tuntunan para patron. Ini seakan sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Pemimpin-pemimpin muda itu kemudian tercerabut dari akarnya. Keharusan untuk mengikuti ‘pakem’ ketika memasuki sebuah system harus mulai dipersepsi sebagai mitos, atau setidaknya tantangan.

Solusi yang ditawarkan oleh kosep Sound Governance adalah perubahan struktur pemerintahan yang berbasis pada fungsi (kompartementalistik) menuju berbasis pada klien. Dalam hal ini istilah TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) adalah hambatan terbesar dalam reformasi tata pemerintahan. Menemukan solusi brilian atas masalah pokok yang dihadapi masyarakat dan mencari jalan yang lebih baik atas hal yang sedang berjalan, adalah tugas pokok yang diemban semua birokrat.

Inovasi tidak mesti harus bersifat revolusioner dan fragmentatif. Dalam level tertentu bisa saja inovasi adalah revisi atas sistem yang sedang berjalan serta masih dalam koridor struktur perencanaan jangka panjang. Yang terpenting dalam inovasi tata pemerintahan adalah selalu adanya hal-hal baru (besar atau kecil) di dalam praktek birokrasi

keseharian. Inilah saat dimana SG mengharapkan agar inovasi menjadi ‘rutinitas’ baru di dalam birokrasi.

Inovasi yang dimaksudkan dalam SG berada pada berbagai aspek. Di bidang teknologi dilakukan dalam hal menemukan teknik dan berbagai metoda baru dalam melancarkan berbagai proses perencanaan maupun pengantaran pelayanan publik. Di bidang pembangunan/ pengelolaan sumber daya, inovasi diperlukan dalam hal menemukan cara yang tidak hanya efektif dan efisien melainkan juga membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Inovasi dalam sistem komunikasi adalah terkait dengan makin terbukanya ruang publik sehingga memudahkan sarana dan prasaran komunikasi yang egaliter antara aktor-aktor dalam tata pemerintahan.

Inovasi juga harus marak dalam kegiatan-kegiatan operasional seperti di dalam pengelolaan organisasi dan manajemen, pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Tak hanya di bidang teknologi, di bidang ideologi inovasi juga sangat diperlukan. Utamanya dalam membongkar berbagai paradigma lama tentang birokrasi yang rutin dan monoton yang masih kuat terbenam menuju pada pemahaman birokrasi yang lebih dinamis.

Inovasi merupakan keniscayaan dari dunia global yang terus berubah secara cepat. Sebab dengan adanya perubahan globalisasi ini banyak asumsi-asumsi yang harus segera dikoreksi sewaktu-waktu. Tidak mungkin, misalnya, dalam menyusun APBD kita hanya bergerak pada

asumsi yang monoton dan hanya merubah angka sedikit dari anggaran-anggaran terdahulu. Sikap seperti itu sungguh jauh dari cita-cita birokrasi SG yang dinamis.

Maka tanpa inovasi dan adaptasi, pemerintahan akan cepat rusak (soundless). Akan tetapi, memang inovasi harus didukung oleh kapasitas organisasi yang memadai dan kemampuan organisasi itu untuk mengimplementasikannya. Oleh karenanya, dalam dimensi SG juga dicantumkan tentang pentingnya aspek organisasi dan institusi di dalam reformasi tata pemerintahan modern.

Inovasi dalam SG juga harus disertai dengan kemampuan birokrasi yang tangguh dalam antisipasi dan luwes dalam melakukan adaptasi. Hal ini dikarenakan watak inovatif juga mencakup kemahiran dalam melakukan prediksi.

Dalam pengertian mahir dan ahli dalam memilih berbagai variabel yang berpengaruh terhadap kondisi saat ini dan masa depan. Kemampuan itu akan membawa pada sikap antisipatif atas segala perubahan. Sehingga birokasi tidak mudah shockdalam menghadapi kondisi-kondisi yang penuh dengan kondisi serba mungkin yang ada di depan mata.

Di samping itu, bila memang ternyata yang terjadi adalah sesuatu yang benar-benar di luar perhitungan, birokrasi juga harus mampu dengan luwes beradaptasi dengan lingkungan baru. Situasi politik dan ekonomi dapat berubah setiap waktu. Maka birokrasi harus dapat segera

beradaptasi tanpa harus terfragmentasi. Istilah ‘ganti menteri ganti kebijakan’ bukanlah sikap luwes yang dimaksudkan di sini. Fleksibilitas artinya adalah dalam tataran teknis dan strategis, bukan fleksibel dalam tujuan dan komitmen.

