• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangan Percobaan

Percobaan pembuatan membran ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan membran dari selulosa diasetat dengan kadar asetil berbeda yaitu 37,21%, 38,11%, 39,19%, 40,22% dengan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak sebesar 12%, 14%, 16%, 18%, 20%. Pembuatan membran dilakukan pada suhu air koagulasi tetap (10 oC). Tahap kedua dilakukan pembuatan membran pada suhu air koagulasi berbeda yaitu 2, 10, 18 dan 26 oC menggunakan selulosa diasetat kadar asetil 39,19 % dan konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak tetap yaitu 18%.

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian pembuatan membran ultrafiltrasi tahap pertama adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. yang terdiri dari dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor pertama (A) adalah kadar asetil selulosa diasetat mikrobial (SDM) terdiri atas 4 taraf yaitu 37,21 %, 38,11 %, 39,19 % dan 40,22 %. Faktor kedua (B) adalah konsentrasi selulosa diasetat mikrobial terdiri atas 5 taraf yaitu 12% , 14%, 16%, 18% dan 20%. Komposisi larutan cetak yang dicobakan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Komposisi larutan cetak pada pembuatan membran Kombinasi Selulosa diasetat Dimetil Formamida

(g) (%b/b) (g) (%b/b) A1B1 3.60 12 26.40 88 A1B2 4.20 14 25.80 86 A1B3 4.80 16 25.20 84 A1B4 5.40 18 24.60 82 A2B1 6.00 20 24.00 80 A2B2 3.60 12 26.40 88 A2B3 4.20 14 25.80 86 A2B4 4.80 16 25.20 84 A3B1 5.40 18 24.60 82 A3B2 6.00 20 24.00 80 A3B3 3.60 12 26.40 88 A3B4 4.20 14 25.80 86 A4B1 4.80 16 25.20 84 A4B2 5.40 18 24.60 82 A4B3 6.00 20 24.00 80 A4B4 3.60 12 26.40 88 A5B1 4.20 14 25.80 86 A5B2 4.80 16 25.20 84 A5B3 5.40 18 24.60 82 A5B4 6.00 20 24.00 80

A1= Selulosa diasetat kadar asetil 37,21% A2= Selulosa diasetat kadar asetil 38,11% A3= Selulosa diasetat kadar asetil 39,19% A4= Selulosa diasetat kadar asetil 40,22% A5= Selulosa diasetat komersial

B1= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 12% B2= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 14% B3= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 16% B4= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 18% B5= konsentrasi selulosa diasetat dalam larutan cetak 20%

Model matematika untuk rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor adalah sebagai berikut (Sudjana, 1994) :

Y ijk = µ + Ai + Bj + ABij + Ek(ij)

Y ijk = hasil percobaan akibat peubah kadar asetil ke-i dan

konsentrasi selulosa diasetat ke-j µ = nilai rata-rata sebenarnya

Ai = pengaruh peubah kadar asetil ke-i (i = 1, 2, 3, 4)

Bj = pengaruh peubah konsentrasi selulosa diasetat ke -j (j = 1, 2, 3,4,5)

ABij = pengaruh interaksi peubah kadar asetil ke -i dengan

konsentrasi selulosa diasetat ke-j Ek(ij) = galat percobaan ke-k

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian pembuatan membran ultrafiltrasi tahap kedua adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial yang terdiri dari satu faktor dengan dua kali ulangan. Faktor suhu air koagulasi (A) terdiri atas 4 taraf yaitu 2, 10, 18 dan 26 oC.

Model matematika untuk Rancangan Acak Lengkap Faktorial satu faktor adalah sebagai berikut (Sudjana, 1994) :

Y ijk = µ + Ai + Ek(ij)

Y ijk = hasil percobaan akibat peubah suhu air koagulasi ke-i

µ = nilai rata-rata sebenarnya

Ai = pengaruh peubah suhu air koagulasi ke -i (i = 1, 2, 3, 4)

Penelitian I.

Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

Selulosa mikrobial kering yang digunakan pada penelitian ini berukuran 10 mesh dan berwarna putih kekuningan. Rasio bobot selulo sa mikrobial kering terhadap selulosa mikrobial basah adalah sekitar 0,0984 – 0.1113. Hasil analisis proksimat serbuk selulosa mikrobial yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil analisis proksimat serbuk selulosa mikrobial kering

Parameter analisis Nilai (%)

Kadar air 3,50

Kadar abu 0,23

Kadar protein (bk) 3,50

Kadar lemak (bk) 1,14

Kadar selulosa (bk) 92,53

Serbuk selulosa mikrobial yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kandungan selulosa yang relatif tinggi yaitu le bih dari 90% sehingga baik untuk digunakan sebagai sumber selulosa pada pembuatan selulosa triasetat. Dibandingkan dengan selulosa kayu, penggunaan selulosa mikrobial sebagai sumber selulosa relatif lebih menguntungkan karena selain selulosa mikrobial mempunyai kandungan selulosa yang relatif tinggi juga karena tidak terdapat lignin dan hemiselulosa pada selulosa mikrobial.

Menurut Fengel dan Wegener (1984) pada pulp kayu terdapat senyawa yang bukan selulosa seperti lignin dan hemiselulosa. Hemiselulosa merupakan heteropolimer sedangkan selulosa merupakan homopolimer. Pada proses asetilasi akan terjadi reaksi antara senyawa-senyawa kelompok hemiselulosa dengan anhidrida asetat. Hal ini akan mengakibatkan selulosa triasetat yang dihasilkan tidak murni karena tercampur dengan hemiselulosa asetat seperti glukomanan asetat.

Serbuk selulosa mikrobial yang digunakan sebagai sumber selulosa pada proses pembuatan selulosa triasetat ini mempunyai kadar air yang relatif rendah yaitu 3,50%, seperti terlihat pada Tabel 11. Kandungan air yang tinggi pada selulosa yang akan diasetilasi tidak diinginkan. Pada proses asetilasi air yang terdapat dalam selulosa akan bereaksi dengan anhidrida asetat membentuk asam asetat. Hal ini akan menyebabkan jumlah anhidrida asetat yang akan bereaksi dengan selulosa menjadi lebih sedikit. Menurut Pine et al. (1980) secara teoritis 1 mol air akan bereaksi dengan 1 mol anhidrida asetat menghasilkan 2 mol asam asetat. Rendahnya kadar air pada selulosa mikrobial yang digunakan pada penelitian ini relatif menguntungkan karena kadar air yang rendah akan mengurangi jumlah anhidrida asetat yang dibutuhkan pada proses asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat.

Selulosa mikrobial yang digunakan pada penelitian ini juga mempunyai kadar abu yang relatif rendah yaitu 0,23%. Hal ini juga menguntungkan karena dengan mengendalikan proses pembuatannya seperti tidak menggunakan peralatan dari logam maka selulosa triasetat yang akan dihasilkan pada proses asetilasi mempunyai kandungan abu yang rendah.

Penentuan Kondisi Aktivasi Selulosa Mikrobial

Proses aktivasi selulosa bertujuan untuk menggembungkan selulosa sehingga dapat meningkatkan reaktifitas dan aksesibilitas selulosa. Proses aktivasi dapat mempercepat terjadinya pertukaran gugus hidroksil molekul selulosa dengan gugus asetil dari anhidrida asetat. Hasil perolehan selulosa triasetat (STA) pada berbagai kondisi aktivasi yang dicobakan dapat dilihat pada Tabel 12 sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2a.

Tabel 12. Perolehan selulosa triasetat pada berbagai kondisi aktivasi Suhu aktivasi Waktu (jam) Perolehan (g/g)

0 1.20 2 1.48 4 1.60 6 1.63 50 oC 8 1.63 4 1.30 8 1.45 12 1.54 Suhu kamar 16 1.63

Hasil pengukuran perolehan selulosa triasetat (Tabel 12) menunjukkan perolehan selulosa triasetat cenderung meningkat dengan semakin lama waktu aktivasi baik pada suhu 50 oC maupun pada suhu kamar. Diduga hal ini disebabkan oleh perendaman serbuk selulosa mikrobial dalam waktu yang lebih lama dapat menjadikan serat selulosa lebih menggembung (swelling) sehingga memudahkan masuknya pereaksi.

