• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikatan Keluarga

2.1.3 Dimensi Ikatan Keluarga

Dimensi yang harus dibangun dalam ikatan keluarga dalam kaitannya dengan usaha keluarga memiliki beberapa dimensi. Nyomman (2011 : 47) mengatakan bahwa dimensi ikatan keluarga dalam kaitannya dengan usaha keluarga adalah : kepercayaan, komitmen dan kerjasama.

a. Kepercayaan

Usaha dibangun oleh kepercayaan (trust). Itu kata orang bijak. Kepercayaan para pelanggan, pemasok, karyawan serta stakeholder lainnya bertalian satu sama lain. Dengan kata lain bahwa bisnis akan habis pada saat kepercayaan sudah tidak ada lagi diantara para pihak dimaksud.

Pada perusahaan keluarga, trust diantara para anggota keluarga sangatlah penting. Kepercayaan bahwa mereka saling menjaga dan berkomitmen terhadap perusahaan, kepercayaan bahwa seluruh anggota keluarga telah menjalankan perannya masing-masing yang sering disebut altruismtrust menjadi modal utama dalam mengelola perusahaan.

Dalam hubungannya dengan trust tersebut, para ahli perusahaan keluarga mengemukakan apa yang dikenal dengan the cycle of trust yang merupakan siklus saling percaya yang wajib dijaga dan dipelihara oleh seluruh anggota keluarga dalam rangka menjaga harmonisasi hubungan antara perusahaan dan keluarga.

Siklus tersebut berjalan seiring dengan tahapan-tahapan perusahaan. Ada tiga kepercayaan yang wajib saling dijaga sesuai dengan siklusnya menurut Chairman, (2011 : 102):

1. Pertama, saling kepercayaan antar pribadi atau yang dikenal dengan

interpersonal trust,

2. Kedua, adanya kepercayaan kompetensi atau competence trust,

3. Ketiga, dengan semakin besarnya perusahaan, semakin banyaknya pihak-pihak yang bergabung dan berkepentingan terhadap perusahaan.

Berdasarkan kutipan di atas maka dapat dipahami bahwa dalam menjalin ikatan keluarga, maka yang harus dijaga dan dipelihara dalam usaha keluarga adalah adanya saling kepercayaan di antara anggota keluarga yang membangun usaha bersama, adanya saling mencurigai dan tidak saling percaya akan mengakibatkan tidak berjalannya usaha dengan baik. Selain saling kepercayaan yang perlu di tanam di antara ikatan keluarga adalah adanya kepercayaan

kompetensi yaitu meyakini dan mempercayai terhadap kemampuan antara satu dengan yang lain dalam membangun usaha yang sedang dijalankan. Apalagi pada saat persoalan perusahaan semakin kompleks, maka setiap anggota keluarga yang ikut dalam perusahaan dituntut memiliki kompetensi tertentu untuk dapat berkontribusi terhadap jalannya perusahaan.

Usaha yang dibangun dengan banyaknya anggota keluarga yang terlibat, maka seluruh anggota keluarga dan setiap elemen harus yakin bahwa sistem yang ada di perusahaan telah berjalan dengan layak. Inilah yang dikenal dengan system trust. Keyakinan bahwa system telah berjalan dengan layak pada tahap ini sangatlah penting.

Perusahaan keluarga dituntut untuk memastikan siklus kepercayaan ini berjalan dengan baik agar terjadi harmonisasi di dalam keluarga dan juga dalam hubungan antara keluarga dan perusahaan. Apabila tidak, maka dapat dipastikan bahwa keharmonisan keluarga akan terganggu dan perusahaan akan berada pada ambang kehancuran.

Mishra & Mishra (2008) mengkonseptualisasikan aspek-aspek dari kepercayaan sebagai berikut :

a. Reliability

Seseorang dikatakan reliable ketika berperilaku dalam cara yang seimbang dan konsisten. Bertanggung jawab melakukan apa yang dikatakan untuk dilakukannya. Melakukan sesuatu ketika memiliki kemauan dan akan menunjukkannya ketika ada keinginan dan juga dapat diandalkan. Mengingat hal-hal yang penting bagi orang lain dan menjadi sumber kenyamanan dan

keseimbangan dalam kehidupan orang tersebut. Kepercayaan tanpa aspek ini membuat orang lain tidak akan memberikan kesempatan kedua. Reliability

memerlukan kata-kata dan tindakan. Adanya ketidakkonsistenan antara kata-kata dan tindakan menurunkan kepercayaan yang juga menyiratkan penjagaan komitmen seseorang. Orang-orang akan lebih mungkin untuk mempercayai pemimpin yang reliable karena itu dapat mengurangi ketidakpastian akan perilaku pemimpin.