Hal ini juga yang ditegaskan oleh Golembiewski bahwa birokrasi harus digerakkan oleh komitmen bukannya kepatuhan. Watak birokrasi yang hanya mengekor pimpinan politik baru adalah watak birokrasi yang pengecut dan hanya mengandalkan kepatuhan tetapi tidak memiliki komitmen. Komitmen pada tujuan dasar pemerintahan, yaitu melayani kepentingan rakyat. Bukannya melayani kepentingan atasan.

BAB VII

AKTOR DALAM SOUND GOVERNANCE

Bab ini dimaksudkan tidak hanya untuk melakukan inventarisasi atas aktor-aktor yang harus terlibat dalam proses sound governancetetapi juga mengevaluasi peran aktor-aktor dalam pelaksanaan Good Governance selama ini. Termasuk di dalamnya tentang sebab-sebab mengapa peran ideal masing-masing aktor yang ada dalam Good Governance itu tidak tercapai. Serta bagaimana SG dapat hadir dan mencoba untuk mencegah agar kesalahan-kesalahan itu tidak terulang kembali di kemudian hari. Tentu saja dari empat aktor yang ada di dalam SG (yaitu negara, masyarakat sipil, swasta dan pelaku intenrasional) tiga diantaranya adalah juga aktor yang ada dalam Good Governance. Kendati begitu, SG tidak serta merta hanya memindahkan ketiga aktor dalam Good Governance ke dalam SG, melainkan juga merubah cara pandang Good Governance selama ini terhadap peran dan posisi negara, masyarakat sipil, dan swasta dalam penyelenggaraan tata pemerintahan.

1. Negara : Pusat Konspirasi

Komponen pertama yang dikatakan sebagai sebuah entitas oleh konsep gg adalah State/Negara. Tentu banyak teori-teori klasik yang akan sangat baik dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep negara sesungguhnya, berikut berbagai model yang berkembang di dalamnya. Namun, kita tentu sudah sama tahu bahwa negara saat ini adalah capaian fundamental politik dalam kehidupan sosial tertinggi

secara formal di dunia saat ini. Ya, sebab warga negara internasional masih sangat eksklusif dan lembaga politik internasional belum setangguh negara dalam melakukan regulasi sosial hingga ke tataran yang paling teknis dan pribadi (Hoffman, 2000).

Di tengah berbagai variasi model negara yang dikenal dalam teori negara, tentu yang paling populer hingga saat ini adalah Trias Politika (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) yang entah disikapi sebagai pembagian atau pemisahan nampaknya itu tak lagi penting saat ini. Bahkan sekarang negara-negara monarkhi juga telah banyak yang mengadopsi konsep ini dan mereformasi diri mereka menjadi negara monarkhi konstitusional, bahkan monarkhi demokratik (memang agak sulit dimengerti). Yang pasti saat berbicara tentang negara maka kita tentu tak bisa lepas untuk mencandra tiga institusi sosial tersebut.

Saat ini tak sedikit kalangan yang mencoba untuk memisahkan entitas negara dengan rakyat. Sehingga lembaga trias politika adalah institusi yang tak memiliki derajat representasi, maka tak jarang harus dibenturkan dengan rakyat. Dalam hal ini kita seringkali mendengar kalimat yang mengatakan: “...konflik antara Negara dengan rakyat...”. Kalimat itu sangatlah akrab di telinga kita, hingga pada suatu saat kita terkejut atas permakluman kita bahwa negara tidak lagi memiliki representativitas (Putra, 1999). Dia hadir bukan lagi penjelmaan rakyat, melainkan negara datang sebagai leviathan yang siap mengamuk dan memporak-porandakan semua yang ada di depannya.

Negara leviathan tak mengenal di masyarakat penganut paradigma apa ia hidup. Apakah itu tradisi anglo saxon ataupun continental,dua-duanya dapat menjadi habitat yang cocok untuk berkembang sehatnya monster ini. Hanya saja memang keduanya akan menghasilkan ras yang berbeda, tetapi tetap saja species yang sama. Mungkin bila pikiran Lord Acton di teruskan, bisa jadi implikasinya adalah bahwa apabila semua sumber daya yang ada diserahkan pengelolaannya pada negara, maka secara terus menerus organisasi-organisasi trias politika menjadi terus gemuk dan mengobjektifikasi rakyat. Korupsi yang sesungguhnya adalah proses objektifikasi rakyat itu, yang mana pada saat ini mereka akan menjadi sangat rukun seolah mendapat common enemy. Akan tetapi ketika rakyat telah berhasil mereka taklukkan, maka mereka akan kembali bertikai. Begitulah sifat dasar dari leviathan.