Kondisi aktivasi selulosa mikrobial yang menghasilkan perolehan selulosa triasetat tertinggi pada penelitian ini diperoleh pada aktivasi suhu 50 oC se lama 6 jam dan aktivasi pada suhu kamar selama 16 jam. Waktu aktivasi selulosa

mikrobial pada penelitian ini relatif lebih lama dibandingkan waktu aktivasi pulp kayu yang dilakukan oleh Saka dan Takanashi (1998) pada pembuatan selulosa triasetat dari pulp kayu yaitu selama satu jam. Nevel dan Zeronian (1985) menyatakan aktivasi selulosa pulp kayu umumnya dilakukan kira-kira selama 1-2 jam. Lama waktu aktivasi yang dicobakan pada penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan lama waktu aktivasi selulosa mikrobial yang dilakukan oleh Tabuchi et al. (1998) yaitu 72 jam pada suhu kamar.

Kuo et al. (1997) menyatakan waktu aktivasi selulosa bergantung pada jenis selulosa yang digunakan. Waktu aktivasi selulosa mikrobial yang lebih lama pada penelitian ini diduga terjadi karena perbedaan sifat kristalinitas selulosa mikrobial dengan selulosa dari kayu. Selulosa mikrobial mempunyai daerah kristalin yang lebih besar dibandingkan daerah amorf. White dan Brown (1988) menyatakan bahwa selulosa mikrobial bersifat kristalin, dengan derajat kristalinitas lebih besar dari 60 %, yang berarti lebih banyak terdapat daerah kristalin dibandingkan daerah amorf.

Daerah kristalin merupakan bagian yang mempunyai ikatan antar rantai lebih erat dan lebih rapat (Achmadi, 1990). Daerah kristalin mempunyai sifat reaktifitas yang rendah, sehingga sukar terjadi reaksi asetilasi, sedangkan bagian amorf merupakan bagian yang lebih mudah dicapai oleh pereaksi sehingga lebih reaktif. Agar daerah kristalin dapat dicapai oleh pereaksi perlu dilakukan penggembungan (swelling) selulosa dengan menggunakan pelarut. Semakin besar daerah kristalin suatu selulosa maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menggembungkannya. Penggembungan selulosa akan menyebabkan berkurangnya ikatan antar serat selulosa, sehingga memudahkan masuknya

pereaksi. Semakin lama waktu aktivasi maka semakin banyak asam asetat yang masuk diantara serat selulosa. Keadaan ini menyebabkan reaksi asetilasi lebih mudah terjadi.

Penentuan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Perolehan STA

Proses asetilasi selulosa bertujuan untuk menggantikan sebagian atau semua gugus hidroksil (OH) pada molekul selulosa dengan gugus asetil (CH3CO)

dari anhidrida asetat sehingga membentuk selulosa asetat. Selulosa memiliki 3 gugus hidroksil per residu anhidroglukosa sehingga memungkinkan untuk menghasilkan selulosa asetat dalam bentuk monoasetat, diasetat dan triasetat. Selama proses asetilasi diharapkan semua selulosa mikrobial dapat dikonversi menjadi selulosa triasetat. Perolehan selulosa triasetat pada penelitian ini dihitung dengan cara membandingkan bobot kering selulosa triasetat yang diperoleh dengan bobot kering selulosa mikrobial yang digunakan (bk/bk). Perolehan selulosa triasetat pada tahap ini dapat dilihat pada Tabel 13.