b. Openness

Keterbukaan merupakan kemauan untuk jujur dan terbuka dalam berhubungan dengan orang lain. Individu akan lebih mau mempercayai perkataan seseorang apabila mereka yakin bahwa orang tersebut berkatajujur. Adanya keterbukaan dari diri sendiri juga akan mendorong orang lain untuk lebih terbuka. Jika seseorang itu jujur dengan tetangga, rekan kerja atau anggota keluarganya, maka orang lain akan lebih mau untuk terbuka kepadanya. Menjadi terbuka juga termasuk berlaku wajar dan mau berbagi informasi atau pandangan. Pemimpin menunjukkan openness dengan berbagi informasi dan jujur terhadap satu sama lain. Minimalnya, menjadi terbuka berarti tidak berbohong kepada pihak lain. Sedangkan dalam level terbesarnya, openness berarti penuh penyingkapan (disclosure). Sifat kepercayaan dalam istilah openness membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dikembangkan dibandingkan dengan kepercayaan berdasarkan

reliability karena tidak hanya melibatkan perkataan akan kebenaran saja, tetapi juga pernyataan informasi mengenai maksud dan harapan seseorang, dan bagi pemimpin hal ini dapat melibatkan informasi sensitif yang tinggi. Komunikasi

yang jujur dan terbuka dapat mengurangi ketidakpastian dan ambiguitas karena membuat tujuan, agenda dan sasaran lebih transparan. Openness sebagai konstruk dari kepercayaan merupakan pertumbuhan informasi. Informasi dibagikan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan atau bersifat pribadi diantara trustee dan trustor.

c. Competence

Individu tidak ingin mempercayai orang lain sampai orang tersebut dapat melakukan pekerjaan tersebut bahkan ketika sebelumnya orang tersebut digambarkan sebagai seseorang yang reliable dan jujur. Pengalaman langsung dengan orang lain merupakan cara yang lebih meyakinkan untuk memperlihatkan kompetensi yang dimiliki. Pemimpin menunjukkan kompetensi mereka dengan menemukan dan melebihi harapan kinerja dan memberikan hasil yang mendukung tujuan dan sasaran strategi organisasi. Pengikut ingin tahu apakah mereka dapat bergantung pada pemimpin mereka untuk menjadi kompeten dalam menyelesaikan masalah dan mengarahkan mereka kepada solusi. Pengikut akan lebih mungkin untuk merespon usaha yang dikembangkan oleh pemimpin apabila mereka percaya bahwa pemimpin memiliki pengetahuan dan kemampuan yang penting untuk mengasah bakat dan kekuatan mereka.

Competene mengacu pada kapabilitas dan keahlian individu untuk dapat tampil dalam tugas-tugas yang spesifik. Perasaan mampu atau kompeten merupakan pusat dari kepercayaan dalam hubungan pemimpin dan pengikutnya karena pengikut tidak akan mungkin mengembangkan kepercayaan terhadap pemimpin, kecuali jika mereka percaya bahwa pemimpin mampu melaksanakan peran kepimimpinan (Whitener, Korsgaard & Werner, 1998). Pemimpin juga

dikarakteristikkan dengan bagaimana pengikutnya mempercayai mereka untuk membuat keputusan yang kompeten.

d. Compassion

Memiliki compassion terhadap orang lain berarti harus mau mengesampingkan kepentingan pribadi untuk bisa menjadi benar-benar empati terhadap orang lain. Yang juga berarti harus meletakkan kepentingan orang lain sama atau di atas kepentingan sendiri. Compassion memerlukan waktu yang lama untuk dapat ditunjukkan karena membutuhkan pemahaman atau empati terhadap kebutuhan dan kepentingan orang lain. Compassion dari pemimpin juga dapat membangun hubungan positif dengan karyawannya. Pemimpin yang menunjukkan compassion lebih mungkin untuk meningkatkan hubungan yang membantu perkembangan individu dan pertumbuhan bersama. Seorang individu yang memiliki compassion terhadap orang lain berarti ia harus memiliki kemauan untuk mengatur kepedulian diri sehingga bisa benar-benar berempati terhadap orang lain. Percaya dalam hal concern berarti bahwa kepentingan diri tersebut seimbang dengan minat dalam kesejahteraan orang lain (Mishra, 1996).

Maxwell (2002) mengindikasikan indikator-indikator kepercayaan, yaitu: 1. Kejujuran, yaitu dengan adanya kejujuran anggota tim akan menciptakan

rasa saling percaya.