Hubungan antara tiga lembaga trias politika ini tidak pernah benar-benar ideal di lapangan. Pilihannya Cuma dua; pertikaian atau persekongkolan. Yang paling sering muncul ke permukaan adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif. Karena memang dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan berbagai negara demokrasi pada umumnya di dunia, yang dimaksud dengan policy makers itu adalah eksekutif dan legislatif. Eksekutif yang seharusnya hanya menjadi pelaksana saja, entah kenapa saat ini mereka naik pangkat menjadi perumus kebijakan. Yang lebih lucu lagi tak sedikit regulasi yang mengatur bahwa eksekutif punya wewenang yang lebih besar ketimbang legislatif.

Pada posisi normatif ini saja sudah nampak bahwa hubungan keduanya sangatlah tidak harmonis. Penuh dengan potensi konflik yang sewaktuwaktu dapat berubah menjadi bahan peledak berkekuatan high explosive.

Dua lembaga ini sama-sama arogan. Keduanya merasa bahwa konstitusi mengatur bahwa dirinyalah yang lebih berkuasa ketimbang yang lain. Dan apabila ada beberapa pasal dalam undang-undang yang melemahkan posisi legislatif maka langsung kecurigaan muncul bahwa itu adalah ulah dari eksekutif untuk mengkerdilkan mereka.

Demikian pula sebaliknya, eksekutif dalam menjalankan pekerjaannya merasa selalu terancam dengan keberadaan legislatif yang bisa saja sewaktu-waktu melakukan impeachment dengan alasan yang paling tidak rasional sekalipun. Distribusi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif telah menjadi sebuah garis kontinu yang saling tarik satu sama lain. Siapa yang lebih kuat pada waktu dan tempat tertentu maka ialah yang akan mendapat kekuasaan lebih besar.

Hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif di berbagai negara, khususnya di Indonesia, sering berujung dalam bentuk persekongkolan dan atau permusuhan. Di sini eksekutif dan legislatif disebut-sebut sebagai policy maker dan masyarakat tidak begitu berperan atau bahkan memang sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan publik.

Padahal Indonesia merupakan negara yang demokratis dimana seharusnya masyarakat berperan kuat serta mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasinya melalui lembaga legislatif dalam proses pembuatan kebijakan publik. Tapi pada kenyataannya lembaga legislatif kurang begitu mendengarkan aspirasi masyarakat. Lalu siapa yang akan mendengarkan serta menyampaikan aspirasi masyarakat jika lembaga ini tidak begitu melaksanakan tugas serta fungsinya sebagai wakil rakyat? Pada bagian ini akan dibahas permasalahan mengenai persekongkolan dan permusuhan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang ada di Indonesia. Pertanyaan kritisnya adalah: mengapa di negara Indonesia hanya lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang berperan sebagai policy makers? Lalu bagaimana dengan peran masyarakat? Bagaimana hubungan antara governance theory dengan kenyataan yang ada di negara Indonesia? Dan, apakah benar bahwa terdapat hubungan yang tidak harmonis antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif? Secara normatif, di Indonesia terdapat lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga tertinggi Negara adalah MPR sedangkan lembaga tinggi negara terdiri dari DPR selaku lembaga legislatif, presiden sebagai lembaga eksekutif dan MA yang mempunyai peran sebagai lembaga yudikatif. Secara prosedural, sebenarnya pembuat kebijakan di Indonesia dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut, namun pada kenyataannya hanya kedua lembaga saja yang berfungsi yaitu lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Negara kita memang negara yang demokratis, dimana

masyarakat mempunyai hak untuk menyatakan dan menyalurkan aspirasinya melalui lembaga legislatif.