Hasil penelitian pada rancangan faktorial dan titik pusat menunjukkan respon perolehan selulosa triasetat yang dihasilkan berkisar antara 0,80 – 1.70 (g/g), seperti terlihat pada Tabel 13. Secara umum bobot kering selulosa triasetat yang dihasilkan pada penelitian ini cenderung lebih besar dari bobot selulosa mikrobial yang digunakan. Hal ini terjadi karena bobot molekul selulosa triasetat yang dihasilkan lebih besar daripada bobot molekul selulosa mikrobial yang digunakan.

Tabel 13. Perolehan selulosa triasetat pada tahap penentuan faktor -faktor yang berpengaruh pada proses asetilasi

No Konsentrasi Rasio Waktu Suhu Perolehan

katalis pereaksi (menit) Reaksi X1 X2 X3 X4 Selulosa

(%) (X1) (X2) (X3) (oC)(X4) triasetat (g/g) 1 0.5 2 240 40 -1 -1 -1 -1 0.85 2 0.5 4 240 40 1 -1 -1 -1 0.80 3 0.5 2 360 40 -1 1 -1 -1 1.36 4 0.5 4 360 40 1 1 -1 -1 1.66 5 1.5 2 240 40 -1 -1 1 -1 1.38 6 1.5 4 240 40 1 -1 1 -1 1.38 7 1.5 2 360 40 -1 1 1 -1 1.69 8 1.5 4 360 40 1 1 1 -1 1.70 9 0.5 2 240 60 -1 -1 -1 1 0.81 10 0.5 4 240 60 1 -1 -1 1 1.52 11 0.5 2 360 60 -1 1 -1 1 1.67 12 0.5 4 360 60 1 1 -1 1 1.70 13 1.5 2 240 60 -1 -1 1 1 1.57 14 1.5 4 240 60 1 -1 1 1 1.53 15 1.5 2 360 60 -1 1 1 1 1.63 16 1.5 4 360 60 1 1 1 1 1.67 17 1 3 300 50 0 0 0 0 1.67 18 1 3 300 50 0 0 0 0 1.68 19 1 3 300 50 0 0 0 0 1.68 20 1 3 300 50 0 0 0 0 1.69

Selulosa merupakan polimer linier glukosa yang unit-unitnya terikat dengan ikatan 1,4-β-D glukopiranosa. Bila diasumsikan satu molekul selulosa terdiri atas n unit glukosa maka secara teoritis pada reaksi asetilasi sempurna , setiap 1 mol selulosa membutuhkan 3n mol anhidrida asetat dan akan menghasilkan 1 mol selulosa triasetat dan 3n mol asam asetat.

memiliki rumus empirik [C6H7O2(CH3CO)3]n. Bila diasumsikan bobot molekul

selulosa mikrobial (C6H7O2( OH)3 )n adalah 162n gram/mol dan bobot molekul

selulosa triasetat adalah 288n gram/mol maka setiap 1 gram selulosa mikrobial (setara dengan 0,0062/n mol selulosa mikrobial) akan menghasilkan 0,0062/n mol selulosa triasetat atau setara dengan 1,79 gram selulosa triasetat. Bila reaksi asetilasi selulosa berlangsung sempurna dan tidak terjadi degradasi selulosa maka dari setiap satu gram selulosa yang digunakan akan diperoleh selulosa triasetat sebanyak 1,79 gram.

Hasil analisis keragaman terhadap perolehan selulosa triasetat (Lampiran 2b) menunjukkan faktor rasio anhidrida asetat dengan selulosa mikrobial berpengaruh secara sangat nyata (a = 0,0044) terhadap perolehan selulosa triasetat sedangkan faktor waktu asetilasi berpengaruh nyata (a = 0,0128) terhadap perolehan selulosa triasetat. Konsentrasi asam sulfat dan suhu asetilasi tidak berpengaruh nyata (a > 0,05) terhadap perolehan selulosa triasetat.