2. Pemberian tugas, yaitu dengan pemberian tugas pada anggota tim berarti telah memberikan kepercayaan bahwa anggota tim mampu melaksanakannya.

3. Integritas, yaitu setiap anggota dianggap memiliki integritas atau bersikap sebenarnya (truthfulness) dalam bekerja.

d. Komitmen

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2000: 75), komitmen adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan pengertian tersebut dapat didefinisikan bahwa komitmen dalam berwirausaha adalah suatu keterikatan diri dan keinginan yang kuat untuk membangun,memajukan,dan mempertahankan keberadaan usahanya dalam situasi apapun. (Syofyan, 2004 :103).

Dalam riset-riset tentang komitmen organisasional yang mencoba menganalisis karyawan-karyawan perusahaan yang dalam menjalankan aktivitas organisasi bersentuhan dengan teknologi informasi dan komunikasi seperti perusahaan telekomunikasi dan informasi, perbankan, pertambangan, pemasaran, konsultan perencanaan, otomotif, semi konduktor, dan bioteknologi, Cut Zurnali (2010) mendefinisikan masing-masing dimensi komitmen organisasional tersebut sebagai berikut:

1. Affective commitment

Merupakan komitmen yang muncul karena adanya hubungan emosional yang kuat antara karyawan dengan organisasinya. Karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi akan terlibat secara aktif dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasinya dan ia juga akan terus menjadi anggota organisasi tsb. Hal ini

dikarenakan karena ia memang memiliki keinginan untuk terus bertahan dalam organisasinya dan merasa dekat secara emosional dengan organisasi tersebut.

2. Continuance commitment

Perasaan berat untuk meninggalkan organisasi dikarenakan kebutuhan untuk bertahan dengan pertimbangan biaya apabila meninggalkan organisasi dan penghargaan yang berkenaan dengan partisipasi di dalam organisasi.

3. Normative commitment

Merupakan komitmen yang muncul karena individu tersebut merasa memiliki kewajiban untuk terus bertahan dalam organisasi karena tanggung jawab moral. Perasaan ini mungkin berasal dari berbagai sumber. Sebagai contoh, organisasi mungkin sudah memberikan banyak pelatihan sehingga karyawan merasa hutang budi dan harus membayarnya. Karyawan ini memiliki komitmen pada organisasi nya karena merupakan keharusan.

Untuk membangun komitmen dalam berwirausaha diperlukan kekuatan pribadi setiap wirausaha,contohnya:

1. Kesabaran dan ketabahan 2. Keinginan keras untuk maju 3. Keyakinan kuat untuk maju 4. Keuletan dan ketekunan

5. Pemikiran yang kreatif dan konstruktif 6. Ketahanan mental dan fisik

Tanpa usaha yang sungguh-sunguh dan komitmen tinggi terhadap pekerjaan yang digelutinya maka wirausaha sehebat apapun pasti menemui jalan kegagalan dalam usahanya. Oleh karena itu penting sekali bagi seorang wirausaha untuk komit terhadap usaha dan pekerjaannya.

Pentingnya komitmen tinggi bagi wirausaha adalah :

1. Bisa mendapatkan hasil maksimal dengan sumber daya minimal 2. Dapat menggunakan sumber daya secara efesien

3. Menerapkan dan meningkatkan serta memajukan perusahaan 4. Meningkatkan kesuksesan dalam berwirausaha

5. Meningkatkan rasa kepercayaan

6. Meningkatan etos semangat kerja bagi pribadi wirausaha dan karyawannya seorang wirausaha yang memiliki komitmen tinggi didalam usahanya diharapkan :

1. Pantang menyerah terhadap keadaan dan situasi apapun 2. Memiliki semangat dan tahan uji terhadap setiap tantangan 3. Memiliki kesabaran dan ketabahan didalam berusaha 4· Selalu bekerja, berjuang dan rela berkorban

Adapun faktor-faktor yang menunjukan seseorang berkomitmen tinggi terhadap pekerjaan nya adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai dedikasi yang tinggi 2. Mencintai pekerjaannya