Namun pada kenyataannya saat ini lembaga legislatif tidak pernah mendengarkan atau bahkan mempedulikan suara rakyat. Padahal sebenarnya keberadaan lembaga legislative ini adalah sebagai wakil rakyat. Jika lembaga legislative sudah tidak mampu menyalurkan aspirasi rakyat, maka mengapa lembaga ini tidak dibubarkan? Jawaban yang mutlak adalah bahwa lembaga legislatif tidak mungkin dibubarkan karena lembaga ini masih dianggap penting dan dibutuhkan dalam mekanisme pemerintahan yang berkaitan dengan lembaga eksekutif. Yaitu bahwa setiap keputusan-keputusan yang diambil oleh lembaga eksekutif harus melalui dan mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif. Sehingga pada akhirnya masyarakat hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan saja dan tidak ikut dalam proses pembuatan kebijakan.

Dalam menjalankan tugasnya, badan eksekutif ditunjang oleh tenaga kerja yang trampil dan ahli serta persediaan bermacam-macam fasilitas dan alat-alat pada masingmasing kementerian. Sebaliknya, keahlian serta fasilitas yang tersedia bagi badan legislatif jauh lebih terbatas. Oleh karena itu badan legislatif berada pada posisi yang lemah dibanding dengan badan eksekutif.

Dalam Negara demokratis, legislatif tetap memegang peran yang penting untuk menjaga agar jangan sampai badan eksekutif keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh badan legislatif. Keberadaan lembaga

legislatif tetap merupakan penghalang atas kecenderungan yang terdapat pada hampirm setiap badan eksekutif untuk memperluas ruang lingkup wewenangnya.

Dalam sistem parlementer, badan eksekutifnya dipimpin oleh seorang perdana menteri yang dibantu pula oleh menteri dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Kemudian badan legislatif saling bergantung satu sama lain. Kabinet, bagian dari badan eksekutif yang “bertanggung jawab” diharapkan mampu mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yang mendukungnya. Jatuh bangunnya kabinet tergantung kepada dukungan dalam badan legislatif. Sedangkan dalam sistem presidensial, badan eksekutifnya dipimpin oleh seorang presiden yang dibantu oleh para menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Kelangsungan hidup badan eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif.

Badan eksekutif mempunyai masa jabatan yang ditentukan. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislative mengakibatkan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Lagipula menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih menurut kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan partai politik. Perkembangan teknologi dan proses modernisasi yang sudah berjalan jauh dan semakin terbukanya hubungan politik dan ekonomi antar Negara telah mendorong badan eksekutif untuk memiliki ruang gerak yang lebih leluasa. Ini berarti tugas-tugas badan eksekutif

tidak lagi terbatas hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. Akan tetapi badan eksekutif dewasa ini dianggap bertanggung jawab untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya.

Pemerintahan yang baik adalah suatu bentuk pemerintahan dimana pemerintah mampu mengelola input berupa masukan, dukungan, serta tuntutan dari rakyat yang mencakup sebuah keinginan nyata yang terjabarkan tapi tidak terpenuhi dan bahkan tidak dikenali. Tuntutan tersebut dilakukan untuk merumuskan masalah sehingga menghasilkan otoritatif yang sah, yaitu lahirnya kebijakan dan input yang dikelola yang kemudian dilanjutkan dalam proses konversi. Setelah melalui proses tersebut, input itu dikeluarkan dalam bentuk output berupa keputusankeputusan dan tindakan-tindakan yang otoritatif dan mengikat pada para anggota sistem, termasuk masyarakat karena output tersebut mampu mempengaruhi peristiwaperistiwa dalam masyarakat. Misalnya output berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inspres), Keputusan Menteri (Kep Men) dan lain sebagainya.

Eksekutif dan legislatif adalah dua lembaga yang dalam konsep trias politika ditakdirkan bekerja sama. Kebijakan eksekutif haruslah mendapat restu dari para legislator yang mewakili jutaan rakyat sebagai pendukungnya. Demikian juga sebaliknya, rancangan hukum yang merupakan inisiatif dewan tetap harus melibatkan eksekutif sebagai pihak

pelaksana. Inilah kemitraan kesejajaran dalam birokrasi. Sayangnya, konsep kemitraan ini berkembang menjadi perselingkuhan kepentingan akibat longgarnya rambu-rambu hukum. Celah yang relatif kecil tetap bisa dikelola dua lembaga ini untuk kepentingan mengatasnamakan rakyat. Bahkan, dalam pengelolaan keuangan sering kali terjadi barter kepentingan agar sama-sama untung. Mengapa ini mesti terjadi dan bagaimana penyiapan perangkat hukum sebagai solusinya?