Penambahan katalis asam sulfat pada proses asetilasi bertujuan untuk mempercepat terjadinya reaksi antara gugus hidroksil pada selulosa dengan anhidrida asetat. Penambahan katalis pada reaksi asetilasi akan menurunkan energi aktivasi reaksi sehingga pada waktu yang sama lebih banyak produk yang diperoleh. Energi aktivasi adalah jumlah energi yang dibutuhkan agar molekul yang bertabrakan mencapai keadaan transisi (Fesseden dan Fesseden , 1983: Pine et al., 1988). Pada penelitian ini faktor konsentrasi asam sulfat yang dicobakan pada proses asetilasi tidak berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Keadaan ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh Ott et al. (1954) bahwa konsentrasi katalis merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan

reaksi asetilasi. Diduga hal ini terjadi karena konsentrasi katalis yang diujikan relatif kecil (kurang dari 2%). Menurut Nevel dan Zeronian (1985) pada produksi selulosa triasetat dari pulp kayu secara komersial umumnya digunakan katalis dalam konsentrasi tinggi yaitu 7 – 10%. Pemilihan konsentrasi katalis lebih kecil dari 2 % dengan beda antara taraf rendah, tengah dan tinggi sebesar 0,5% dilakukan karena selulosa triasetat yang ingin diperoleh pada penelitian ini diharapkan mempunyai bobot molekul yang relatif tinggi. Menurut Ott et al. (1954) dan Kuo et al. (1997) penambahan asam sulfat dalam jumlah banyak dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada molekul selulosa. Penambahan asam sulfat dalam jumlah banyak pada selulosa dapat menyebabkan terjadi reaksi hidrolisis yang mengakibatkan terjadi pemutusan rantai selulosa. Hal ini akan menyebabkan selulosa triasetat yang dihasilkan mempunyai kekuatan mekanik rendah (rapuh). Selulosa triasetat yang ingin diperoleh pada penelitian ini adalah selulosa triasetat yang mempunyai derajat polimerisasi tinggi.

Perlakuan suhu asetilasi yang dicobakan pada penelitian ini juga tidak berpengaruh nyata terhadap perolehan selulosa triasetat. Hal ini diduga terjadi suhu yang dicobakan relatif rendah dan beda antara suhu taraf rendah, tengah dan tinggi relatif kecil (40, 50, 60 oC). Pemilihan suhu asetilasi pada penelitian ini dibatasi tidak lebih besar dari 60 oC. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadi degradasi molekul selulosa selama proses asetilasi sehingga selulosa triasetat yang dihasilkan diharapkan mempunyai sifat mekanik yang relatif tinggi. Menurut Nevel dan Zeronian (1985) proses asetilasi pada suhu tinggi dapat mempercepat terjadi reaksi asetilasi tetapi juga dapat menyebabkan

kerusakan pada selulosa. Kuo et al. (1997) menyatakan proses asetilasi selulosa sebaiknya dilakukan pada suhu berkisar 50 – 85 oC.

Reaksi asetilasi pada pembuatan selulosa triasetat mer upakan reaksi subsitusi. Menurut Pine et al. (1988) peningkatan suhu pada suatu reaksi kimia bertujuan meningkatkan energi kinetik molekul-molekul yang bereaksi sehingga molekul–molekul tersebut bergerak lebih cepat akibatnya tumbukan antar molekul lebih banyak terjadi. Keadaan ini menyebabkan molekul-molekul tersebut mempunyai energi yang cukup untuk mencapai keadaan transisi.

Pembentukan Model Linier Perolehan Selulosa Triasetat

Hasil pembentukan model tahap pertama dengan menggunakan data perolehan pada rancangan faktorial dan titik pusat menunjukkan model perolehan selulosa triasetat tidak merupakan persamaan linier tetapi cenderung kuadratik. Parameter dan koefisien parameter pembentuk model linier perolehan selulosa triasetat dapat dilihat pada Lampiran 2c.

Hasil uji penyimpangan model linier bersifat sangat nyata dengan nilai peluang 0,0014 (Lampiran 2d). Hal ini berarti model linier yang dibuat menyimpang dari keadaan nyata. Meskipun model ini mempunyai koefisien determinan relatif tinggi (R2 = 0,9264), namun model yang dihasilkan tidak dapat digunakan karena tidak memenuhi syarat model yang baik. Menurut Box et al. (1978) dan Gaspersz (1995) syarat model yang baik mempunyai hasil uji penyimpangan model yang bersifat tidak nyata (a > 0,05).