3. Selalu memegang janji

5. Mengendalikan diri

6. Tekun dan ulet dalam berkerja 7. Keyakinan diri dan kedisiplinan Jenis-jenis komitmen terdiri dari :

1. Komitmen terhadap diri sendiri

2. Komitmen pada keluarga (family commitment)

3. Komitmen pada visi bisnis (bussiness commitment)

4. Komitmen kepada orang yang mempercayai (trust bulding commitment)

5. Komitmen kepada konsumen (commitment to customers)

6. Komitmen terhadap lingkungan (environment commitment)

7. Komitmen terhadap aspek sosial (social commitment)

Contoh nyasebagai berikut : a. Ikut menjaga kebersihan

b. Ikut mendukung program masyarakat

8. Komitmen terhadap etika bisnis (business ethic commitment).

c. Kerjasama

Pengertian kerja sama adalah sebuah sistem pekerjaan yang dikerjakan oleh dua orang atau lebih untuk mendapatkan tujuan yang direncanakan bersama. Kerja sama dalam tim kerja menjadi sebuah kebutuhan dalam mewujudkan keberhasilan kinerja dan prestasi kerja. Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi suatu daya dorong yang memiliki energi dan sinergisitas bagi individu-individu yang tergabung dalam kerja tim. Komunikasi akan berjalan baik dengan dilandasi kesadaran tanggung jawab tiap anggota.

Kerjasama (Cooperation) adalah adanya keterlibatan secara pribadi diantara kedua belah pihak dami tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi seecara optimal (Sunarto, 2000).

Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau tujuan bersama (Soekanto, 2001). Kerjasama (cooperation) adalah suatu usaha atau bekerja untuk mencapai suatu hasil. Kerjasama adalah adanya keterlibatan secara pribadi diantara kedua belah pihak dami tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara optimal (Sunarto, 2001).

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok diantara kedua belah pihak manusia untuk tujuan bersama dan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih baik. Jika tujuan yang ingin di capai berbeda maka kerjasama tidak akan tercapai.

West (2002) menetapkan indikator-indikator kerja sama sebagai alat ukurnya sebagai berikut :

1. Tanggung jawab secara bersama-sama menyelesaikan pekerjaan, yaitu dengan pemberian tanggung jawab dapat tercipta kerja sama yang baik.

2. Saling berkontribusi, yaitu dengan saling berkontribusi baik tenaga maupun pikiran akan terciptanya kerja sama.

3. Pengerahan kemampuan secara maksimal, yaitu dengan mengerahkan kemampuan masing-masing anggota tim secara maksimal, kerja sama akan lebih kuat dan berkualitas.

Menurut Hakim (2006:18) hal-hal yang harus diperhatikan dalam menjalin hubungan keluarga adalah :

1. Kerjasama

Menurut Lansberg (2005:70) kerjasama adalah merupakan kegiatan bersama antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang sama. 2. Loyalitas

Menurut Agustinus (2010:43)Loyalitas adalah suatu konsep yang menunjukkan antara konsistensi antara tindakan dengan nilai prinsip, dalam etika integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang.

3. Komitmen

Komitmen adalah rasa identifikasi, keterlibatan dan loyalitas yang dinyatakan oleh seseorang terhadap bisnisnya.

4. Konflik

Konflik dalam perusahaan keluarga dapat dirumuskan sebagai suatu situasi ditempat kerja dimana dua atau lebih atau kelompok orang dalam keluarga mempunyai ide, pandangan, persepsi, dan pendapat yang berlawanan sehingga mereka saling menyalahkan yang berakibat pada perusahaan (Lansberg 2005:97).

Menurut Soedibyo(2007:57) ada beberapa hal yang diharus diperhatikan dalam mencapai keberhasilan usaha keluarga diantara :

Kepercayaan merupakan hal yang penting karena membantu mengatur kompleksitas, membantu mengembangkan kapasitas aksi, meningkatkan kolaborasi dan meningkatkan kemampuan pembelajaran organisasi.

ada lima dasar yang dapat membangun kepercayaan diantaranya : a. Integritas, b. Kebajikan, c.Waktu, d. Tanggung Jawab, e. Bukti. 2.Komitmen

Komitmen adalah fokus pikiran diarahkan pada tugas dan usahanya dengan selalu berupaya untuk memperoleh hasil yang maksimal.

3 .Kerjasama

Kerja sama dapat meningkatkan komunikasi dalam membangun bagian-bagian dari Usaha Keluarga.

Menurut Susanto (2007:340) ada beberapa cara membangun hubungan kerjasama dengan pihak lain :

a. Bekerjasama dengan pendiri, b. Bekerjasama dengan keluarga, c. Bekerjasama dengan manager, d. Bekerjasama dengan pemilik. 1.Konflik

Konflik dalam perusahaan keluarga dapat dirumuskan sebagai suatu situasi ditempat kerja dimana dua atau lebih atau kelompok orang dalam keluarga mempunyai ide, pandangan, persepsi, dan pendapat yang berlawanan sehingga mereka saling menyalahkan yang berakibat pada perusahaan (Lansberg 2005:97).

Dokumen terkait