Perselingkuhan kepentingan yang sering dikonotasikan dengan penganggaran keuangan negara untuk kepentingan pribadi, bisa menjadi legal karena lemahnya hukum. Ini terjadi ketika legislatif diberikan hak pengelolaan keuangan secara otonomi. Akibatnya, ancaman pidana pun membayangi perilaku semacam ini. Kasus ini tercermin dalam bidikan kejaksaan atas kasus dugaan korupsi dana APBD sampai milyaran rupiah. Dalam konteks ini, undang-undang pengelolaan keuangan kedua negara dirancang otonom. Para wakil rakyat akan memiliki hak yang lebih jelas dalam pengelolaan keuangan. Dewan selama ini terkesan ‘disusui’ eksekutif karena nafkahnya ada di tangan eksekutif. Tak jarang kondisi ini memunculkan nilai tawar, mengingat para wakil rakyat juga punya hak mengkritisi pemerintah. Pengelolaan keuangan negara yang otonom akan menjadi salah satu solusi menekan terjadinya kolusi kepentingan. Ia tak sependapat jika kolusi legislatif-eksekutif menggurita akibat tak adanya lembaga independen yang mengawasi hubungan kerja mereka.

Dalam negara demokratis, legislatif tetap memegang peran yang penting untuk menjaga agar jangan sampai badan eksekutif keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh badan legislatif, dan tetap merupakan penghalang atas kecenderungan yang terdapat pada hampir setiap badan eksekutif untuk memperluas ruang lingkup wewenangnya. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif mengakibatkan bahwa badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Implikasi negatif yang dikhawatirkan akan muncul adalah adanya otonomi keuangan yang seringkali akhirnya berbuah sangkaan korupsi. Aturan hukum dengan pasalpasal karet sangat rawan dalam pengelolaan keuangan.

Aturan hukum otonomi pengelolaan keuangan harus dirancang simpel agar tak bisa ditafsirkan ganda. Yang selama ini terjadi adalah kebijakan yang aroma politiknya amat kental. Pemindahan pengalokasian keuangan dewan kepada pos eksekutif dinilai sebagai upaya memutus hubungan wakil rakyat dengan massa yang diwakilinya.

Aturan hukum yang dirancang untuk penyelamatan kekuasaan dan kepentingan partai penguasa harus dihindari. Jika ini terjadi, kebijakan yang mengatasnamakan hukum administrasi pengelolaan negara, tetap saja tak sehat bagi kehidupan berbangsa. Kelompokkelompok pro-kekuasaan menilai tudingan kongkalikong eksekutif-legislatif merupakan bentuk-bentuk salah kaprah. Kesan ini bisa muncul karena kalangan kritis melihatnya dari satu sisi. Bagi mereka, pengelolaan pemerintahan mutlak

didasari hubungan selaras antara eksekutif-legislaif dan yudikatif. Selama ini, hanya legislative dan eksekutif saja yang disoroti miring.

Lembaga-lembaga yudikatif kondisinya tak lebih baik. Isu akan keberadaan mafia peradilan bagai gelombang angin el nino yang tak kasat mata tapi dapat menghancurkan ribuan hektar lahan para petani. Keadilan dan hukum menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh para mafia ini. Bak sebuah pasar sapi, keberadaan mafia menelusup kesana kemari dengan sangat gesit, tangkas dan rapi, jauh lebih canggih ketimbang para penjual, pembeli apalagi sapinya itu sendiri.

Masalah korupsi saat ini menjadi sebuah barang empuk untuk melakukan pemerasan di sana-sini. Pasal-pasal karet dan peraturan yang tak jelas dan tumpang tindih seolah sesuatu yang sengaja diciptakan untuk menjerat berbagai pejabat dengan tuduhan korupsi. Lembaga kejaksaan sekarang menjadi berubah total dari kucing anggora yang manis menjadi singa hutan yang begitu garang lengkap dengan taring dan cakarnya yang siap mengoyak eksistensi para pejabat publik, pejabat politik dan pebisnis. Yang jadi masalah adalah apakah singa ini benar-benar bersih dalam menegakkan supremasi hukum yang alamiah, ataukah dikepalanya telah ditancapi oleh chip yang bisa mengendalikan kapan dia harus garang dan kapan dia harus jinak. Tergantung Sang Pawang yang

Dokumen terkait