Pembentukan Model Kuadratik Perolehan Selulosa Triasetat

Pembuatan model kuadratik dilakukan hanya dengan menggunakan peubah yang berpengaruh nyata atau sangat nyata terhadap respon perolehan selulosa triasetat yaitu peubah rasio pereaksi anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial yang digunakan dan waktu reaksi asetilasi. Respon perolehan selulosa triasetat akibat pengaruh peubah rasio anhidrida asetat dan waktu asetilasi dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Perolehan selulosa triasetat tahap pembentukan model kuadratik pada proses asetilasi

No Rasio Waktu Perolehan

pereaksi (menit) X1 X2 Selulosa

(v/b) (X1) (X2) Triasetat (g/g) 1 2,5 240 -1 -1 1.28 2 3,5 240 1 -1 1.55 3 2,5 360 -1 1 1.40 4 3,5 360 1 1 1.75 5 3,0 300 0 0 1.73 6 3,0 300 0 0 1.75 7 3,0 300 0 0 1.74 8 3,0 300 0 0 1.75 9 2,293 300 -1.414 0 1.25 10 3,707 300 1.414 0 1.75 11 3,0 215.16 0 -1.414 1.40 12 3,0 384.84 0 1.414 1.62

Hasil analisis keragaman terhadap perolehan selulosa triasetat pada pembentukan model kuadratik (Lampiran 2e) menunjukkan peubah rasio anhidrida asetat dan waktu asetilasi berpengaruh sangat nyata terhadap

perolehan selulosa triasetat (peluang < 0,05). Bentuk hubungan dan besarnya pengaruh peubah yang dicobakan terhadap perolehan selulosa triasetat hasil asetilasi dapat dilihat dari nilai koefisien parameter penyusun model yang diperoleh. Peluang dan koefisien parameter penyusun model kuadratik kadar asetil selulosa triasetat yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 2f .

Hasil uji signifikansi terhadap parameter model kuadratik perolehan selulosa triasetat menunjukkan hampir semua koefisien parameter mempunyai peluang kurang dari 0,05 (α < 0,05) kecuali interaksi antar peubah. Hal ini menunjukkan hampir semua parameter model kuadratik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap model (Box et al., 1978; Gasperz, 1995).

Persamaan kuadratik perolehan selulosa triasetat sebagai fungsi rasio anhidrida asetat dan waktu reaksi pada proses asetilasi selulosa mikrobial dapat dinyatakan seperti pada persamaan 1.

Persamaan 1. Persamaan kuadratik perolehan selulosa triasetat yang dihasilkan sebagai pengaruh rasio anhidrida asetat dan waktu asetilasi.

Persamaan kuadratik perolehan selulosa triasetat seperti pada persamaan 1 dibuat berdasarkan hasil proses asetilasi selulosa mikrobial yang dicobakan pada rasio anhidrida asetat dengan selulosa mikrobial berkisar 2,293 –3,707 dan

Y Per STA =1,742501 + 0,1659 X1 + 0,077293X2 – 0,12302 X12 -0,02 X1X2 – 0,12047 X22

Y Per STA = perolehan selulosa triasetat

X1 = rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial

waktu asetilasi berkisar 215,16 – 384,84 menit. Asetilasi dilakukan pada suhu 50

oC dengan penambahan asam sulfat sebesar 1,5%.

Hasil uji kesahihan model menunjukkan model kuadratik perolehan selulosa triasetat seperti pada persamaan 1 mempunyai nilai koefisien determinan relatif tinggi yaitu 0,9927. Hal ini menunjukkan model yang dibuat dapat menjelaskan sekitar 99% dari total keragaman.

Hasil uji penyimpangan model (lack of fit) menunjukkan model yang diperoleh telah sesuai dengan keadaan nyata karena nilai peluang penyimpangan model bersifat tidak nyata (peluang = 0.0869). Hasil uji penyimpangan model kuadratik perolehan selulosa triasetat dapat dilihat pada Lampiran 2f.

Hasil uji asumsi residual menunjukkan bahwa plot residual menyebar secara acak disekitar nol. Pemeriksaan asumsi kenormalan juga menunjukkan plot residual mendekati garis lurus sehingga dapat disimpulkan bahwa residual telah terdistribusi secara normal. Nilai residual model kuadratik perolehan selulosa triasetat dan plot residualnya dapat dilihat pada Lampiran 2g da n 2h.

Secara keseluruhan hasil analisis statistik menunjukkan persamaan kuadratik perolehan selulosa triasetat seperti pada persamaan 1 telah memenuhi uji kesahihan model (validitas). Persamaan 1 dapat digunakan untuk menduga perolehan selulosa triasetat optimum (maksimum) pada proses asetilasi selulosa mikrobial. Model ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara peubah (parameter) rasio anhidrida asetat dan waktu asetilasi selulosa mikrobial terhadap perolehan selulosa triasetat.

Penentuan Nilai Optimum Perolehan Selulosa Triasetat

Hasil analisis kanonik terhadap permukaan respon perolehan selulosa triasetat (Lampiran 2j) menunjukkan titik kritis terjadi pada nilai kode peubah rasio anhidrida 0,704064 atau nilai aktual rasio anhidrida asetat 3,35 dan nilai kode waktu asetilasi 0,379238 atau waktu aktual asetilasi 323 menit. Nilai perkiraan titik stasionari adalah 1,81. Hasil analisis nilai akar ciri (eigenvalue) menunjukkan kedua peubah mempunyai nilai akar ciri yang bernilai negatif yaitu -0,171609 dan -0,250529. Hal ini menunjukkan titik optimum yang diperoleh merupakan titik maksimum (Gaspersz, 1998).

Hasil analisis ridge terhadap respon perolehan selulosa triasetat menunjukkan titik optimum adalah 1,81 yang terjadi pada nilai kode X1 sebesar

0.707846 dan X2 sebesar 0.383569 atau rasio anhidrida asetat sebesar 3,35 dan

waktu asetilasi 323 menit. Berdasarkan hasil optimasi diatas dapat disimpulkan perolehan maksimum selulosa triasetat pada proses ase tilasi selulosa mikrobial adalah 1,81 yang terjadi pada rasio anhidrida asetat sebesar 3,35 dan waktu asetilasi 323 menit.

Analisis permukaan respon dan plot kontur respon perolehan selulosa triasetat pada proses asetilasi yang dicobakan dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11 . Gambar 10 menunjukkan titik optimum perolehan selulosa triasetat merupakan titik maksimum. Gambar 11 menunjukkan titik maksimum perolehan selulosa triasetat terjadi pada penambahan anhidrida asetat antara nilai kode 0,5 – 1,0 dan waktu asetilasi antara nilai kode 0,0 – 0,5.

Gambar 10. Permukaan respon perolehan selulosa triasetat pada proses asetilasi

1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 Waktu -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

Rasio Anhidrida Asetat

Gambar 11. Plot kontur respon perolehan selulosa triasetat pada proses asetilasi

Hasil verifikasi model kuadratik perolehan selulosa triasetat menunjukkan nilai perolehan selulosa triasetat yang dihitung dengan menggunakan persa maan 1 relatif tidak jauh berbeda dengan nilai perolehan selulosa triasetat hasil percobaan di laboratorium (Lampiran 2k). Rataan perolehan selulosa triasetat maksimum hasil percobaan pada rasio anhidrida asetat 3,35 dan waktu asetilasi 323 menit adalah 1,79 sedangkan perolehan maksimum hasil optimasi dengan menggunakan persamaan 1 pada rasio anhidrida dan waktu asetilasi yang sama adalah 1,82.

Rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial yang menghasilkan perolehan maksimum pada penelitian ini (3,35) lebih kecil dibandingkan dengan rasio anhidrida asetat yang digunakan oleh Tabuchi et al. (1998) dan Saka dan Takanashi (1998). Tabuchi et al. (1998) menambahkan anhidrida asetat sebanyak 20 kali jumlah selulosa mikrobial yang digunakan. Tabuchi et a l. (1998) melakukan asetilasi selulosa mikrobial pada suhu kamar, menggunakan katalis aam sulfat sebanyak 1%. Saka dan Takanashi (1998) menambahkan anhidrida asetat sebanyak 7 kali jumlah pulp kayu yang digunakan pada pembuatan selulosa triasetat dengan menggunakan katalis asam sulfat sebesar 7%.

Secara teoritis pada reaksi asetilasi sempurna , setiap 1 mol selulosa akan menghasilkan 1 mol selulosa triasetat. Bila diasumsikan bobot molekul selulosa mikrobial (C6H7O2( OH)3 )n adalah 162n gram/mol dan bobot molekul

selulosa triasetat adalah 288n gram/mol maka setiap 1 gram selulosa mikrobial (setara dengan 0,0062/n mol selulosa mikrobial) akan menghasilkan 0,0062/n mol selulosa triasetat atau setara dengan 1,79 gram selulosa triasetat. Secara teoritis perolehan selulosa triasetat maksimum adalah 1,79.

Pengaruh Peubah Rasio Anhidrida Asetat terhadap Perolehan STA

Persamaan 1 menunjukkan rasio anhidrida asetat merupakan peubah yang berpengaruh paling besar terhadap perolehan selulosa triasetat. Hal ini dapat dilihat dari koefisien parameter rasio anhidrida asetat yang paling besar yaitu 0,1659. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Ott et al. (1954) yaitu rasio anhidrida asetat terhadap selulosa yang digunakan merupakan faktor yang berpengaruh pada proses pembuatan selulosa asetat. Safriani (2000) dan Darwis et al. (2003) juga menyatakan rasio anhidrida asetat terhadap selulosa mikrobial berpengaruh terhadap rendemen selulosa triasetat.

Pada proses asetilasi selulosa terjadi reaksi subsitusi gugus OH pada molekul selulosa dengan gugus asetil dari anhidrida asetat. Bila satu molekul selulosa terdiri atas n unit glukosa maka secara teoritis pada reaksi asetilasi sempurna , setiap 1 mol selulosa membutuhkan 3n mol anhidrida asetat Bila diasumsikan bobot molekul selulosa mikrobial (C6H7O2( OH)3 )n adalah 162n

gram/mol dan bobot molekul anhidrida asetat adalah 102 gram/mol maka setiap 1 gram selulosa mikrobial (setara dengan 0,0062/n mol selulosa mikrobial) akan membutuhkan 3 kali 0,0062/n mol anhidrida asetat atau setara dengan 1,90 gram anhidrida asetat. Reaksi asetilasi selulosa menjadi selulosa triasetat merupakan reaksi dapat balik sehingga agar reaksi berlangsung sempurna dan jumlah perolehan selulosa triasetat maksimum maka anhidrida asetat harus ditambahkan dalam jumlah berlebih. Selain itu anhidrida asetat harus ditambahkan dalam jumlah yang lebih banyak dari jumlah kebutuhan teoritis karena pada selulosa yang digunakan terdapat sejumlah air. Air akan bereaksi dengan anhidr ida asetat dan akan menghasilkan asam asetat. Semakin tinggi kadar air selulosa maka

semakin banyak anhidrida asetat yang harus ditambahkan. Secara teoritis 1 mol air akan bereaksi dengan 1 mol anhidrida asetat dan akan menghasilkan 2 mol asam asetat. Bila diketahui bobot molekul air adalah 18 gram/mol dan bobot molekul anhidrida asetat adalah 102 gram/mol maka setiap 1 gram air (setara dengan 1/18 mol air) akan bereaksi dengan 1/18 mol anhidrida asetat atau setara dengan 5,67 gram anhidrida asetat. Dapat disimpulkan bahwa agar terjadi reaksi

Dokumen terkait